Posisi itulah yang membuat Jokowi direspons oleh kelompok kritis dari lapisan
sosial baru yang non keluarga dan non koneksi 'Cendana', 'Teuku Umar' dan
'Cikeas'. Mereka dulunya aktivis kritis tetapi karena bukan darah biru maka
mobilitas vertikalnya mengalami hambatan. Kehadiran Jokowi seperti jawaban
dari problem penderitaan mobilitas vertikal politik kelompok itu. Menariknya
respons tersebut seiring berjalanya waktu terjadi secara berlebihan bahkan
terkadang sering kehilangan nalar kritisnya.
Hal paling menyedihkan dari situasi ini adalah kehadiran Jokowi sebagai anti
tesis dari dominasi keluarga dan koneksi 'Cendana', 'Teuku Umar' dan
'Cikeas' justru tidak membuat rakyat makin sejahtera tetapi lebih
menguntungkan pemilik modal besar, faktanya lebih senang mengerjakan
proyek proyek mega infrastruktur. Maka fakta ini membuktikan benarnya
analisis bahwa yang terjadi saat ini adalah politik simulacra yang
dikendalikan pemilik modal besar.
Saat ini kesenjangan antara si kaya dan miskin angkanya justru meningkat.
Sebagai catatan untuk dicermatii bahwa dua tahun sebelum pecahnya
ledakan kerusuhan berbasis rasial pada tahun 1998 rasio gini berada diangka
0,35. Coba bandingkan dengan saat ini, rasio gini per Maret 2016 tercatat
0,39. Artinya kesenjangan justru makin melebar dan mengkhawatirkan.
Jakarta sebagai miniatur Indonesia patut dicermati. Rasio gini Jakarta kini
sebesar 0,41 tergolong tinggi dibanding daerah lainnya. Angka ini belum
melihat kesenjangan pendapatan di wilayah Jakarta Utara yang sempat rusuh
pada 4 novembet lalu.
Saat ini porsi industri hanya dikisaran 20 persen dari total perekonomian.
Jumlah perusahaan besar dan sedang juga mengalami penurunan tajam dari
25.694 di 2008 menjadi 23.744 perusahaan di 2014 (Bhima Yudistira, Indef,
2016). Jangan lupa juga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah terjadi pada
puluhan ribu buruh, pengangguran lulusan SMK yang mencapai 1.3 juta
(BPS,2016) juga fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja ditutupi dengan
simulacra politik.
Melemahnya nilai tukar rupiah hingga 13.485 per US dolar pada 11 November
2016 dan tidak banyak yang bisa dilakukan BI dalam mengendalikan nilai
tukar menunjukan posisi rupiah seperti tanpa kendali stabilitas
(Kusfiardi,Puspol Indonesia,2016).Utang luar negeri yang terus membengkak
juga problem yang terus membebani APBN. Hingga akhir September 2016,
total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.444,82 triliun. Naik Rp 6,53 triliun
dibandingkan akhir Agustus 2016, yaitu Rp 3.438,29 triliun. Mengutip data
Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Kamis
(Oktober,2016), total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari
hingga September 2016 adalah Rp 398,107 triliun.
Pada saat yang sama, tensi sosial (social tention) bangsa ini sedang
meninggi akibat peristiwa pulau seribu 29 september yang mendorong
demonstrasi besar jutaan rakyat pada 4 november 2016 lalu. Ketegangan
diantara elit politik juga nampak meninggi pasca pernyataan Presiden Jokowi
yang menyebut ada aktor politik dibelakang demonstrasi 4 november. Rakyat
sesungguhnya sudah "muak" dipertontonkan dengan berbagai perilaku politik
simulacra (maaf terpaksa saya gunakan kata "muak" karena itulah bahasa
yang diekspresikan rakyat).
Realitas problem sosial, ekonomi dan politik yang sedemikian kompleks
sebagaimana dijelaskan di atas tidak bisa dijawab Jokowi dengan simulacra
politik, hentikanlah politik simulacra itu, politik pencitraan sudah waktunya
berakhir. Tentu, realitas ini, telah menjadi beban Jokowi yang hanyut terbuai
bersama simulacra politik. Mampukah Jokowi mengelola dan mengatasi
situasi berat ini? Jika tidak berhasil, maka krisis pada skala yang lebih berat
akan hadir di depan mata. Semoga itu tidak terjadi.