Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ISSUE TERKINI MENGENAI KESEHATAN YANG ADA

DI PERGURUAN TINGGI

oleh :

1. LEANITA BRILIANTIKA

2. IKA MAYA KURNIAWATI

3. AMITA PRATAMA PUTRI

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

TAHUN 2022
KOLABORASI LINTAS SEKTOR DALAM UPAYA MENCEGAH STUNTING

Pandemi Covid-19 atau virus Corona telah ditetapkan sebagai bencana nasional.

Pandemi ini pun berdampak cukup signifikan terhadap berbagai sektor kehidupan, tak

terkecuali terhadap perekonomian Indonesia yang turut terkena imbasnya. Saat ini banyak

sekali masyarakat yang sedang mengalami masa-masa sulit dan perlahan-lahan membuat

banyak orang harus berusaha keras untuk tetap bertahan hidup. Dengan menyebarnya

pandemi Covid-19 dan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak

golongan masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan, bahkan harus kehilangan mata

pencahariannya. Hal ini benar-benar menghantam kondisi perekonomian masyarakat dan

mengakibatkan meningkatnya jumlah angka kemiskinan di Indonesia.

Peningkatan jumlah angka kemiskinan ini menjadi “warning” bagi pemerintah,

mengingat kemiskinan merupakan faktor penting penyebab terjadinya stunting pada balita.

Dampak sosio-ekonomi selama pandemi berpotensi akan memperburuk permasalahan gizi

anak yang dapat menyebabkan stunting. Anak-anak balita yang lahir dari masyarakat rentan

dan miskin berpotensi lebih tinggi terkena stunting karena asupan gizi tidak terpenuhi.

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun

(balita) yang disebabkan oleh gizi buruk kronis sehingga mengakibatkan pertumbuhan anak

tidak maksimal. Kondisi kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi masih dalam kandungan dan

awal kelahiran, karena pada fase tersebut akan menentukan tingkat pertumbuhan fisik,

kecerdasan dan keaktifan seseorang di masa depan. Balita/Baduta (Bayi Di Bawah Usia Dua

Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,

menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko
pada menurunnya prestasi belajar, tingkat produktivitas dan juga disabilitas. Pada

akhirnya stunting akan dapat menurunkan kualitas SDM di Indonesia.

Stunting merupakan permasalahan terkait gizi yang menjadi perhatian dan isu penting

di dunia, termasuk di Indonesia. Adapun angka stunting di Jawa Timur masih tinggi.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian stunting di Jawa

Timur mencapai 19,9%. Angka tersebut melebihi rata-rata nasional yaitu 19,3%.

Dalam sudut pandang ekonomi, hal tersebut dapat menurunkan produktivitas pasar

kerja sehingga mengakibatkan turunnya GDP (Gross Domestic Products) dan menghambat

pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan ecological analysis menyebutkan bahwa

terdapat setidaknya empat faktor yang berkaitan dengan kejadian stunting di Jawa Timur.

Empat hal tersebut antara lain adalah cakupan layanan kesehatan balita; cakupan imunisasi;

cakupan keluarga yang dapat mengakses jamban sehat; dan pemberian air susu ibu (ASI)

eksklusif.

1. Cakupan Pelayanan Kesehatan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kabupaten atau kota dengan cakupan pelayanan

kesehatan balita yang rendah cenderung memiliki angka kejadian stunting balita yang

tinggi. Trend tersebut menunjukkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan balita

berkontribusi pada pengurangan angka stunting. Pelayanan kesehatan balita itu sendiri

dapat berupa posyandu balita. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian

terdahulu yang menyebutkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik

memiliki dampak yang lebih baik pada pertumbuhan anak dan pencegahan stunting. Hal
tersebut karena pelayanan kesehatan balita memiliki kontribusi pada perubahan status gizi

balita yang dapat mencegah stunting.

2. Cakupan Imunisasi

Selanjutnya adalah terkait dengan cakupan imunisasi. Hasil penelitian menyebutkan

bahwa kabupaten atau kota dengan cakupan imunisasi yang tinggi cenderung memiliki

angka kejadian stunting yang rendah. Hasil tersebut didukung dengan penelitian terdahulu

yang menunjukkan bahwa kasus stunting dan wasting (kekurangan gizi akut) pada balita

cenderung dialami oleh mereka yang tidak lengkap status imunisasinya.

Selain berkaitan dengan permasalahan gizi, imunisasi juga dibutuhkan oleh balita untuk

mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Dengan begitu, maka

akan dapat mengurangi angka kematian dan kesakitan anak.

3. Cakupan Keluarga yang Dapat Mengakses Jamban Sehat

Kemudian, hasil menunjukkan bahwa kabupaten atau kota dengan cakupan keluarga yang

dapat mengakses jamban sehat tinggi, prevalensi angka kejadian stuntingnya cenderung

rendah. Dapat disimpulkan bahwa akses sanitasi berdampak pada kejadian stunting di

masyarakat.

Kecenderungan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan

bahwa sanitasi memiliki hubungan yang linier dengan pertumbuhan anak. Hal itu

dikarenakan akses sanitasi yang buruk akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit

infeksi dan gangguan penyerapan nutrisi, yang kemudian akan berdampak pada

pertumbuhan anak. 

4. Cakupan ASI Eksklusif


Kabupaten atau kota dengan angka pemberian ASI eksklusif yang tinggi juga cenderung

memiliki angka prevalensi stunting yang rendah. Beberapa penelitian terdahulu juga telah

membuktikan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah anak

yang tidak mendapat ASI eksklusif. Untuk itu, penting bagi ibu untuk memberikan ASI

eksklusif pada bayi guna mencegah stunting.

Tidak hanya pada masyarakat miskin, kasus stunting terjadi pada semua lapisan

masyarakat dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena menjadi permasalahan yang

mendesak, pencegahan stunting menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Stunting

merupakan permasalahan yang bukan hanya jadi tanggung jawab satu sektor saja, tetapi

seluruh elemen negara wajib melakukan penanggulangan stunting baik pencegahan maupun

penanganan dampaknya. Perlu adanya kolaborasi dari berbagai sektor dalam upaya

pencegahan stunting.

Selaku badan yang bergerak pada bidang akademik, perguruan tinggi memiliki peran

penting dalam pencegahan serta penanggulangan kasus stunting di Indonesia. Beberapa peran

perguruan tinggi yang dapat dilakukan antara lain dalam memberikan hasil penelitian-

penelitian terbaru terkait penanganan stunting di Indoneisa. Perguruan tinggi diharapkan

dapat mengimplementasikan program pengabdian masyarakat dengan melaksanakan edukasi

terkait permasalahan serta pemenuhan gizi anak kepada masyarakat melalui pendekatan

kekeluargaan. Selain itu program pengabdian masyarakat juga dapat dilakukan dengan

melaksanakan pendataan lapangan terkait kasus stunting yang terjadi sehingga dihasilkan

data yang lengkap dan valid sebagai dasar pengambilan dan pembuatan kebijakan terkait

pencegahan dan penanggulangan stunting di Indonesia. Peran nyata perguruan tinggi dalam

upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan

penerapan Tri Dharma perguruan tinggi. Kegiatan tersebut terdiri dari pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada

masyarakat. Selain itu dengan adanya program kampus merdeka juga dapat memberikan

kesempatan kepada mahasiswa dan dosen untuk berkolaborasi mengembangkan ilmu dan

pengalamannya dalam upaya mencegah dan menanggulangi permasalahan stunting di

Indonesia. Perguruan tinggi memiliki peran yang penting dalam membantu penanganan

permasalahan stunting di Indonesia. Melalui pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi dan

program kampus merdeka dapat membantu keterbatasan tenaga kesehatan dan pemerintah

dalam menangani permasalahan stunting secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat di

seluruh wilayah Indonesia. Sehingga diharapkan melalui kolaborasi dari perguruan tinggi

dengan pihak-pihak terkait dapat meningkatkan efektivitas pencegahan dan penanggulangan

stunting di Indonesia.

Poltekkes Kemenkes Surabaya sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi bidang

kesehatan mempunyai 7 jurusan (keperawatan, kesehatan lingkungan, kebidanan, gizi,

kesehatan gigi, teknologi laboratorium medis dan Teknik elektromedik), dalam melakukan

penanganan kasus memerlukan suatu bentuk pembelajaran  bagi mahasiswa dari berbagai

profesi berupa kegiatan Interprofessional Education (IPE) dengan menjadikan pasien / klien /

komunitas menjadi “center” dari penerapan IPE.

Salah satu contoh yaitu kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) IPE, melalui kegiatan

Kuliah Kerja Nyata (KKN) IPE ini diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran bagi

mahasiswa untuk terjun langsung memecahkan masalah kesehatan masyarakat terkait

pencegahan stunting melalui strategi pemberdayaan (empowering) keluarga dengan tujuan

memandirikan keluarga sesuai kemampuan dan sumber daya yang ada, parthnership baik

lintas sektoral maupun lintas program, membangun jejaring (networking) dan health

education untuk memecahkan masalah kesehatan yang memerlukan penanganan kolaboratif.


Setiap profesi kesehatan tetap memiliki standar kompetensi profesinya masing-masing

dan wajib menghasilkan lulusan yang memenuhi standar. Domain kompetensi kolaborasi

interprofesi yang diharapkan, bagaimana tenaga kesehatan mampu bekerja sama dengan baik

menggunakan konsep patient centered dan tetap menjaga keselamatan pasien, mampu

melakukan refleksi kritis dan mentransformasikan pembelajaran interprofesi ke dunia kerja

(praktik), memahami perspektif stereotip dari profesi kesehatan yang lain dan

menghargainya, mampu menjadi ketua tim(team leader) ataupun anggota tim (team member),

mengetahui batasan-batasan profesi dalam kinerja tim, memahami peran dan tanggung jawab

masing-masing profesi, mampu beropini atau berpendapat dengan rekan sejawat sesama atau

berlainan profesi, serta mampu menjadi pendengar dan memberikan umpan balik yang

asertif.

Anda mungkin juga menyukai