Disusun Oleh:
Kelompok 1
Cici 1901170064
Fitri Firdayatul Hidayah 1901170068
Shella Sulistiya 1901170030
i
KATA PENGANTAR
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................3
C. Tujuan..................................................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................4
A. Sejarah Perkembangan Pendidikan ABK di Indonesia.......................4
B. Faktor dan Dampak terjadinya Kelainan pada Anak...........................6
C. Bentuk dan Layanan bagi ABK...........................................................9
BAB III. PENUTUP.......................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................12
B. Saran...................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan
anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak
luar biasa) didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan
khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna
(Hallahan dan Kauffman, 2003: 12). Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak
memiliki ciri-ciri perkembangan psikis ataupun fisik dengan rata-rata anak
seusianya. Namun meskipun berbeda, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus
menunjukan ketidakmampuan emosi, mental, atau fisiknya pada lingkungan
sosial. Terdapat beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang seringnya kita
temui yaitu tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, autis, down
syndrome, dan retradasi mental (kemunduran mental).
Anak berkebutuhan khusus mengalami gangguan baik terhadap fisik,
mental, intelegensi, dan emosinya sehingga memerlukan bantuan khusus untuk
memenuhi kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-sehari. Keterbatasan yang
dimiliki anak berkebutuhan khusus, menjadi tugas dan kewajiban orang tuanya.
Lingkungan yang tepat untuk anak-anak serta pola asuh yang sesuai dengan
kondisi mereka. Banyak orang tua yang hanya berpikir agar anak-anaknya cukup
mandiri dalam memenuhi kehidupan sehariharinya. Sehingga para orang tua
kurang memperhatikan terhadap kebutuhan pendidikan, serta potensi yang
mungkin bisa dikembangkan dalam keterbatasan fisik yang ada.
Di Indonesia, perkembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dan pendidikan khusus lainnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat
dalam dua dasa warsa terakhir. Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan menjadi
UU No.20/ 2003, pendidikan luar biasa tidak saja diselenggarakan melalui sistem
persekolahan khusus (SLB), namun juga dapat diselenggarakan secara inklusif di
1
sekolah reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Solopos,
Pendidikan, Selasa 27 Nopember 2012).
Pada pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus ini melakukan aktvitas
bersamaan dengan anak normal lainnya. Adanya interaksi sosial ini mampu
membantu terhadap pengetahuan lingkungan sosial. Anak berkebutuhan khusus
yang mendapat pelayanan pendidikan di sekolah luar biasa akan mengalami
perbedaan, karena mereka akan banyak menemukan teman yang memiliki
keterbatasan yang berbeda- beda sedangkan pada pendidikan inklusi mereka
memiliki teman yang pada umumnya normal. Pada pendidikan inklusi ini, anak
berkebutuhan khusus akan terdorong dari segi lingkungan yang memberi motivasi
terhadap perkembangan mereka. Mereka diharapkan mendapatkan dorongan
motivasi dari lingkungan sekitar termasuk dari kelompok sebaya.
Motivasi diberikan kepada anak berkebutuhan khusus berbeda-beda
tergantung pada kelainan yang dialaminya. Hal ini dilakukan karena setiap
kelainan memerlukan motivasi dalam bentuk yang berbeda. “Kebutuhan ABK
berupa kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berkembang” (Yohanika, 2012: 3).
Anak memerlukan motivasi berupa dorongan agar mereka terus belajar dan terus
mampu dan mau untuk melakukan terapi agar mereka tetap bisa beradaptasi
dengan baik dengan orang lain disekitarnya. Harters (2003: 44) memandang
masalah motivasi pada anak yang terbelakang mental dapat di terima dengan
wajar.
Penyesuaian yang dilakukan oleh teman-teman sebaya ketika ada salah
satu anggotanya yang memiliki keterbatasan. Peneriman dalam kelompok ini
dibutuhkan kesepakatan dari teman lainnya sehingga tidak jarang banyak anak
yang berkebutuhan khusus lebih sering menyendiri. Demikian juga yang
dilakukan oleh sebagian siswa-siswa SMP Plus Al-Ghifari, mereka cenderung
menjauhi temannya yang berbeda (dalam hal ini yaitu anak berkebutuhan khusus).
Kenyataannya sekarang ini banyak kelompok sebaya yang sengaja menjauhi
temannya yang memiliki keterbatasan, menertawakannya sering mereka lakukan.
Perilaku seperti ini seharusnya tidak dilakukan pada anak berkebutuhan khusus
karena dengan keterbatasan yang mereka hadapi kemudian ditambah dengan
2
tekanan psikologis yang dirasakan. Pengasingan dari teman-teman sebaya
memberi pengaruh terhadap perkembangan yang tidak diharapkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyimpulkan beberapa
perumusan masalah, antara lain :
1. Bagaimana sejarah perkembangan anak berkebutuhan khusus di
Indonesia ?
2. Apa saja faktor dan dampak terjadinya kelainan pada anak ?
3. Bagaimana bentuk dan layanan bagi anak yang berkebutuhan khusus ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan anak berkebutuhan khusus di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui faktor dan dampak dari adanya kelaianan pada anak.
3. Untuk mengetahui bentuk dan layanan bagi anak yang berkebutuhan
khusus.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Bandi Delphie. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi.Bandung: PT. Refika Aditama
4
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan
kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan
memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi “Education for All”. Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.2 Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education.”
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan
inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif.3
Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan
berbagai upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di
berbagai daerah di Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam Penghargaan
bagi Provinsi dan Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri menjadi
penyelenggara Pendidikan Inklusif. Diantara Provinsi yang telah mendeklarasikan
diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif diantaranya; Pada tahun 2012
dimulai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan
oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI
Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsis Sulawesi Tenggara mendeklarasikan diri
dengan disusul oleh Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Bali dan Provinsi Lampung.
Kemudian pada tahun 2015 hanya Provinsi Sumatera Utara yang tercatat
2
Mudjito, dkk, 2012, Pendidikan Inklusif, Jakarta, Baduose Media Jakarta.
3
Herawati, N. I., (2016). Pendidikan Inklusif. EduHumaniora| Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru,
vol.2,no.1.
5
mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara Timur dan Jawa
Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan Inklusif
(diolah dari berbagai sumber).
Semua warga Negara berhak mendapatkan pendidikan baik anak normal
maupun anak berkebutuhan khusus seperti yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 dan dipertegas dalam Permendiknas nomor 70 Tahun 2009
dengan member peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk sekolah di
sekolah reguler terutama pendidikan yang di berikan sejak dini. Pendidikan
inklusif adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki
kelainan, memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Juga anak tidak
mampu belajar karena sesuatu hal: cacat, autis, keterbelakangan mental, anak
gelandangan, memiliki bakat serta potensi lainnya.4
4
Habib Nur Fauzan dkk, (2021). Sejarah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Menuju Inklusi. PENSA
| Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial (https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pensa)
6
USIA IBU KELAHIRAN DOWN’S
20 TAHUN 1 DALAM 2000
25 TAHUN 1 DALAM 1200
30 TAHUN 1 DALAM 1000
35 TAHUN 1 DALAM 660
40 TAHUN 1 DALAM 80
45 TAHUN 1 DALAM 17
49 TAHUN 1 DALAM 10
7
e. Kekurangan Gizi, juga dapat terjadi karena adanya kelainan metabolism
maupun penyakit parasit pada anak seperti cacingan. Hal ini mengingat
Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak memunculkan atau
tempat tumbuh-kembangnya penyakit parasit dan juga karena
kurangnya asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan anak
pada masa tumbuh kembang. Hal ini di dukung oleh kondisi penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan.
2. Dampak Terjadinya kelainan Pada Anak
Anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam
memenuhi tuntutan lingkungan tersebut sebagai dampak dari keadaan
kebutuhan khusunya yang berakibat juga pada kondisi sosial psikologis
anak berkebutuhan khusus, dan secara rinci diuraikan sebagai berikut:
a. Dampak fisiologis, terutama pada anak-anak yang mengalami kelainan
yang berkaitan dengan fisik termasuk sensori-motor terlihat pada
keadaan fisik penyandang berkebutuhan khusus kurang mampu
mengkoordinasi geraknya, bahkan pada berkebutuhan khusus taraf berat
dan sangat berat baru mampu berjalan di usia lima tahun atau ada yang
tidak mampu berjalan sama sekali. Tanda keadaan fisik penyandang
berkebutuhan khusus yang kurang mampu mengkoordinasi gerak antara
lain: kurang mampu koordinasi sensori motor, melakukan gerak yang
tepat dan terarah, serta menjaga kesehatan.
b. Dampak psikologis timbul berkaitan dengan kemampuan jiwa lainnya,
karena keadaan mental yang labil akan menghambat proses kejiwaan
dalam tanggapannya terhadap tuntutan lingkungan. Kekurangan
mampuan dalam penyesuaian diri yang diakibatkan adanya
ketidaksempurnaan individu, akibat dari rendahnya ”self esteem” dan
dimungkinkan adanya kesalahan dalam pengarahan diri (self direction).
c. Dampak sosiologis timbul karena hubungannya dengan kelompok atau
individu di sekitarnya, terutama keluarga dan saudara-saudaranya.
Kehadiran anak berkebutuhan khusus di keluarga menyebabkan
berbagai perubahan dalam keluarga. Keluarga sebagai suatu unit sosial
8
di masyarakat dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus merupakan
musibah, kesedihan, dan beban yang berat. Kondisi itu termanifestasi
dengan reaksi yang bermacam-macam, seperti : kecewa, shock,
marah, depresi, rasa bersalah dan bingung. Reaksi yang beraneka ini
dapat mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga yang
selamanya tidak akan kembali seperti semula.
9
Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi
ke dalam tiga bentuk yaitu segregasi, integrase dan inklusi. Ketiga bentuk ini
memiliki perbedaan diantaranya mengenai sistem kurikulum yang diterapkan.
1. Bentuk Layanan Segregasi
Bentuk layanan Segregasi yaitu bentuk layanan pendidikan bagi Anak
Bekebutuhan Khusus yang mengacu pada jenis atau karakteristik spesifik dari
ketunaan yang dialami seseorang. Oleh karenanya setiap ketunaan yang berbeda
akan mendapatkan layanan berbeda. Bentuk layanan pendidikan segregasi
memiliki sistem lingkungan dan kurikulum yang berbeda dari sekolah umum
(tersendiri). Bentuk layanan pendidikan bagi ABK secara segregatif tentu masih
sangat dibutuhkan bagi ABK. Sistem layanan segregasi yaitu penyelenggaraan
pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan umum. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan
pendidikan pada lembaga pendidikan khusus seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB).
2. Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu
Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut
dengan istilah sekolah terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan
integrasi sosial, instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan
teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada kebutuhan pendidikan
yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan klasifikasi
tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai
profesi dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak
berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu
mengikuti kegiatan di kelas tersebut dan kurikulum yang digunakan sama dengan
anak lainnya.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa
keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat,
dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan
khusus. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus,
di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat
10
berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak
berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai
pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
3. Bentuk Layanan Pendidikan Inklusif
Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai
semua peserta didik termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik
berada dalam lingkungan yang sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang
waktu. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum sekolah tersebut dengan
dilakukan modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan bagi semua peserta didik.
Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam
sekolah/kelas umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya
adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan
anak-anak pada umumnya. (ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan
ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai dan
menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai
dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa
anak membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau
biasa agar dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat
ditelusuri di Eropa pada tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat
upaya-upaya terpisah untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Faktor terjadinya kelainan pada anak diantaranya adalah herideter,
infeksi, keracunan, trauma dan kekurangan gizi. Dampak terjadinya kelainan pada
anak berkebutuhan khusus berakibat pada dampak Fisiologis, dampak psikologis
dan dampak sosiologis.
Ada beberapa jenis layanan yang bisa diberikan kepada anak-anak
berkebutuhan khusus, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Namun secara umum akan mencakup(1)layanan medis dan fisiologis,(2)
layanan sosial psikologis, dan (3)layanan pedagogis/pendidikan. Beberapa
jenis layanan tersebut diberikan oleh para ahli yang kompeten pada
bidangnya masing-masing, dan dilakukan berdasarkan kebutuhan anak.
Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi
ke dalam tiga bentuk yaitu segregasi, integrase dan inklusi.
B. Saran
Penyusunan materi diatas merupakan rangkuman penjelasan secara
singkat mengenai Anak Berkebutuhan khusus Dalam Konteks Pendidikan.
Penyususunan materi berdasarkan referensi yang jelas diambil dari jurnal ilmiah
dan buku. Pemateri menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan di dalam
penulisan ini, maka dari itu pemateri mengharapkan saran yang berisifat
membangun agar kami dapat memperbaikinya ke depannya nanti. Semoga apa
yang telah pemateri sajikan tadi dapat diambil intisarinya, dan dapat kita amalkan
pada kehidupan sehari-hari.
12
DAFTAR PUSTAKA
DEPDIKNAS.
13