Anda di halaman 1dari 7

BAB II

SEJARAH KELAHIRAN NU

A. Pondok Pesantren
Secara harfiyah pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang mendapat
awalan “pe” dan akhiran “an” sehingga berbunyi “pesantrian” yang berarti tempat
tinggal santri. Sedang menurut istilah yang dimaksud dengan pesantren adalah:
“Lembaga pendidikan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkam ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari. Dengan demikian diketahui bahwa pesantren didirikan
dengan tujuan utama “tafaqquh fiddin” (mendalami ilmu-ilmu agama).
Tidak diketahui secara persis kapan untuk kapan pertama kalinya muncul istilah
pesantren sebagai lembaga pendidikan islam di Indonesia. Namun diperkirakan bahwa
pesantren telah ada abad ke-15M dan yang dianggap sebagai pendiri pesantren
pertama adalah Maulana Malik Ibrahim.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki lima
elemen dasar , yaitu;
1. Kiai; Dalam dunia pesantren, kiai adalah sosok yang memiliki beragam peran, dari
peran sebagai pengelola, pengawas, pengendali, hingga peran sebagi pembimbing
utama jalannnya kemajuan dan pengembangan pesantren. Disamping itu, kiai
dipandang sebagai figur sentral yang segala ucapan, perbuatan dan tingkah lakunya
dijadikan sebagai soko guru umat. Dalam sistem kepimimpinan pesantren, kiai
merupakan tokoh utama, sekaligus penentu maju mundurnya pesantrenyang
dipimpinnya.
2. Santri, adalah; para siswa yang mengikuti kegiatan pendidikan secara teratur di
pesantren. Pada umunya santri berkeinginan mempelajari ajaran Islam secara
mendalam di bawah bimbingan kiai. Mereka dikenal berpola hidup sederhana,
hormat dan tawadlu kepada kiai. Santri dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang berdatangan dari
tempat- tempat yang jauh yang tidak memungkinkannya utuk pulanh-balik dari
rumah ke pesantren. Maka dia memilih untuk bertempat tinggal di pesantren
(mondok) untuk jangka waktu yang tidak ditentukan oleh ukuran tahun, tetapi
berdasarkan kitab yang dibaca dan dipelajarinya. Sedangkan santri kalong adalah
santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren yang mengikuti pendidikan dengan
cara pulang pergi antara rumah dengan pesantren.
3. Asrama; Di pesantren asrama memiliki fungsi ganda, yakni sebagai tempat hunia
para santri sekaligus tempat belajar. Kedua fungsi ini merupakan sifat dasar
pesantren yang menekankan pendidikan agama dan kehidupan bersama (kolektif)
dalam satu kelompok belajar dan berdampingan secara seimbang. Kehidupan
kolektif ini ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara santri dengan kiai
yang hidup dalam satu komplek yang asrama, dimana para santri menganggap kiai
adalah orang tuanya sendiri.
4. Masjid: Di pesantren masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan aktivitas belajar-
mengajar. Gabungan kedua fungsi ini meniscayakan penetapan waktu belajar-
mengajar di pesantren yang selalu dikaitkan dengan waktu shalat, misalnya
pengajian sesudah shalat Shubuh, sesudah shalat Ashar dan sesudah shalat Magrib.
Di samping itu para santri juga menfungsikan masjid sebagai tempat muthala’ah
(membaca ulang dan menghafal) pelajaran, dan bahkan sebagian santri ada yang
memilih tidur di masjid pada malam hari.
5. Pembelajaran kitab salaf: Oleh masyarakat pesantren (kiai, ustadz, para santri) kitab
salaf dipandang sebagai alasan pokok munculnya pesantren. Oleh sebab itu, dalam
tradisi pesantren kualitas pengetahuan seseorang ditentukan berdasarkan jumlah
kitab yang telah pernah dipelajarinya dan kepada kiai mana ia mengaji. Biasanya
pembelajaran kitab kuning dimulai dari kitab kecil (mabsuthat) yang berisi teks
ringkas dan sederhana, baru kemudian dilanjutkan dengan “kitab sedang”
(mutawassithat). Dilihat dari kandungan ilmu yang dipelari, kitab-kitab yang menjadi
bahan ajar meliputi; Nahwu, Sharaf, fiqih, ushul fiqih, hadis nabi, tafsir al-Qur’an,
akidah, akhlaq dan beberapa kitab tentang sejarah islam. Akan tetapi, tidak semua
pesantren seragam dalam menentukan bidang ilmu (fan) yang diajarkan. Beberapa
pesantren menentukan fokus kajian sebagai karakteristik (kekhususan)nya sesuai
bidang ilmu (fan) yang ditentukan oleh kiai pendirinya, dan keadaan masyarakat
sekitarnya. Hal di maksudkan untuk memudahkan para santri yang berkeinginan
mendalami secara khusus satu fan (cabang ilmu) untuk memilih pesantren tertentu
sesuai bidang yang diminati. Pesantren ini biasa dikenal dengan “pesantren
takhassus”, yakni pesantren yang menekuni cabang-cabamg ilmu tertentu, seperti;
takhassus ilmu alat (nahwu, sharaf, bayan, badi’ dan lain-lain), ilmu fiqih/ushul fiqih,
ilmu qiratul Qur’an, ilmu tafsir/hadis, ilmu tasawuf dn lain-lain. Dalam proses
pembelajarannya, di pesantren dikenal metode pembelajaran yang menjadi ciri
khasnya dan telah berkembang dalam kurun waktu yang lama, yaitu;
(a). Metode sorogan, yaitu; belajar secara individual atau keolompok kecil, dimana
santri berhadapan dengan seorang guru dan terjadi hubungan saling mengenal di
antara keduanya. Proses pembelejaran dilakukan seorang demi seorang dan ada
kesempatan tanya jawab anatara santri dengan kiai.
(b). Metode bandongan, yaitu metode belajar dengan ceramah yang diikuti sejumlah
besar santri. Metode ini juga dikenal dengan istilah “wetonan” (Jawa = waktu),
karena pembelajaran kitab dilakukan pada waktu- waktu tertentu yaiti sebelum atau
sesudah jamaah shalat fardlu.
(c). Metode halaqah, yaitu; metode belajar dengan mendiskusikan isi kitab untuk
memperdalam pemahaman. Metode halaqah biasanya diperuntukkan bagi santri
senior dan ustadz dalam kelas musyawarah.

Selain kelima elemen dasar pesantren terurai di atas, sistem pendidikan pesantren telah
melahirkan lima tata nilai utama yang membedakannhya dengan sistem pendidikan lainnya,
yang biasa dikenal dengan “Panca Jiwa Pesantren”, yaitu:

1. Jiwa keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan- tujuan bersama (kolektif) yang
tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu, tetapi semata –mata
demi ibadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan ini terbentuk oleh suatu pandangan bahwa
kehidupan ini secara keseluruhan sebagai kerja peribaatan (al-hayatu kulluha ibadah).
Pandangan hidup “sarwa hidup” inilah yang membentuk suatu keyakinan bahwa
peruatan baik pasti di balas oleh Allah dengan balasan yang baik atau bahkan mungkin
lebih baik.
2. Jiwa kesederhanaan tetapi agung. Maksudnya, jiwa kesederhanaan yang mengandung
unsur kekuatan dan ketabahan hati, serta pengusaan diri dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Di balik jiwa kesederhanaan itu terkandung jiwa yang besar, yang berani
menghadapi segala permasalahan kehidupan, tuntutan dan perkembangan zaman.
3. Jiwa persaudaraan (ukhuwah) sebagai perwujudan dari suasana kehidupan sehari-hari
yang akrab baik antara santri dengan kiai dan ustadz, maupun antara sesama santri.
Perbedaan suku, bahasa, adat-istiadat, kekayaan tidak menjadi penghalang dalam
jalinan persaudaraan di antara semua penghuni pesantren yang didasari oleh keluhuran
nilai-nilai ajaran islam.
4. Jiwa kemandirian yang tidak terbatas pada kemampuan mengurus persoalan-persoalan
pribadi, tetapi lebih jauh kesanggupan dalam membentuk kemandirian pesantren yang
tidak suka menggantungkan diri pada bantuan dan belas kasihan ajaran islam.
5. Jiwa bebas dalam memilih jalan hidup dan menentukan masa depan dengan sikap yang
optimis menghadapi segala problematika kehidupan berdasarkan nilai-nilai ajaran islam.
Karakteristik yang dimilkii oleh pondok pesantren sebagaimana terurai di atas menjadi
pedoman dasar sekaligus sikap dan perilaku para ulama pesantren dan pengikutnya
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bidang agama maupun kemasyarakatan yang
kemudian diejawantahkan dala organisasi Nahdlatul Ulama sebagi wadah perjuangan
dan pengabdian para ulama pesantren dan pengikutnya.
B. Hubungan antara Pesantren dengan NU
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang berperan sebagai pusat penyebaran
sekaligus pendalaman agama Islam bagi pemeluknya secarar lebih terarah. Dari
pesantren inilah lahir suatu lapisan masyarakat dengan tingkat pemahaman ajaran Islam
yang utuh.
Hubungan antara Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren itu ibarat ikan dan air.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Apabila menyebut NU kita mesti ingat pondok
pesantren dan demikian pula sebaliknya.
Mengapa demikian?
Karena pesantren adalah induk yang melahirkan Nahdlatul Ulama. Bahkan sering
dikatakan bahwa pesantren adalah “NU kecil” yang menjadi basis kekuatan “NU Besar”
(NU Jamiyah). Artinya, Kiai, ustadz, santri dan berbagi unsur lain dalam pesantren
merupakan penentu kekukuhan dan kekokohan NU sepanjang sejarah. Pesantren adalah
rumah NU yang sejak awal didirikan dimaksudkan sebagi wadah perjuangan para ulama
dan pengikutnya untuk membina syiar Islam dan membangun kehidupan yang Islami.
Karena itu wajar jika dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama itu adalah organisasinya
masyarakat pesantren.
Hubungan antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren setidaknya dapat
dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Kesamaan tujuan yaitu melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang
merupakan materi pokok pengajaran agama di pondok pesantren. Bahkan pesantren
diakui sebagai benteng pertahanan Islam ahlussnnah wal Jama’ah melalui kegiatan
pembelajaran kitab-kitab salaf, baik akidah, fiqih maupun tasawwuf yang ditulis oleh
para ulama madzab, terutama madzhab syafi’i yang merupakan tujuan pokok
berdirinya Nahdlatul Ulama, yaitu; memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan
mengamalkan ajaran islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan
menganut salah satu madzhab empat.
2. Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama pesantren yang sebelumnya sudah
memiliki kesamaan-kesamaan dalam wawasan keagamaan yang meliputi
pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengalaman ajaran
Islam, bahkan sampai kepada tingkah laku sehari-hari. Kesamaan-kesamaan tersebut
menjadi salah satu pendorong didirikan Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan
para ulama pondok pesantren dan pengikutnya, serta mempersatukan langkah para
ulama pondok pesantren di dalam mengembangkan tugas pengabdiannya dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan meciptakan kemashlahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia, baik
melalui kegiatan dibidang agama, pendidikan, ekonomi, maupun persoalan-
persoalan kemasyrakatan lainnya. Dengan demikian dapt disimpulkan bahwa
pesantren merupakan embrio bagi kelahiran Nahdlatul Ulama.
3. Pola kepemimpinan dalam Nahdlatul Ulama sama dengan pola kepemimpinan di
pondok pesantren yang terpusat pada kiai. Jika di pondok pesantren kiai memiliki
kedududukan sangat menentukan, maka di dalam Nahdlatul Ulama dikenal
pengurus Syuriyah yang terdiri dari para kiai/ulama selaku pimpinan tertinggi.
Penempatan kiai/ulama dalam posisi tertinggi dalam kepemimpinan Nahdlatul
Ulama, karena mereka adlah mata rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah wal
Jama’ah. Bagi pesantren maupun Nahdlatul Ulama, para kiai/ulama dipahami
sebagai tokoh yang paling kuat dan dapat dipertanggung jawabkan jiwa, mental,
ilmu, amal dan akhlak keagamaannya.
4. Pengaruh yang dimiliki oleh para kiai pengasuh pondok pesantren dilingkungan
masyarakatnya juga menjadi kekuatan pendukung bagi Nahdlatul Ulama. Basis
massa (anggota) yang dikenal dengan sebutan “kaum santri” menjadi salah satu
pilar penyangga kekuatan Nahdlatul Ulama. Dikatakan demikian karena para santri
berada dibawah bimbingan para ulama pesantren yang mendirikan Nahdlatul
Ulama, sehingga dengan mudah dan cepat masuk menjadi anggoata Nahdlatul
Ulama. Perlu diketahui bahwa hubungan antara seorang ulama dengan santrinya
tidak terputus dengan selesainya proses belajar-mengajar di pesantren. Hubungan
batin dan silaturrahim antara ulama dengan santrinya berlangsung terus, bahkan
hubungan ini terjalin juga antara keluarga kiai dengan keluarga santrinya. Hubungan
yang bersifat maknawi ini lebih bermakna dari pada hubungan formal
keorganisasian, sehingga seorang kiai/ulam Nahdlatul Ulama bukan saja kiainya
warga NU, tetapi juga kiainya masyarakat.
C. Kelahiran NU dan tokoh pendirinya
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang berperan
sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Islam sekaligus pendalaman agama bagi
pemeluknya secara terarah. Pengajaran di pondok pesantren yang bersumber pada
kitab-kitab salaf merupakan media pelestarian dan pengalaman ajaran agama Islam
Ahlussunnah wal Jama’ah. Pemikiran para ulama bermadzhab dipelajari, dipraktikan dan
dilestarikan sehingga menjadi amaliyah yang berurat dan berakar dalam masyarakat.
Dari sinilah lahir suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman
ajaran Islam yang utuh dan benar.
Pada permulaan abad ke-19 Masehi muncul gerakan yang mengaku sebagai
pembaruan Islam di Minangkabau, Sumatra Barat yang dipimpin oleh Haji miskin dan
kawan-kawan sekembalinya dari Makkah. Gerakan mereka serupan dengan aliran
wahabi yang berkembang di Saudi Arabia. Dalam mengenalakan gagasan
pembaruannya, mereka menerapkan jalan kekerasan sehingga menyebabkan terjadi
perang saudara yang dikenal dengan sebutan “perang padri”.
Gerakan pembaruan ini terus berkembang dengan membawa semboyan
pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah dan khurafat. Mereka mengecam
menganut madzhab dan menentang amaliyah-amaliyah keagamaan, seperti ziarah
kubur, tahlilan, berkirim doa kepada orang yang meninggal dunia dan membaca shalwat
Nabi. Mereka tidak segan-segan membicarakan masalah-masalah khilafiyah yang
sebenarnya sangat merugikan persaudaraan antara sesama muslim.
Sementara itu pada tahun 1924 terjadi peribahan politik di Saudi Arabia. Abdul Azis
bin Saud, pengikut aliran Wahabi berhasil merebut kekuasaan dari Syarif Husen di kota
suci Makkah. Peristiwa ini selain menandai terjadinya perubahan politik, juga
pergeseran dalam aspek keagamaan, karena sejak itu aliran Wahabi menjadi faham
keagamaan yang resmi pada kerajaan Saudi Arabia.
Perubahan tersebut sangat berpengaruh di Indonesia, sehingga kelompok
pembaru merasa mendapat siraman semangat baru untuk lebih gencar mendebatkan
masalah-masalah khilafiyah. Mereka sadar bahwa hal itu akan merusak ukhuwah
Islamiyah. Akan tetapi, hanya dengan cara itulah mereka dapat menunjukan jati dirinya
di tengah-tengah masyarakat.
Inilah yang kurang dapat diterima oleh para ulama pesantren. Bagi mereka di saat-
saat penjajahan Belanda harus dihadapi dengan kekuatan bersama., persatuan dan
persaudaraan umat Islam lebih penting dari pada mendebatkan masalah-masalah
khilafiyah yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Karena itu, bagi yang suka terhadap
suatu hukum tertentu disilahkan mengamalkannya dan bagi yang tidak suka harus
menghormatinya. Antara kedua belah pihak tidak perlu saling mencela atau mencaci,
karena yang diperdebatkan hanyalah masalah-masalah cabang (furu’) yang tidak akan
mengurangi kemurnian pengamalan ajaran agama.
Seruan para ulama pesantren untuk mempererat persaudaraan dan menghentikan
pedebatan masalah khilafiyah itu tidak memperoleh tanggapan positif dari kelompok
pembaru. Ketegangan antara kedua belah pihakpun sulit dihindari, terutama setelah
Raja Ibnu Saud mengundang umat Islam untuk menghadiri Muktamar Dunia Islam di
Makkah. Untuk keperluan tersebut pada bulan Agustus 1925 diadakan konggres al-Islam
ke-4 di Yogyakarta dan pada bulan Pebruari 1926 diselnggrakan kongres Al Islam di
Bandung. Kedua kongres itu dikuasai oleh kelompok Islam modernis, dan bahkan
sebelum kongres Bandung mereka telah mengadakan pertemuan terbatas di Cianjur
yang salah satu keputusannya menetapkan delegasi yang akan dikirim, yaitu:
Cokroaminoto (sarikat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Kongres Bandung
hanya dimaksudkan untuk mengesahkan keputusan Cianjur tersebut.
Karena kongres Bandung tidak melibatkan unsur ulama pesantren sebagai utusan,
maka melalui KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai juru bicaranya mengusulkan agar
penguasa baru di Saudi Arabia tetap menghormati amaliyah keagamaan dan
pelaksanaan ajaran madzhab empat yang dianut oleh masyarakat setempat. Usulan
inipun ditolak oleh kelompok pembaru dan bahkan mereka sepakat mendukung
pelaksanaan paham Wahabi di Hijaz.
Menghadapi sikap keras kelompok pembaru tersebut, para ulama pesantren
sepakat membentuk panitia khusus guna memperjuangkan aspirasi mereka
memertahankan berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Hijaz (Makkah-
Madinah). Sesudah persiapan matang, maka pada tanggal 14 Rajab 1344 H bertepatan
dengan tanggal 31 Januari 1926 M atas izin KH. Hasyim Asya’ri, diadakan pertemuan di
rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah, Jalan Kertopaten Surabaya.
Dalam pertemuan tersebut disepakati dua keputusan penting, sebagai berikut:
Pertama : Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja sampai
delegasi yang diutus menemui Raja Ibnu Saud kembali ke tanah air.
Kedua : Membentuk jamiyah (organisasi) sebagai wadah persatuan ulama dalam
tugasnya sebagai pemimpin umat yang diberi nama “Nahdlatul Ulama”
artinya “Kebangkitan Ulama”.
Tentang Komite Hijaz disepakati untuk mengirim delegasi di luar Komite Khilafat
yang terdiri dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ghanaim Al-Misri. Delegasi ini
diberi tugas untuk mengadap langsung kepada Raja Ibnu Saud menyampaikan
permohonan agar diberlakukannya kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz pada salah
satu dari madzhab empat dan tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah bagi para
jamaah haji.
Delegasi Komite Hijaz diterima olh Raja Ibnu Saud pada tanggal 13 Juni 1928.
Dalam pertemuan tersebut Raja memberi tanggapan sangat positif terhadap tuntutan
yang disampaikan. Raja juga memberi jawaban tertulis kepada pengurus Besar
Nahdlatul Ulama dengan Nomor: 2082 Tanggal 24 Dzulhijjah1346 H. Dalam surat tersbut
Raja Ibnu saud menegaskan bahwa tidak ada larangan bagi jamaah haji melaksanakan
amaliyah keagamaan di Baitullah Al Haram dan setiap orang diberi kebebasan mengikuti
madzhabnya masing-masing.
Dari uraian tersbut jelas bahwa pembentukan Komite Hijaz yang telah
memperoleh hasil gemilang dalam perjuangannya itu merupakan satu paket dengan
kelahiran Nahdlatul Ulama. Mereka yang duduk dalam Komite Hiijaz adalah para
ulamayang mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama. Tujuan yang diperjuangkannya
merupakan inti dari tujuan kelahiran NU yaitu terwujudnya masyarakat Islam
berdasrkan faham Ahssunnah wal Jama’ah.5

Anda mungkin juga menyukai

  • Proposal
    Proposal
    Dokumen27 halaman
    Proposal
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat
  • Aswaja Juwita
    Aswaja Juwita
    Dokumen5 halaman
    Aswaja Juwita
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat
  • Aswaja Juwita 2
    Aswaja Juwita 2
    Dokumen6 halaman
    Aswaja Juwita 2
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat
  • Modul Aswaja
    Modul Aswaja
    Dokumen41 halaman
    Modul Aswaja
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen15 halaman
    Bab I
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat
  • Soal Cerdas Cermat
    Soal Cerdas Cermat
    Dokumen2 halaman
    Soal Cerdas Cermat
    lksa tarbiyatululum
    Belum ada peringkat