Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN

“PERAN PEMIMPIN DALAM MENGELOLA KONFLIK DALAM


ORGANISASI KEPERAWATAN”

Dosen Pembimbing :

Drs. H. Lamri, M. Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Monica Octalyna S (P07220119080)


Cahya Ningrum (P07220119064)
Muh. Dhiva Pramana (P07220119029)
Cecirius Agil W (P07220119065)
Ervina Najiah Nur A (P07220119013) Rifa Diya Noor S (P07220119037)

Helmaliya Nurul S (P07220119018) Setry Palimbunga (P07220119093)

Iis Ariska Saraswati (P07220119019) Syafira Haniff P (P07220119048)

Mery Nur Fadilah (P07220119079) Tazkia Nadifa (P07220119094)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN SAMARINDA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kesehatan dari-Nya kami
dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Penyusun mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata Kepemimpinan Dan Manajemen
Keperawatan berjudul " Peran Pemimpin Dalam Mengelola Konflik Dalam Organisasi
Keperawatan ".

Dalam proses pendalaman materi ini tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan,
dan pengetahuan, untuk itu kami haturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
Bapak Drs. H. Lamri, M. Kes beserta rekan-rekan yang telah membantu untuk menyelesaikan
makalah ini.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Samarinda, 03 Maret 2022

Penyusun

Kelompok 8
Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
Bab 2 Tinjauan Pustaka

1. Peran Dan Fungsi Manajemen Keperawatan

A. Definisi

B. Teori Kepemimpinan

C. Gaya Kepemimpinan

D. Peran Kepemimpinan
2. Strategi Penyelesaian Konflik

A. Definisi Konflik

B. Sumber Konflik

C. Jenis-jenis Konflik

D. Manifestasi Konflik

3. Pengaruh Kepemimpinan Dalam Manajemen Keperawatan


Bab 3 Penutup

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kenyataan sehari-hari, peran pemimpin tidak pernah lepas dari

pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi, mulai dari fungsi-fungsi

manajemen dalam organisasi, mulai dari organisasi Planning termasuk budgeting,

Organizing, Staffing, Actuating or Leadership, Coordinating dan Controlling atau

Evaluation. Akan tetapi, setiap perjalanan operasional suatu organisasi akan

menemui kendala atau masalah akibat dinamika lingkungan Internal dan Eksternal

organisasi. Untuk menyiasati situasi dan kondisi tersebut maka diperlukan seni

memimpin yang cerdas untuk mencapai efektivitas kepemimpinan.

Kepemimpinan yang efektif bagi pemimpin dalam melaksanakan peran

pengendalian organisasi memiliki kontribusi besar bagi keberhasilan orang-orang

yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Axelrod (2003:99-100) mengemukakan bahwa manager (pemimpin) yang

efektif harus bermain dalam wilayah kekuatannya, dimana Pemimpin tersebut

harus mengerjakan sebanyak mungkin bisnis di wilayah dan pasar dimana ia

mempunyai pengalaman terbanyak dan sumber daya paling intensif. Sehingga

pemimpin harus mengendalikan situasi dan kondisi pada bidang atau wilayah

organisasi yang dipimpinnya

Manajemen pelayanan keperawatan sebagai sub sistem manajemen rumah

sakit harus memperoleh tempat dan perhatian sama dengan manajemen lainnya,

sehingga rumah sakit dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.Lingkup

manajemen operasional dan manajemen asuhan keperawatan yaitu merencanakan,


mengorganisir, mengarahkan, dan mengawasi sumber daya keperawatan. Fungsi-

fungsi manajemen keperawatan adalah perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, pengawasan, yang harus dilakukan oleh manajer dalam bentuk

supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh manajer keperawatan secara baik dan

terus menerus dapat memastikan pemberian asuhan keperawatan sesuai dengan

standar praktek keperawatan ( Depkes RI, 1994). Dengan supervisi kepala

ruangan sebagai manajer dapat mempengaruhi kinerja perawat pelaksana.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja Peran dan Fungsi Pemimpin ?

2. Bagaimana Strategi Penyelesaian Konflik secara Kompromi/negosiasi,

Akomodasi, Kompetisi, dll ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa saja peran dan fungsi pemimpin.

2. Untuk mengetahui bagaimana strategi penyelesaian konflik secara

kompromi/negosiasi, akomodasi, kompetisi, dll.


BAB 2

TINJAUAN PUATAKA

1. Peran dan Fungsi Manajemen Keperawatan

A. Definisi

Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang untuk

bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston, 2012).

B. Teori Kepemimpinan

Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu:

a) The Great Man Theory

The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati sudah

mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang pemimpin harus memiliki

karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Russel, 2011).

b) Trait Theories

Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini

menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu memberikan

kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin. Teori ini menekankan

bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri umum dan karakteristik yang membuat

mereka sukses (Russel, 2011).

c) Contingency Theories

Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar

karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti situasi, kualitas para

pengikut atau sejumlah variabel lainnya. Dalam teori ini tidak ada satu cara yang

tepat untuk memimpin karena faktor internal dan eksternal dari lingkungan

memerlukan pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi tertentu (Fiedler, 1967 cit
Waworuntu, 2003).

d) Situasional Theories

Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori ini

menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya kepemimpinan yang

baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh pemimpin, kelompok yang

dipimpin dan kinerja yang baik (Russel, 2011)

e) Behavioral Theories

Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory, Behavioral Theories

menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar karena dibuat, tidak

dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan atau ciri-ciri prilaku para pemimpin.

Pemimpin dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif melalui pengamatan,

pengalaman dan pembelajaran (Waworuntu, 2003).

f) Participative Theories

Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik

mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis

kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap bawahan dengan

maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif aktif dalam organisasi.

Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat dalam suatu pekerjaan, maka akan

meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara kerja dalam organisasi dan

membantu mereka untuk memahami bagaimana proses pengambilan keputusan

oleh pemimpin. Jenis kepemimpinan ini dapat mengakibatkan konsekuensi

negatif jika pemimpin sering meminta pendapat kepada bawahan kemudian

mengabaikan masukan dari bawahan (Russel, 2011) .


g) Management Theories

Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan bahwa

kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward and punisment.

Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemen perusahaan atau institusi di

mana karyawan diberikan reward berupa bonus/insentif dan cuti ketika kinerja

mereka dianggap baik oleh atasan dan diberi punishment berupa teguran,

penggantian jam kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di bawah ekspektasi

(Zagorsek at all, 2009).

h) Relationship theories

Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa

pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga dapat

meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008). Pemimpin harus

memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan membantu mereka untuk

memahami pentingnya tugas atau tujuan yang akan dicapai. Pemimpin dalam

model teoritis ini biasanya memiliki standar etika dan moral yang tinggi dan

berusaha untuk memastikan organisasi, kelompok dan keberhasilan individu

(Buckley & Brown, 2005)

C. Gaya Kepemimpinan

Beberapa gaya kepemimpinan menurut beberapa para ahli adalah:

a) Autocratic leadership

Kepemimpinan otokratis adalah bentuk paling ekstrim dari kepemimpinan

transaksional. Pemimpin memiliki kontrol mutlak dan tidak membiarkan bawahan

untuk memberikan masukan. Namun, jenis kepemimpinan ini dapat menjadi


efektif bila tenaga kerja tidak terampil atau dalam situasi stres yang tinggi dan

perlu dilakukan tindakan cepat.

Beberapa karakteristik autocratic leadership, yaitu:

1) Atasan memiliki kontrol mutlak

2) Bawahan bekerja karena adanya paksaan

3) Bawahan bekerja harus sesuai perintah atasan

4) Komunikasi dari atas ke bawah

5) Pengambilan keputusan tidak melibatkan bawahan

6) Penekanan pada perbedaan status “saya” dan “kamu”

7) Kritik bersifat destruktif

b) Democratic/participative leadership

Kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin mendorong

partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan.

Kepemimpinan jenis ini memotivasi bawahan untuk bekerja lebih keras agar

mereka benar-benar merasa memiliki. Pemimpin masih membuat keputusan akhir

tapi semua orang terlibat dalam brainstorming dan diskusi. Jenis kepemimpinan

bekerja sangat baik ketika fokusnya adalah kualitas, bukan kuantitas atau

kecepatan. Bawahan harus mampu mengkomunikasikan ide-ide atau pendapat

mereka secara efektif sehingga pemimpin memahami dan dapat menggunakan

input bawahan untuk membantu menyelesaikan tugas.

Beberapa karakteristik democratic leadership, yaitu:

1) Kontrol kurang dipertahankan

2) Reward diberikan untuk memotivasi bawahan

3) Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk

4) Komunikasi ke atas dan ke bawah


5) Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama

6) Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”

7) Kritik bersifat konstruktif

c) Laissez faire leadership

Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua tanggung jawab

untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada bawahan. Atasan memberikan

bimbingan, melakukan monitoring dan memberikan bahan kepada bawahan untuk

dapat mengembangkan program dan akhirnya membuat keputusan. Jenis

kepemimpinan ini dapat diterapkan dengan efektif jika bawahan mempunyai

pengetahuan dan pengalaman.

Beberapa karakteristik laissez-faire leadership:

1) Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol

2) Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari kelompok atau

individu

3) Memberikan sedikit atau tanpa arahan

4) Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota kelompok

5) Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok

6) Penekanan pada kelompok

7) Tidak ada kritik

D. Peran Kepemimpinan

Menurut Mulyadi, dkk (2013) ada beberapa peran dari kepemimpinan yaitu:

a) Peran Interpersonal (The Interpersonal Roles)

Peran interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :


1) Simbol Organisasi (Figurehead)

Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat resmi, seperti menjamu makan

siang pelanggan.

2) Pemimpin (Leader)

Seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan

mendorong karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.

3) Penghubung (Liaison)

Seorang pemimpin berperan sebagai penghubung dengan orang diluar

organisasinya dan penghubung antara manajer dalam berbagai level dengan

bawahannya.

b) Peran Informasional (The Informational Roles)

Peran informasional terbagi menjadi 3, yaitu:

1) Pengawas (Monitor)

Pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara kontinyu

terhadap lingkungannya untuk mendapatkan informasi yang valid, yakni terhadap

bawahan, atasan, dan selalu menjalin hubungan dengan pihak luar.

2) Penyebar (Disseminator)

Pemimpin juga harus mampu menyebarkan informasi kepada pihak-pihak

yang memerlukannya.

3) Juru Bicara (Spokesperson)

Pemimpin berperan untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.


c) Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)

1) Pengusaha (Entrepreneurial)

Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif dalam mengembangkan suatu proyek

dan menyusun sumberdaya yang dibutuhkan.

2) Penghalau Gangguan (Disturbance Handler)

Pemimpin harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan situasi.

3) Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator)

Pemimpin harus dapat mendistribusikan sumber dana ke bagian- bagian dari

organisasinya yang aling membutuhkan baik berupa uang, waktu, perbekalan,

tenaga kerja dan reputasi.

4) Pelaku Negosiasi (Negotiator)

Pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap tingkatan, baik

dengan bawahan, atasan maupun pihak luar.

2. Strategi Penyelesaian Konflik

A. Definisi Konflik

Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-

nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel

dkk, 2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi

ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.

B. Sumber Konflik

Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1)

perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan,

perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan,


keyakinan, dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena

perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.

Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang

melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai

sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan

variabel pribadi.

a) Komunikasi

Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan

kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik.

Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran

informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan

penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya

konflik.

b) Struktur

Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:

ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,

kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan

tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat

ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran

kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya

konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka

semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.


c) Variabel Pribadi

Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:

sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang

menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan

individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,

misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,

merupakan sumber konflik yang potensial.

C. Jenis-Jenis Konflik

Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik

intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar

kelompok.

a) Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan

ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik

yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran.

Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas

terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada

pasien.

b) Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan, dan

keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan

berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai

contoh seorang manajer sering mengalami konflik dengan teman sesame manajer,

atasan, dan bawahannya.


c) Konflik Intra kelompok

Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja berbeda

dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan rencana

tindakan perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat lainnya

dalam satu tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut.

d) Konflik Antar Kelompok

Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai

tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai

kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.

D. Manajemen Konflik

a) Definisi Manajemen Konflik

Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau

pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah penyelesaian yang

konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).

b) Gaya Penyelesaian Konflik

Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan penyelesaian

konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim,

2002). Yang dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah individu yang

terlibat, apakah konflik mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok,

atau antar kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya

penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan untuk

menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan

masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others) dan pemecahan
masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua

variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:

integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

1) Integrating (Problem Solving)

Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah (problem

solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam

suatu masalah. Dalam gaya ini pihak- pihak yang berkepentingan secara bersama-

sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian

mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.

Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah

paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang

terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah

memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah (Rahim, 2002).

Langkah-langkah untuk mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan

berdiskusi, dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan

individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif

dengan mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang,

meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-masing,

membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi pendengar

yang baik. Setuju terhadap solusi yang menyeimbangkan kekuatan dan

memuaskan semua pihak sehingga dicapai “win-win solution”.

2) Obliging (Smoothing)

Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya

untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut

smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan


menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang

terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya

kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh

masalah pokok yang ingin dipecahkan.

3) Dominating (Forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap

kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya

menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena

menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok

digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam

penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus

mengambil keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat

untuk menangani masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang

terlibat dan juga tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan

utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau

rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

4) Avoiding

Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah

yang sederhana, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh

lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk

menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat

pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung

jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari

strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan


atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian

masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

5) Compromising

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang

memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan

pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-

pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang

melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan

yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang

demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian

konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam

penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005),

gaya ini merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh perawat dalam

menyelesaikan konflik yang terjadi.

Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik

c) Proses Manajemen Konflik


Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan

evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan suatu

intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen konflik menurut Rahim

(2002):

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-data

antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik,

kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat

dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses

identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data-

data yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi resolusi

konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya

manajemen konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating,

avoiding, dan compromising).

Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi

intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi,

litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses dan

struktural. Proses yang dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus

mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi


mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga

penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin

dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau

organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang

(Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat merubah pola kepemimpinan

seseorang dan budaya dalam menyelesaikan konflik.

Dengan demikian organisasi atau individu akan memperoleh keterampilan

baru dalam penanganan konflik. Selain itu, intervensi juga diharapkan dapat

memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan

diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk menyelesaikan

konflik berdasarkan berbagai sudut pandang individu yang terlibat di dalamnya

menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses

kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,

dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap

perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan

masalahnya (Hendel, 2005). Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi

terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses

diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun konflik yang baru.

d) Outcome Resolusi Konflik

Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen konflik

antara lain:
1) Win-lose

Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan. Yang menduduki

porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit

mengalami kekalahan.

2) Lose-lose

Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik penyuapan,

memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk mengancam dapat

memuncullkan hasil resolusi ini.

3) Win-win

Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan manfaat dari

penyelesaian konflik

3. Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-

competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya suatu

konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam suatu konflik juga perlu

diidentifikasi karena merupakan sumber potensial terjadinya konflik, antara lain budaya,

gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007)

keragaman budaya yang tidak mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan

dampak destruktif pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan

koordinasi. Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu

konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu

menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and


Flanagan, 2007).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas

di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik

dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau

suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Menurut

Ayoko dan Hartel (2006) untuk meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga

harus mampu memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat

terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian

masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung

memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang lebih

menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis cenderung

memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung

memilih strategi avoiding (Rahim, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of Conflict Management, gender

juga memegang peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana

berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih strategi

avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group (transgender)

cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan

kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi compromising dan obliging.

Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana saat

berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan

adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi

bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam

model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI

(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,

diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam

memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,

nilainilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin

memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam

pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya

kepemimpinan seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan

konflik (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah

satu model penyelesaian konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),

yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan

diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi batasan

konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan identifikasi strategi

yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-

macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi,

mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan gaya

kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin dan

mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan proses

belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik

saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki

struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi,

hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses terakhir adalah

evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses diagnosis dan intervensi

yang telah dilakukan.


B. Saran

Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan

bagi profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk

dapat 32 menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi

penyelesaian konflik.
Daftar Pustaka

Utami, K. C. (2016). Manajemen Konflik. https://id.scribd.com/document/334356584/Peran-

Dan-Fungsi-Manajemen-Keperawatan. Diakses 03 Maret 2022.

Cahya Utami, Ns. Kadek. 2016. Manajemen Konflik. Ditelusuri secara online pada tanggal 3

Maret 2022 melalui

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/948d79fe6b7aeeecbe85d5f51

0b66c01.PDF

Anda mungkin juga menyukai