Pendahuluan
1. Latar Belakang
Salah satu cara menganalisis karya sastra eperti novel adalah dengan
teori Psikologi Sastra. Psikologi sastra meruoakan gabungan dari dua sub teori
yakni teori Psikologi dan Sastra. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
kejiwaan, karakter, kepribadian dari seseorang. Dalam teori Psikologi Sastra secara
umum membicarakan tentang kejiwaan manusia. Dapat dikategorikan secara umum
yakni kejiwaan manusia ataupun berdasarkan usia seseorang.
1. Rumusan masalah
Id
Pada bagian inti dari kepribadian yang sepenuhnya tidak disadari adalah
wilayah psikis yang disebut sebagai id, yaitu istilah yang diambil dari kata ganti
untuk”sesuatu” atau “itu” (the it), atau komponen yang tidak sepenuhnya diakui
oleh kepribadian. Id tidak punya kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya
untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Ini
dikarenakan satu-satunya fungsi id adalah untuk memperoleh kepuasan sehingga
kita menyebutnya dengan prinsip kesenangan (pleasure principle) (Waslam, 2015:
143).
Ego
Ego atau saya adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak
dengan realita. Ego berkembang dari id semasa bayi dan menjadi satu satunya
sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Ego dikendalikan oleh
prinsip kenyataan (reality principle), yang berusaha menggantikan prinsip
kesenangan milik id (Waslam, 2015: 144).
Superego
Dalam psikologi Freudian, superego atau saya yang lebih (abov-I),
mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh
prinsip-prinsip moralitas dan idealis (moralistic and idealistic principles) yang
berbeda dengan prinsip kesenangan dari id dan prinsip realitas dari ego. Superego
berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tidak punya sumber energinya sendiri.
Superego memiliki dua subsistem , suara hati (conscience) dan ego ideal. Freud
tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir
dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak
pantas da mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan
ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang
tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan (Waslam, 2015:
144).
Ego
Superego
2. Id
Aku menganggukkan kepala. “Tenang aja, nggak lama lagi aku akan ke
Lille, kok. Aku mengajukan beasiswa ke hamper semua universitas di
sana,” ceritaku sambil tertawa. “Dan, aku diterima di salah satunya.”
(Effendi, 2012: 80).
Analisis
3. Id
“Sudah lewat dua minggu sejak aku mengirimkan gelas milik Gema,
namun aku belum juga menerima cangkirku. Selama berhari-hari, aku
hanya bisa memandangi kertas pemesanan miliknya yang kuletakkan di
samping lampu meja” (Effendi, 2012: 115).
Ego
“Ah, tapi bukankah aku tak bersalah kalau menghubunginnya? Aku pun
menghampiri meja telepon yang ada di ruang keluarga, lalu menekan
sekian deret nomor itu” (Effendi, 2012: 115).
Analisis
Dari kutipan di atas dapat dianalisis bahwa suara hari pertama atau id
dari tokoh Tya mengatakan bahwa Tya harusnya menunggu saja hingga Gema
mengirim cangkir itu ke tempatnya. Akan tetapi ego dari Tya mengatakan
bahwa harusnya Tya menelepon karena jangka waktu sudah terlalu lama.
Hingga terlintas keputusan akhir yakni superego yang membuat Tya memilih
untuk akhirnya menelepon Gema agar segera mengirim cangkir itu ke
tempatnya.
D. Kesimpulan
E. Daftar Pustaka