Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FIQH WAKAF

Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh.

Disusun Oleh :

Muhammad Baharudin Arrifa’i (216111088)

Sulthona Imam Samudra (216111102)

Miftahulfallah (216111109)

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS ADAB DAN BAHASA

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

2022

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Daftar Isi ii

Kata Pengantar iii

BAB I Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Maksud dan Tujuan 2

1.3 Rumusan Masalah 2

BAB II Pembahasan

2.1 Sejarah Wakaf 3

2.2 Pengertian Wakaf 8

2.3 Hukum/Landasan Wakaf 9

2.4 Wakaf Produktif

2.4.1 Pengertian Wakaf Produktif 11

2.4.2 Macam-macam Wakaf Produktif 14

2.4.3 Wakaf Produktif di Indonesia 16

3.1 Kesimpulan 19

3.2 Saran 19

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT.penguasa sekaligus pengatur bumi dan
seisinya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW. Dimana
adalah panutan serta suri teladan bagi kita semua.

Atas izin Allah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isisnya yang sangat sederhana demi memenuhi tugas pada mata kuliah Fiqh.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata,
semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan kami sendiri khususnya

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keadilan adalah nilai yang abstrak, tetapi hakikatnya ia menuntut suatu tindakan dan
perbuatan yang konkrit dan positif. Pelaksanaan wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit
atas rasa keadilan sosial, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang
sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebaikan dan juga kesejahteraan
masyarakat. Si wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan
sebagai harta wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan
ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia yang sangat tinggi dari peraturan Allah Swt.

Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan


ekonomi pada saat ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat penting dan juga strategis.
Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga
merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial).
Oleh karenanya, pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan
dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan itu sangat penting dilakukan.

Sering kali pembahasan mengenai wakaf diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak
seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Namun
istilah wakaf uang belum begitu familiar di tengah masyarakat Indonesia, ini bisa dilihat dari
pemahaman masyarakat Indonesia yang memandang wakaf hanya sebatas pada pemberian
berbentuk barang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk
tempat ibadah, kuburan, pondok pesantren, rumah yatim piatu dan pendidikan semata.
Pemanfaatan benda wakaf masih berkisar pada hal- hal yang bersifat fisik, sehingga tidak
memberikan dampak ekonomi secara signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Banyaknya harta benda wakaf yang ada di masyarakat Indonesia belum mampu mengatasi
masalah kemiskinan. (BWI: 2010)

1
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penulis makalah ini adalah:

a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh tentang pemahaman fiqh wakaf serta tentang
wakaf produktif.
b. Untuk membahas fiqh wakaf dan apa saja yang berada di dalamnya, sehingga
pembaca pada umumnya dan khususnya penulis bisa lebih memahami tentang fiqh
wakaf.

1.3 Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah sejarah wakaf


b. Apakah pengertian dari wakaf itu sendiri
c. Apa saja unsur-unsur yang terkandung pada wakaf
d. Apa saja hukum yang melandasi wakaf
e. Apa wakaf produktif itu

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Perkembangan Wakaf

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan
setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang
di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk
dibangun masjid.1

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin
Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad
bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin
mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah; diantaranya adalah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
Syariat Wakaf adalah Umar bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar
berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum
mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah
SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat,
hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola

3
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi
makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab disusul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh
sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di
Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.
Mu'adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”.
Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua
orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang
fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa
untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah
menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun
setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah
keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara
umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-
Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik
dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana
lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali
dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu
juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga

4
wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan
kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-
Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan,


dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh
negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Salahuddin Al-Ayyubi memerintah
Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah sebelum
nya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat
di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik negara (baitul mal) kepada yayasan dan
sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh
seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya
bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil)
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada
dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik
negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk
pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah
mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian,
seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi'i di samping kuburan Imam Syafi’I dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-
Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari
Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan
kepada para ahli yurisprudensi (fuqaha’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana
bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab

5
Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi
modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah
yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga
apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran,
penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat waqaf hamba sahaya yang
diwakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali
oleh penguasa dinasti Usmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan
budaknya untuk merawat masjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti
wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan
miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah
dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja
Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah
Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima
tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam
roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski
tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut
berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk
dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan
undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab
Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori: Pendapat negara
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf
untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat
umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab.

6
Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk
merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani adalah peraturan tentang
pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280
Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara
pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya
realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari
implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang
berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa
kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari
waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah
diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu
kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak
atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan
dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk
wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat
ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

2.2 Pengertian Wakaf

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia
merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti
menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
7
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzur:
9/359).2

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas
materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah)
(al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.3

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif
dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk
tujuan kebajikan (Ibn al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan
artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya
terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
(walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak
dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-
Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang
atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat
serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini:
2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat
diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan
asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu
menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

8
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang
disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum.

2.3 Hukum/Landasan Wakaf

Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam
menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.

Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha
kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
(Q.S. al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di


jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki,
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang
diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah

9
telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang
kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta
petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan
menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia
bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di
Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari
padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda
Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.”
Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan.
Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak,
untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia
boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan
atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”4

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari
Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf),
ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf
sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat
menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang
senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa
awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim
Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan
Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-

10
undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut,
pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

2.5 Wakaf Produktif

2.5.1 Pengertian Wakaf Produktif

Pengertian menahan sesuatu dihubungkan dengan harta kekayaan, pada zaman


sekarang ini sering diperhitungkan dengan sejumlah uang yang bersimbul angka dan berlaku
secara sah dalam setiap negara. Kemudian pembayarannya dalam bentuk cash atau tunai dari
kekayaan yang dimiliki seseorang, itulah yang dimaksud dengan wakaf tunai.

Dasar syariah wakaf tunai memang tidak disebutkan langsung secara tegas dalam al
Qur' an, tetapi makna ayat berikut dapat dijadikan sandaran hukum wakaf yang di dalamnya
tentu termasuk wakaf tunai. Yaitu seperti firman Allah yang artinya:

‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ َۗو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم‬

“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. 3:92).

Sebagai catatan tafsir terhadap lafadz, "tunfiquu mimmaa tuhibbuuna" bahwa yang
dimaksudkan adalah menafkahkan harta milik yang dicintai dan cara menafkahkan tentu
menjadi bermacam-macam cara, seperti: melalui shadaqah. Termasuk didalamnya adalah
melalui cara wakaf, dan wakaf dapat lebih khusus lagi dengan cara yang selama ini belum
banyak dipraktekkan dan dikembangkan, yakni dengan mewakafkan uang secara tunai.

Sebagai dasar hukum sumber kedua yaitu as Sunnah, maka dapat disandarkan kepada
sabda Rasulullah Muhammad Saw. yang artinya sebagai berikut:
“Apabila anak Adam (manusia) itu meninggal dunia, putuslah seluruh amal perbuatannya
kecuali tiga perkara, yaitu: shadaqah jariyah yang pernah dibayarkan, ilmu yang dimiliki
dan bermanfaat kepada orang lain serta anak shaleh yang selalu memberikan do'a
kepadanya”. (HR. Muslim).

11
Sebagai penjelasan hadits di atas pada lafadz "shadaqah jaariyah" menjadi bermacam-
macam cara orang untuk melakukan shadaqah, termasuk di dalamnya dengan cara
menyisihkan harta untuk diwakafkan. (Sukandi : t.t.)

Mengenai dasar hukum ketiga yang dapat diambil dari ijtihad, hukum wakaf tunai
dapat difahami sebagai pengembangan pemikiran dari adanya ketetapan, bahwa wakaf
walaupun secara langsung tidak disebutkan dalam nash secara qath'i yakni dalam Al- Qur'an
dan as-Sunnah, namun tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama untuk mengamalkan
wakaf kecuali hanya khilafiah pada pengertian Dzat yang harus abadi atau tidak tentang harta
yang boleh diwakafkan. Wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan donasi wakaf dari
umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus
yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam
mulia, maupun benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif
inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan umat, seperti
pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.(Depag RI : 2008) Pada
dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan karena wakaf dapat memenuhi
tujuannya jika telah menghasilkan dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukannya (mauquf alaih). Orang yang pertama melakukan perwakafan adalah Umar bin
al Khaththab mewakafkan sebidang kebun yang subur di Khaybar. Kemudian kebun itu
dikelola dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat. Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif
dalam arti mendatangkan aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ironinya, di
Indonesia banyak pemahaman masyarakat yang mengasumsikan wakaf adalah lahan yang
tidak produktif bahkan mati yang perlu biaya dari masyarakat, seperti kuburan, masjid dan
lain-lain.

Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran
jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Stagnasi perkembangan wakaf di
Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi
Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru
pengelolaan wakaf uang untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut
menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan stagnasi perkembangan wakaf.
Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut
dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).

12
Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak,
tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan
perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nadzir sampai dengan pengelolaan harta
wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, Undang-Undang ini masih memerlukan
perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf
Uang yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf
Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nadzir wakaf. Setelah melalui proses
panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42/2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden
Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan
BWI periode 2007-2010.

Selain hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwanya tentang Wakaf
Uang pada tanggal 11 Mei 2002, yang menyatakan bahwa :
1. Wakaf Uang (Cash Waqf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat berharga,
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh);
4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan
secara syar’i;
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan
dan/atau diwariskan.

Munculnya Undang-undang Nomor 41 tentang wakaf adalah titik terang perwakafan di


Indonesia. Menurut undang-undang ini secara surat telah membagi harta benda wakaf kepada
benda wakaf bergerak dan tidak bergerak. Benda tidak bergerak meliputi tanah, bangunan,
tanaman, satuan rumah susun dan lain-lain. Sedangkan benda wakaf bergerak meliputi uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lain-
lain. (pasal 16). Adapun Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Jadi menurut undang-undang ini secara
tersirat arti produktif adalah pengelolaan harta wakaf sehingga dapat memproduksi sesuai
untuk mencapai tujuan wakaf, baik benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Wakaf

13
produktif yang dipelopori Badan Wakaf Indonesia adalah menciptakan aset wakaf yang
bernilai ekonomi, termasuk dicanangkannya Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 8 Januari 2010. Wakaf uang sebagai fungsi komoditi selain
fungsi nilai tukar, standar nilai, alat saving adalah untuk dikembangkan dan hasilnya
disalurkan untuk memenuhi peruntukannya (MUI : 2003).

2.5.2 Macam-macam Wakaf Produktif

1. Wakaf uang

Wakaf uang dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat
wakaf menjadi lebih produktif, karena uang disini tidak lagi dijadikan alat tukar menukar
saja. Wakaf uang dipandang dapat memunculkan suatu hasil yang lebih banyak.
Mazhab Hanafi dan Maliki mengemukakan tentang kebolehan wakaf uang, sebagaimana
yang disebut Al-Mawardi :
‫عن ابو ثوروى الشا فعى جوازوقفها اى الد نا فى والد رهم‬
“Abu Tsaur meriwayatkan dari imam syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”.
Dari Wahbah az-Zuhaily, dalam kitab Al-fiqh islamy wa adilatuhu menyebutkan bahwa
mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang karena uang yang menjadi modal usaha itu, dapat
bertahan lama dan banyak manfaatnya untuk kemaslahatan umat. (Al-Mawardi : 1994)
Bahkan MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf tunai sebagai berikut :

a) Wakaf uang (cash waqf / waqf al-Nuqut) Adalah wakaf yang dilakukan oleh sekelompok
atau seseorang maupun badan hukum yang berbentuk wakaf tunai.
b) Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c) Wakaf yang hukumnya jawaz (boleh).
d) Wakaf yang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara
syar‘i.
e) Nilai pokok wakaf yang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibah kan atau
diwariskan.

Selain fatwa MUI diatas, pemerintah melalui DPR juga telah mengesahkan undang-undang
no. 41 tahun 2004 tentang wakaf, yang didalamnya juga mengatur bolehnya wakaf berupa
uang.

14
2. Wakaf uang tunai

Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang
tidak dapat dipindah tangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak
mengurangi ataupun jumlah pokoknya.
Di Indonesia wakaf uang tunai relatif baru dikenal. Wakaf uang tunai adalah objek wakaf
selain tanah maupun bangunan yang merupakan harta tak bergerak. Wakaf dalam bentuk
uang tunai dibolehkan, dan dalam prakteknya sudah dilaksanakan oleh umat islam. Manfaat
wakaf uang tunai antara lain: Seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu.
Melalui wakaf uang, aset-aset berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan
sarana yang lebih produktif untuk kepentingan umat.
Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebahagian lembaga-lembaga pendidikan islam.

3. Sertifikat wakaf tunai

Sertifikat wakaf tunai adalah salah satu instrumen yang sangat potensial dan menjanjikan,
yang dapat dipakai untuk menghimpun dana umat dalam jumlah besar. Sertifikat wakaf tunai
merupakan semacam dana abadi yang diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang
mana keuntungan dari dana tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sertifikat wakaf tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi sosial tersendiri atau dapat
juga menjadi salah satu produk dari institusi perbankkan syariah. Tujuan dari sertifikat wakaf
tunai adalah sebagai berikut:
a) Membantu dalam pemberdayaan tabungan sosial
b) Melengkapi jasa perbankkan sebagai fasilitator yang menciptakan wakaf tunai serta
membantu pengelolaan wakaf.

4. Wakaf Saham

Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulasi hasil-hasil yang
dapat didedikasikan untuk umat. Bahkan dengan modal yang besar, Saham malah justru akan
memberi kontribusi yang cukup besar dibandingkan jenis perdagangan yang lain.

15
2.5.3 Wakaf Produktif di Indonesia

Salah satu bentuk wakaf produktif dalam ijtihad ulama masa kini adalah bentuk wakaf
uang memang belum lama dikenal di Indonesia. Padahal wakaf uang tersebut sebenarnya
sudah cukup lama dikenal di dunia Islam, yakni sejak zaman kemenangan dinasti mamluk,
para ahli fikih memperdebatkan boleh atau tidaknya uang, diwakafkan. Ada sebagian ulama
yang membolehkan wakaf uang, dan sebagian ulama melarangnya, dan masing-masing
mempunyai alasan yang memadai. Meskipun wakaf uang sudah dikenal pada masa Imam
Mazhab, namun wakaf uang baru akhir-akhir ini mendapat perhatian para ilmuan dan
menjadi bahan kajian intensif. Di berbagai negara, Wakaf Uang sudah lama menjadi kajian,
dan bahkan sudah dipraktekkan serta diatur dalam peraturan perundang-undangan.Yang
menjadi masalah di berbagai tempat baik di Indonesia maupun di Negara lain adalah
pengelolaannya, tidak jarang wakaf dikelola dengan manajemen yang kurang bagus sehingga
dapat mengakibatkan wakaf tersebut berkurang atau hilang. Padahal, jika wakaf uang ini
diatur, dikelola, dan dikembangkan dengan baik akan membawa dampak yang begitu besar
dalam masyarakat.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang mengacu timbulnya gagasan adanya wakaf
uang diantaranya karena berkembangangnya sistem perekonomian Islam. Sistem ekonomi
dalam Islam tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi abadi manusia, melainkan juga
terkait dengan anjuran Ilahi sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu
sistem ekonomi Islam juga mengacu pada peningkatan output dari setiap jam kerja yang
dilakukan.

Wakaf uang membuka peluang yang unik untuk menciptakan investasi guna memberikan
pelayanan keagamaan, layanan pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan orang-orang kaya
dapat dimanfaatkan dengan menukarkannya dengan Cash-Waqf Certificate. Hasil
pengembangan wakaf yang diperoleh dari sertifikat tersebut dapat dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan yang bermacam-macam seperti tujuan-tujuan wakaf itu sendiri. Kegunaan lain
dari Cash Waqf Certificate adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana
kesempatan wakaf seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja.(Mustafa Edwin : 2005)

Secara konseptual, wakaf uang mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan investasi
di bidang keagamaan, pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan dari masyarakat yang

16
mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan
Sertifikat Wakaf Uang (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf
uang dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan
pengelolaan tanah wakaf.
Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, saat
ini di Indonesia banyak perbankan syariah dan lembaga pengelola wakaf meluncurkan
produk dan fasilitas yang menghimpun dana wakaf uang dari masyarakat. Seperti Baitul Mal
Muamalat yang meluncurkan Waqf Uang Muamalat, Dompet Dhuafa Republika yang
meluncurkan Tabung Wakaf Indonesia, dan lembaga wakaf nasional yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang tentang Wakaf pada tahun 2007 yaitu Badan Wakaf Indonesia.
Lembaga-lembaga di atas telah banyak membuat program untuk mewujudkan keadilan sosial
yang dihasilkan dari investasi dana wakaf yang dihimpun dari masyarakat, seperti
pembentukan rumah sakit, sekolah, dan kampung peternakan yang berpotensi
mengembangkan wakaf uang untuk membangun kesejahteraan masyarakat secara luas dan
berkesinambungan. Program-program yang telah dicanangkan oleh lembaga wakaf di
Indonesia dengan mengelola dana wakaf uang dalam bentuk ini adalah dalam upaya agar
harta wakaf lebih berkembang manfaat ekonomi dan sosialnya. Contohnya saja,
penghimpunan dan pengelolaan dana wakaf uang pada Tabung Wakaf Indonesia yang hasil
pengelolaannya disalurkan pada bidang pendidikan, ekonomi, dan bidang sosial. Selain itu,
hasil pengelolaan yang diperoleh oleh Badan Wakaf Indonesia disalurkan pada bidang
pendidikan dan kesehatan. Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa sudah banyak lembaga-
lembaga wakaf di Indonesia yang mencoba untuk mengelola wakaf uang secara produktif
yang sesuai dengan peraturan maupun perundang-undangan tentang wakaf.

17
3.1 Kesimpulan

Wakaf adalah Sedekah Jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk kepentingan umat.
Harta Wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan.
Karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi
milik Allah atas nama umat. Wakaf berfungsi sebagai faktor produksi bagi perkembangan
ekonomi yang diperuntukkan bagi kesejahteraan umat Islam. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaannya merupakan bukti bahwa pemerintah menggarap wakaf secara serius
sebagai payung hukum untuk mengembangkan perwakafan di masa depan.

3.2 Saran

Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan


ekonomi pada saat ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi urgent dan strategis. Di samping
sebagai salah satu aspek ajaran Islam (dimensi spiritual), wakaf juga merupakan ajaran yang
menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat
penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih
relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan masyarakat saat ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Syakir A. WAKAF PRODUKTIF.; 2016. https://www.researchgate.net/publication/305730287

2. Badan Wakaf Indonesia. Pengertian Wakaf. Accessed March 5, 2022.


https://bwikotamalang.com/pengertian-wakaf

3. Wahib M. IMPLEMENTATION OF CASH WAQAF MANAGEMENT IN ASSALAM SOCIAL


INSTITUTION, JAYAPURA CITY. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. 2021;12(1).
doi:10.34005/alrisalah.v12i2.1265

4. Badan Wakaf Indonesia. Dasar Hukum Wakaf. Accessed March 5, 2022.


https://bwikotamalang.com/dasar-hukum-wakaf

19

Anda mungkin juga menyukai