Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

I. Definisi
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan
tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau
kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya
hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak
mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)

II. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).

III. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang
patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
(Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito
(2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).
IV. Pathway
V. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2) Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui
membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
3) Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur
adalah:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

V. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak
ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. Diagnosa

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
3. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
4. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

3. Intervensi

1. Nyeri Akut
 Tujuan / kriteria evaluuasi
 Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri pada skala yang rendah
 Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi
factor tersebut
 Melaporkan pola tidur yang baik
 Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan
hubungan interpersonal
 Aktivitas keperawatan
 Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10
Rasional: meminta paisen untuk menyebutkan tingkat nyeri yang di rasa dari
angka 0-10 (Hariyanto & Sulistyowati, 2015, p. 91)

 Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan


durasi, frekunsi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan factor
presipitasinya.
Rasional: Menentukan kebutuhan akan manajemen nyeri dan keefektifannya
(Asikin,M dkk, 2013, p. 95)
 Penyuluhan kepada pasien/ keluarga
 Intruksikan kepada pasien untuk melaporkan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
Rasional: Informasikan kepada pasien jika nyeri tidak menurun (Asikin,M dkk,
2013, p. 96)

 Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik sebelum, setelah dan jika


memungkinkan selama ktivitas menimbulkan nyeri, sebelum nyeri meningkat,
dan bersama pengunaan tindakan peredaan nyeri dengan yang lain.
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung lama  (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Aktivitas lain
 Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek
samping
Rasional: menyesuaikan dosis sesuai nyeri yang di alami pasien

Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu,


seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/dingin
Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.


Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Aktivitas kolaboratif
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
Rasional: menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer (Rosyidi, 2013, p. 59).

1. Gangguan Mobilitas Fisik


 Tujuan atau kriteria evaluasi
 Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan
 Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan
 Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secaa mandiri dengan alat bantu
 Menyangga berat badan
 Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar
 Berpindah dari dan ke kursi roda
 Menggunakan kursi roda secara efektif
 Aktivitas keperawatan
 Ubah posisi pasien yang imobilisasi atau sangga bagian tubuh yang
terkena
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus,
atelectasis, pneumonia) (Rosyidi, 2013, p. 62)
 Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau
perpindahan
Rasional: Mempertahankan posisi fungsional ekstremitas Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus, atelectasis, pneumonia) (Rosyidi,
2013, p. 62)

 Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas. Kaji
kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan
dirumah dan alat kesehatan yang tahan lama (Wilkinson, 2016, pp. 268-269)
1. Gangguan Integritas Kulit
 Tujuan/ Kriteria Evaluasi
 Pasien dan keluarga menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan
luka yang optimal
 Drainase purulen (atau lainnya) atau bau luka minimal
 Tidak ada lepuh atau maserasi pada kulit
 Nekrosis, selimur, lubang, perluasan luka ke jaringan di bawah kulit atau
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada.
 Eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
 Aktivitas keperawatan
 Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Rasional: menilai perkembangan masalah klien (Rosyidi, 2013, p. 64)

 Kaji ada atau tidaknya jaringan nekrotik


Rasional: mengetahui tentang sirkulasi kulit disebabkan oleh alat dan/
pemasangan gips/ bebat atau traksi, pembentukan edema yang membutuhkan
intervensi lebih lanjut (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)

 Penyuluhan pasien dan keluarga


Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan termasuk tanda dan gejala infeksi, cara
mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi dan mengurangi penekanan
pada insisi tersebut.

Rasional: menginformasi dan memebri conto tentang perawatan luka yang akan
dilakukan di rumah (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)

 Aktivitas kolaboratif
 Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Rasional: Mencari informasi tentang gizi yang cocok pada penderita fraktur
(Lukman & Ningsih, 2013, p. 51).

 Aktivitas lain
 Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi (Lukman &
Ningsih, 2013, p. 55)
 Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip stril
Rasional: (Lukman & Ningsih, 2013, p. 55)

(Wilkinson, 2016, pp. 397-399).

1. Resiko Infeksi
1. Tujuan/Kriteria Evaluasi
 Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
 Memperlihatkan higiene personal yang adekuat
 Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
 Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining dan
pemantauan
1. Aktivitas keperawatan
 Pantau tanda dan gejala infeksi
Rasional: Mengetahui gejala awal terjadinya infeks

(Lukman & Ningsih, 2013, p. 64)

1. Peyuluhan untuk pasien dan keluarga


 Intruksikan untuk menjaga higiene personal untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi
Rasional: menurunkan kadar kontaminasi (Lukman & Ningsih, 2013, p. 53).

 Instruksikan untuk menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh tehadap


infeksi.
 Ajarkan teknik mencuci tangan yang benar dan ajarkan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruangan
1. Aktivitas kolaboratif
 Berikan terapi antibiotik
Rasional: guna untuk mencegah dan mengatasi infeksi (Rosyidi, 2013, p. 64).

1. Aktivitas lain
 Pertahankan teknik isolasi
Rasional: mencegah terjadinya infeksi (Rosyidi, 2013, p. 64).

(Wilkinson, 2016, pp. 235-236).


DAFTAR PUSTAKA

http://yulnico.blogspot.com/2011/05/makalahasuhan-keperawatan-pada-nyn.html

http://tntangkeperawatan.blogspot.com/2013/07/laporan-pendahuluan-fraktur.html  

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta


Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai