Anda di halaman 1dari 34

TEKNIK MENGKOMUNIKASIKAN HASIL ASKEP KEPADA ANGGOTA TIM

PENGELOLAAN KASUS KEPERAWATAN KRITIS DI RUANGAN INTENSIF

KELOMPOK 10 PSIK 4B

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kep Kritis

Semester Tujuh Tingkat Empat

Disusun oleh :

Citra Agustriani (1911027)

Christian Pratama Sinaga (1911058)

Desy Natalia Nababan (tidak aktif)

Jessika adella br harefa (tidak aktif)

Dosen Pembimbing :

Ns. Iskandar Markus Sembiring, S.Kep, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI

INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun

makalah ini yang berjudul “TEKNIK MENGKOMUNIKASIKAN HASIL

ASKEP KEPADA ANGGOTA TIM PENGELOLAAN KASUS

KEPERAWATAN KRITIS DI RUANGAN INTENSIF”.

Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan

dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,

untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terimakasih

yang sebesar – besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan

makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para

pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,

baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Untuk itu kami mengharapkan

kritik dan saran dari pembaca. Atas kritik dan sarannya penulis mengucapkan

terimakasih.

Lubuk Pakam, oktober 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan sebuah ruangan khusus untuk

merawat pasien yang mengalami keadaan kritis (Suryani, 2012). Ruang ICU

dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien

yang terancam jiwanya karena kegagalan atau disfungsi satu organ atau ganda

akibat suatu penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidupnya

(Rahmatiah, 2013). Dasar pengelolaan pasien di ruang ICU adalah dengan

pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan yang akan memberikan kontribusi

sesuai dengan bidang keahliannya dan akan saling bekerja sama di dalam tim

yang dipimpin oleh seorang dokter intensif sebagai ketua tim (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Fakta yang terjadi saat ini, bahwa sulit sekali untuk menyatukan berbagai

profesi kesehatan tersebut kedalam sebuah tim interprofesi. Hal tersebut

dikarenakan kurangnya kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama

yang efektif seperti kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum

tumbuhnya budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan

klinis pasien (Tim CFHC-IPE UGM,2014). Kurangnya komunikasi antara tim

kesehatan di ruang ICU akan cenderung merusak kerjasama tim kesehatan dan

juga merusak hubungan antara tim kesehatan dengan keluarga pasien

(Wujtewicz et al, 2015)


Dalam mewujudkan ketrampilan komunikasi yang baik, seorang perawat

harus memiliki kemauan yang tinggi untuk dapat memiliki kemampuan

komunikasi interpersonal yang baik. Hal tersebut dapat dicapai oleh seorang

perawat dengan berbagai cara misalnya: melalui pelatihan- pelatihantentang cara

membangun komunikasi yang baik dan efektif, ataupundengan belajar mandiri

(Hanafi & Richard, 2012). Menurut penelitian yang di lakukan Elmi (2006)

menunjukkan bahwa pelatihan komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh

terhadap peningkatan keterampilan perawat sesudah pendidikan untuk

berkomunikasi terapeutik dalam memberikan pelayanan keperawatan.

Komunikasi terapeutik yang baik antara perawat dengan keluarga yang

diteruskan ke pasien sangat mendukung keberhasilan dari asuhan keperawatan

(Nugroho, 2013). Terlebih lagi di ruang ICU perawat akan menjadi orang yang

membantu pasien dan keluarga, perawat juga akan memiliki interaksi paling

sering dengan pasien dan keluarga.Hal tersebut membuat perawat mempunyai

pengaruh utama terhadappasien dan keluarga (Christopher et al, 2012). Selain itu

Asmadi (2008), menyebutkan bahwa dengan komunikasi yang baik, seorang

perawat dapat meningkatkan citra profesionalisme pada dirinya, dan sebaliknya

jika perawat kurang baik dalam berkomunikasi, hal ini akan berpengaruh terhadap

penilaian klien terhadap dirinya.

Perawat terlibat dalam sebagian besar komunikasi dengan pasien dan

keluarga di ruang intensif care unit (ICU) (Christopher et al, 2012). Perawatan

pasien di ruang intensif care unit (ICU) tidak hanya membutuhkan perawatan

yang baik dalam pelayanan medis tetapi juga perawat yang dapat berkomunikasi
dengan optimal dan dapat berinteraksi dengan tim kesehatan (Natalie et al,2010).

Keterampilan dalam berkomunikasi harus dimiliki oleh seorang perawat, karena

dengan komunikasi seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan

secara profesional, dapat mengumpulkan data pengkajian, mengumpulkan data

fokus untuk menegakkan diagnosa keperawatan serta komunikasi akan

memperlancar semua tindakan keperawatan yang direncanakan sampai ke proses

pemberian pendidikan kesehatan pada pasien (SP2KP Pelayanan Keperawatan,

2012).

Dalam proses pemberian asuhan keperawatan biasanya perawat hanya

berfokus pada tugas, fungsi dan struktur yang terlibat dalam perawatan pasien.Hal

tersebut membuat pelayanan menjadi tidak efisisen. Fokus keperawatan

seharusnya berfokus pada kebutuhan pasien. Dalam model perawatan yang

berfokus pada pasien, perawat menjadi penentu dalam melakukan koordinasi

perawatan pasien. Proses keperawatan lebih lanjut menekankan pada pentingnya

komunikasi. Mulai pengkajian sampai evaluasi seharusnya bersandar pada

komunikasi tentang pengalaman dan kebutuhan pasien. Model keperawatan

seperti pada sistem Neuman (1982), model adaptasi Roy (1984), model

perawatan diri Orem (1985) meletakkan dasar komunikasi terbuka antara

perawat dengan pasien dalam keterlibatan perawat yang efektif (Potter & Perry,

2005).

Manusia berinteraksi dengan orang lain menggunakan komunikasi untuk

mempertahankan, menetapkan serta meningkatkan hubungan. Komunikasi sering

kali diartikan oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang mudah, namun
sebenarnya komunikasi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain

merupakan suatu yang kompleks yang melibatkan beberapa faktor yang

mempengaruhinya (Potter & Perry, 2005). Komunikasi dengan orang lain timbul

karena adanya dorongan agar mendapatkan kebutuhan-kebutuhan untuk

mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, dan untuk

mempertahankan atau memperkuat ego (Riswandi, 2009).

Penelitian oleh Natalie et al (2010) pada keluarga dengan kasus End Of

Life di ICU menunjukkan bahwa keluarga membutuhkan komunikasi yang lebih

baik, komunikasi tersebut untuk meminimalkan kecemasan dan depresi yang di

alami keluarga. Keluarga menginginkan lebih sering komunikasi dengan perawat

dan dokter untuk mendapatkan fasilitasi komunikasi tentang pasien, sehingga

komunikasi terjadi tidak hanyaketika terdapat masalah pada pasien,seperti diskusi

tentang End Of Life (Natalie et al, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh

Rahmatilah (2013) menunjukkan bahwa pemberian informasi mempengaruhi

dengan tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat di ICU RSUD Dr. M.M

Dunda Limboto.

Penelitian yang di lakukan oleh Christopher et al (2012) di Rumah Sakit

Akademi dan Rumah Sakit Sakit Veteran Affairs di Portland yang dilakukan

dengan metode kualitatif yang mengkategorikan interaksi komunikasi menjadi

lima domain perawatan berfokus pasien, didapatkan hasil penelitian bahwa

komunikasi yang sering dilakukan oleh perawat di ruang ICU sebagian besar

adalah tentang pertukaran informasi seputar biopsikososial, komunikasi untuk

mengenal pasien secara pribadi, dan komunikasi dengan tim kesehatan lain,
sedangkan perawat relatif sedikit melakukan komunikasi tentang kekuasaan dan

tanggung jawab serta komunikasi tentang terapeutik gabungan, meskipun mereka

mendukung tentang hal tersebut.

Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan dengan observasi pada 23

November 2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I dan II peneliti

menjumpai adanya perbedaan cara komunikasi antara satu perawat dengan

perawat lain. Perawat belum sepenuhnya melakukan komunikasi kepada pasien

yang sedang kritis meskipun perawat mengakui bahwa komunikasi di ruang ICU

sangat penting karena berkaitan dengan kegawat daruratan. Kemudian menurut

data di Diklitbang PKU Muhammadiyah Yogyakarta menunjukan bahwa perawat

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I dan II yang sudah pernah

melakukan pelatihan komunikasi berjumlah 23 perawat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Gambaran Komunikasi Perawat di Ruang ICU PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan II”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat di rumuskan bahwa

masalah yang akah dilihat adalah “Bagaimanakah gambaran komunikasi perawat

di ruang ICU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan II?”

C. Tujuan
1. Tujuan umum

Mengetahui gambaran komunikasi perawat di ruang ICU

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan II.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik perawat di ruang ICU

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan II.

b. Mengetahui gambaran komunikasi perawat di ruang ICU

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dan II meliputi lima

domain komunikasi perawat berfokus pasien di ICU

(Christopher et al, 2012), yaitu :

1. Pertukaran informasi seputar biopsikososial.

2. Komunikasi untuk mengenal pasien secara pribadi.

3. Komunikasi untuk berbagi kekuatan dan tanggung

jawab.

4. Komunikasi gabungan therapeutik.

5. Komunikasi dengan tim kesehatan lain.

D. Manfaat

1. Bagi Institusi Rumah Sakit

Sebagai pertimbangan dan masukan bagi peningkatan

managemen rumah sakit dalam melengkapi fasilitas dan

kebijakan peraturan di ruang ICU khususnya mengenai


komunikasi perawat.

2. Bagi Perawat

Sebagai masukan bagi perawat dalam upaya peningkatan

profesionalitas pemberian asuhan keperawatan di ruang ICU.

3. Bagi Pendidikan keperawatan

Hasil yang didapat dalam penelitian dapat menjadi informasi

bagi mahasiswa keperawatan dan institusi pendidikan

keperawatan tentang komunikasi perawat berfokus pasien di

ruang rawat ICU

4. Bagi Peneliti selanjutnya

Sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dalam bidang

keperawatan, khususnya komunikasi perawat di ruang ICU.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang

dilengkapi dengan staff dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati

pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai

intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya

sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap

pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan

pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat

dapat dipantau perubahan yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-

organ tubuh lainnya (Rab, 2008).

Association of Critical Care Nursing (2014), peran perawat ICU dalam

keperawatan kritis adalah salah satu keahlian khusus didalam ilmu perawatan

yang menghadapi secara rinci terhadap manusia dan bertanggung jawab atas

masalah yang mengancam jiwa, Pelayanan keperawatan kritis di lCU merupakan

pelayanan yang diberikan kepada pasien dalam kondisi kritis yang mengancam

jiwa, sehingga harus dilaksanakan oleh tim terlatih dan berpengalaman di ruang

perawatan intensif

Pelayanan keperawatan kritis bertujuan untuk memberikan asuhan bagi

pasien dengan penyakit berat yang membutuhkan terapi intensif dan potensial

untuk disembuhkan, memberikan asuhan bagi pasien berpenyakit berat yang

memerlukan observasi atau pengawasan ketat secara terus-menerus, untuk


mengetahui setiap perubahan pada kondisi pasien yang membutuhkan intervensi

segera (Kemenkes, 2011). Kemampuan mengobservasi dan pengawasan ketat

dibidang perawatan kegawatan, salah satunya adalah kegawatan dalam monitoring

hemodinamik pada pasien kritis.

Di Indonesia, ketenagaan perawat di ruang ICU di atur dalam keputusan

menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2011

tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit yaitu, untuk

ICU level I maka perawatnya adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan

hidup dasar dan bantuan lanjut, untuk ICU level II diperlukan minimal 50% dari

jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat di

ICU, dan untuk ICU level III diperlukan minimal 75% dari jumlah seluruh

perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU.

B. Konsep komunikasi di ruang intensif

Komunikasi sesama anggota perawat dalam ruang intensif merupakan

komunikasi dengan menyampaikan informasi mengenai pasien secara khusus

melalui satu pemberi perawatan ke lainnya, dari satu tim pemberi pelayanan

keselanjutnya, atau dari pemberi perawatan ke keluarga pasien yang bertujuan

dalam perawatan lanjutan dan keselamatan pasien. Informasi yang diberikan

merupakan informasi yang konsisten melalui kondisi dari pasien, kondisi

perubahan pasien saat ini , kondisi perubahan pasien pada saat ini, pengobatan

yang berkelanjutan dan perubahan yang mungkin terjadi atau kompilasi

(WHO,2007).

C. Tujuan
a. Tujuan Umum

Melakukan komunikasi mengenai keadaan pasien dan

menyampaikan informasi penting.

b. Tujuan Khusus

 Menyampaikan kondisi dan keadaan pasien.

 Menyampaikan hal yang sudah/belum dilakukan dalam hal asuhan

keperawatan kepada pasien.

 Menyampaikan hal yang penting yang harus ditindak lanjuti

oleh perawat.

D. Manfaat

a. Bagi Perawat

 Meningkatkan kemampuan komunikasi perawat.

 Menjalin hubungan kerjasama dan tanggung jawab antar

perawat.

 Pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap pasien yang

berkesinambungan.

 Perawat dapat mengikuti perkembangan pasien secara paripurna.

b. Bagi Pasien

 Klien dapat menyampaikan masalah secara langsung bila ada yang

belum terungkap.

c. Bagi Rumah Sakit

Meningkatkan pelayanan keperawatan klien secara komperhenshif.

E. Konsep Komunikasi S-BAR

a. Definisi
Komunikasi S-BAR menurut NHS (2012) adalah komunikasi yang dilakukan

oleh perawat dalam menyampaikan kondisi pasien dan untuk mengatur informasi

yang sesuai secara jelas dan lengkap sehingga dapat diterima oleh perawat

lainnya secara akurat dan efisien pada saat operan jaga/pergantian shift.

Komunikasi S-BAR meliputi (Situation, Background, Assesment,

Recomendation).

b. Tujuan

Tujuan komunikasi S-BAR adalah:

 Menyediakan kerangka kerja untuk komunikasi yang efektif antara

anggota tim perawatan kesehatan dengan dokter.

 Memberikan informasi yang akurat tentang kondisi pasien saat ini

dan setiap perubahan terbaru yang terjadi atau untuk mengantisifasi

apabila terjadi perubahan.

 Membantu staf menjadi advokat pasien.

c. Langkah-langkah Komunikasi SBAR

Pelaksanaan Komunikasi toolSBAR disaat berkomunikasi secara

langsung berhadapan dengan tim kesehatan yang lain. Langkah- langkah

tersebut dijelaskan dibawah ini menurut Capital Health, 2011, Quality

Improvement Tool :

Situation/Situasi

 Menentukan nama pasien dan kondisi atau situasi saat ini

 Jelaskan apa yang terjadi pada pasien untuk mengawali

percakapan ini dan menjelaskan bahwa pasien telah

mengalami perubahan kondisi.

Background/Latar Belakang
 Menyatakan tanggal tanggal penerimaan pasien,

diagnosisnya, dan sejarah medis pasien.

 Berikan sinopsis atau ringkasan singkat dari apa yang telah

dilakukan selama ini.

Assessment/Pengkajian

 Ringkasan kondisi atau situasi pasien.

 Jelaskan apa yang menjadi permasalahannya: “Saya tidak

yakin apa masalah dari pasien, namun kondisi pasien

memburuk, dan tidak stabil, sehingga perlu dilakukakn suatu

tindakan”.

 Memperluas pernyataan perawat dengan tanda-tanda dan

gejalanya

Recomendation/Rekomendasi

 Jelaskan apa yang diinginkan dokter setelah melihat hasil

tindakan (misalnya: tes laboratorium, perawatan).

 Perawat meromendasikan dokter untuk melakukan

kunjungan kepada pasien dan keluarga pasien.

 Apakah ada tes lain yang diperlukan seperti: EKG

 Perawat menyampaikan kepada dokter setiap terdapat

pengobatan baru atau apabila ada perubahan dalam perintah

segera diinformasikan oleh doter kepada perawat.

 Jika terdapat perbaikan ataupun tidak adanya perbaikan

kondisi pada pasien, perawat akan menghubungi dokter

kembali, menanyakan ke dokter tindakan yang harus


dilakukan perawat sampai ditempat

d. Alasan Penggunaan Komunikasi Dengan S-BAR

Komunikasi antar tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan ternyata tidak

memadai seperti komunikasi antara dokter dengan perawat, hal ini

merupakan salah satu penyebab kesalahan medis/insiden keselamatan

pasien. Hambatan yang terjadi dalam komunikasi perbedaan dalam staf

pelayanan. Hambatan tersebut dapat terjadi termasuk dalam hirarki, jenis

kelamin, latar belakang etnis dan perbedaan dalam gaya komunikasi antara

kedisiplinan dan individu itu sendiri. Komunikasi dapat dikatakan efektif

jika didalam tim terdapat standar komunikasi yang terstruktur

(WHO,2007). Komunikasi menggunakan S-BAR dapat mengurangi

insiden komunikasi yang tidak terjawab dan telah terjadi melalui

penggunaan asumsi, bantuan atau ketidakjelasan sikap

Menurut American Journal of Nursing (2006) Komunikasi menggunakan

S-BAR merupakan mekanisme yang efektif terhadap hirarki tradisional

antara tenaga kesehatan seperti antara dokter dengan perawat dalam

memberikan tindakan perawatan. Komunikasi S-BAR dapat membangun

bahasa dengan penggunaan bahasa umum pada saat berkomunikasi,

sehingga mengurangi hambatan dalam berkomunikasi antar tenaga

kesehatan.

e. Fungsi Alat S-BAR dalam proses komunikasi

Alat S-BAR terdiri dari pertanyaan standar yang cepat dalam empat

bagian, yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa perawat dapat

menyampaikan informasi dengan tegas dan efektif, untuk mengurangi


pengulangan. Alat S-BAR digunakan agar perawat agar perawat mampu

merumuskan informasi dengan tepat dan detail. Alat S- BAR juga

membantu perawat dalam mempersiapkan informasi yang dibutuhkan oleh

tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan keterampilan (WHO, 2007).

f. Waktu Penggunaan Komunikasi dengan S-BAR

Perawat menggunakan S-BAR dalam pengaturan klinis dalam membuat

rekomendasi agar komunikasi terjamin kejelasannya. Perawat memiliki

peranan penting, namun terkadang dalam membuat rekomendasi perawat

mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena kurangnya

pengalaman. Penggunaan S-BAR dapat mencegah hit dan miss dari

suatu keinginan dan harapan pada saat melakukan operan jaga (Velji, et al,

2012).

Menurut Joint Comission on Accreditation of Healthcare Organization

National Patient Safety Goals (2006) alat S-BAR dapat dapat memebentuk

komunikasi pada tahap perjalanan pasien, dari isi rujukan dokter umum,

konsultan untuk rujukan, konsultan untuk berkomunikasi.

g. Peran Perawat dalam Pelaksanaan S-BAR

Sesuai dengan kode etik keperawatan tentang tanggung jawab perawat

terhadap tugas Pasal 1 Menyatakan bahwa perawat senantiasa memelihara

mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional

dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai

dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat, Pasal 5

Menjelaskan bahwa perawat sesantiasa mengutamakan perlindungan dan

keselamatan kliaen dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang


dalam memepertimbangkan kemampuan jika menerima atau

mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada hubungannya dengan

keperawatan.

G. Standar Prosedur Operasional (SPO)

a. Definisi

Menurut Atmoko (2010) Standar Prosedur Operasional (SPO) adalah

suatu acuan atau pedoman untuk melaksanakan tugas sesuai dengan

fungsi dan alat penilaian kerja di instansi berdasarkan indikator teknis,

administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan

sistem kerja pada unit kerja.

b. Tujuan SPO

Tujuan SPO menurut Atmoko (2010) adalah komitmen yang diciptakan

oleh satuan unit kerja instansi mengenai apa yang dikerjakan. Sedangkan

menurut Depkes RI (2006) tujuan umum dari SPO adalah mengarahkan

kegiatan asuhan keperawatan untuk mencapai tujuan yang efisien dan

efektif sehingga dapat menjadi konsisten dan aman dalam meningkatkan

mutu pelayanan melalui pemenuhan standar yang berlaku. Perumusan

SPO dapat dikatakan relevan apabila dapat menjadi tolak ukur dalam

menilai keefektivitasan dan efisiensi kinerja instansi dalam melaksanakan

program kinerjanya (Atmoko, 2010).

H. Keselamatan pasien

Keselamatan/safety saat ini merupakan hal yang penting diterapkan dalam

suatu rumah

sakit. Terdapat lima hal yang berkaitan dengan keselamatan rumah sakit/hospital
safety, seperti keselamatan pasien (patient safety), keselamatan petugas kesehatan,

keselamatan bangunan, dan peralatan yang berada di rumah sakit yang dapat

mengakibatkan keselamatan pasien dan keselamatan petugas rumah sakit, serta

keselamatan lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang berkaitan

dengan

keberlangsungan perkembangan rumah sakit (Depkes RI, 2006).

Keselamatan pasien/patient safety menurut Departemen Kesehatan (2006) adalah

bebas

dari cedera aksidental atau menghindarkan cedera pada pasien akibat perawatan

medis

dan kesalahan pengobatan. Sedangkan menurut PERMENKES RI Nomor

1691/Menkes/PER/VIII/2011 Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah suatu

sistem

dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk

assesment

resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,

pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak

lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.

Tujuannya adalah mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan

akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya dilakukan.

UU no 44 th 2009 menyatakan keselamatan pasien rumah sakit yang

tertuang dalam pasal 1: Rumah Sakit merupakan istitusi pelayanan kesehatan

yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan serta paripurna


yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,dan gawat darurat, pasal

2: Rumah Sakit diselenggarakan berdasarkan pancasila dan didasarkan kepada

nilai kemanusiaan, etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, dan

persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, dan

keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Kewajiban Rumah Sakit

adalah pada pasal 29 ayat b: Memberikan pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu,anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan

pasien sesuai standar pelayanan Rumah Sakit.

1. Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien merupakan suatu syarat diterapkan pada

semua rumah sakit yang akan diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah

Sakit yang mengacu pada Nine Life Saving Patient Safety Solutions dari WHO

Patient Safety (2007) digunakan juga oleh Komite Keselamatan Paseien

Rumah Sakit PERSI(KKP-RS PERSI) dan Joint Commission

Internasional/JCI (2011). Tertuang juga dalam PERMENKES RI

No.169/MenKes/PER/VIII/2011 menyebutkan sasaran keselamatan pasien

antara lain:

a. Ketepatan identifikasi pasien

Kesalahan dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi hampir semua

tahapan diagnosis dan pengobatan, sehingga perlu dilakukan dua kali

pengecekan: pertama dengan mengidentifikasi pasien sebagai

individu yang akan menerima pelayanan, kedua untuk menyesuaikan

tindakan atau pengobatan pada individu tersebut. Keadaan yang


dapat mengarahkan terjadinya error/kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien adalah pasien dalam keadaan

terbius/tersedasi, mengalami disorientasi waktu, atau tidak sadar

sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, likasi didalam

rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat

situasi lain (Kemenkes RI, 2011).

Kebijakan/prosedur secara kolaboratif dikembangkan untuk

memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk

mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah/produk darah,

pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis,

memberikan obat atau tindakan lain. Kebijakan/prosedur

memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang

pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir,

gelang identitas pasien dengan bar-code. Nomor kamar pasien tidak

bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan/prosedur

jugamenjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi

yang berbeda di rumah sakit, seperti pelayanan rawat jalan, unit

gawat darurat, atau kamar operasi, termasuk identifikasi pada pasien

koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif dapat digunakan untuk

mengembangkan kebijakan/prosedur agar dapat memastikan semua

kemungkinan situasi yang dapat diidentifikasi (Kemenkes RI, 2011).

b. Peningkatan komunikasi yang efektif

Komunikasi efektif yang digunakan oleh petugas kesehatan

sebaiknya tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan mudah dipahami


oleh pasien sehingga akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan

keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau

tetulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah

perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telepon.

Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan

kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis

menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil

pemeriksaan STAT/segera (Kemenkes, 2011).

Kebijakan yang harus dibuat untuk memenuhi sasaran keselamatan

pasien tentang peningkatan komunikasi efektif meliputi kebijakan/

prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi

lisan atau melalui telepon secara konsisiten (format write down, read

back, repeat back, dan SBAR), SPO komunikasi pada saat serah

terima jaga shif, SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan

yang mempunyai nilai kritis dan daftar hasil pemeriksaan penunjang

yang kritis misalnya laboratorium, radiologi,patologi anatomi

(Kemenkes RI, 2011).

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

Obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,

manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan

keselamatan pasien terkait dengan keamanan obat. Obat-obat yang

harus diwaspadai (high alert medication) adalah obat-obat yang

sering mengalami masalah serius (sentinel event), obat yang serig

menyebabkan dampak tidak diinginkan (adverse event) seperti obat-


obatan yang terlihat mirip. Rumah sakit secara kolaboratif

mengembangkan suatu kebijakan/ prosedur untuk membuat daftar

obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di

rumah sakit. Kebijakan/prosedur juga menidentifikasi area mana saja

yang membutuhkan elektrolit konsentrat (seperti kalium, natrium,

magnesium sulfat), seperti di IGD atau kamar operasi serta

pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana

penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk

mencegah pemberian yang tidak disengaja/ kurang hati-hati

(Kemenkes RI, 2011).

d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi

Kesalahan operasi, prosedur, dan pasien adalah akibat dari

komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim

bedah, kurang melibatkan pasien dalam penandaan lokasi operasi

(site making) dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi.

Assessment pasien yang tidak adekuat, budaya yang tidak

mendukung, komunikasi terbuka antara anggota tim bedah,

permasalahan yang berhubungan dengan penulisan tangan yang

terbaca dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor konstribusi

yang sering terjadi.

e. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar

dalam pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi

infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Infeksi


umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan

termasuk infeksi saluran kemih, terkait kateter, infeksi aliran darah

(blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan

dengan ventilasi mekanis). Pokok dari eliminasi infeksi ini

maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygine) yang tepat

(Kemenkes RI, 2011).

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi

resiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Rumah sakit

mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan

kebijakan/prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk

hand hygine yang sudah diterima secara umum untuk implementasi

petunjuk di rumah sakit (Kemenkes RI, 2011)

f. Pengurangan resiko pasien jatuh

Jumlah kasus jatuh banyak terjadi yang menyebabkan cedera banyak

terjadi pada pasien rawat inap. Rumah sakit perlu mengevaluasi

resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi

resiko cedera.

Assesment pasien dengan resiko jatuh dilakukan dengan tujuan

mengurangi terjadinya pasien jatuh. Assesment pasien resiko jatuh

dilakukan mulai dari mengetahui riwayat jatuh, diagnosis sekunder

(lebih dari diagnosa medis), alat bantu jalan (perabot, tongkat/alat

penopang, tidak ada/kursi roda/perawat/tirah baring), terpasang infus,

gaya bejalan (terganggu, lemah, normal, imobilisasi, status mental

(sering lupa, orientasi baik) (Kemenkes RI, 2011).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang

dilengkapi dengan staff dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati

pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai

intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya

sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian.

Komunikasi S-BAR menurut NHS (2012) adalah komunikasi yang

dilakukan oleh perawat dalam menyampaikan kondisi pasien dan untuk

mengatur informasi yang sesuai secara jelas dan lengkap sehingga dapat

diterima oleh perawat lainnya secara akurat dan efisien pada saat operan

jaga/pergantian shift. Komunikasi S-BAR meliputi (Situation, Background,

Assesment, Recomendation).

Komunikasi sesama anggota perawat dalam ruang intensif merupakan

komunikasi dengan menyampaikan informasi mengenai pasien secara khusus

melalui satu pemberi perawatan ke lainnya, dari satu tim pemberi pelayanan

keselanjutnya, atau dari pemberi perawatan ke keluarga pasien yang bertujuan

dalam perawatan lanjutan dan keselamatan pasien. Informasi yang diberikan

merupakan informasi yang konsisten melalui kondisi dari pasien, kondisi

perubahan pasien saat ini , kondisi perubahan pasien pada saat ini, pengobatan

yang berkelanjutan dan perubahan yang mungkin terjadi atau kompilasi

(WHO,2007).

B. Saran
Untuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Diharapkan dengan adanya

literature review ini bisa dijadikan sumber informasi bagi perawat dalam

mengaplikasikan serta meningkatkan komunikasi terapeutik perawat terutama

pada fase terminasi terkhusus di ruang ICU. 2. Untuk Pendidikan Keperawatan

Diharapkan dengan adanya literature review ini dapat memberikan informasi

keperawatan khususnya keperawatan manajemen untuk mengetahui hubungan

komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan keluarga di ruang ICU.


DAFTAR PUSTAKA

Arwani. (2002). Komunikasi dalam Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran:

EGC

Crighton M. H., Coyne B. M., Tate J, Swigart V, & Happ M. B. (2014).

Transitioning from endof-life care in the intensive care unit: a case of unifying

divergent desires. Cancer Nursing, 31(6), 478-484

Derektorat Keperawatan Dan Keteknisian Medik, Derektorat Jendral Pelayanan

Medik, Departemen Kesehatan RI. (2006). Standar Pelayanan Keperawatan di

ICU. Jakarta

Direja AHS. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika : Yogyakarta

Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medik Direktorat Jenderal Pelayanan

Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011) . Standar Pelayanan

Keperawatan di ICU. Depkes

Donsu Jenita DT. 2017. Psikologi Keperawatan. Pustaka Baru Press: Yogyakarta

Efrianti, E,Y., Joebagio, H., Kanita, W, M. (2014). Peran komunikasi terapeutik

pada pasien gangguan kardiovaskuler di ruang intensive care unit. Program Studi

S-1 Keperawatan, Stikes Kusuma Husada Surakarta.

Fakultas kedokteran Unair. 2001. Materi pendidikan-pelatihan perawatan ICU

tingkat dasar. Surabaya: SMF anestesi dan reanimasi.

Hawari, Dadang. (2008). Manajemen stress, cemas, dan depresi. Jakarta: FK

Universitas Indonesia. Hidayat A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan

Teknik Analisa Data. Jakarta: Salmba Medika


34

Anda mungkin juga menyukai