Anda di halaman 1dari 96

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN

GANGGUAN AKTIFITAS FISIK


KELOMPOK 4 PSIK B

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kep Gerontik


Semester Tujuh Tingkat Empat

Disusun oleh :

Citra Agustriani (1911027)


Gita Fransiska (1911058)
Desy Natalia Nababan (1911033)
Ayunda (1911017)

Dosen Pembimbing :
Ns. Dian Anggri Yanti, S.Kep, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN
AKTIFITAS FISIK”.
Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar – besarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Atas kritik dan sarannya penulis mengucapkan terimakasih.

Lubuk Pakam, Agustus 2022

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki

tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang di kategorikan lansia ini

akan terjadi suatu proses yang di sebut proses penuaan atau Anging Process.

Seseorang di katakana lansia ialah apabila berusia 60 tahun ke atas atau lebih,

karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara,

sosial, jasmani, dan rohani (Nugroho, 2012) Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran misalnya kemunduran pada fisik. Semakin lanjut usia seseorang, maka

kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan

kemunduran pada peran- peran sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya

gangguan dalam hal yang mencukupi dalam kebutuhan hidupnya, sehingga

memerlukan bantuan orang lain.

Perubahan normal akibat penuaan ini paling jelas terlihat pada sistem

muskuloskeletal berupa penurunan otot secara keseluruhan pada usia 80 tahun

mencapai 30% sampai 50%. Penurunan sistem muskuloskeletal adalah gangguan

kronis pada otot, tendon, dan saraf yang di sebabkan oleh pengguna tenaga secara

berulang, Gerakan secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur tubuh yang

janggal, dan rendahnya temperatur sehingga menyebabkan rasa nyeri serta rasa

tidak nyaman pada otot. Perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal seperti

rheumatorid atritis,dan osteoporosis yang sering terjadi pada lansia dan

mengakibatkan gangguan pada aktivitas (Uda, ermina. 2016)


Menurut (Heriana, 2014) Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan yang

bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan aktivitas seseorang

melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas

seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persyarafan dan muskuloskeletal.

Jadi dapat diartikan bahwa gangguan aktivitas merupakan ketidakmampuan

seseorang untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari

gangguan aktivitas akan menimbulkan masalah keperawatan hambatan mobilitas

fisik.

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh atau

salah satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (Renata Komalasari,

2011) Atau penurunan kemampuan untuk berpindah ke satu tempat ke tempat yang

lain atau ke satu posisi ke posisi yang lain. Hambatan mobilitas fisik dapat di

pengaruhi oleh beberapa faktor (Ernawati, 2012) Hambatan mobilitas fisik yang di

akibatkan oleh perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal memberikan

dampak pada fisik maupun psikososial pada lansia. Dampak fisik dari sistem

muskuloskeletal yang paling jelas terlihat pada gangguan hambatan mobilitas fisik

berupa penurunan kepadatan tulang, persendian menjadi lunak, perubahan struktur

otot. Dampak psikososial dari hambatan mobilitas fisik yaitu respon emosional

yang bervariasi (frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi, dan

marah serta agresif) (Azizah dan Lilik M, 2011)

Menurut data WHO pada 2008, hambatan mobilitas akibat gangguan sistem

muskuloskeletal telah diderita 151 juta jiwa di dunia dengan 24 juta jiwa

diantaranya
berada di kawasan Asia Tenggara. Prevalensi penyakit musculoskeletal di

Indonesia mencapai 34,4 juta orang dengan perbandingan penyakit sebesar 15,5%

pada pria dan 12,7% pada wanita. Prevalensi data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) pada tahun 2018 menunjukkan, sebanyak 11,5% penduduk Indonesia

menderita gangguan sistem muskuloskeletal. Prevalensi penyakit sendi di Jawa

Timur juga cukup tinggi hingga mencapai 30,9% (Dinkes, 2018)

Masalah mobilitas yang terjadi pada lansia yang mengalami gangguan sistem

muskuloskeletal dapat diatasi dengan memberikan intervensi berupa latihan

ambulasi, range of motion, kontraksi otot isometrik dan isotonik, kekuatan atau

kesehatan, aerobik, sikap, mengatur posisi tubuh, pasien untuk pemenuhan ADL,

kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi Latihan, range of motion adalah latihan

pergerakan maksimal yang di lakukan oleh sendi, latihan ini menjadi salah satu

bentuk latihan yang berfungsi dalam pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan

otot pada lansia (Potter & Perry, 2011)

Adapun yang dapat di lakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan

jumlah pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik adalah menejemen energi,

menejemen lingkungan, peningkatan latihan, terapi latihan Ambulasi, terapi latihan

pergerakan sendi, dan terapi latihan otot (NIC, 2015) Terapi latihan otot adalah

salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan

latihan- latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif, tujuan dari terapi

latihan adalah rehabilitasi untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mencegah

timbulnya komplikasi mengurangi nyeri dan odem (Hendrik, 2012)


Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus yang

berjudul “Studi Literatur Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Masalah

Keperawatan Hambatan Mobilitas fisik ”.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia yang mengalami masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik?

1.3 Tujuan Penulis

Menganalisis Asuhan keperawatan pada lansia gangguan aktivitas dengan masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik.

1.4 Manfaat Penulis

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan pemahaman dan menambah

informasi terhadap pengembangan ilmu keperawatan mengenai asuhan

keperawatan pada pasien lansia yang mengalami gangguan aktivitas dengan

masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi Penulis

Menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada lansia yang

mengalami gangguan aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik.
2. Manfaat bagi Klien

Klien mendapat pelayanan kesehatan yang mengarah pada profosionalisme

dan juga mendapatkan asuhan keperawatan yang efekti, dan efesian yang

sesuai dengan standar asuhan keperawatan.

3. Manfaat bagi Profesi Keperawatan

Sebagai pengembangan intervensi keperwatan untuk penatalaksanaan pada

pasien lansia dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik.

4. Manfaat bagi Panti

a. Sebagai masukan bagi profesi keperawatan pada pasien lansia

khususnya, untuk menjadikan asuhan keperawatan yang profosional

sesuai standar oprasional.

b. Sebagai bahanpertimbangan dalam upaya memberikan upaya

memberikan asuhan keperawatan pada lansia.

5. Manfaat bagi Institusi

a. Membawa wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca di

perpustakaan dengan asuhan keperwatan lansia dengan masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik.

b. Memberikan gambaran untuk mutu pendidikan keperawatan serta

sebagai dokumentasi untuk menambah koleksi perpustakaan.

c. Selanjutnya dapat di gunakan untuk referensi penelitian selanjutnya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep lansia

2.1.1 Definisi lansia

Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seorang

yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok

umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase

kehidupannya. Kelompok yang di kategorikan lansia ini akan terjadi suatu

proses yang di sebut proses penuaan atau Anging Process. Seseorang di

katakana lansia ialah apabila berusia 60 tahun ke atas atau lebih, karena

faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara,

sosial, jasmani, dan rohani (Nugroho, 2012)

WHO dan Undang-Undang Nomer 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa

umur 60 tahun adalah permulaan tua. Menua bukanlah suatu dari penyakit,

tetapi menua merupakan suatu proses yang yang terus menerus yang

mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh

yang berakhir dengan kematian.

Dalam Buku Ajar Geriatri, Prof. Dr. R. Boedhi Darmojo dan Dr. H.

Hadi Martono (1994) dalam H. Wahyudi Nugroho (2012) mengatakan

bahwa “menua” (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri

dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat


bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang

di derita. dari pernyataan tersebut, dapat di simpulkan bahwa manusia secara

perlahan akan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi

ini dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk

kehidupan seksualnya.

2.1.2 Proses penuaan

Proses menua merupakan proses yang terus menerus atau berkelanjutan

secara alamiah dan umumnya di alami oleh semua makhluk hidup.

Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf

dan jaringan lain, hingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit. Kecepatan

proses menua setiap induvidu pada orang tubuh tidak akan sama, ada pula

seseorang yang belum tergolong lanjut usia atau masih muda, tetapi telah

menunjukan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Ada pula orang yang

tergolong lanjut usia, penampilannya masih sehat, segar bugar dan badan

masi terlihat tegap. Walaupun demikian, harus di akui bahwa ada beberapa

penyakit yang sering dialami oleh lansia. Manusia secara lambat dan

progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menempuh

semakin banyak distorsi meteoritik dan struktural yang disebut sebagai

penyakit degeneratif (misalnya: hipertensi, arteriosklerosi, diabetes militus

dan kanker) yang akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan episode

terminal yang dramatis, misalnya stroke, infark miokard, koma asidotik,

kanker mestastasis, dan sebainya (H. Wahyudi Nugroho, 2012)


2.1.3 Teori Proses Menua

Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu:

1. Teori- teori biologi

a. Teori genetik dan mutase (somatic mutatie theory)

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk

spesies- spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan

biokimia yang di program oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap

sel pada saatnya akan mengalami mutasi sehingga mengalami

penurunan kemampuan fungsional sel.

b. Pemakaian dan rusak

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah atau rusak.

c. Reaksi dan kekebalan sendiri (auto immune theory)

Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat di produksi oleh suatu

zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat

tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi sakit dan lemah.

d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)

Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia, dan

masuknya virus ke dalam tubuh akan dapat mengakibatkan kerusakan

oragan tubuh.

e. Teori stres

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa di gunakan oleh

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan

lingkungan internal, kelebuhan usaha dan stress dapat menyebabkan

sel-sel tubuh lelah terpakai.


f. Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk didalam bebas, tidak stabilnya radikal

bebas (kelompok atom) akan mengakibatkan oksidasi oksegen bahan-

bahan organik seperti protein dan karbohidrat. Radikal bebas ini bisa

menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

g. Teori program

Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah

setelah sel-sel mati.

h. Teori rantai silang

Sel-sel yang using atau tua, reaksi kimianya mengakibatkan ikatan

yang kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan

kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.

2. Teori kejiwaan sosial

a. Aktifitas atau kegiatan (activity theory)

Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat di

lakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah

mereka yamg aktif dan ikut bayak kegiatan sosial. Ukuran optimum

(pola hidup) di lanjutkan dengan cara hidup dari lansia berupa

mempertahankan hubungan antara induvidu agar tetap stabil dan

sistem sosial.

b. Teori pembebasan (disengagement theory)

Teori ini menyatakan dengan bertambahnya usia, seseorang secara

berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya.

Keadaan ini menyebabkan interaksi lanjut usia menurun, baik secara


kualitas ataupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda

(triple loss), yakni kehilangan peran; Hambatan mobilitas fisik;

Berkurangnya kontak komitmen.

c. Kepribadian berlanjut (continuity theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku yang tidak berubah pada lansia.

Pada teori ini menyatakan, teori yang terjadi pada sesorang lansia

yang sangat di pengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.

2.1.4 Batasan lanjut usia

1. Batasan umur lansia menurut WHO lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun.

c. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

2. Menurut padila (2013)

1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun

2) Lanjut usia (geriatric age) usia <65/70 tahun terbagi atas

a) Young old usia 70-75

b) Old usia 75-80

c) Very old usia >80 tahun

3. Menurut Birren dan Jenner dalam Nugroho (2008) untuk membedakan

antara usia biologis, psikologis, dan usia sosial.

a. Usia biologis, yaitu jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada

dalam keadaan hidup tidak mati.

b. Usia psikologis, yaitu kemampuan seseorang untuk mengadakan

penyesuaian pada sehubungan situasi yang dihadapinya.


c. Usia sosial, yaitu peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat

kepada seseorang dengan usianya.

2.1.5 Klasifikasi pada lansia ada 5 macam (Maryam,2008)

1. Pralansia (Prasennilisis) adalah seseorang yang berusia 45-59 tahun

2. Lansia adalah seorang yang berusia 60 tahun lebih

3. Lansia resiko lebih adalah seorang yang berusia 60 tahun keatas dengan

masalah kesehatan.

4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan aktivitas

5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

hidupnya bergantung pada orang lain.

2.1.6 Perubahan-perubahan pada lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara

degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri

manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial

dan seksual (Azizah dan Lilik M, 2011)

1. Sistem kulit dan integument

Pada kulit terutamapada kulit wajah yang mengeriput, hal pertama

yang dialami adalah kulit di sekitar mata dan mulut, sehingga

berakibat wajah dengan ekspresi sedih (lebih jelasnya pada wanita).

Rambut semakin berubah dan kusus pada pria tak jarang terjadi

kebotakan pada rambut (alopesia). Gigi tanggal, sehingga berpengaruh

pada proses mengunyah makanan.


2. Sistem indra (pengliatan, pendengaran, penciuman dan pengecapan)

Gangguan pada mata lebih sering di sebabkan oleh katarak,

glaukoma, atau digenerasi makula. Pada usia lanjut dengan katarak

yang berat, terjadi penurunan visus, bahkan pada stadium lanjut hanya

dapat membedakan terang dan gelap saja. Penyebab katarak antara

lain: pengobatatan steroid yang berlangsung lama, trauma, radiasi atau

idiopatik (tidak di ketahui penyebabnya). Kedua jenis gangguan pada

sistem indra tersebut di atas, (sistem pengliatan dan pendengaran)

akan berdampak pada sistem komunikasi. Pada lansia timbulnya

komunikasi tidak saja sebagai akibat dari presbiakusis, tapi sering di

tambah pula dalam situasi dalam percakapan yang kurang mendukung.

Timbulnya gangguan komunikasi di kaitkan dengan sebagai berikut:

a) Pembicaraan terjadi dalam intervensi karena gangguan suara lain,

seperti: suara musik, radio, televisi, dll.

b) Sumber suara mengalami distorsi, misalnya berasal dari pengeras

suara yang tidak sempurna (terminal, gedung) atau dari telepon

maupun yang di ucapkan oleh anank-anak, orang asing atau

pembicara terlalu cepat.

c) Kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna, seperti dapur atau

ruang pertemuan yang berdinding mudah memantulkan suara.

Bagi lansia yang mengalami gangguan pendengaran, agar dapat

berkomunikasi lebih baik di perlukan suasanya yang mendukung.

Antara lain awali dengan menyebut nama lansia; sebisa mungkin

hindari pembicaraan di tempat ramai (intervensi, distorsi) dan tempat


yang terlalu banyak menimbulkan pantulan suara; menghadap wajah

(bibir, mulut dan ekspresi muka) pada lansia saat berbicara; berbicara

dengan jelas tanpa berteriak; jangan berbicara sambil minum atau

makan maupun merokok.

3. Perubahan komposisi tubuh

Dengan bertambahnya usia, maka masa bebas lemak berkurang

kurang lebih 6,3% BB per dekade seiring dengan penambahan masa

lemak kurang lebih 2% per dekade. Masa air berkurang sebesar 2,5%

per dekade.

4. Saluran cerna

Dengan bertambahnya usia, pada sistem ini terjadi perubahan-

perubahan sebagai berikut:

a. Jumlah gigi berangsur-angsur berkurang akibat tanggal atau ekstrasi

akibat indikasi tertentu. Hal ini akan mengurangi kenyamanan saat

makan serta membatasi jenis makanan. Produksi air liur dengan

berbagai enzim di dalamnya akan juga menurun, keadaan mulut yang

kering selain akan mengurangi kenyamanan saat makan juga

mengurangi kelancaran saat menelan.

b. Pada lidah terdapat banyak tonjolan saraf pengecap yang memberi

perbagai sensari rasa (manis, asin, gurih, dan pahit). Akibat

penambahan usia, maka jumlah tonjolan saraf tersebut berkurang,

sehingga lansia kurang dapat merasakan rasa kecap, akibatnya

mereka butuh lebih bayak jumlah gula atau garam untuk

mendapatkan rasa yang sama.


c. Esofagus adalah saluran pencernaan yang menghubungkan mulut

dengan rambut. Gerakannya secara ritmis mengalirkan makanan ke

lambung, sehingga lama kelamaan lambung dapat mengalami

perlambatan, terutama di usia 70 tahun ke atas. Perlambatan terjadi

akibat kelemahan kekuatan otot lingkar antara esofagus dan

lambung.

d. Penurunan sekresi enzim laktase usus halus juga terjadi sesuai

dengan penambahan usia, tampak misalnya: kejadian diare setelah

minum susu yang tinggi laktosa.

e. Pada usus besar terjadi penurunan kontraktilitas, akibatnya: mudah

timbul sembelit, atau gangguan buang air besar.

Diantara sejumlah penyakit saluran cerna, disini akan dibahas

beberapa yang tersering dan erat kaitannya dengan asupan makanan

dan pemberian obat.

a) Mulut kering (dry mouth)

b) Akibat berkurangnya sekresi air liur dapat mengakibatkan mulut

kering, atau xerostomia, maka fungsunya sebagai pelumas akan

terganggu.

c) Disfagia atau gangguan menelan

d) Dispepsia

5. Hepar atau hati

Mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada usia lebih

dari 80 tahun, maka obat-obatan yang mengalami proses metabolisme


di organ ini perlu ditentukan dosisnya secara tepat agar lansia terhindar

dari efek samping.

6. Ginjal

pada lansia terjadi penurunan jumlah nefron sebesar 5-7% setiap

dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin (CCT) menurun 0,5

ml/m/tahun dan mengabitkan berkurangnya kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan metabolisme lewat urine.

7. Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa

jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga

peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan

jaringan ikat. Perubahan inidisebabkan oleh penumpukan lipofusin,

klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan

ikat.

8. Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan

penghubung (kolagendan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi.

Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak

teratur.

a) Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata.

Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi


yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago

pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.

b)Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah

bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan

osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas

dan fraktur.

c) Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi,

penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan

penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek

negatif.

d)Sendi: pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen

dan fasia mengalami penuaan elastisitas.

9. Sistem pernafasan

Seiring penambahan usia, kemampuan pegas dinding dada dan

kekuatan otot pernafasan akan menurun, sendi-sendi tulang iga akan

menjadi kaku. keadaan tersebut akan mengakibatkan:

a. penurunan laju ekpirasi paksa satu detik sebesar kurang lebih 0,2

liter dekade serta berkurangnya kapasitas vital

b. menurunnya sistem pertahanan yang terdiri atas gerak bulu getar,

leukosit, antibodi dan reflek batuk. Semua itu berakibat lansia

menjadi lebih rentan terhadap infeksi.

2.2 Konsep Sistem Muskuloskeletal

2.2.1 Pengertian Muskuloskeletal

Muskuloskeletal terdiri dari kata Muskulo yang berarti otot dan kata

skeletal yang berarti tulang. Muskulo atau muscular adalah jaringan otot-otot
tubuh. Ilmu yang mempelajari tentang muskulo atau jaringan otot-otot tubuh

dan myologi. Skeletal atau osteo adalah tulang tubuh (Syaifuddin,2012)

2.2.2 Otot (Muskulus / Muscle)

Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah

energi kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi

untuk menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap perubahan

lingkungan. Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi,

sehingga mampu menggerakan tulang (Syaifuddin, 2012) Gabungan otot

berbentuk kumparan dan terdiri dari:

1. Fascia, adalah jaringan yang membungkus dan mengikat jaringan lunak.

Fungsi fascia yaitu mengelilingi otot, menyediakan tempat tambahan

otot, memungkinkan struktur bergerak satu sama lain dan menyediakan

tempat peredaran darah dan saraf.

2. Ventrikel (empal), merupakan bagian tengah yang mengembung.

3. Tendon (urat otot), yaitu kedua ujung yang mengecil, tersusun dari

jaringan ikat dan besrifat liat. Berdasarkan cara melekatnya pada tulang,

dibedakan sebagai berikut:

a) Origo, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang tidak berubah

kedudukannya ketika otot berkontraksi.

b) Inersio, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang bergerak

ketika otot berkontraksi (Syaifuddin, 2012)

2.2.3 Jenis- jenis Otot

Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi:


1. Otot Rangka (Otot Lurik)

Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas

perintah dari otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat

pada otot paha, otot betis, otot dada. Kontraksinya sangat cepat dan

kuat. Struktur mikroskopis otot skelet/rangka yaitu Memiliki bentuksel

yang panjang seperti benang/filament. Setiap serabut memiliki banyak

inti yang terletak di tepi dan tersusun di bagian perifer. Serabut otot

sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan lebar berkisar

antara 10 mikron sampai 100 mikron.

2. Otot Polos

Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja

secara tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding berongga

seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada

sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan sistem

sirkulasi darah. Kontraksinya kuat dan lamban. Struktur mikroskopis

otot polos yaitu memiliki bentuk sel otot seperti silindris/gelendong

dengan kedua ujung meruncing. Serabut selini berukuran kecil, berkisar

antara 20 mikron (melapisi pembuluh darah). Memiliki satu buah inti

sel yang terletak di tengah sel otot dan mempunyai permukaan sel otot

yang polos dan halus/licin (Syaifuddin,2012)

3 Otot Jantung

Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur

yang sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung.

Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga
mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut Memilki banyak

inti sel yang terletak di tepi agak ke tengah. Panjang sel berkisarantara

85-100 mikron dan diameternya sekitar 15 mikron. Berdasarkan

gerakannya dibedakan menjadi:

a. Otot Antagonis Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya

bertolak belakang/tidak searah, menimbulkan gerak berlawanan.

Contohnya: Ekstensor (meluruskan) dengan fleksor

(membengkokkan), misalnya otot bisep dan otot trisep. Depressor

(gerakan ke bawah) dengan elevator (gerakan ke atas), misalnya

gerak kepala menunduk dan menengadah.

b. Otot Sinergis

Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling

mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya

pronator teresdanpronator kuadrus (Syaifuddin, 2012)

2.3 Konsep Gangguan Aktivitas

2.3.1 Pengertian Gangguan Aktivitas

Menurut (Heriana,2014) Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan

yang bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan

aktivitas seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan

bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari

keadekuatan sistem
persyarafan dan muskuloskeletal. Jadi dapat diartikan bahwa gangguan

aktivitas merupakan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan

kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2.3.2 Etiologi

Menurut (Hidayat,2014) penyebab gangguan aktivitas adalah sebagai

berikut:

1) Kelainan Postur

2) Gangguan perkembangan otot

3) Kerusakan sistem syaraf

4) Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dan neuromuskuler

5) Kekakuan otot

2.3.3 Manifestasi Klinis

Menurut (Potter & Perry, 2009) Manifestasi klinis pada gangguan

aktivitas adalah ketidak mampuan pasien untuk bergerak secara mandiri

atau perlu bantuan alat ataupun dengan bantuan orang lain, dan memiliki

hambatan dalam berdiri juga memiliki hambatan dalam berjalan.

2.3.4 Patofisiologi

Menurut (Hidayat, 2014) proses terjadinya gangguan aktivitas

tergantung dari penyebab dari gangguan yang terjadi. Ada 3 hal yang dapat

menyebabkan gangguan aktivitas diantaranya adalah:

1. Kerusakan Otot

Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis

otot. Otot berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses
pergerakan jika terjadi kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi

pergerakan jika otot terganggu. Otot dapat rusak oleh beberapa hal

seperti trauma langsung oleh benda tajam yang merusak kontinuitas

otot. Kerusakan tendonatau ligament, radang dan lainnya.

2. Gangguan pada skelet

Rangka yang menjadi penompang sekaligus proses pergerakan

dapat terganggu pada kondisi tertentu hingga menggangu

pergerakan atau mobilisasi. Beberapa penyakit dapat menggangu

bentuk, ukuran maupun fungsi dari sistem rangka diantaranya

adalah fraktur, radang sendi, kekakuan sendi dan lain sebagainya.

3. Gangguan pada sistem persyarafan

Syaraf berperan penting dalam menyampaikan implus dari dank ke

otak. Implus tersebut merupakan perintah dan koordinasi antara

otak dan anggota gerak. Jadi, jika syaraf terganggu maka akan

terjadi gangguan penyampaian implus dari dank e organ target.

Dengan tidak sampainya implus maka akan mengakibatkan

gangguan mobilisasi.

2.4 Konsep Hambatan Mobilitas Fisik

2.4.1 Pengertian Hambatan Mobilitas Fisik

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh

atau salah satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (NANDA,

1999 dalam Renata Komalasari, 2011) atau penurunan kemampuan untuk

berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain atau ke satu posisi ke posisi

yang lain. Hambatan mobilitas fisik juga di definisakan sebagai keterbatasan


pergerakan fisik secara mandiri baik secara aktual ataupun potensial dalam

lingkungan.

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Menurut Enawati (2012) faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah:

1. Gaya hidup

Mobilisasi seseorang di pengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai

yang di anut dan lingkungan tempat tinggal (masyarakat).

2. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik atau mental sesorang akan menghalangi seseorang untuk

melakukan aktifitas sehari-hari. Secara umum ketidak mampuan dibagi

menjadi dua, yaitu: ketidak mampuan primer disebabkan oleh trauma

atau sakit, (misalnya paralisis akibat cidera atau gangguan pada medulla

spinalis). Sedangkan ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dampak

dari ketidak mampuan primer, (misalnya tirah baring atau kelemahan

otot).

3. Tingkat energi

Energi sangat di butuhan oleh banyak hal, salah satunya adalah untuk

mobilisasi, dalam hal ini cadangan dari energi yang di miliki masing-

masing individu sangat bervariasi. Di samping itu, ada kecenderungan

seseorang untuk menghindari stressor guna untuk mempertahankan

kesehatan psikologis dan fisik.

4. Usia
Usia dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam

melakukan mobilisasi, pada individu lansia, kemampuan untuk

melakukan aktivitas menurun sejalan dengan penuaan.

2.4.3 Etiologi

Menurut Buckwalter (2011: 457-459) Beberapa faktor yang menyebabkan

atau ikut berperan terhadap hambatan mobilitas fisik:

1. Intoleransi aktifitas

Intoleransi aktifitas merupakan penurunan energi akibat kehilangan masa

otot dan tonus otot atau karena gangguan aktifitas sel. Lansia mengalami

kehilangan tonus otot atau masa otot akibat penuaan normal, tetapi juga

dapat beresiko terhadap kelemahan lebih lanjut akibat sindrom disuse,

yang berhubungan dengan penyakit kronis, penurunan pada aktivitas dan

pergerakan. Otot pernafasan juga melemah, dan paru cenderung menjadi

elastis. Oleh karena itu lansia memiliki volume tidal yang lebih sedikit

dan mengalami penurunan vital. (Buckwalter (2011: 457-459)

2. Nyeri

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau setempat. Lansia

rentang terhadap nyeri kronis ataupun akut, baik somatopatik maupun

psikogenik, karena memiliki insiden penyakit kronis dan terapi yang

lebih tinggi mengalami peningkatan trauma yang diakibatkan jatuh dan

fraktur, dan rentang terhadap infeksi. (Buckwalter (2011: 457-459)

3. Gangguan Neuromuskular
Merupakan penurunan gerakan otot karena penurunan system gangguan

intervasi parifer atau saraf pusat. Sistem saraf mengendalikan inervasi

dan fungsi seluruh dari bagian tubuh, dengan demikian, kontraksi dan

reflek otot sangat bergantung pada sistem neurologik. (Buckwalter (2011:

457- 459)

4. Gangguan Muskuloskeletal

Merupakan penurunan atau kehilangan fungsi otot sistem penyongkong

skeletal yang di sebabkan oleh faktor struktural atau mekanis. Sumber

struktural adalah hambatan pada fisiologik pergerakan. Sedangkan

penyebab mekanis adalah peralatan eksternal seperti restrain atau gips

yang bias menghambat pergerakan. Kondisi kronis, seperti osteoporosis,

fraktur, arthritis, tumor, dan edema. Mengganggu stabilitas atau

fleksibilitas struktural. (Buckwalter (2011: 457-459)

5. Gangguan Psikologis

Merupakan respon yang terjadi saat emosi yang terjadi saat stres

melebihi kemampuan individu untuk dapat berbicara secara efektif. Rasa

takut atau duka cita yang berlarut-larut akibat kehilangan yang menyertai

penuaan dapat membuat lansia yang sering kali harus menyesuaikan diri

dengan perubahan gaya hidup dan lingkungan. Tanpa di dukung oleh

kondisi kesehatan yang baik dan sistem dukungan keluarga yang

memadahi. (Buckwalter (2011: 457-459)

6. Hambatan sosiokultural atau lingkungan fisik.

Hambatan sosiokultural merupakan ketidak sesuaian peran dan konflik

peran, ketidak seimbangan hubungan kekuasaan, hubungan sosial kurang


baik, hubungan yang tidak cocok, dan nilai budaya yang tidak cocok.

Lansia sangat beresiko terhadap hambatan hubungan sosial dan

perubahan serta transisi peran, seperti ketergantungan pada orang lain.

Hambatan pada tipe ini biasanya muncul saat lansia dirawat dipanti.

(Buckwalter (2011: 457-459)

7. Kurang pengetahuan

Induvidu sering kali tidak mampu mengelola penyakit atau cidera secara

efektif karena kurang pengetahuan tentang tindakan yang harus di

lakukan. Selain itu lansia lebih mudah mengalami defisit kognitif akibat

penyakit stroke dan dimensia. Dengan demikian lansia dapat membatasi

mobilitas mereka karena tidak mengetahui pentingnya mempertahankan

pergerakan, cara memulihkan mobilitas, dan sumber yang tersedia untuk

membantu mereka untuk mencegah gangguan lebih lanjut dan

dampaknya dapat menggangu fungsi kesehatan.

8. Defisit kognitif dan perseptual

Merupakan penurunan kemampuan untuk memproses input sensori secara

mental dan atau kehilangan sensasi. Defisit ini cenderung menyertai

penuaan normal dan juga dapat terjadi sekunder akibat penyakit yang

sering di alami oleh lansia. Lansia juga sering mengalami keterbatasan

lingkungan fisik dan sosial, terutama karena hambatan mobilitas fisik.

Lingkungan ini mengurangi input sensori penting mobilitas yang

optimum (misalnya untuk orientasi ruangan dan waktu, alasan bergerak

dan beraktivitas), sehingga keterbatasan lingkungan dapat

mengakibatkan hambatan mobilitas.


9. Faktor latrogenik

Faktor iatrogenik yang berkaitan dengan hambatan mobilitas adalah

regimen terapi yang mempengaruhi pergerakan lansi, termasuk tirah

baring, agens farmaseutika (sedatif, obat penenang, analgesik, anestetik)

lingungan layanan kesehatan yang restritif dan asing serta pembedahan

dan terapi lain yang membatasi aktivitas, seperti pemberian cairan iv,

pengisapan dan pemasangan kateter. Kondisi ini penting untuk mengatasi

cidera atau penyakit, tetapi juga bias menyebabkan masalah yang serius,

terutama pada lansia yang memiliki banyak faktor predisposisi terhadap

imobilisasi dan dampaknya.

2.4.4 Jenis Mobilitas.

Jenis mobilisasi menurut Ernawati (2012) Di bagi menjadi dua:

1. Mobilisasi penuh.

Mobilisasi penuh adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

menjalankan peran dalam sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan

fungsi saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol

seluruh tubuh seseorang.

2. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara terbatas,

Batasan jelas, dan tidak mampu secara bebas, karena di pengaruhi oleh

gangguan saraf motorik dan sensorik. Hal ini dapat di jumpai pada

kasus dengan cidera patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas

sebagian ini di bagi menjadi 2 tipe, yaitu:


a. Mobilitas sebagian temporer

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan

yang sementara. Hal tersebut dapat di sebabkan oleh trauma

reversibel pada sistem musculoskeletal. Contohnya adalah dislokasi

tulang atau sendi.

b. Mobilitas sebagian permanen

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan

yang sifatnya menetap. Hal ini di sebabkan oleh rusaknya sistem

saraf yang reversibel. Contoh terjadinya stroke, cidera tulang, dan

terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.

2.4.5 Manfaat Mobilisasi

Menurut Mubarak, Indrawati, & Susanto (2015)

1) Mencegah kemunduran dan mempertahankan fungsi tubuh serta

mengembalikan rentang gerak aktif, sehingga penderita dapat kembali

bias gerak dengan normal serta setidaknya penderita dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

2) Membantu pernafasan lebih menjadi kuat

3) Memperlancar eliminasi alvi dan urine

4) Memperlancar peredaran darah

5) Mempertahankan tonus otot, memelihara dan peningkatan pergerakan

dari persendian

6) Memperlambat proses penyakit, khususnya penyakit degeneratif

7) Dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan cita tubuh)

2.4.6 Dampak Hambatan Mobilitas Fisik


1. Dampak Fisiologik

Menurut mass (2011: 449) pada situasi tertentu, penurunan

mobilitas fisik menguntungkan. Dalam keadaan istirahat, konsumsi

oksigen dan metabolisme menjadi lebih lambat dan beban jantung

menurun. Nyeri, ketengangan, dan pengisian vena berkurang saat sistem

muskuloskeletal rileks ketika posisi tubuh supinasi. Banyak penyakit

misalnya CHF dan fraktur. Memerlukan beberapa tingkat penghambatan

aktivitas guna mencapai penanganan yang efektif. Kemampuan fungsi

tubuh berkurang jika bagian tubuh tersebut mengalami cidera atau

terserang penyakit. Kebutuhan fisiologia bagian tubuh tersebut mungkin

lebih bersar di bandingkan dengan kemampuan responnya. Dengan

demikian, istirahat sangat penting untuk mempertahankan homeostasis

dan mencegah cidera yang lebih lanjut. Semakin besar hambatan

mobilitas fisik, semakin besar pula kemungkinan timbul masalah

fisiologis. Jenis penurunan kondisi fisiologik yang muncul akibat

hambatan mobilitas fisik antara lain:

a. Penurunan rentang pergerakan sendi (RPS)

Penurunan RPS terjadi akibat hambatan mobilitas fisik karena

jaringan ikat di sekitar kapsula sendi dan di dalam otot menjadi

padat. serat otot yang terkena mendadak dan atrofi karena tidak

secara teratur tidak memendek dan memanjang dalam rentang

pergerakan penuh otot tersebut. Radang, trauma dan sirkulasi yang

buruk di tambaha hambatan mobilitas dan mempercepat

pembentukan jaringan ikat padat.

b. Penurunan kekuatan dan ketahanan otot.


Penurunan kekuatan otot dan ketahanan otot terjadi jika

kontraksi otot kurang dari 20% tengangan maksimum setiap hari.

Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan otot bergantung pada

frekuensi kontraksi tegangan maksimum. Beberapa kontraksi kuat

setiap hari cukup untuk mempertahankan massa dan kekuatan otot

jika asupan protein adekuat. Namun, otot yang istirahat sempurna

akan kehilangan 10- 15% kekuatan setiap minggu dan dapat

kehilangan sebesar 5,5% kekuatan setiap harinya, dengan kegilangan

yang cepat terjadi adalah pada fase awal imobilitas. Penurunan

kekuatan terjadi akibat peningkatan reabsorbsi tulang yang

menyertai hambatan mobilitas. Struktur skeletal biasanya selalu di

perbarui melalui absorbs dan pergantian tulang. Proses ini

bergantung pada kontraksi Penurunan kekuatan skeletal otot dan

tegangan otot untuk meningkatkan deposisi tulang osteoporosis

terjadi saat destruksi tulang dan reabsorbsi melampau produksi

tulang.

c. Gangguan Kardiovaskuler

Gangguan fungsi kardioveskuler terutama dramatis jika

hambatan mobilitas menyebabkan lansia harus tirah baring lama

hanya atau dapat duduk di kursi. Efek kemunduran akan lebih berat

jika saat yang sama terjadi demam, penyakit atau cidera.

Kemampuan adaptasi sirkulasi terhadap posisi tegak menurun secara

cepat jika induvidu terlalu lama berbaring. Vasokonstriksi, sebagai

respon simpatis normal untuk mengompensasi penurunan tekanan

arteri dan peningkatan frekuensi jantung saat posisi berubah dari

supinasi ke
posisi tegak, tidak lagi efektif. Sebaliknya terjadi vasodilatasi dan

pengisian vena, dan menyebabkan penurunan volume sirkulasi,

penurunan aliran balik vena, penurunan curah jantung, peningkatan

frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.

d. Ketidakseimbangan metabolik

Penurunan mobilitas menyebabkan pemecahan protein dan

ekskresi nitrogen dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan

metabolik lain. Terjadi penurunan laju metabolik, peningkatan

cadangan lemak atau karbohidrat, keseimbangan nitrogen dan

kalsium metabolik negatif, penurunan toleransi glukosa, dan

alkoholis metabolik. Elektrolit lain juga di laporkan mengalami

keseimbangan negatif akibat imobilitas.

e. Gangguan fungsi perkemihan

Penurunan fungsi perkemihan yang paling parah jika

hambatan mobilitas mengakibatkan posisi induvidu harus terus

rekumben, aliran urine dari ginjal ke ureter melawan gaya gravitasi.

Karena peristalsis tidak memadahi untuk melawan gravitasi, pelvis

ginjal terisi penuh sebelum urine mengalir ke ureter. Oleh karena itu,

terjadi statis urine. Akibatnya, terjadi statise urine yang merupakan

predisposisi terhadap batu ginjal atau infeksi ginjal.

f. Penurunan fungsi pencernaan

Masalah pencernaan yang berhubungan dengan hambatan

mobilitas meliputi ingesti, digesti, dan eliminasi. Imobilisasi lama


mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif. Induvidu dengan

keseimbangan nitrogen negatif seringkali anoreksia, yang

menyebabkan kurang gizi dan mempersulit masalah kesehatan lain.

g. Gangguan pernapasan

Gangguan pernafasan akibat hambatan mobilitas disebabkan

oleh tauma penurunan ventilasi dan ketidakmampuan mengeluarkan

sekresi. Ekspansi sempurna aveoli, yang biasanya dicapai saat

melakukan aktivitas fisik pada posisi tegak, terganggu saat mobilitas

terhambat. Pertukaran gas optimum hanya terdapat terjadi apabila

alveoli terisi penuh oleh udara dan dekat dengan sirkulasi darah dan

saat udara di alveoli bertukar secara kontinu.

2. Dampak Psikologis

Mobilitas fisik mempengaruhi konsep diri, harga diri, dan

kemampuan manusia dalam menghadapi masalah. Kemampuan berinteraksi

secara fisik dengan komponen dalam lingkungan untuk memenuhi

kebutuhan manusia berkaitan erat dengan konsep diri dan peran diri.

Hambatan mobilitas mengganggu aspek konsep diri dan harga diri.

Akibatnya imobilitas menyebabkan kurang minat dan kurang motivasi

untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Dorongan dan harapan menurun,

dan emosi dapat di ekspresikan secara berlebihan atau tidak tepat, termasuk

marah, apati, agresi, atau regresi. Isolasi dan ketergantunagn paksa dapat

menunjukan stimulus
intelektual dan sensori, yang di butuhkan oleh perilaku perseptual yang

optimal.

3. Dampak Sosioekonomik

Bagi lansia, dampak sosioekonomik hambatan mobilitas sering kali

berat. Hambatan mobilitas dapat mengubah aktivitas peran induvidu sebagai

pasangan, orang tua, teman, karyawan, dan anggota kelompok sosial dan

komunitas. Tanggung jawab sosial biasanya membutuhkan aktivitas fisik

dan stabilitas psikologik. Akibat hambatan mobilitas, jaringan dukungan

sosial teganggu, menyebabkan lansia memiliki kesempatan terbatas untuk

dapat mempertahankan fungsi interaksi dan hubungan sosial yang optimal.

2.4.7 Pemeriksaan diagnostik atau penunjang

Menurut (Potter and Perry (2012)

1) Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan

hubungan tulang.

2) CT Scan (Computed Tomography) menunjukan rincian bidang tertentu

tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau

cidera ligament atau tendon. Di gunakan untuk mengidentifikasi dlokasi

dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi.

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah Teknik pencitraan khusus,

noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan


computer untuk memperlihatkan abnormalitas. (mis: tumor atau

penyempitan jalur jaringan lunak, melalui tulang Dll).

4) Pemeriksaan Laboratorium

HB menurun pada trauma, Ca menurun pada imobilisasi lama, Alkali

Fosfat meningkat, Kreatinin dan SGOT meningkat pada kersakan otot

2.4.8 Terapi atau tindakan penanganan

Terapi yang dapat di lakukan antara lain (Potter and Perry (2012)

1) Kesejajaran Tubuh

Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat

mengangangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi

yang tepat, dan memindahkan klien dengan posisi yang aman dari

tempat tidur ke kursi atau brankar. Pengaturan posisi dalam

mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan untuk

meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi.

Posisi-posisi tersebut, yaitu: posisi fowler (setengah duduk), posisi

litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi supinasi (terlentang), posisi

pronasi (tengkurap), posisi lateral (miring), posisi sim, posisi

trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki).

2) Mobilisasi Sendi

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat

dapat mengajarkan klien latihan ROM (Range of Motion). Apabila

klien tidak mempunyai control motorik volunteer maka perawat

melakukan latihan rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga

ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM aktif maupun


pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan

pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu: Fleksi dan

ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan

supinasi lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi,

rotasi bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi

dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi

pangkal paha.

3) Mengurangi Bahaya Mobilisasi

Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus

mencegah dan meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus

diarahkan untuk mempertahankan fungsi optimal pada seluruh

sistem tubuh.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan

2.5.1 Pengkajian

Sebelum melakukan anamnesis, pastikan bahwa identitas sesuai

dengan catatan medis. Perawat hendaknya memperkenalkan diri, sehingga

terbentuk hubungan yang baik dan saling percaya yang akan mendasari

hubungan terapeutik selanjutnya antara perawat dan klien dalam asuhan

keperawatan. Untuk itu, format pengkajian pada lansia yang di

kembangkan minimial terdiri atas: data dasar yaitu identitas, alamat,

Pendidikan, pekerjaan, agama, dan suku bangsa (Sunaryo, dkk, 2016)

a. Identitas
Beberapa penyakit muskuloskeletal banyak terjadi pada klien di atas

usia 60 tahun. Lansia yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak

yang mengalami gangguan sistem muskuloskeletal dari pada

perempuan, pekerjaan yang berat juga akan dapat mempengaruhi

sistem muskuloskeletal.

b. Keluhan utama

Pada umumnya pasien mengalami kesulitan untuk melakukan

beraktivitas, dipnea setelah aktivitas, gangguan sikap berjalan,

Gerakan lambat, kesulitan membolak-balikan posisi, keterbatasan

pada rentang gerak, dan ketidaknyamanan pada pasien (NANDA

Internasional, 2015)

c. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit mulai dari timbulnya keluhan yang dirasakan

sampai saat dibawa ke layanan kesehatan, biasanya pasien mengalami

intoleransi aktivitas, nyeri yang di akibatkan jatauh dan fraktur,

gangguan musculoskeletal penyebabnya peralatan eksternal seperti

restrain atau gips. atau kondisi kronis seperti osteoporosis, fraktur,

artritis, tumor, edema (Buckwalter, 2011)

d. Riwayat penyakit dahulu

Perlu di kaji riwayat penyakit yang lalu seperti riwayat penyakit

muskulokeletal, riwayat pekerjaan yang dapat berhubungan dengan

penyakit muskulokeletal. Apakah klien mengalami penyakit serupa

sebelumnya, apakah klien mengalami menopouse dini, serta


penggunaan obat-obatan tertentu seperti lortikosteroid,

glukokortikosteroid, serta deuretik (Mutaqqin, 2008 dalam Afni,

2019)

e. Riwayat penyakit keluarga

\Perlu di kaji ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki Riwayat

penyakit keturunan keluarga atau apakah keluarga pernah menderita

penyakit yang sama karena faktor genetik. Misalnya tentang ada

tidaknya riwayat alergi, stroke, penyakit jantung, dan DM (Mutaqqin,

2008 dalam Afni, 2019)

f. Pengkajian psikososial dan spiritual

1) Psikologi : biasanya mengalami peningkatan stress

2) Sosial : cenderung menarik diri dari lingkungan

3) Spiritual : kaji agama terlebih dahulu, bagaimana cara pasien

menjalankan ibadah menurut agamanya, adakah risiko/

hambatan pasien dalam menjalankan ibadahnya.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Pasien lansia (≥60 tahun) yang mengalami gangguan muskuloskeletal

keadaan umumnya lemah. Timbang berat badan klien, apakah ada

gangguan penyakit karena obesitas atau malnutrisi.

2. Kesadaran

Kesadaran klien biasanya composmentis dan apatis.

3. Tanda-tanda vital

a. Suhu meningkat (>37ᶿC) atau dalam batas normal

b. Nadi meningkat atau dalam batas normal


c. Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal

d. Pernafasan biasanya normal atau terjadi peningkat

4. Pemeriksaan head to toe

a. Pemeriksaan muka dan kepala

Pemeriksaan ini meliputi bentuk wajah, benjolan pada kepala

maupun muka, ada tidaknya lesi, penyebaran rambut, dan

kerontokan rambut.

b. Mata

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan konjungtiva,

sklera, strabismus, penglihatan, peradangan, katarak, dan

penggunaan kacamata.

c. Hidung

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi bentuk hidung, peradangan

dan penciuman.

d. Mulut tenggorakan, telinga

Terdapat kebersihan mukosa bibir, peradangan/stomatitis, gigi,

radang gusi, kesulitan mengunyah, pendengaran. Pada lansia

biasanya terdapat penurunan pendengaran.

e. Dada

Pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan bentuk dada normal,

retraksi, suara nafas vesikuler, ada tidaknya suara tambahan, ada

tidaknya suara jantung tambahan, pemeriksaan ictus cordis, dan ada

tidaknya keluhan yang dirasakan.

f. Abdomen
Pemeriksaan bentuk perut, nyeri tekan, kembung, bising usus, dan

massa keluhan yang diraskan.

g. Ekstermitas

Pemeriksaan kekuatan otot (skala 1-5)

0) : Lumpuh

1) : Ada kontraksi

2) : Melawan gravitasi dengan sokongan

3) : Melawan gravitasi tetapi tidak ada tahanan

4) : Melawan gravitasi dengan tahanan sedikit

5) : Melawan gravitasi dengan kekuatan penuh

Biasanya pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik akan

mengalami kelemahan pada otot karena biasa terjadi akibat nyeri

pada ekstermitas atau penyakit lain seperti stroke, osteoporosis,

gout arthritis, dll (Buckwalter, 2011)

2.5.3 Pengkajian Status Kesehatan Kronis, Kongnitif, Fungsional, satus

Psikologis dan Dukungan Keluarga.

1. Pengkajian Kesehatan Kronis

Pengkajian ini di lakukan untuk mengetahui seberapa kronis masalah

kesehatan pada lansia pengkajian ini di lakukan dengan menggunakan

pengkajian masalah keperawatan (Nugroho, 2010)

2. Pengkajian status kognitif

Menggunakan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)

untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, yang terdiri

dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan


kemampuan perawatan diri, memori jauh, serta kemampuan matematis

(Nugroho, 2010)

3. Pengkajian status fungsional

Pengkajian status fungsional didasarkan pada kemandirian klien dalam

menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemandirian berarti tanpa

pengawasan, pengarahan dan bantuan dari orang lain. Instrument yang

biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional yaitu Indeks Katz,

Bartel Indeks, dan Sullivan Indeks Kats. Lingkup pengkajian meliputi

keadekuatan enam fungsi yaitu: mandi, berpakaian, toileting, berpindah,

kontinen dan makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional

klien (mandiri/ dilakukan sendiri atau tergantung) (Sunaryo, dkk, 2015)

4. Pengkajian status dukungan keluarga

Status dukungan dapat diukur dengan menggunakan APGAR keluarga.

Penilaian: jika pertanyaan-pertanyaan yang dijawab selalu (poin 2),

kadang- kadang (poin 1), hampir tidak pernah (poin 0) (Nugroho, 2010)

5. Tingkat Depresi

Mengkaji seberapa tingkat depresi pada lansia mengetahui nilai normal

dalam tingkat depresi (Nugroho, 2010). Penilaian tingkat depresi dengan

cara menilai seberapa besar depresi yang terjadi pada lansia.

6. Indeks Barthell
Pengkajian ini untuk mengetahui kemandirian lansia dalam melakukan

aktivitas sehari-harinya. Dan untuk mengetahui kemandirian tersebut dapat

di lihat dari kemandirian Indeks Barthell (Nugroho, 2010)

2.5.4 Diagnosa Keperawatan

Dalam studi literatur ini hanya fokus membahas pada diagnosa

keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan pada sistem

muskuloskeletal
2.5.5 Intervensi Keperawatan.

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan SDKI SLKI SIKI

1 Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan OUTCOME Dukungan mobilisasi


muskuloskeletal
Mobilitas Fisik meningkat Observasi
DEFINISI
Keterbatasan dalam gerak fisik dari satu (L.05042) 1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
atau lebih ekstremitas secara mandiri.
lainnya
PENYEBAB
a. Kerusakan integritas struktur tulang kriteria hasil: 2) Identifikasi adanya toleransi fisik saat
b. Perubahan metabolisme
1)Pergerakan ekstremitas melakukan
c. Ketidakbugaran fisik
d. Penurunan kendali otot meningkat )Monitor tekanan darah sebelum memulai
e. Penurunan massa otot
2)Kekuatan otot meningkat mobilitas
f. Penurunan kekuatan otot
g. Keterlambatan perkembangan 3)Rentang gerak (ROM) 4)Monitor keadaan umum selama melakukan
h. Kekakuan sendi
meningkat mobilisasi
i. Kontraktur
j. Malnutrisi 4)Nyeri menurun Terapeutik
k. Gangguan musculoskeletal
5)Kecemasan menurun 1)Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
Gejala dan tanda mayor 6)Kaku sendi menurun bantu (misalnya pagar tempat tidur)
Subjektif:
7)Gerakan tidak 2)Fasilitasi melakukan pergerakan , jika perlu
a.Mengeluh sulit menggerakan
ekstermitas terkoordinasi 3)Libatkan keluarga untuk membantu pasien
Objektif:
menurun dalam meningkatkan pergerakan
a.Kekuatan otot menurun

41
42

b.Rentang gerak (ROM) menurun 8)Gerakan terbatas menurun Edukasi


Gejala dan tanda minor
9)Kelemahan fisik menurun 1)Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Subjektif:
a.Nyeri saat bergerak 2)Anjurkan melakukan mobilisasi dini
b.Enggan melakukan pergerakan
3)Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
c.Merasa cemas saat bergerak
Objektif : dilakukan (misalnya duduk ditempat tidur,
a.Sendi kaku
duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat
b.Gerakan tidak terkoordinasi
c.Gerakan terbatasd.Fisik lemah tidur ke kursi)
Pengaturan posisi
Observasi
1)Monitor status oksigenasiTerapeutik
1)Motivasi melakukan ROM aktif atau pasif
2)Hindari gerakan menempatkan klien yang
dapat meningkatkan nyeri
Berdasarkan intervensi diatas dalam menangani lansia dengan gangguan

aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik, peneliti

memilih Tindakan non farmakologi yaitu dengan Latihan ROM. Dari hasil

penelitian beberapa terdahulu yang menjadi tindakan keefektifan tindakan

keperawatan yang di angkat oleh peneliti yakni tindakan latihan range of motion

(ROM) terhadap lansia yang mengalami masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik sebagai berikut:

Pada jurnal 1 berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Hermina

Desiane Uda, Muflih, Thomas Aquino Erjinyuare Amigo yang berjudul Latihan

Range of Motion berpengaruh terhadap mobilitas fisik pada lansia di Balai

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta. Metode Metode

yang di gunakan penulis ini adalah kualitatif dengan pendekatan action research

yang bertujuan untuk melakukan perubahan pada suatu masalah dengan

memberikan sebuah intervensi atau tindakan yang dipantau oleh peneliti

sehingga hasil dari perubahan tersebut dapat dimanfaatkan pada penelitian ini. di

dalam penelitian ini membahas tentang lanjut usia, peningkatatan UHH terhadap

populasi lansia, perubahan normal yang terjadi akibat penuaan paling sering

terlihat pada sistem muskuloskeletal berupa penurunan otot dan hambatan pada

mobilitas fisik karena di akibatkan oleh perubahan patalogis pada sistem

muskuloskeletal dapat memberikan dampak pada fisik maupun psikososial pada

lansia. Dampak fisik dari gangguan mobilitas adalah penurunan kekuatan otot,

kontraktur yang membatasi mobilitas sendi, kekakuan dan nyeri pada sendi.

Masalah mobilitas pada lansia dapat di atasi dengan memberikan intervensi

latihan range of motion


(ROM). Latihan range of motion adalah latihan pergerakan maksimal yang di

lakukan oleh sendi, latihan ini menjadi salah satu latihan yang berfungsi dalam

pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada lansia. Berdasarkan data

hasil penelitian pada masing-masing sub tema dari gerakan dapat di simpulkan

bahwa latihan ROM memberikan perubahan pada kemampuan lansia dalam

melakukan pergerakan. Perubahan yang di rasakan hanya sedikit dan berbeda-

beda pada setiap lansia. Perubahan tersebut dapat di lihat pada cara dan

kemampuan berjalan, kemampuan motorik halus, dan pengalaman gemetar.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Junaidi Imron, Susi

Wahyuning Asih pada jurna 2 yang berjudul Pengaruh Latihan ROM aktif

terhadap keaktifan fisik pada lasia di Dusun Karang Templek Desa Andongsari

Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Rancangan penelitian ini bersifat

Eksperimental semu (quasy-experiment) Rancangan ini berupaya untuk

mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok

kontrol disamping kelompok eksperimental, Desain penelitian ini menggunakan

pre test and post test with control design. Penelitian ini di lakukan pada 30

responden yang memenuhi kriteria inklusi. Dari jumlah tersebut kemudian

peneliti membagi atas dua kelompok yaitu 15 orang masuk dalam kelompok

perlakuan sedangkan 15 orang masuk ke kelompok kontrol. Berdasarkan hasil

penelitian ini adalah sesuai yang tertera pada tabel 5.4 yakni terdapat berbedaan

yang cukup signifikan menegenai peningkatkan keaktifan fisik pada lansia

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dan dapat di artikan bahwa

hasil HO di tolak dan H1 di terima, yaitu terdapat pengaruh latihan ROM aktif

terhadap
keaktifan fisik pada kelompok lansia Nusa Indah 02 di wilayah dusun Karang

Templek desa Andongsari kecamatan Ambulu Kabupaten Jember.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Sahmad, Reni Yunus, Andi

Sarmawan pada jurnal ke 3 yang berjudul pengaruh pemberian range of motion

(ROM pasif terhadap fleksibilitas sendi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda

Minaula Kendari. jenis penelitian yang di gunakan adalah pre eksperimen

dengan pendekatan one groub pretest posttest design yang rancangannya tidak

ada kelompok perbandingan (kontrol), paling tidak sudah di lakukan observasi

pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan yang terjadi setelah

adanya eksperimen (Notoatmodjo, 2012), populasi yaitu semua lansia yang

berada di Panti Sosial Tresna Wherda Minaula Kendari sebanyak 95 orang.

Sedangkan sempel yaitu seluruh lansia yang mengalami gangguan fleksibilitas

sendi. Sampel berjumlah 12 orang, dan pengambilan sampel dengan cara total

sampling. teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara

melakukan pretest, postes, observasi dan wawancara. Hasil dari penelitian ini

adalah sesuai dengan penelitian Soempeno, dkk (2007) tentang “Pengaruh

Latihan range of motion ROM Pasif terhadap fleksibilitas sendi lutut pada

Lansia di Panti Wreda Wening Wardoyo Ungaran”. Penelitian ini menunjukan

bahwa ada peningkatkan yang signifikan antara pengukuran pertama-kedua pada

fleksi lutut kanan dan kiri dan antara pengukuran pertama-ketiga pada fleksi

sendi lutut kiri. Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan

terjadinya peningkatkan aliran darah kedalam kapsula sendi dan memberiakn

nutrisi yang memungkinkan tulang untuk bergerak dengan lancar dan tanpa rasa

sakit atau ketidaknyamanan.


Lansia yang menderita Hambatan mobilitas fisik disarankan untuk

berobat, karena "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya,

demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka

berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram." (HR. Abu Dawud

dari Abud Darda` radhiallahu 'anhu). Hadis di atas menunjukan bahwa setiap

penyakit pasti ada obatnya, dan hendaklah manusia melakukan perawatan

sakitnya atau berobat kepada yang mengetahuaninya atau ahlinya. Tetapi obat

dan dokter hanyalah cara kesembuhan, sedangkan kesembuhan hanya datang

dari Allah. Semujarab apapun obat dan sehebat apapun dokternya, jika Allah

tidak menghendaki kesembuhan, maka tidak akan mendapat kesembuhan.

Bahkan jika meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari selain-Nya, berarti ia

telah rela keluar dari agama dan neraka sebagai tempat tinggalnya kelak jika

tidak juga bertaubat.

Sebagaimana manusia yang arif dan bijaksana tentunya kita tidak boleh

lalai dengan urusan duniawi semata, terlebih bagi mereka yang sudah masuk fase

lanjut usia, karena banyak yang harus kita siapkan baik secara dhohir maupun

batin. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.Yasin [36] ayat: 68.

‫َف ََل يَ ْع‬Zَ‫و َمن ِّ س ٱ ْل ْ ق ۖ أ‬


‫قِّ لُو َن‬ ‫ن ’ ه ى ل‬
‫ره ك‬
ُ ْ ‫ّ َع ِّ’م‬
‫خ‬ ‫َن‬

Artinya: Dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami

kembalikan dia kepada kejadianya, maka apakah mereka tidak memikirkannya.

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa siapa yang dipanjangkan umurnya

sampai usia lanjut akan dikembalikan menjadi lemah seperti keadaan semula.

Keadaan itu ditandai dengan rambut yang mulai memutih, penglihatan mulai
kabur, pendengaran sayu sayup sampai, gigi mulai berguguran, kulit mulai

keriput, langkahpun telah gontai. Ini adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak

oleh siapapun. Siapa yang disampaikan oleh Allah pada usia lanjut bersiaplah

untuk mengalami keadaan seperti itu.

2.5.6 Implementasi keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik

Implementasi merupakan pengolahan dan perwujudan diri suatu rencana

keperawatan yang telah di susun pada tahap intervensi dan perencanaan. Fokus

pada intervensi keperawatan antara lain mempertahankan daya tahan tubuh,

mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, menetapkan

hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan dokter (Sri Wahyuni,

2016).

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat

mengajarkan klien latihan ROM (Range of Motion). Apabila klien tidak

mempunyai control motorik volunter maka perawat melakukan latihan rentang

gerak pasif. Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik

ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi

kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu: Fleksi dan

ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan

bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi bahu, fleksi dan ekstensi

jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan

ekstensi lutut, rotasi pangkal paha.

2.5.7 Evaluasi

Evaluasi atau tahap penilaian merupakan tindakan perbandingan yang

sistematis yang terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah di
tetepkan, di lakukan dengan cara bersambungan dengan melibatkan klien,

keluaraga, dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat

kemampuan klien untuk mencapai tujuan yang di sesuaikan dengan kriteria hasil

pada tahap perencanaan (Sri Wahyuni, 2016).

Evaluasi dapat di lakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP:

S: Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

O: Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

A: Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah

masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontraksi

dengan masalah yang ada

P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil Analisa pada respon klien

Rencana tindak lanjut dapat berupa: rencana di teruskan jika masalah

tidak

berubah, rencana dimodifikasi jika masalah tetap dan semua tindakan sudah

dilanjutkan tetapi hasil belum memuaskan, rencana dibatalkan jika ditemuka

masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada serta diagnosa lama

dibatalkan, rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang

diperlukan adalah memelihara dan mempertahankan dengan kondisi yang baru

(Hermanus, 2015)

Menurut Olfah, Y (2016) ada 3 kemungkinan keputusan pada tahapan

evaluasi: klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan, sehingga

rencana mungkin di hentiakan

1) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan, sehingga perlu

penambahan waktu, resources, dan intervensi dan sebelum tujuan berhasil


2) Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan, sehingga perlu

a. Mengkaji ulang masalah atau respon yang lebih akurat

b. Membuat outcome yang baru, mungkin outcome pertama tidak realitis atau

mungkin keluarga tidak menghendaki terhadap tujuan yang disusun oleh

perawat

c. Intervensi keperawatan terus dievaluasi dalam hal ketepatan untuk mencapai

tujuan sebelumnya
2.6 Hubungan antar konsep

Lansia Proses Degeneratif

Gangguan Muskuloskeletal

Keterangan:
Gangguan Aktivitas
= konsep utama yang ditelaah

= tidak ditelaah dengan baik Tanda Gejala


Penurunankekuatan otot
= berpengaru Kurangpengetahuan tentang
aktivitas fisik
= berhubungan dengan Keadaan mood depresif
Keterlambatan perkembangan
Ketidaknyamanan.

Hambatan Mobilitas fisik

Pengkajian Diagnosa keperawatan Evaluasi


Intervensi :
PadaLansia yang Hambatan Mobilitas dilihat dari
Perawatan
Mengalami Fisik b.d Gangguan hasil
hambatan
Gangguan Muskuloskeletal implemen-
mobilitas fisik
Aktivitas dengan Batasan karakteristik: tasi yang
Masalah dilakukan
Perubahan cara
Keperawatan berjalan
Hambatan Gerakan bergetar Implementasi
Mobilitas Fisik dilakukan
Tremor akibat
berdasarkan
pergerakan
intervensi
Pergerakan lambat
keperawatan

Gambar 2.1 Hubungan Antar Konsep.


33

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Dalam studi kasus ini Penulis melakukan Asuhan Keperawatan di Wisma


Wijaya Kusuma dan Tulip. Tipe rumah permanen, lantai eumah di buat
darikeramik di suatu wisma terdapat 6 kamar termasuk kamar pengasuh. Satu
kamar di tempati oleh 2 lansia atau 1 lansia dan ada dua kamar mandi dan satu
dapur.

3.1 Pengkajian

Tabel 3.1 Anamnesis Biodata Klien dengan Pasca Stroke di Panti Tresna Werdha Nirwana

Puri Samarinda

Nama Tn. N Tn. A


Umur 71 tahun 67 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki
Agama Islam Islam
Pendidikan Terakhir SD STM
Pekerjaan sebelumnya Wiraswasta Bengkel mobil
Alamat Sebelum Panti Jl. Timbau Jl. Kampung jawa
Tanggal Masuk Panti
Tanggal Pengkajian 15 April 2019 15 April 2019
Kamar 1 2
Penanggung Jawab Pengasuh wisma Pengasuh wisma
Pekerjaan Penanggung Pengasuh wisma Pengasuh wisma
Jawab
Sumber Informasi Anamnesa Anamnesa
Tabel 3.2 Riwayat Masuk Panti

Riwayat Masuk Panti Klien 1 Klien 2


Diantar oleh Kepolisian. Dibawa oleh warga
setempat.

Alasan Masuk Panti Klien 1 Klien 2


klien kebingungan saat Klien tinggal seorang
petugas kepolisian diri, tidak ada sanak
bertanya tentang saudara dan tidak ada
rumahnya yang mengurusi.
Tabel 3.3 riwayat lingkungan hidup
Riwayat Lingkungan Klien 1 Klien 2
Hidup
Tipe tempat tinggal Rumah tunggal Rumah tunggal
Jumlah kamar 5 5
Jumlah tingkat Tidak ada Tidak ada
Jumlah orang yang tinggal 5 7
dirumah
Derajat Privasi Klien hanya sendiri Klien tinggal berdua
tinggal di kamarnya dengan Lansia lain
sehingga privasi sehingga privasi
klien terjaga klien kurang terjaga.
Tetangga Terdekat Penghuni Sesama wisma Penghuni Sesama wisma
Alamat/ telepon Jln. Mayjen Sutoyo Jln. Mayjen Sutoyo

Tabel 3.4 Riwayat Rekreasi


Riwayat Rekreasi Klien 1 Klien 2
Hobi/minat Mendengarkan radio Senam
Keanggotaan Organisasi Pengajian Pengajian
Liburan Tidak ada Tidak ada
Tabel 3.5 Sumber/Sistem Pendukung

Sumber/Sistem Pendukung Klien 1 Klien 2


Dokter √ √
Perawat √ √
Rumah Sakit/Puskesmas/Klinik √ √
Pelayanan kesehatan dirumah
Lain-lain. Sebutkan Pengasuh wisma Pengasuh wisma

Tabel 3.6 Status kesehatan saat ini

Status Kesehatan Saat Klien 1 Klien 2


ini
Status kesehatan umum Stroke Stroke
selama setahun yang lalu
Status kesehatan umum Stroke Stroke
selama 5 tahun yang lalu
Keluhan-keluhan Kelemahan pada anggota Kelemahan pada anggota
kesehatan utama gerak sebelah kanan kerak kiri
Pengetahuan klien mengatasi masalah klien mengatasi masalah
penatalaksanaan masalah penyakitnya dengan penyakitnya dengan
kesehatan mandiri Mandiri

Tabel 3.7 Obat-obatan dan dosis


Obat-obatan dan dosis Klien 1 Klien 2
Nama obat Klien tidak mengunakan Klien tidak mengunakan
obat-obatan obat-obatan
Bagaimana / kapan
menggunakannya
Dokter yang
menginstruksikan
Tanggal resep
Status imunisasi Klien 1 Klien 2
Tetanus, Difteri Klien tidak ingat Klien tidak ingat
Influenza Klien tidak ingat Klien tidak ingat
Pneumoni Klien tidak ingat Klien tidak ingat
Alergi Tidak ada Tidak ada
Obat-obatan Tidak ada alergi Tidak ada alergi
Makanan Tidak ada alergi makanan Tidak ada alergi makanan
Tertentu tertentu
Kontak substansi Tidak pernah kontak Tidak pernah
langsung dengan kontak langsung
penderita penyakit dengan penderita
Menular penyakit
menular
Faktor-faktor lingkungan Lingkungan klien bebas Lingkungan klien
dari penderita penyakit bebas dari penderita
system imun penyakit
system imun

Nutrisi Klien 1 Klien 2

Diet, pembatasan
makanan minuman
Riwayat peningkatan / Tidak ada penurunan atau Tidak ada penurunan atau
penurunan berat badan peningkatan berat badan. peningkatan berat badan.
Pola konsumsi makan Klien mampu makan Klien mampu makan
(missal frekuensi, sendiri dengan mandiri. dengan mandiri.
atau dengan orang lain)
Masalah-masalah yang Klien tidak mengalami Klien tidak mengalami
mempengaruhi masukan kesulitan dalam kesulitan dalam
makanan (missal : mengunyah ataupun mengunyah ataupun
pendapatan tidak adekuat, menelan makanan. menelan makanan.
kurang transporatsi,
Masalah
menelan/mengunyah,
stress emosional) :
Kebiasaan Tidak mau makan jika Klien jarang makan
tidak ada sambal. dengan lauk-pauk,
biasanya makan hanya
dengan sayur

Tabel 3.8 Status Kesehatan Masa Lalu


Status kesehatan Klien 1 Klien 2
masa lalu
Penyakit masa kanak- Tidak ada Tidak ada
Kanak
Penyakit serius/kronik Stroke Stroke
Trauma Tidak ada Tidak ada
Perawatan Dirumah sakit
(alasan, tanggal, tempat,
durasi, dokter)
Operasi (perhatikan jenis,
tanggal, alasan dokter)

Tabel 3.9 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik Klien 1 Klien 2
Umum Ya Tidak Ya Tidak
1. Kelelahan √ √
2. Perubahan nafsu makan √ √
3. Demam √ √
4. Keringat malam √ √
5. Kesulitan tidur √ √
6. Sering pilek, infeksi √ √
7. Penilaian diri terhadap status kesehatan √ √
8. Kemampuan untuk melakukan AKS √ √
Integumen Ya Tidak Ya Tidak
1. Pruritus √ √
2. Perubahan pigmentasi √ √
3. Perubahan tekstur √ √
Integument Ya Tidak Ya Tidak
4. Sering memar √ √
5. Perubahan rambut √ √
6. Perubahan kuku √ √
7. Pemajanan lama terhadap matahari √ √
8. Pola penyembuhan lesi, memar √ √
Hemapoetik Ya Tidak Ya Tidak
1. Perdarahan / memar abnormal √ √
2. Pembengkakan kelenjar limfe √ √
3. Anemia √ √
4. Riwayat transfusi darah √ √
Kepala Ya Tidak Ya Tidak
1. Sakit kepala √ √
2. Trauma berarti pada masa lalu √ √
3. Pusing √ √
4. Gatal kulit kepala √ √

Mata Ya Tidak Ya Tidak


1. Perubahan penglihatan √ √
2. Kaca mata / kontak lensa √ √
3. Nyeri √ √
4. Air mata berlebih √ √
5. Bengkak sekitar mata √ √
6. Kabur √ √
7. Foto phobia √ √

Telinga Ya Tidak Ya Tidak


1. Perubahan pendengaran √ √
2. Tinnitus √ √
3. Vertigo √ √
4. Sensitivitas pendengaran √ √
5. Alat-alat protesa √ √
6. Riwayat infeksi √ √
7. Tanggal pemeriksaan paling akhir √ √
8. Kebiasaan perawatan telinga √ √
9. Dampak pada penampilan AKS √ √
Hidung Ya Tidak Ya Tidak
1. Rinorea √ √
2. Rabas √ √
3. Epistaksis √ √
4. Obstruksi √ √
5. Mendengkur √ √
6. Nyeri pada sinus √ √
7. Alergi √ √
8. Riwayat infeksi √ √
9. Penilaian diri pada kemampuan olfaktori √ √
Mulut dan Tenggorokan Ya Tidak Ya Tidak
1. Sakit tenggorokan √ √
2. Ulkus/lesi √ √
3. Serak √ √
4. Perubahan suara √ √
5. Kesulitan menelan √ √
6. Alat-alat protesa √ √
7. Riwayat infeksi √ √
Mulut dan Tenggorokan Ya Tidak Ya Tidak
8. Tanggal pemeriksaan gigi paling akhir √ √
9. Pola menggosok gigi √ √
10. Masalah dan kebiasaan membersihkan gigi palsu √ √
Leher Ya Tidak Ya Tidak
1. Kekakuan √ √
2. Nyeri/nyeri tekan √ √
3. Benjolan/Massa √ √
4. Keterbatasan gerak √ √
Payudara Ya Tidak Ya Tidak
1. Benjolan/Massa √ √
2. Nyeri/nyeri tekan √ √
3. Bengkak √ √
4. Keluar cairan dari putting susu √ √
5. Perubahan pada putting susu √ √
6. Pola pemeriksaan payudara sendiri tanggal dan hasil √ √
Mamografi paling akhir
Pernafsan Ya Tidak Ya Tidak
1. Batuk √ √
2. Sesak nafas √ √
3. Hemopteses √ √
4. Sputum √ √
5. Mengi √ √
6. Asma / alergi Pernafsan √ √

Kardiovaskuler Ya Tidak Ya Tidak


1. Nyeri / ketidaknyamanan dada √ √
2. Palpitasi √ √
3. Sesak nafas √ √
4. Diapnea pada aktifitas √ √
5. Dipsnea nokturak paroksimal √ √
6. Ortopnea √ √
7. Murmur √ √
8. Edema √ √
9. Varises √ √
10.Kaki timpang √ √
11.Parastesia √ √
12.Perubahan warna kaki √ √
Gastrointestinal Ya Tidak Ya Tidak
1. Disfagia √ √
2. Tak dapat mencerna √ √
3. Nyeri ulu hati √ √
4. Mual / muntah √ √
5. Hematemesis √ √
6. Perubahan nafsu makan √ √
7. Intoleran aktifitas √ √
8. Ulkus √ √
9. Nyeri √ √
10.Ikterik √ √
11.Benjolan / massa √ √
12.Perubahan kebiasaan defekasi √ √
13.Diare √ √
14.Konstipasi √ √
Gastrointestinal Ya Tidak Ya Tidak
15. Melena √ √
16. Hemoroid √ √
17. Perdarahan rectum √ √
18. Pola defekasi biasanya √ √
Perkemihan Ya Tidak Ya Tidak
1. Disuria √ √
2. Menetes √ √
3. Ragu-ragu √ √
4. Dorongan √ √
5. Hematuria √ √
6. Poliuria √ √
7. Oliguria √ √
8. Nokturia √ √
9. Inkontinensia √ √
10.Nyeri saat berkemih √ √
11.Batu √ √
12.Infeksi √ √
Genitalia Ya Tidak Ya Tidak
Genito Reproduksi Pria √ √
1. Lesi √ √
2. Rabas √ √
3. Nyeri testikuler √ √
4. Massa testikuler √ √
5. Masalah prostat √ √
6. Penyakit kelamin √ √
7. Perubahan hasrat seksual √ √
8. Impotensi √ √
9. Masalah aktivitas seksual √ √

Muskuloskletal Ya Tidak Ya Tidak


1. Nyeri persendian √ √
2. Kekakuan √ √
3. Pembengkakan sendi √ √
4. Deformitas √ √
5. Spasme √ √
6. Kram √ √
7. Kelemahan otot √ √
8. Masalah cara berjalan √ √
9. Nyeri punggung √ √
10. Protesa √ √
11. Pola kebiasaan latihan / olahraga √ √
12. Dampak pada penampilan AKS √ √

Persyarafan Ya Tidak Ya Tidak


1. Sakit kepala √ √
2. Kejang √ √
3. Serangan jantung √ √
4. Paralisis √ √
5. Paresis √ √
6. Masalah koordinasi √ √
7. Tic/tremor/spasme √ √
8. Parastesis √ √
9. Cedera kepala √ √
10. Masalah memori √ √
Endokrin Ya Tidak Ya Tidak
1. Intoleran panas √ √
2. Intoleran dingin √ √
3. Goiter √ √
4. Pigmentasi kulit/tekstur √ √
5. Perubahan rambut √ √
6. Polifagia √ √
7. Polidipsi √ √
8. Polyuria √ √
Tabel 3.10 Pengkajian Status Fungsional

Pengkajian Status Fungsional (Modifikasi dari Barthel Indeks)


Klien 1

NO KRITERIA BANTUAN MANDIRI KETERANGAN


1 Makan
I porsi nasi, lauk
5 10 dan pauk

2 Minum 1 gelas Air putih
5 10√
3 Berpindah dari kursi
roda ke tempat tidur, 5-10 15 √
sebaliknya
4 Personal toilet (cuci 2x sehari
muka, menyisir 0 5√
rambut, gosok gigi)
5 Keluar masuk toilet
(mencuci pakaian, 10 √
5
menyeka tubuh,
menyiram)
6 Mandi 2x sehari
5 15 √
7 Jalan di permukaan
datar 0 5√
8 Naik turun tangga
5√ 10
9 Mengenakan pakaian Dapat melakukan
5 10 √ secara mandiri
10 Kontrol Bowel (BAB) BAB 1x sehari
5 10 √ konsistensi lembek
11 Kontrol Bladder 4-5x sehari warna
(BAK) 5 10 kuning jernih

12 Olahraga atau latihan Jalan-jalan


5√ 10 disekitar Wisma.
13 Rekreasi atau Pengajian dan
pemantapan waktu 5√ 10 membuat kerajinan
luang tangan.
Ketergantungan
Jumlah 115 Sebagian.

Keterangan :

a. ≥ 130 : Mandiri
b. 65-125 : Ketergantungan Sebagian
c. ≥ 60 : Ketergantungan Total
Pengkajian Status Fungsional (Modifikasi dari Barthel
Indeks) Klien 2
NO KRITERIA BANTUAN MANDIRI KETERANGAN
1 Makan I porsi nasi dengan
5 10 sayur

2 Minum 1 gelas air putih
5 10 √
3 Berpindah dari kursi
roda ke tempat 5-10 15 √
tidur, sebaliknya
4 Personal toilet 3x sehari
(cuci muka, 0 5√
menyisir rambut,
gosok gigi)
5 Keluar masuk
5 10 √
toilet (mencuci
pakaian, menyeka
tubuh, menyiram)
6 Mandi 2x sehari
5 15 √
7 Jalan di permukaan
datar 0 5√
8 Naik turun tangga 10 √
5
9 Mengenakan pakaian
5 10 √
10 Kontrol Bowel (BAB) BAB 1x sehari
5 10 √ konsistensi lembek
11 Kontrol 5-6x sehari warna
Bladder (BAK) 10 √ kuning jernih
5
12 Olahraga atau latihan Jalan-jalan sekitar
panti dan
5 10 √ mengikuti senam
setiap rabu dan
jumat
13 Rekreasi atau Pengajian
pemantapan waktu 5 10 √
luang
Jumlah 130 Mandiri

Keterangan :

a. ≥ 130 : Mandiri
b. 65-125 : Ketergantungan Sebagian
c. ≥ 60 : Ketergantungan Total

Tabel 3.11 Pengkajian Status Mental Gerontik

Pengkajian Status Mental Gerontik


Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan
Short Portable MentalStatus Quisioner (SPMSQ)

NO PERTANYAAN KLIEN 1 KLIEN 2


Benar Tidak Benar Tidak
01 Tanggal berapa hari ini? √ √
02 Hari apa sekarang? √ √
03 Apa nama tempat ini? √ √
04 Dimana alamat anda? √ √
05 Berapa umur anda? √ √
06 Kapan anda lahir? (minimal √ √
tahun lahir)
Siapa presiden Indonesia √

07 sekarang?
Siapa presiden Indonesia √

08 sebelumnya?
09 Siapa nama Ibu anda? √ √
Kurangi 3 dari 20 dan tetap √
10 pengurangan 3 dari setiap angka √
baru, semua secara menurun

JUMLAH 8 2 6 4
Interpretasi Hasil
Salah 0-3 = fungsi intelektual utuh Fungsi intelektual Fungsi intelektual
Salah 4-5 = fungsi intelektual ringan utuh ringan
Salah 6-8 = kerusakan intelektual
sedang
Salah 9-10 = kerusakan intelektual berat

Tabel 3.12 Riwayat Psikososial Klien

Riwayat Psikososial Klien 1 Klien 2


Selama berinteraksi klien Selama berinteraksi klien
menunjukkan sikap menunjukkan sikap
kooperatif, klien juga kooperatif dan
mengatakan senang jika ada menunjukkan perilaku baik
mahasiswa karena dapat serta peduli dengan teman
menjadi teman bicara. di wisma.

Tabel 3.13 Riwayat Spiritual Klien


Riwayat Spiritual Klien 1 Klien 2
Klien mengatakan rajin Klien mengatakan sering
beribadah 5 waktu dan juga mengikuti pengajian di
sering mengikuti pengkajian masjid.
di masjid

Faktor resiko Skala Skor


Klien 1 Klien 2 standar
Riwayat jatuh yang baru Ya 25
atau 3 bulan terakhir Tidak 0 0 0
Diagnose sekunder lebih Ya 15 15 15
dari 1 diagnosa Tidak 0
Menggunakan alat bantu Berpegangan pada benda-benda sekitar 30 30 30
Kruk, tongkat, walker 15
Menggunakan IV dan Bedrest/ dibantu perawat 0
Cateter Ya 20
Kemampuan berjalan Tidak 0
Gangguan (pincang/ diseret) 20 20 20
Status mental Lemah 10 10
Normal/ bedrest/ immobilisasi 0 0
Tidak sadar akan kemampuan / post op 24 15
Jam
Orientasi sesuai kemampuan diri 0
Total skor 75 65
ANALISA DATA
Tabel 3.14 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1 Ds :
- Klien mengatakan
sulit untuk
menggerakan tangan
sebelah kanan
- klien mengatakan
sulit untuk duduk di
lantai maupun di
kursi
- klien mengatakan
tidak dapat berjalan Penurunan kekuatan Gangguan mobilitas
lama otot fisik (D.0054)
Do :
- Klien berjalan dengan
pelan dan
berpegangan
- Klien terlihat berjalan
dengan lemah
- Klien hanya duduk di
kasur
- Kekuatan otot
5 2
5 3
2 Ds :
- klien mengatakan
malu ketika ada
orang yang
membantu dirinya
- klien mengatakan
malu jika ada orang
yang melihat dia Perubahan pada citra Harga diri rendah
berjalan tubuh situasional
Do : (D.0087)
- klien terlihat ketika
berjalan hanya
menunduk
- klien lebih sering
menghabiskan
waktunya di dalam
kamar
3 Ds :
- klien mengatakan
sulit untuk berbicara
secara perlahan Gangguan Gangguan komunikasi
- klien mengatakan Neuromuskuler verbal
sulit berbicara dengan (D.0119)
jelas
Do:
- klien berbicara pelo
- klien sulit untuk
mendengar
- klien sulit untuk
berbicara
4 Ds:
- Klien mengatakan
tidak tau apa yang
harus di lakukan
dengan penyakitnya.
- Klien mengatakan
sering mengalami
gejala-gejala yang di Kurang terpapar Defisit pengetahuan
jelaskan oleh perawat informasi (D.0111)
Do:
- Klien sering bertanya
ketika di jelaskan
oleh perawat
- Klien terlihat antusias
ketika perawat
menjelaskan tentang
penyakitnya
5 Ds: - Kelemahan anggota Resiko jatuh
Do: gerak (D.0143)
- klien berjalan dengan
berpegangan pada
benda-benda sekitar.
- Kemampuan berjalan
klien lemah
- Skor skala morse
adalah 75
Analisa Data 2

No Data Etiologi Masalah Keperawatan


1 Ds:
- Klien mengatakan Penurunan kekuatan Gangguan mobilitas
tangan sebelah kiri otot fisik
sering lemah (D.0054)
- Klien mengatakan
kaki sebelah kiri
sering kaku
- Klien mengatakan
Do:
- Klien terlihat sering
memegangi
tangannya sebelah
kiri
- Klien klien terlihat
sulit untuk berjalan
- Kekuatan
otot 3 5
4 5
2 Ds:
- Klien mengatakan
tidak tau apa yang Kurang terpapar Defisit pengetahuan
harus di lakukan informasi (D.0111)
dengan penyakitnya
Do:
- Klien sering
bertanya ketika di
jelaskan oleh
perawat
3 Ds: -
Do: Kelemahan anggota Resiko jatuh
- Klien berjalan gerak (D.0143)

Diagnosa Keperawatan
Klien 1
a) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
(D.0054)
b) Harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan citra tubuh
(D.0087)
c) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan neuromuskuler (D.0119)
d) Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0111)
e) Resiko jatuh berhubungan dengan kelemahan anggota gerak (D.0143)

Klien 2

a) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot


(D.0054)
b) Defisit pegetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0111)
c) Resiko jatuh berhubungan dengan kelemahan anggota gerak (D.0143)

Perencanaan Keperawatan
Tabel 3.14 Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
Keperawatan
1 Gangguan mobilitas Setelah di lakukan 1.1 Kaji kemampuan klien
fisik berhubungan tindakan selama 3x23 jam dalam melakukan
dengan diharapkan gangguan mobilisasi
mobilitas fisik tidak 1.2 Latih klien dalam
memburuk, dengan melakukan activity daily
kriteria hasil : living
1. Klien meningkat 1.3 Dampingi dan bantu klien
dalam aktifitas fisik saat mobilisasi.
2. Memperagakan 1.4 Latih rentang gerak / ROM
penggunaan alat 1.5 Berikan alat bantu jika
bantu untuk klien memerlukan
mobilisasi 1.6 Ajarkan klien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.

2 Harga diri rendah Setelah di lakukan tindakan 2.1 Kaji alasan-alasan untuk
berhubungan dengan selama 2x24 jam di harapkan
mengkritik atau
Harga diri meningkat dengan menyalahkan diri sendiri.
kriteria hasil:
2.2 Monitor frekuensi
1. Mengungkapkan
penerimaan diri komunikasi verbal pasien
2. Komunikasi terbuka yang negative.
2.3 Dorong pasien
mengidentifikasi kekuatan
dirinya
2.4 Ajarkan kererampilan
bermain perilaku yang
positif memalui bermain
peran, model peran,
diskusi.
2.5 Kolaborasi dengan sumber-
sumber lain (petugas dinas
sosial, perawat spesialis
klinis, dan layanan
keagamaan).

3 Gangguan Setelah di lakukan tindakan 3.1 Kaji kemampuan dalam


komunikasi verbal selama 3x24 jam di harapkan berbicara
berhubungan dengan gangguan komunikasi verbal 3.2 Dorong pasien untuk
neuromuskuler dapat teratasi, dengan berkomunikasi secara
kriteria hasil : perlahan.
1. Lisan, tulisan, dan non 3.3 Berikan pujian positif
verbal meningkat 3.4 Dengarkan dengan penuh
2. Komunikasi ekspresif perhatian
(kesulitan berbicara) 3.5 Anjurkan ekpresi diri
ekspresi pesan verbal atau dengan cara lain dalam
non verbal yang menyampaikan
bermakna informasi(bahasa isyarat)
3.6 Konsultasikan dengan
dokter kebutuhan terapi
wicara

4 Defisit Pengetahuan Setelah di lakukan tindakan 4.1 kaji penilaian tentang


berhubungan dengan selama 1x30 menit di tingkat pengetahuan klien
harapkan klien dapat tentang penyakit yang
mengerti dengan kriteria dialami.
hasil: 4.2 Gambarkan tanda dan
1. Klien memahami gejala yang muncul pada
penjelasan mahasiswa. penyakit
2. Klien memahami definisi, 4.3 Jelaskan tentang penyakit
penyebab, tanda dan yang dialami dengan cara
gejala, komplikasi dan yang tepat.
penatalaksanaannya. 4.4 Sediakan informasi pada
3. Klien mampu klien tentang penyakit.
menjelaskan kembali
penjelasan dari
perawat.

5 Resiko jatuh 1. Setelah di lakukan 5.1 Identifikasi Defisit kognitif


berhubungan dengan tindakan selama 3x24 atau fisik klien yang dapat
kelemahan kekuatan jam di harapkan tidak meningkatkan potensi jatuh
otot terjadi jatuh dengan dalam lingkungan tertentu.
kriteria hasil: Gerakan 5.2 Identifikasi perilaku dan
terkoordinasi : factor yang mempengaruhi
kemampuan otot untuk resiko jatuh.
bekerja sama secara 5.3 Identifikasi karakteristik
volunteer untuk lingkungan yang dapat
melakukan gerakan yang meningkatkan potensi
bertujuan. untuk jatuh, missal lantai
2. Kejadian jatuh : tidak ada licin dan tangga terbuka.
riwayat jatuh. 5.4 Anjurkan klien untuk
3. Pengetahuan: menggunakan. tongkat atau
pemahaman terhadap alat pembantu berjalan.
pencegahan jatuh. 5.5 Memantau kemampuan
4. Perilaku pencegahan untuk mentransfer dari
jatuh : tindakan individu tempat tidur ke kursi dan
atau pemberi asuhan demikian pula sebaliknya.
keperwatan untuk 5.6 Ajarkan klien jatuh untuk
meminimalkan faktor meminimalkan cidera.
resiko yang dapat
memicu jatuh di
lingkungan individu

Implementasi Keperawatan
Tabel 3.14 Hasil Implementasi Keperawatan
Klien 1
Waktu Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Evaluasi
Hari : selasa 1.1 Menilai kemampuan klien Klien dapat mobilisasi
tanggal : 16-04-2019 dalam mobilisasi. dengan bantuan benda-
Jam : 08.30 benda di sekitar

1.2 membantu klien dalam Mahasiswa menemani


melakukan activity daily living klien saat melakukan
ADL

1.3 mendampingi dan Mahasiswa mendampingi


membantu klien saat klien saat mobilisasi
mobilisasi
Klien melakukan gerakan
1.4 melatih rentang gerak / ROM rom

Klien mengatakan
1.5 menyediakan alat bantu jika menggunakan kursi roda
klien memerlukan jika ingin berpergian ke
masjid

Klien mengerti
1.6 menjelaskan kepada klien bagaimana cara merubah
bagaimana merubah posisi dan posisi.
berikan bantuan jika
diperlukan
2.1 menyanyakan alasan- Klien mengatakan malu
alasan untuk mengkritik ketika saat berjalan
atau menyalahkan diri
sendiri
Klien mengatakan bahwa
2.3 mendorong klien klien bisa melakukan
mengidentifikasi kekuatan ADL dengan mandiri
dirinya
Klien terlihat berbicara
3.1 menilai kemampuan dalam dengan sedikit tidak jelas
berbicara
Klien senang jika ada
3.4 mendengarkan dengan penuh yang bisa mendengarkan
perhatian ceritanya

Klien mengatakan
4.2 memberitahu tanda dan gejala mengalami tanda dan
yang muncul pada penyakit gejala yang telah di
sebutkan oleh mahasiswa

Klien berjalan lemah,


5.1 Menilai defisit kognitif fisik lemah
atau fisik klien yang dapat
meningkatkan potensi jatuh
dalam lingkungan tertentu.

Klien saat berjalan pelan


5.2 menilai perilaku dan factor dan menyeret
yang mempengaruhi resiko jatuh.
Lantai di wisma klien
5.3 menilai karakteristik tidak licin dan tidak ada
lingkungan yang dapat tangga terbuka
meningkatkan potensi
jatuh dalam lingkungan
tertentu. Klien berjalan dengan
berpegangan benda-
5.4 menyarankan klien untuk benda di sekitar.
menggunakan tongkat atau
alat pembantu jalan Klien dapat berpindah
secara mandiri dari
5.5 memantau kemampuan untuk tempat tidur ke kursi
mentransfer dari tempat tidur roda.
ke kursi dan demikian pula
sebaliknya

Hari : Rabu 1.2 membantu klien dalam Mahasiswa menemani


Tanggal: 10-04-2019 melakukan activity daily living klien dalam melakukan
Jam : 8.30 ADL

1.3 mendampingi dan membantu Klien di damping oleh


klien saat mobilisasi mahasiswa dan siswa

1.4 melatih rentang gerak / ROM Klien mengikuti gerakan


rom

2.3 mendorong klien Mahasiswa mengatakan


mengidentifikasi kekuatan klien masih bisa
dirinya melakukan ADL dengan
mandiri
3.1 menilai kempuan dalam Klien berbicara pelo
berbicara

3.2 mengajak klien Klien berbicara dengan


berbicara secara pelan dan jelas
perlahan
Mahasiswa
3.4 mendengarkan dengan penuh mendengarkan apa yang
perhatian di bicarakan oleh klien

Mahasiswa member
3.3 memberikan pujian positif pujian kepada klien
karena masih bisa
elakukan ADL dengan
mandiri

Klien masih belum tau


4.1 menilai tentang tingkat tentang penyakitnya
pengetahuan klien tentang
penyakit yang dialami.
Mahasiswa member tahu
4.2 Memberitahu tentang tanda kepada klien tanda dan
dan gejala yang muncul pada gejala yang muncul pada
penyakit yg di alami penyakitnya

Klien berpegangan pada


5.4 menyarankan klien untuk benda-benda di sekitar
menggunakan tongkat atau
Hari:kamis alat pembantu berjalan Mahasiswa membantu
Tangal: 11-04-2019 1.2 membantu klien dalam klien dalam melakukan
Jam:8.45 melakukan activity daily living ADL

Klien di damping oleh


1.3 mendampingi dan membantu
klien saat mobilisasi mahasiswa dan siswa

1.4 melatih rentang gerak / ROM Klien mengikuti gerakan


ROM

3.4 mendengerkan dengan penuh Klien terlihat senang


perhatan ketika ada yang
mendengarkan ceritanya

4.3 menjelaskan tentang penyakit Mahasiswa menjelaskan


yang di alai dengan cara yang tentang penyakit yang
tepat. diderita klien

4.4 Memberi informasi pada klien Klien terlihat dapat


tentang penyakitnya memahami apa yang di
jelaskan oleh mahasiswa

Klien 2
Waktu pelaksanaan Tindakan Keperawatan Evaluasi
Hari : selasa 1.1 Menilai kemampuan klien Klien dapat mobilisasi
tanggal : 16-04-2019 dalam mobilisasi. dengan bantuan benda-
Jam : 11.30 benda di sekitar

1.2 membantu klien dalam Mahasiswa menemani


melakukan activity daily klien saat melakukan ADL
living

1.3 mendampingi dan membantu Mahasiswa mendampingi


klien saat mobilisasi klien saat mobilisasi

1.4 melatih rentang gerak / ROM Klien mengikuti gerakan


ROM

1.5 menyediakan alat bantu jika Klien mengatakan tidak


klien memerlukan menggunakan alat bantu

2.2 memberitahu tanda dan Klien mengatakan sering


gejala yang muncul pada mengalami tanda dan
penyakit gelaja yang telah di
sebutkan oleh mahasiswa

3.1 Menilai defisit kognitif atau Klien berjalan lemah, fisik


fisik klien yang dapat lemah
meningkatkan potensi jatuh
dalam lingkungan tertentu.

3.2 menilai perilaku dan factor Klien saat berjalan dengan


yang mempengaruhi resiko kaki di seret
jatuh.

3.3 menilai karakteristik Lantai di wisma klien tidak


lingkungan yang dapat licin dan tidak ada tangga
meningkatkan potensi terbuka
jatuh dalam lingkungan
tertentu.
Klien berjalan dengan
3.4 menyarankan klien untuk berpegangan benda-benda
menggunakan tongkat di sekitar.
atau alat pembantu jalan

Hari : Rabu 1.2 membantu klien dalam Mahasiswa membantu


Tanggal: 10-04-2019 melakukan activity daily klien dalam melakukan
Jam : 11.35 living ADL

1.3 mendampingi dan Klien di damping oleh


membantu klien saat mahasiswa
mobilisasi
Klien mengikuti gerakan
1.4 melatih rentang gerak / ROM ROM

Klien masih belum tau


2.1 menilai tentang tingkat tentang penyakitnya
pengetahuan klien tentang
penyakit yang dialami.

Mahasiswa member tahu


2.2 Memberitahu tentang tanda kepada klien tanda dan
dan gejala yang muncul pada gejala yang muncul pada
penyakit yg di alami penyakitnya

Klien berpegangan pada


3.4 menyarankan klien untuk benda-benda di sekitar
menggunakan tongkat atau
Hari:kamis alat pembantu berjalan Mahasiswa membantu
Tangal: 11-04-2019 1.2 membantu klien dalam klien dalam melakukan
Jam:8.45 melakukan activity daily ADL
living
Klien di damping oleh
1.3 mendampingi dan mahasiswa
membantu klien saat
mobilisasi
1.4 melatih rentang gerak / ROM Klien mengikuti gerakan
ROM
3.3 menjelaskan tentang penyakit Mahasiswa menjelaskan
yang di alai dengan cara tentang penyakit yang
yang tepat. diderita klien

3.4 Memberi informasi pada Klien terlihat dapat


klien tentang penyakitnya memahami apa yang di
jelaskan oleh mahasiswa

Evaluasi keperawatan
Tabel 3.15 Evaluasi Keperawatan
Klien 1
Hari/ Diagnosa Catatan Perkembangan
Tanggal Keperawatan
Selasa, 16 Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan masih susah
April berhubungan dengan menggerakan tangan kirinya
2019 penurunan kekuatan otot O:klien terlihat susah menggerakan
(D.0054) tangan kirinya
A: masalah belum teratasi
P :lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan
activity daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
1.6 Ajarkan klien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan.

Harga diri rendah S :klien mengatakan masih malu jika


situasional berhubungan berjalan
dengan perubahan citra O:klien ketika berjalan pandangannya ke
tubuh (D.0087) bawah
A:masalah belum teratasi
P :lanjutkan intervensi
2.3 Dorong pasien mengidentifikasi
kekuatan dirinya
2.4 Ajarkan kererampilan bermain
perilaku yang positif memalui bermain
peran, model peran, diskusi.
Gangguan komunikasi
verbal berhubungan
dengan neuromuskuler S : klien mengatakan sulit berbicara
(D.0119) dengan jelas
O: klien terluhat sulit untuk berbicara
A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
3.2 Dorong pasien untuk berkomunikasi
secara perlahan.
3.3 Berikan pujian positif
3.4 Dengarkan dengan penuh perhatian
3.5 Anjurkan ekpresi diri dengan cara lain
dalam menyampaikan
Defisit Pengetahuan informasi(bahasa isyarat)
berhubungan dengan
kurang terpapar informasi S :klien mengatakan mengalami gejala-
(D.0111) gajala yg di katakan mahasiswa
O: klien selalu bertanya kepada
mahasiswa
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
4.3 Jelaskan tentang penyakit yang
dialami dengan cara yang tepat.
4.4 Sediakan informasi pada klien
Resiko jatuh berhubungan tentang penyakit.
dengan kekuatan otot
menurun (D.0143) S :-
O: klien berjalan dengan diseret
A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
5.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
5.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
5.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.
Rabu,17 April 2019 Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan masih sulit
berhubungan dengan menggerakan tangan kanannya.
penurunan kekuatan otot O:klien terlihat sulit untuk beraktifitas
(D.0054) A: masalah belum teratasi
P :lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan
activity daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
1.6 Ajarkan klien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan.

Harga diri rendah S :klien mengatakan sudah tidak terlalu


situasional berhubungan malu ketika berjalan ke luar kamar
dengan perubahan citra O:klien sudah mulai merasa percaya diri
tubuh (D.0087) A:masalah teratasi sebagian
P :lanjutkan intervensi
2.3 Dorong pasien mengidentifikasi
kekuatan dirinya
2.4 Ajarkan kererampilan bermain
perilaku yang positif memalui bermain
peran, model peran, diskusi.
Gangguan komunikasi S :klien mengatakan mencoba berbicara
verbal berhubungan secara perlahan
dengan neuromuskuler O: klien sudah mulai berbicara dengan
(D.0119) jelas secara perlahan
A:masalah teratasi sebagian
P :lanjutkan intervensi
3.2 Dorong pasien untuk berkomunikasi
secara perlahan.
3.3 Berikan pujian positif
3.4 Dengarkan dengan penuh perhatian
3.5 Anjurkan ekpresi diri dengan cara lain
dalam menyampaikan
informasi(bahasa isyarat)
Defisit Pengetahuan S :klien sudah mulai mengerti tentang
berhubungan dengan penyakitnya
kurang terpapar informasi O: klien terlihat sudah memahami tentang
(D.0111) penyakitnya
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
4.3 Jelaskan tentang penyakit yang
dialami dengan cara yang tepat.
4.4 Sediakan informasi pada klien tentang
penyakit.

Resiko jatuh berhubungan S :-


dengan kekuatan otot O: klien berjalan pelan dan berpegangan
menurun (D.0143) dengan benda-benda di sekitar
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
5.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
5.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
5.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.

Kamis, 18 April Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan masih sulit untuk
2019 berhubungan dengan menggerakan telapak tangan sebelah
penurunan kekuatan otot kanan
(D.0054) O:klien terlihat susah menggerakan
tangan kanannya
A: masalah belum teratasi
P :lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan
activity daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
1.6 Ajarkan klien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan.

Harga diri rendah S :klien mengatakan sudah tidak merasa


situasional berhubungan malu lagi ketika berjalan ke luar kamat
dengan perubahan citra O:klien terlihat seperti percaya diri
tubuh (D.0087) A:masalah teratasi sebagian
P :lanjutkan intervensi
2.2 Dorong pasien mengidentifikasi
kekuatan dirinya
2.3 Ajarkan kererampilan bermain
perilaku yang positif memalui bermain
peran, model peran, diskusi.
Gangguan komunikasi S : klien mengatakan senang berbicara
verbal berhubungan dengan mahasiswa
dengan neuromuskuler O: klien berbicara dengan pelan dan jelas
(D.0119) A: masalah teratasi sebagian
P :lanjutkan intervensi
3.2 Dorong pasien untuk berkomunikasi
secara perlahan.
3.3 Berikan pujian positif
3.4 Dengarkan dengan penuh perhatian
3.6 Anjurkan ekpresi diri dengan cara lain
dalam menyampaikan
informasi(bahasa isyarat)

Defisit Pengetahuan S: klien mengatakan sudah


berhubungan dengan mengerti tentang penyakitnya
kurang terpapar informasi O: klien terlihat sudah paham tentang
(D.0111) penyakitnya
A: masalah teratasi
P : hentikan intervensi

Resiko jatuh berhubungan S :-


dengan kekuatan otot O: klien berjalan dengan menyeret
menurun (D.0143) A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
5.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
5.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
5.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.

Klien
2 Hari/ Diagnosa Catatan Perkembangan
tanggal Keperawatan
Selasa, 15 Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan tangan sebelah
April berhubungan dengan kirinya lebih lemah dari pada tangan
2019 penurunan kekuatan otot kirinya
(D.0054) O:tanga sebelah kirinya terlihat lemah
A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan activity
daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan

Defisit pegetahuan S :klien mengatakan stroke itu


berhubungan dengan diakibatkan oleh tekanan darah
kurang terpapar informasi O: klien terlihat sudah paham tentang
(D.0111) penyakitnya
A: masalah teratasi
P : lanjutkan intervensi
2.3 Jelaskan tentang penyakit yang
dialami dengan cara yang tepat.
2.4 Sediakan informasi pada klien tentang
penyakit
Resiko jatuh berhubungan S :-
dengan kekuatan otot O: klien berjalan dengan diseret
menurun (D.0143) A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
3.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
3.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
3.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.
Rabu, 17 April 2019 Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan tangan kirinya sudah
berhubungan dengan mulai kuat
penurunan kekuatan otot O: klien dapat menggerakan tangan
(D.0054) kirinya secara mandiri
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan activity
daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
Defisit pegetahuan S :klien mengatakan tidak tau tanda dan
berhubungan dengan gejalanya tu apa aja
kurang terpapar informasi O:klien terlihat mulai mengerti tentang
(D.0111) penyakitnya dan mulai banyak
bertanya.
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
2.3 Jelaskan tentang penyakit yang
dialami dengan cara yang tepat.
2.4 Sediakan informasi pada klien
tentang penyakit

Resiko jatuh berhubungan S :-


dengan kekuatan otot O: klien berjalan dengan menyeret
menurun (D.0143) A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
3.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
3.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
3.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.
Kamis,17 April Gangguan mobilitas fisik S : klien mengatakan sering melatih
2019 berhubungan dengan tangan kirinya secara mandiri
penurunan kekuatan otot O: klien dapat menggerakan tangan
(D.0054) kirinya secara mandiri
A: masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
1.2 Latih klien dalam melakukan activity
daily living
1.3 Dampingi dan bantu klien saat
mobilisasi
1.4 Latih rentang gerak / ROM
1.5 Berikan alat bantu jika klien
memerlukan

Defisit pegetahuan S :klien mengatakan stroke itu gejalanya


berhubungan dengan seperti kelumpuhan tangan atau kaki,
kurang terpapar informasi kelemahan otot dan susah berbicara.
(D.0111) O:klien terlihat mulai mengerti tentang
penyakitnya
A: masalah teratasi
P : hentikan intervensi
Resiko jatuh berhubungan S :-
dengan kekuatan otot O: klien berjalan dengan menyeret dan
menurun (D.0143) berpegangan benda-benda di sekitar
A: masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
3.2 Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi resiko jatuh.
3.3 Identifikasi karakteristik lingkungan
yang dapat meningkatkan potensi
untuk jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka.
3.4 Anjurkan klien untuk menggunakan.
tongkat atau alat pembantu berjalan.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Penurunan Kekuatan

Otot

Saat pengkajian didapatkan data klien mengatakan sulit untuk menggerakan

anggota gerak yang mengalami kelemahan, klien mengatakan tidak dapat berjalan

lama, kekuatan otot menurun dan di bantu oleh mahasiswa saat berjalan jauh.

Setelah di lakukan tindakan keperawatan seperti melatih rentang gerak/ROM,

damping dan bantu klien saat mobilisasi, dan memberikan alat bantu jika klien

memerlukan.
Data tersebut sesuai dengan teori menurut (Amin,2015), gejala yang timbul

karena Stroke yaitu mengalami kelemahan dan kelumpuhan, tiba-tiba hilang rasa

kepekaan, bicara pelo atau cadel, gangguan bicara, gangguan penglihatan, mulut

mencong atau tidak simetris kletika menyeringai, gangguan daya ingat, nyeri

kepala hebat, vertigo, penurunan kesadaran, proses kencing terganggu dan

mengalami gangguan fungsi otak.

Stroke yang merupakan kondisi patologis otak di mana terjadinya

peningkatan produksi eikosanoid, dijumpai adanya produksi oksigen radikal

bebas dan lipid peroksidase yang mempunyai efek merusak terhadap struktur otak

dan fungsinya. Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot

dan gangguan neuromuskular pada pasien Stroke (Sari,2015)

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit

neurologik yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat.

Pasien dengan stroke sering mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik

seperti kesulitan saat berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot,

keseimbangan dan koordinasi gerak atau mengalami parese(Kelemahan) dan

paralisis (Kelumpuhan) (Pratiwi&Meuthia, 2015).

Saat dievaluasi pada hari terakhir klien mengatakan mulai melakukan

gerakan ROM setiap hari setelah solat subuh. Penulis berasumsi bahwa Stroke

dapat mengalami gangguan mobilitas fisik di karenakan adanya penyumbatan

sehingga dapat merusak struktur di otak yang mengakibatkan defisit neurologis

atau kelumpuhan fokal (hemiparesis).


3.2.2 Harga Diri Rendah situasional Berhubungan Dengan Perubahan Citra

Tubuh

Saat pengkajian pada klien 1 didapatkan data klien mengatakan malu jika

ada orang yang melihat klien berjalan, klien mengatakan malu jika ada yang

membantu dirinya dan klien terlihat hanya menunduk saat berjalan. Setelah di

lakukan tindakan keperawatan seperti mendorong klien mengidentifikasi

kekuatan dirinya dan mengajarkan keterampilan bermain perilaku yang positif

memalui bermain peran.

Data tersebut sesuai dengan teori menurut (zarmi, 2017), akibat dari

serangan Stroke mempengaruhi fungsi fisikologis dari pasien, pasien merasa

dirinya cacat dan kecacatan ini menyebabkan citra diri terganggu, merasa tidak

mampu, jelek, memalukan, dan sebagainya. Yang nantinya akan sangat

mengganggu fungsi peran pasien. Hal ini menggambarkan bahwa pasien stroke

mengalami harga diri rendah.

Stroke dapat menyebabkan 80-90% bermasalah dalam berpikir dan

mengingat, 80% penurunan parsial/total gerakan lengan dan tungkai, 70%

menderita depresi, 30% mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan

kanan dan kiri Pudiastuti (2011). Selain mengalami gangguan fisik pasien stroke

juga secara psikologis mengalami suatu “kehilangan” yang sangat besar dan

berharga dalam hidupnya, yakni “kehilangan” kebebasan untuk bergerak, bekerja,

kehilangan kegagahan, kekuatan anggota tubuh, dan kehilangan kemandirian, hal


ini berdampak pada konsep diri pasien stroke (Wicaksana, 2008 dalam Dewi,

2015).

Saat dievaluasi pada hari terkhir klien mengatakan sudah tidak merasa malu

lagi ketika berjalan keluar kamar, dan terlihat sudah mulai merasa percaya diri.

Berdasarkan data yang didapat penulis berasumsi bahwa terjadinya harga diri

rendah di karenakan klien merasa dirinya tidak sempurna dikarenakan adanya

kelumpuhan pada sebagian anggota geraknya.

3.2.3 Gangguan Komunikasi Verbal Berhubungan Dengan

Neuromuskuler Saat pengkajian pada klien 1 didapatkan data klien

mengatakan senang berbicara dengan mahasiswa dan mulai bisa berbicara

dengan pelan dan jelas, klien terlihat berbicara dengan pelan dan jelas, klien

terlihat berbicara pelo atau cadel. Setelah di lakukan tindakan keperawatan

seperti memberikan dorongan klien untuk berkomunikasisecara perlahan,

memberikan pujian positif, dengarkan dengan penuh perhatian, dan anjurkan

ekspresi diri dengan cara lain

dalam menyampaikan informasi (bahasa isyarat).

Data tersebut sesuai dengan teori menurut (Amin,2015), gejalan yang timbul

karena Stroke yaitu mengalami kelemahan dan kelumpuhan, tiba-tiba hilang rasa

kepekaan, bicara pelo atau cadel, gangguan bicara, gangguan penglihatan, mulut

mencong atau tidak simetris kletika menyeringai, gangguan daya ingat, nyeri

kepala hebat, vertigo, penurunan kesadaran, proses kencing terganggu dan

mengalami gangguan fungsi otak.


Defisit komunikasi verbal pada pasien Stroke disebabkan kelumpuhan otot

sekitar mulut dan lidah seperti otot stiloglosus, hipoglosus, genioglosus,

longitudinalis superior inferior, otot masetter, bucinator dan pallatum.

Kelumpuhan pada otot ini menyebabkan gangguan pada proses menghasilkan

suara dalam berbicara, maka di perlukan latihan bicara yang dapat meningkatkan

kekuatan otot agar artikulasi menjadi jelas (Yuliastuti,2018).

Saat dievaluasi pada hari terakhir klien mengatakan sudah bisa berbicara

dengan pelan dan jelas, mulai banyak berbicara dengan orang dan klien masih

berbicara dengan cadel atau pelo. Berdasarkan data yang di dapat penulis

berasumsi bahwa terjadinya masalah gangguan komunikasi verbal pada klien 1 di

karenakan adanya kerusakan pada neuromuskuler yang menyebabkan kesusahan

berbicara sehingga klien berbicara pelo.

3.2.4 Defisit Pengetahuan Berhubungan dengan Kurang Terpapar

Informasi

Saat pengkajian didapatkan data klien mengatakan Klien mengatakan tidak

tau apa yang harus di lakukan dengan penyakitnya, klien terlihat sering bertanya

kepada mahasiswa tentang penyakitnya. Setelah di lakukan tindakan keperawatan

seperti memberitau tanda dan gejala yang muncul pada penyakitnya, menjelaskan

tentang penyakit yang dialami dengan cara yang tepat, dan menyediakan

informasi pada klien tentang penyakitnya.

Defisit pengetahuan klien dipicu oleh tingkat pendidikan yang rendah, faktor

usia, hal ini menurut penelitian (Putro,2012), pasien stroke akan menimbulkan
dampak secara langsung pada penderita seperti pengetahuan, sikap, presepsi,

motivasi, iat, referensi dan sosial budaya. Pendidikan kesehatan yang diberikan

bertujuan meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit Stroke selain

mendapat informasi dari berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Makin tinggi tingkat

pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut menerima informasi sehingga

makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Selain pendidikan,

pengetahuan juga dipengaruhi oleh media massa, lingkungan usia, sosial budaya,

dan ekonomi.

Saat dievaluasi pada hari terakhir klien mengatakan mengerti tentang

penyakitnya dan klien terlihat tau apa yang harus dilakukan dengan penyakitnya.

Bedasarkan data yang didapat penulis berasumsi bahwa masalah defisit

pengetahuan dikarenakan tidak adanya media informasi yang mendukung klien

mendapatkan informasi yang cukup tentang kesehatannya dan kurangnya

komunikasi antar Lansia maupun masyarakat yang ada di lingkungannya.

3.2.4 Resiko Jatuh Berhubungan Dengan Kelemahan Kekuatan Otot

Saat dilakukan pengkajian didapatkan data diagnose sekunder klien lebih

dari 1 diagnosa, klien berjalan dengan berpegangan pada benda-benda di sekitar

dan kemampuan berjalan pasien lemah serta skor skala pada klien 1 adalah 75

dan klien 2 adalah 60, setelah dilakukan tindakan keperawatan seperti menilai

perilaku dan faktor yang mempengaruhi resiko jatuh, menyarankan klien untu
menggunakan tongkat atau alat bantu berjalan dan mengamati kemampuan klien

dalam berpindah dari tempat tidur ke kursi roda atau sebaliknya.

Data tersebut sesuai dengan teori Deniro (2017) usia tua akan mengalami

penurunan dalam kemampuan melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari,


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kasus Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Pasca Stroke di

Panti Tresna Werdha NIrwana Puri Samarinda Kalimantan Timur di wisma Wijaya

Kusuma dan wisma Tulip tahun 2019, penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai

berikut :

Hasil pengkajian yang di dapatkan dari kedua kasus menunjukkan adanya tanda dan

gejala yang sama oleh kedua klien. Umumnya keluhan yang di rasakan klien 1

dirasakan juga oleh klien 2. Tanda dan gjala yang muncul dan dirasakan oleh kedua

klien yaitu adanya kelemahan otot pada ekstermitas, susah menggerakan anggota

tubuh, dan adanya kekakuan pada anggota tubuh. Hal ini menunjukan jika seseorang

terdiagnosa Stroke memiliki kemungkinan akan timbul masalah dan keluhan yang

sama yang akan dirasakan oleh penderita.

Diagnosa Keperawatan yang muncul pada kedua klien umumnya sama.

Namun ada satu diagnosa yang berbeda di antara kedua klien. Kedua klien sama-sama

memiliki diagnose yakni gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan

kekuatan otot, defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi,

dan resiko jatuh berhubungan dengan kelemahan


anggota gerak. Namun, klien pertama memiliki 2 diagnosa yang tidak di

derita oeh klien kedua , diagnosa itu adalah harga diri rendah situasional

berhubungan dengan perubahan citra tubuh, dan gangguan komunikasi verbal

berhubungan dengan neuromuskuler.

Intervensi yang disusun penulis disesuaikan dengan diagnose yang di angkat.

Kedua klien memiliki beberap 77 anosa


diagyang sama seperti gangguan

mobilitas fisik, defisit pengetahuan, dan resiko jatuh. Dari diagnose yang

sama tersebut tidak ditemukan intervensi yang berbeda antara klien 1 dan

klien 2. Yang membedakan hanya pada bagian implementasi ada beberapa

intervensi yang tidak dapat di laksanakan pada salah satu klien.

Implementasi Keperawatan disesuaikan dengan rencana keperawatan tindakan

yang telah penulis susun. Implementasi keperawatan yang di lakukan pada

beberapa diagnosa seperti gangguan mobilitas fisik, defisit pengetahuan dan

resiko jatuh dalam proses implementasi yang di lakukan sesuai dengan

rencana yang dibuat dan penulis tidak menemukan adanya perbedaan antara

intervensi yang dibuat dengan implementasi yang di lakukan.

Hasil evaluasi yang dilakukan oleh penulis pada kedua kasus di lakukan

selama 4 hari perawatan oleh penulis. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh

penulis pada kedua klien menunjukan tanda dan gejala yang sama. Kedua

klien mengatakan merasa leih mudah dalam menggerakan anggota tubuh

setelah di lakukan ROM. Kedua klien mendapat diagnose yang sama, namun
yang membedakan pada klien 1 terdapat diagnosa harga diri rendah

situasional berhubungan dengan perubahan citra tubuh, dan gangguan

komunikasi verbal berhubungan dengan neuromuskuler, sedangkan pada klien

2 tidak terdapat diagnosa tersebut.

4.2 Saran

1. Bagi Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda diharapkan adanya

perhatian khusus seperti penyedian pegangan pada sekitar dinding agar dapat

mempermudah klien dan mencegah klien dari jatuh dan sebaiknya pada lansia

dengan stroke yang mengalami HDR lebih di tingkatkan dalam member

motivasi dan dorongan serta perawat lebih aktif dalam menggali sisi positif

yang dimiliki oleh lansia.

2. Bagi Perawat, dalam melakukan Asuhan Keperawatan pada gerontik

hendaknya menggunakan pendekatan proses koperawatan secara

komprehensif dengan melbatkan peran serta klien sehingga dapat mencapai

sesuai dengan tujuan. Serta dalam menentukan masalah keperawatan,

diharapkan juga memperhatikan masalah pisikologis klien

3. Untuk peneliti selanjutnya, di harapkan karya tulis ilmiah ini dapat menjadi

referensi untuk peneliti selanjutnya yang akan melakukan Asuhan

Keperawatan Lansia dengan Pasca Stroke


Daftar Pustaka

Amin, N dan Hardhi Kusuma (2015). Nanda Nic-Noc Jilid 3. Jogjakarta:


Mediaction.

Bram, I. (2017). Stroke Non Hemoragik. https://www.Academia.edu/1144500


7/stroke_non_hemoragik. diakses pada tanggal 5 Desember 2018.

Daya, DA. (2017). Pengaruh Terapi Aktif Menggenggam Bola Karet Terhadap
Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Di Wiliyah Kerja
Puskesmas Pengasih II Kulon Progo Yogyakarta.
Dinarti dan Yuli Mulyani (2017). Dokumentasi Keperawatan.
http://www.kemkes.go .idpusdiksmdk/wp-
content/uploads/2017/11/praktika-dokumen-keperawatn-dafis.pdf. diunduh
pada 11 desember 2018.
Lukman dan Nurma Ningsih (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Prok, W dkk (2016). Pengarh Latihan Gerak Aktif Menggenggam Bola Pada
Pasien Stroke. Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016.

PPNI 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: PPNI.

Smeltzer dan Bare (2010). Textbook Of Medical-Surgical Nursing Volume 1.


Philadelphia : Lippin Cott.

Sudrajat, B. (2017). Penerapan Terapi Genggam Menggunakan Bola Karet Untuk


Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik.

Suryanti SS. (2011). 14 Penyakit Yang Sering Menyerang Dan Sangat Mematikan.
Jakarta: flash book.

William (2014). Manajemen Stroke Pada Lansia. https://www.scribd.com


/doc/242510750/jurnal-william-manajemen-stroke-lansia. Diakses pada
tanggal 10 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai