Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-


dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi
seluruh umat Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati
dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-
sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas
pendidikan Islam yang kita terima.

Pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan berbagai


problematika. Sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai
komponen antara satu dengan yang lain saling berkaitan. Akan tetapi, seringkali
dilakukan apa adanya, tanpa perencanaan dan konsep yang matang. Sehingga
mutu pendidikan Islam kurang berjalan sesuai yang diharapkan.

Menyikapi hal tersebut, Filsafat pendidikan Islam, berupaya mencari


kebenaran sedalam-dalamnya, berfikir holistik, radikal dalam pemecahan problem
filosofis pendidikan Islam, pembentukan teori-teori baru ataupun pembaharuan
dalam pelaksanaan pendidikan Islam yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman. Berdasarkan sumber-sumber yang shohih yaitu Al-Qur’an dan hadist.
Kajian Filsafat pendidikan Islam dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi
memberikan manfaat besar bagi kita sebagai calon pendidik. Ontologi membahas
tentang hakekat pendidikan Islam, Epistemologi membahas sumber-sumber
pendidikan Islam, serta aksiologi mengupas nilai-nilai pendidikan Islam.

Oleh karena itu, hal-hal tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema :
“ Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Pendidikan Islam”.

1
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi
yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?


2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
4. Bagaimana kajian filsafat pendidikan Islam ditinjau dari segi ontologi,
epistimologi, dan aksiologi?

C. Tujuan Penulisan 
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna landasan ontologi


2. Untuk mengetahui makna landasan epistemologi
3. Untuk mengetahui makna landasan aksiologi
4. Untuk mengetahui filsafat pendidikan Islam ditinjau dari segi ontologi,
epistimologi, dan aksiologi?

D. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian
pustaka.

2
E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari:

BAB I : Pendahuluan, berisi latar belakang masalah,


perumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sestematika penulisan;

BAB II : Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan


epistemologi, landasan aksiologi dan hubungan ke
tiga landasan tersebut dalam filsafat ilmu, Untuk
mengetahui filsafat pendidikan Islam ditinjau dari
segi ontology, epistimologi, dan aksiologi.

BAB III : Kesimpulan, yang memaparakan makna dan


kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan
dalam suatu pengkajian ilmu, yakni; Landasan
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. 

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Ontologi

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan


kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan
munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang
menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang
ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang
pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang
berupa rohani (kejiwaan).

Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada
dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan
yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan
kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan
Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being
qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian
ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri
dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain,
suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam
bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana
entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal

4
universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi
dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan
dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori
mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.
Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi,
dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan
tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara
khusus membicarakan.

Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok


pemikiran sebagai berikut :

1. Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber
asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada
hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam
dua aliran:

5
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.

b. Idealisme

Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba


cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau
zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.

2. Dualisme

Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang
saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme
materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena
adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi.

3.Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy
and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada
masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M).

B. Landasan Epistemologi

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara


etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan
logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang

6
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas)
pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”,
sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya
ketahui?”

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:

1. Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?

2. Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?

3. Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?

4. Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)


dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman)?

Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan


sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai
pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan
dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi
(Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal
dengan adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme,
kritisisme atau rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai
variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera,
dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di
antaranya adalah:
1. Metode Induktif

Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-


pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih
umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada
pernyataan-pernyataan universal.

7
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan
dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam
dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam
lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut
sintetik.
2. Metode Deduktif

Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data


empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal
yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut.

3. Metode Dialektis

Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk


mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis
sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

C. Landasan Aksiologi

Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti


nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

8
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan
suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika
meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia
baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek
sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur
segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan,
intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.

Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam


menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen.
Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya.
Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan
tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi
tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama,
adat istiadat.

Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak


positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat.

9
Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah
berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

D. Kajian Filsafat Pendidikan Islam ditinjau dari segi ontology, epistimologi,


dan aksiologi.

1.      Ontologi Pendidikan Islam

Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi


pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari
kehidupan manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan
makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha
pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik.
Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah
telah membekalkan beberapa potensi kepada kita untuk berfikir. Pertanyaan
selanjutnya apakah sebenarnya hakekat pendidikan Islam itu?
3 Kata kunci tentang pendidikan Islam yaitu :
a.      Ta’lim,  kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan
Islam. Mengacu pada pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap
segenap nama-nama atau benda ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim
sebagai proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu.
b.      Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara,
membesarkan dan mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna
mengajar.
c.       Ta’dib, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah  yang
paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti
pengenalalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam
diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu
di dalam tatanan penciptaan.

10
      Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah merumuskan tentang
pendidikan Islam, sebagai berikut:

1.      Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan


jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-
ukuran Islam.
2.      Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam adalah proses bimbingan
(pimpinan, tuntutan, susulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa
(pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb).
3.      M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya.
4.       Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan
ideologi Islam.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam
tidak dapat dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan
Islam ditujukan pada terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi
hakikat penciptaannya, yakni menjadi Pengabdi Allah.
Pertama, rumusan tujuan pendidikan Islam yang secara umum
diorientasikan untuk membentuk insan kamil (Abdullah dan khalifah Allah).
Konsepsi tujuan ini adalah konsekwensi logis dari al-Qur’an yang
memproyeksikan manusia untuk mengabdi kepada Allah dan menjadi khalifah-
Nya. Tujuan ini tidak hanya mengandung dimensi normatif pada
pembetukan religious beings, tetapi juga mencakup pada pembentukan manusia
sebagai historical beings  yang memiliki kesadaran dalam konteks sosial yang
berhadapan dengan dimensi-dimensi multikultural, seperti gender, ras, agama,
politik, dan budaya. Oleh karenanya, pendidikan Islam seyogyanya tidak
menafikan dimensi-dimensi kehidupan yang membentuk habitus sosial ini.

11
Implikasi dari fenomena di atas adalah bahwa konstruksi kegiatan
pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada pembangunan moral semata,
tetapi juga perlu melihat aspek-aspek lain yang cukup dominan dalam
mengarahkan peserta didik dalam menjalani aktivittas sosialnya. Dalam hal ini,
perlu adanya pembelajaran yang juga mampu membangun kesadaran kritis peserta
didik. Karena dalam habitus sosial, seringkali muncul pertarungan berbagai
kepentingan dan idiologi tertentu. Dan idiologi dominanlah yang akan
mempengaruhi wajah sosial masyarakat.

Konteks kesadaran kritis di sini tidak hanya berbentuk pada penguatan


ketrampilan berpikir semata, tetapi juga mampu menstransformasikannya dalam
kehidupan sosial dan kultural. Dengan demikian, peserta didik akan mampu
mengatasi situasi-batas (limit situation) dan aksi batas (limit action),
yakni kemampuan untuk membentuk dan mengontrol kehidupan mereka, sehingga
dapat terlepas dari segala bentuk penindasan yang semena-mena.

Implikasi lain dari konsepsi tujuan tersebut menuntut para praktisi


pendidikan Islam agar membuka ruang pada daya nalar untuk merokonstruksi
khazanah klasik yang sementara ini hanya diamini secara dogmatif. Sikap
dogmatif adalah bertentangan dengan konsepsi tujuan pendidikan Islam yang
menyiratkan bahwa manusia sebagai khalifah Allahmengandung proses
dinamisasi yang tidak terjebak pada waktu tertentu. Sementara tradisi dogmatif
adalah bentuk pelanggenan sesuatu dan tidak mengapresiasi keniscayaan
perubahan.

Kedua, analisa ontologis terhadap pendidikan Islam tampak pada lahirnya


teori fitrah dalam pendidikan. Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia untuk
menerima agama, iman, dan tauhid serta perilaku suci. Meski semua manusia
memiliki potensi ini tidak serta merta secara aktual tewujud dalam kenyataan.
Dalam perkembangannya, potensi yang berwujud fitrah dapat tertutupi oleh polusi
jika tidak mendaptkan perhatian secara seksama, karena fitrah bisa bertambah atau
berkurang. Dan di sinilah arti penting pendidikan Islam.

12
Konsep fitrah dalam Islam berbeda dengan teori tabula rasa Jhon Locke,
sebab dalamteori tabula rasa, manusia dipandang sebagai kerta putih bersih yang
terbebas dari coretan. lingkunganlah yang mengisi coretan dalam kertas putih
tersebut. Artinya, manusia terlahir dalam keadaan pasif.
Sebaliknya, fitrah memandang manusia lebih dari ibarat kertas putih dan bersih,
karena dalam diri manusia terdapat potensi yang terbawa sejak lahir, yakni daya
untuk menerima agama atau tauhid.

Perbedaan yang signifikan antara konsep fitrah dan teori tabula rasa


terletak pada konsepsi manusia, apakah ia pasif atau memiliki potensi aktiv sejak
lahir. Dalam tabula rsa, manusia adalah pasif dalam kelahirannya,
sementara fitrah mengakui bahwa manusia memiliki potensi aktiv dalam
kelahirannya. Meski demikian, konsepsi fitrah tidak menafikan
pengaruh lingkungan terhadap pembentuk karakter manusia. Lingkungan hanya
dianggap salah satu faktor yang bisa menjadi bertambah atau berkurangnya fitrah
tersebut.

Dalam implementasinya, konsepsi fitrah tidak hanya mengandung dimensi


spritual-religius untuk bertauhid. Fitrah juga aspek fisik-materiil dan sosial. Hadis
berikut mengindikasikan dimensi fisik-matriil dal fitrah:

ً‫ب ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرةَ ِر َوايَة‬


ِ َّ‫الز ْه ِريُّ َح َّدثَنَا ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن ْال ُم َسي‬
ُّ ‫َح َّدثَنَا َعلِ ٌّي َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ قَا َل‬

‫ب‬ ِ ‫ار َوقَصُّ ال َّش‬


ِ ‫ار‬ ْ ‫ط َر ِة ْال ِختَانُ َوااِل ْستِحْ دَا ُد َونَ ْتفُ اِإْل ْب ِط َوتَ ْقلِي ُم اَأْل‬
ِ َ ‫ظف‬ ْ ِ‫ط َرةُ خَ ْمسٌ َأوْ خَ ْمسٌ ِم ْن ْالف‬
ْ ِ‫ْالف‬

“Telah menceritakan kepada kami Ali telah menceritakan kepada kami Sufyan, Az
Zuhri mengatakan; telah menceritakan kepada kami dari Sa'id bin Musayyab dari
Abu Hurairah secara periwayatan, fitrah itu ada lima, atau lima dari sunnah-
sunnah fitrah, yaitu; berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong kuku dan mencukur kumis.” (HR. BUKHARI - 5439).

Dari hadis ini, jelas kiranya bahwa konsespi Fitrah juga menakankan


perhatiannya pada aspek fisik-matriil manusia. Maka, tanpa pemenuhan aspek ini,
sama halnya dengan mereduksi nilai fitrah manusia. Dengan kata lain, fitrah tidak
mengenal dikotomi antara pemenuhan kebuthan jasmani dan kebutuhan rohani,

13
nilai-nilai yang terkandung dalam keduanya sama-sama penting untuk
diakomodasi dalam sistem pendidikan Islam.

Adapun konsepsi fitrah yang menyangkut dimensi sosial dapat dilihat dari


ajaran Islam yang mewajibkan umat Islam pada setiap untuk memberikan
sebagian rizkinya pada orang miskin dan mustahiq lainya, yang diistilahkan
dengan zakat fitrah. Dalam hal ini, dengan konsep fitrah, Islam telah mengajarkan
umat Islam untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, tidak sepatutnya
seorang muslim hanya menikmati reizkinya seorang diri tanpa peduli dengan
kondisi muslim lainnya yang sedang kesulitan.

Dengan konsepsi fitrah yang multi dimensi ini, sistem pendidikan Islam


sudah semestinya melakukan shift paradigma dari orientasi religius semata,
menuju pada keseimbangan orientasi sosio-religius. Pendidikan yang tidak hanya
menitikberatkan pada pembangunan akhlak dan persoalan ritual semata, tetapi
juga memberikan ruang pada pada pengembangan daya nalar kritis yang mampu
ditransformasikan dalam aktivitas sosial masyarakat. Dengan demikian, sistem
pendidikan Islam akan mengandung nilai universal selaras dengan jaran Islam
yang rahmatan li al-‘alamin.

2.      Epistemologi Pendidikan Islam

Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber


pendidikan Islam. Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, Yang Maha
Mengetahui Sesuatu. Hukum-hukum yang diciptakan Allah pun dapat dipahami
dengan berbagai metode dan pendekatan. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-
nilai Al-Qur’an yang universal dan abadi. Serta didukung oleh hadist Nabi
Muhammad SAW.

Ketiga kata kunci tentang Pendidikan Islam di atas disebutkan dalam Al-
Qur’an dan hadist berikut ini:

14
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah
kepada-Ku jika kamu memang orang-orang yang benar” (Al-Baqarah ayat: 31)

“Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua


telah mendidik aku di masa kecil.”(Al-Isra’ ayat 24).

Hadist Nabi Muhammad SAW “Aku dididik oleh Tuhanku (addabani Rabbi),


maka dia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan (fa ahsana ta’dibi).

Selanjutnya objek material Filsafat Pendidikan Islam yaitu segala hal yang
berkaitan dengan usaha manusia untuk menciptakan kondisi yang memberi
peluang berkembangnya kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan. Objek
formal: Usaha yang rasional, mendasar, general, dan sistematis dalam
mengembangkan kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik.
Sedangkan objek formalnya ialah perbuatan mendidik yang membawa anak, ke
arah tujuan pendidikan Islam. Sehingga secara epistemologi, Kurikulum
pendidikan Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Antara lain sebagai
berikut:

1.     Larangan mempersekutukan Allah

2.     Berbuat baik kepada orang tua

3.    Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap


amanat Allah.

4.     Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin

5.     Menjaui permusuhan dan tindakan tercela

6.     Menyantuni anak yatim

7.     Tidak melakukan perbuatan diluar kemampuan

8.     Berlaku jujur dan adil

15
9.     Menepati janji dan menunaikan perintah Allah

10. Berpegang teguh kepada ketentuan hukum Allah, dsb.

Sumber-sumber yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang


dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya ada
pada surat Al-Alaq, 96: ayat 1-5: 

‫} الَّ ِذي َعلَّ َم ابِ ْالقَلَ ِم‬3{ ‫} ا ْق َرْأ َو َربُّكَ اَْأل ْك َر ُم‬2{ ‫ق‬
ٍ َ‫ق اِإل ن َسانَ ِم ْن َعل‬
َ َ‫} خَ ل‬1{ ‫ق‬ َ َ‫ا ْق َرْأ بِاس ِْم َربِّكَ الَّ ِذي خَ ل‬
}5{ ‫} َعلَّ َم ْاِإل ن َسانَ َمالَ ْم يَ ْعلَ ْم‬4{

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah,  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 

Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan mengatur waktu (QS.


Al-Ashr, 103 :1-3, “Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.

Manusia mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya, (QS an-Najm,
53-39). “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”

Manusia sebagai makhluk yang memiliki keterikatan dengan moral atau


sopan santun (QS. Al Ankabut 29:8).

‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم فَالَ تُ ِط ْعهُ َمآ ِإلَّى َمرْ ِج ُع ُك ْم‬ َ ‫ص ْينَا ْاِإل ن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ِه ُح ْسنًا َوِإن َجاهَدَا‬
َ ‫ك لِتُ ْش ِركَ بِي َمالَي‬
َ َ‫ْس ل‬ َّ ‫َو َو‬
َ‫فَُأنَبُِّأ ُكم بِ َما ُكنتُ ْم تَ ْع َملُون‬

16
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Dari sebagian ayat di atas, jelaslah bahwa sumber-sumber pendidikan Islam


berasal dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
manusia, selain itu juga adalah hadits Rasulullah SAW, yaitu “ Aku meninggalkan
dua pusaka yang jika kamu berpegang teguh pada keduanya tidak akan tersesat
selamanya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Rasulullah”

3.      Aksiologi Pendidikan Islam

Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara


Islami, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan
dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam
pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan
Islam, diantaranya:

1.      Mengandung petunjuk Akhlak

2.      Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan


kebahagiaan di akherat.

3.      Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.

4.      Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan


dunia dan akhirat.

Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk mewujudkan


manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akherat.

17
Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the fist and highest goal of
Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi
dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah


terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan
hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia
itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Dalam surat Ad Dzariyat ayat 56:
yang artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat kami simpulkan tujuan utama


pendidikan Islam adalah untukmendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan
pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral,
berkualitas, sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan
ummat manusia secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi


menjadi tiga tujuan mendasar, yaitu:

1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat


kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu
menyelesaikan masalah orang lain yang membutuhkannya.
2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan
emosional, sehingga tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di
kehidupannya.
3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu
menjalankan perintah Allah dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan
rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-

18
hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah puasa,
menunaikan zakat,  dan menunaikan haji ke Baitullah.

Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu:  


1. Etika dan Pendidikan

Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyubutkan
dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika
merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu
kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral
pelaksanaannya dalam kehidupan.

Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan


manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan
filsafat tentang perilaku manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan Etika
Pendidikan, antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah
moral tidak bisa dilepaskan dengan tekat manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan
kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit membayangkan
perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk
itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan
sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral,
dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang
mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru,
pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam
diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik
moral, pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan

19
kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan
Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai
dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-
masing.[9]

2. Estetika dan Pendidikan

Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan


pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan
seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa,
pola, bentuk dan sebagainya. Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan.
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika
pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang
diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh
Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni :
Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat
kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman. Namun,
lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi
patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan
menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan
Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-
masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.
Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kami peroleh kesimpulan:

1. Ontologi pendidikan Islam membahas hakekat tentang pendidikan Islam.


Dirumuskan dalam tiga konsep yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Pendidikan
Islam merupakan suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik
sesuai dengan ideologi Islam.

2. Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber


pendidikan Islam. Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, yaitu Al-Qur’an
dan hadist.

3. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target


yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. tujuan utama pendidikan Islam
adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan pendidikan Islam,
diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga
bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia secara
keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis berikan :

21
1. Kepada semua pembaca apabila mendapat kekeliruan dalam makalah ini
harap bisa meluruskannya.
2. Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan
dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih
menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Khumaera Mey. “ Filsafat Pendidikan Islam dari Segi Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologi” 09 Oktober 2014 “ http://meykhumaera.blogspot.com/2012/03/filsafat-
pendidikan-islam-dari-segi.html

Adi Muhammad. 09 Oktober 2014 “ Pendidikan Islam


http://sepercikcahayasunyi.blogspot.com/2013/04/pendidikan-islam-dalam
tinjauan.html
Zahroh Aminatul. 09 Oktober 2014 “ Aksiologi Pendidikan Islam”
http://gudangilmu-pendidikan.blogspot.com/2013/02/aksiologi-pendidikan-
islam.html

22
Prof. Dr. Bakhtiar Amsal, M.A. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Garfindo
Persada.

Kattsoff Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.

23

Anda mungkin juga menyukai