Anda di halaman 1dari 12

Mekanisme Kerja Obat

Antiretroviral dan Antialergi

Oleh :

Nama : Arini Puspita Sari (1918031001)

Dosen Pengampu : Dr. dr. Ety Apriliana, M. Biomed

PRODI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi
terbaik bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
hingga saat ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan
jumlah virus (viral load), sehingga akan meningkatkan status imun pasien
HIV dan mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik. Pada tahun
2015, menurut World Health Organization (WHO) antiretroviral sudah
digunakan pada 46% pasien HIV di berbagai negara. Penggunaan ARV
tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian terkait HIV/AIDS dari
1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada tahun 2015. Antiretroviral
selain sebagai antivirus juga berguna untuk mencegah penularan HIV
kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV dari ibu ke anaknya.
Hingga pada akhirnya diharapkan mengurangi jumlah kasus orang
terinfeksi HIV baru di berbagai negara. Ada beberapa macam obat
antiretroviral yaitu, efavirenz, etravirine, nevirapine, lamivudine, dan
zidovudin.
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh
mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh Imunoglobulin E (IgE)
yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel mast.
Reaksi tersebut timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya
tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, yang disebut
dengan alergen. Alergi merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ
yang terkena seperti kulit,
hidung, telinga, paru-paru atau saluran pencernaan. Gejala hiperresponsif
ini dapat terjadi karena timbulnya respon imun dengan atau tanpa
diperantarai oleh IgE. Pengobatan untuk mengatasi alergi berbeda-beda
tergantung dari jenis dan gejala alergi apa yang dirasakan oleh penderita.
Penanganan medis alergi dengan obat, bertujuan untuk mengendalikan
gejala-gejala alergi yang muncul. Kelas obat antialergi meliputi
antihistamin H1, glukokortikoid, dan antileukotrien. Antihistamin H1
efektif dan aman sebagai pengobatan lini pertama pada urtikaria, untuk
mengendalikan gatal pada kulit.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan mekanisme kerja 1 obat antiretroviral beserta gambar!
2. Menjelaskan mekanisme kerja 1 obat antialergi beserta gambar!

C. Tujuan Masalah
1. Mendeskripsikan mekanisme kerja obat antiretroviral.
2. Mendeskripsikan mekanisme kerja obat antialergi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Kerja Obat Antiretroviral (Nevirapine)


Nevirapine (NVP) adalah obat antiretroviral (ARV) dari golongan non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) yang mengikat
langsung pada reverse transcriptase HIV-1, memperlambat kecepatan
sintesis DNA HIV, yang menghambat replikasi (penggandaan) virus. NVP
diserap secara cepat waktu diminum oleh orang dewasa, dan mempunyai
masa paro yang panjang yaitu kurang lebih 40 jam. Satu dosis 200mg
NVP tunggal yang diberikan sebelum persalinan dapat menebus plasenta
ibu secara efisien. Indikasi untuk NVP terutama:
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT), diberikan
dengan dosis tunggal atau dikombinasikan dengan jenis ARV lain.
2. Terapi jangka panjang yang harus dalam kombinasi dengan ARV
lain. Selama beberapa tahun belakangan ini, NVP juga dipakai
untuk profilaksis pascapajanan (PPP) dalam kombinasi dengan
ARV lain. Pernah dilaporkan ada efek merugikan yang parah
(termasuk kerusakan pada hati dan reaksi pada kulit) setelah NVP
diminum selama beberapa hari hingga beberapa minggu untuk
PPP. Saat ini penggunaan NVP untuk PPP diusulkan dihindari
karena tersedia regimen ARV lain yang efektif.

 Farmakodinamik
Nevirapine akan menghambat reverse transcriptase yang berada
pada HIV dengan cara berikatan langsung. Ikatan ini akan menyebabkan
gangguan situs katalitik enzim, sehingga menghambat aktivitas polimerase
DNA-dependent dan RNA-dependent. Nevirapine dapat digunakan
bersamaan dengan obat golongan nucleoside reverse transcriptase
inhibitor dan menunjukkan efek sinergi.
Nevirapine tidak dapat digunakan sebagai monoterapi karena akan
meningkatkan risiko terjadinya resistensi obat. Sebelum memulai
pemberian nevirapine, pasien disarankan untuk memeriksakan jenis
antigen HIV. Jika pasien terinfeksi jenis HIV-2, penggunaan nevirapine
tidak disarankan karena jenis HIV-2 memiliki kecenderungan untuk
resisten terhadap obat golongan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor. Akan tetapi, jika pemeriksaan tersebut tidak dapat dilakukan,
respon klinis pasien harus dipantau secara berkala.

 Farmakokinetik
Nevirapine diserap dengan sangat baik melalui administrasi per
oral. Obat ini dapat melewati plasenta dan ditemukan dalam ASI.

 Absorpsi

Nevirapine yang diberikan per oral akan diabsorpsi dengan cepat


dengan bioavailabilitas absolut melebihi 90%. Konsentrasi plasma
akan mencapai puncak setelah 4 jam pemberian. Sediaan
tablet extended release memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah,
yaitu 75%, namun hal ini tidak bermakna secara klinis. Sediaan ini
akan mencapai konsentrasi puncak setelah 24 jam.

 Distribusi

Nevirapine merupakan obat yang bersifat lipofilik dan didistribusikan


secara luas di seluruh tubuh. Obat ini juga dapat menembus plasenta
dan disekresikan di ASI. Sekitar 60% obat akan berikatan dengan
protein di darah. Volume distribusi pada pasien dewasa adalah 1,21
L/kg.

 Metabolisme

Nevirapine akan dimetabolisme di hepar menjadi metabolit


terhidroksilasi dan kemudian dikonjugasikan menjadi konjugasi
glukuronida. Metabolisme ini terjadi melalui sitokrom P450 (CYP) 3A
dan 2B6. Nevirapine juga merupakan obat yang dapat meningkatkan
kerja sitokrom P450, sehingga penggunaannya dengan obat lain yang
merupakan substrat sitokrom P450 perlu diperhatikan.

 Eliminasi

Sebagian besar nevirapine akan tereliminasi di urin dalam bentuk


konjugasi glukuronid dan ada sebagian kecil dalam bentuk yang tidak
dimetabolisme. Selain melalui urin, nevirapine juga akan
diekskresikan melalui feses dan proses dialisis. Klirens secara umum
dari nevirapine adalah 0,4-0,6 mL/kg/menit. Waktu paruh nevirapine
untuk dosis tunggal (extended release) adalah 45 jam dan untuk dosis
multipel adalah 25-30 jam.

Berikut gambar mekanisme kerja obat antiretroviral dalam tubuh:


B. Mekanisme Kerja Obat Antialergi (Cetirizine)

Mekanisme kerja obat cetirizine pada konstriksi otot polos seperti


pada kondisi spasme bronkus akibat reaksi alergi, adalah dengan
menginhibisi efek histamin pada otot polos tersebut. Kerja obat terhadap
terjadinya vasokonstriktor histamin adalah dengan memberikan efek
vasodilator dengan cara mengaktivasi reseptor H1 pada sel-sel endotelial.

Cetirizine juga bekerja dengan menghalangi peningkatan


permeabilitas kapiler, dan edema yang disebabkan oleh pelepasan
histamin. Selain itu, kerja obat yang menekan aksi histamin pada saraf
akhir, akan mengurangi rasa gatal dan kemerahan pada kulit akibat reaksi
alergi. Kompetisi obat dengan histamin yang melepaskan sitokin dan
eicosanoids yang bersifat inflamasi, pada reseptor-reseptor H1 di sel-sel
efektor akan menurunkan reaksi inflamasi tersebut.

Cetirizine menunjukkan selektivitas tinggi terhadap reseptor H1,


sehingga tidak memiliki efek terhadap reseptor muskarinik serta hanya
menunjukkan efek antiserotonergik dan antikolinergik minimal yang dapat
diabaikan. Hal ini berlawanan dengan kerja antihistamin generasi pertama,
yaitu selektivitas buruk terhadap reseptor dan sering berinteraksi dengan
reseptor-reseptor amines, menimbulkan efek antimuskarinik, anti ɑ-
adrenergic, dan antiserotonin.

Cetirizine merupakan substrat P-glycoprotein (gP) yang terbatas


kemampuannya dalam melintasi sawar otak. Karenanya, sangat sedikit
kadar obat terikat pada reseptor histamin serebral, sehingga efek sedasi
obat minimal.

Peran penting dari farmakologi cetirizine, atau yang juga dikenal


sebagai setirizin, adalah mekanisme kerja dengan selektivitas tinggi
terhadap reseptor histamin H1 di sel-sel efektor pada traktus
gastrointestinal, pembuluh darah dan traktus respiratorius.

 Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat cetirizine pada konstriksi otot polos seperti
pada kondisi spasme bronkus akibat reaksi alergi, adalah dengan
menginhibisi efek histamin pada otot polos tersebut. Kerja obat terhadap
terjadinya vasokonstriktor histamin adalah dengan memberikan efek
vasodilator dengan cara mengaktivasi reseptor H1 pada sel-sel endothelial
(Brunton, et al., 2011)
Cetirizine juga bekerja dengan menghalangi peningkatan
permeabilitas kapiler, dan edema yang disebabkan oleh pelepasan
histamin. Selain itu, kerja obat yang menekan aksi histamin pada saraf
akhir, akan mengurangi rasa gatal dan kemerahan pada kulit akibat reaksi
alergi. Kompetisi obat dengan histamin yang melepaskan sitokin dan
eicosanoids yang bersifat inflamasi, pada reseptor-reseptor H1 di sel-sel
efektor akan menurunkan reaksi inflamasi tersebut (Brunton, et al., 2011).
Cetirizine menunjukkan selektivitas tinggi terhadap reseptor H1,
sehingga tidak memiliki efek terhadap reseptor muskarinik serta hanya
menunjukkan efek antiserotonergik dan antikolinergik minimal yang dapat
diabaikan. Hal ini berlawanan dengan kerja antihistamin generasi pertama,
yaitu selektivitas buruk terhadap reseptor dan sering berinteraksi dengan
reseptor-reseptor amines, menimbulkan efek antimuskarinik, anti ɑ-
adrenergic, dan antiserotonin (Brunton, et al., 2011).
Cetirizine merupakan substrat P-glycoprotein (gP) yang terbatas
kemampuannya dalam melintasi sawar otak. Karenanya, sangat sedikit
kadar obat terikat pada reseptor histamin serebral, sehingga efek sedasi
obat minimal (Church, 2011).
 Farmakokinetik
Obat cetirizine memiliki farmakokinetik berupa absorpsi
gastrointestinal yang baik, menjalani siklus enterohepatik, dan diekskresikan
sebagian besar ke urine.

 Absorpsi

Cetirizine diabsorpsi cepat setelah konsumsi per oral. Bioavailabilitas


obat >70%. Konsentrasi puncak tercapai dalam waktu sekitar satu jam,
dan masa kerja obat sekitar 12‒24 jam. Konsumsi obat bersama
makanan, dapat memperlambat waktu pencapaian konsentrasi puncak
obat dalam plasma darah (Chen, 2008)

 Metabolisme

Sebagian kecil obat cetirizine dimetabolisme di hati, terutama oleh


enzim CYP3A4, dan obat mengikuti siklus enterohepatik. Selain itu,
cetirizine juga dimetabolisme secara terbatas oleh oxidative O-
dealkylation menjadi suatu metabolit yang aktivitas antihistaminnya
dapat diabaikan (Brunton, et al., 2011)
 Distribusi

Sekitar 93% cetirizine dalam plasma darah terikat protein. Distribusi


obat terbatas hingga pada lokasi ekstraseluler dimana terdapat reseptor
H1, dan pada sel-sel yang bersifat inflamasi seperti mastosit, basofil,
eosinofil, dan limfosit.
Sebagai antihistamin generasi kedua, hanya terdapat sedikit
konsentrasi obat cetirizine yang mampu melewati sawar otak. Hal ini
menyebabkan efek sedasi yang minimal dibandingkan antihistamin
generasi pertama seperti diphenhydramine. Walau demikian, efek
sedasi cetirizine merupakan yang terkuat dibandingkan obat
antihistamin generasi kedua lainnya (Brunton, et al., 2011).

 Eliminasi
Waktu paruh eliminasi obat adalah sekitar 8,3 jam. Ekskresi cetirizine,
sebagian besar sekitar 70% dikeluarkan melalui urine, dimana sekitar
separuhnya sebagai obat dalam bentuk tidak berubah. Sebagian kecil
obat, yaitu sekitar 10% dibuang ke feses.
DAFTAR PUSTAKA

Bruton, L. L., Chabner, B. A., and Knollmann, B. c. 2011. Goodman and


Gilman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics. McGraw-Hill :
New York.

Church, D. S. and Church, M. K. 2011. Pharmacology of Antihistamines. World


Allergy Organization Journal. 4(3): S22-S27.

Ganiswara, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Universitas Indonesia,


Jakarta.

Sukandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI, Jakarta.

World Health Organization. Guideline on when to start antiretroviral therapy and


on pre- exposure prophylaxis for HIV. Geneva: World Health Organization; 2015.
p.24-53.

Anda mungkin juga menyukai