Anda di halaman 1dari 60

REFLEKSI KASUS November 2021

“ASFIKSIA + KEJANG NEONATUS”

Nama : Dewon Khrisdianto Ferry


No. Stambuk : N 111 21 010
Pembimbing : dr. Haryanty Kartini Huntoyungo,
M.Biomed., Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Dewon Khrisdianto Ferry

No. Stambuk : N 111 21 010

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul Refleksi Kasus : Asfiksia + Kejang Neonatus

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSUD UNDATA
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, November 2021

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Haryanty Kartini Huntoyungo, M.Biomed, Sp. A Dewon Khrisdianto Ferry

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………4
BAB II ……………………………………………………………………………….5
BABIII ……………………………………………………………………………...10
A. Asfiksia………………………………………………………………………10

1. Definisi………………………………………………………………………10
2. Epidemiologi………………………………………………………………...11
3. Etiologi………………………………………………………………………12
4. Patofisiologi…………………………………………………………………13
5. Manifestasi Klinis…………………………………………………………..16
6. Diangnosis…………………………………………………………………..17
7. Komplikasi………………………………………………………………….18
8. Penatalaksanaan……………………………………………………………19
9. Prognosis……………………………………………………………………33

D. Kejang Neonaturum………………………………………………………...34
1. Definisi………………………………………………………………………34
2. Epidemilogi…………………………………………………………………34
3. Patofisiologi..………………………………………………………………..34
4. Etiologi….…………………………………………………………………...36
5. Manifestasi Klinik…………………………………………………………..42
6. Diagnosis…………………………………………………………………….44
7. Tatalaksana…………………………………………………………………50
8. Diangnosis Banding...……………………………………………………...54
9. Komplikasi………………………………………………………………….55
10. Prognosis…………………………………………………………………….57

BAB IVKESIMPULAN…………..………………………………………………..58
DAFTAR PUSTAKA………..……………………………………………………..59

3
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan pernapasan adalah salah satu penyebab paling umum bayi dirawat
di unit perawatan intensif neonatal.15% dari bayi baru lahir dan 29% bayi prematur di
unit perawatan intensif neonatal mengembangkan morbiditas pernapasan yang
signifikan; ini bahkan lebih tinggi untuk bayi yang lahir sebelum kehamilan 34
minggu.Faktor risiko tertentu meningkatkan kemungkinan penyakit pernapasan
neonatal. Faktor-faktor ini termasuk prematuritas, meconium-stained amniotic fluid
(MSAF), kelahiran sectio caesarian, diabetes gestasional, maternal chorioamnionitis,
atau temuan ultrasonografis prenatal, seperti oligohydramnios atau kelainan structural
paru-paru. (1)
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Proses persalinan lama juga
dapat mengakibatkan terjadinya asfiksia sebesar 33,3%. Di Indonesia angka kejadian
asfiksia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup, secara keseluruhan 110.000
neonatus meninggal setiap tahun karena asfiksia.Faktor yang menyebabkan asfiksia
neonatorum antara lain faktor keadaan ibu, faktor keadaan bayi, faktor tali pusat dan
faktor persalinan. (2)
Faktor ibu adalah umur ibu, pendidikan, pekerjaan, paritas, perdarahan
antepartum, hipertensi pada saat hamil dan anemia pada saat hamil. Faktor persalinan
adalah jenis persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, partus lama, dan
ketuban pecah dini (KPD). Faktor bayi adalah prematur dan berat badan lahir rendah
serta faktor tali pusat adalah lilitan tali pusat, tali pusat pendek dan prolapsestali
pusat.(2)

4
BAB II

LAPORAN KASUS

Tanggal masuk : 14/11/2021


Nama : Bayi. Ny. Hajra
Tanggal lahir : 14/11/2021 pukul:10.46
Jenis kelamin : Laki-Laki

Anamnesis:
Seorang bayi Laki-Laki lahir tanggal 14-11-2021. Bayi lahir sc atas indikasi
Serotinus + Plasenta letak rendah. BBL 2.900 gr A/S:4/6/7 dengan keluhan,
Merintih (+), Retraksi dada (+), sianosis (+). Pada saat bayi lahir tidak langsung
menangis, air ketuban berwarna hijau bercampur meconium. Pasien merupakan anak
pertama. riwayat imunisasi Vit K1 dan HB-0 (-)

Pemeriksaan fisik:
DJ : 136x/menit
R : 76x/menit
S : 340c
Spo2 : 85% Tanpa O2
Antropometri
Berat badan : 2.900 gram
Panjang badan : 47 cm
LK : 34 cm LD : 34 cm
LLA : 10 cm LP : 35 cm
1. Sistem pernafasan:
- Sianosis : (+)

5
- Merintih : (+)
- Apnea : (-)
- Retraksi dinding dada : (+/+)
- Pergerakan dinding dada : simetris (+/+)
- Cuping hidung: (+)
- Stridor : (-)
- Bunyi nafas : bronkovesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Bunyi tambahan : (-)
- Skor DOWNE:
 Frekuensi nafas: 1
 Retraksi: 1
 Sianosis: 1
 Udara masuk: 1
 Merintih: 2
Total skor : 6
Kesimpulan: gangguan pernafasan sedang
- Kriteria WHO gangguan nafas: asfiksia sedang
2. Sistem kardiovascular
- Bunyi jantung: BJ I/II murni regular
- Murmur: (-)
3. Sistem hematologi
- Pucat: (-)
- Icterus: (-)
4. Sistem gastrointestinal
- Kelainan dinding abdomen: (-)
- Diare: (-)
- Muntah: (-)
- Residu lambung: (-)
- Organomegali: (-)

6
- Bising usus: (+) kesan normal
- Umbilicus:
Keluaran: normal
Warna kemerahan: normal
Edema: (-)
5. System saraf
- Aktivitas: Lemah, aktivitas tidur
- Kesadaran:Apatis
- Fontanela: menonjol
- Sutura: tidak menutup
- Reflex terhadap cahaya: (+)
- Kejang: (+)
- Tonus otot: Lemah
6. System genitalia:
Laki-Laki:
Keluaran: normal
7. Pemeriksaan lain:
- Ekstremitas:
Atas: akral hangat (+/+), udema (-/-)
Bawah: akral hangat (+/+), udema (-/-)
- Turgor: <2 detik
- Kelainan kongenital: (-)
- Trauma lahir: (-)

SKOR BALLARD
 Maturitas neuromuscular
- Sikap tubuh : 4
- Persegi jendela : 4
- Recoil lengan : 4

7
- Sudut poplitea : 4
- Tanda selempang : 4
- Tumit ke telinga : 4
 Maturitas fisik:
- Kulit: 3
- Lanugo: 4
- Permukaan plantar: 4
- Payudara : 2
- Mata/telinga : 3
- Genitalia : 3

TOTAL SKOR: 43
Estimasi umur kehamilan: 40-42 minggu

DIAGNOSIS:
Asfiksia ringan sedang
Kejang Neonatus

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Darah Lengkap Hasil
GDS 46 mg/dl

TERAPI :

Non Medika Mentosa

Beri kehangatan
Atur posisi
Bersihkan jalan nafas
Keringkan tubuh bayi

8
Atur posis kembali
Berikan rangsangan taktil
O2 0,5-1 lpm nasal canul
Medikamentosa :

- Pemberian salep mata Oxytetraxylin

- Inj Vit K

- Inj Hep.B0

RESUME

Seorang bayi Laki-Laki usia 1 hari. Bayi lahir sc atas indikasia Serotinus dan
plasenta letak rendah. BBL 2.900 gr A/S 4/6/7 dengan keluhan sesak (+), Merintih
(+), Retraksi dada(+), pada saat bayi lahir tidak langsung menangis, air ketuban
berwarna hijau bercampur meconium.

Pada pemeriksaan fisik TTV DJ: 136x/menit, R: 76x/menit, S: 34 0c, Spo2 :


85%, BBL 2.900 gr, PB 47 cm. pada pemeriksaan fisik sistem pernapasan cuping
hidung (+), retraksi (+/+), merintih (+). Pada pemeriksaan skor down total skornya 6,
pada pemeriksaan skor ballard total skornya 43 (40-42 minggu). Pada pemeriksaan
kimia darah GDS: 46 mg/dl

9
BAB III

PEMBAHASAN

I. ASFIKSIA NEONATORUM
I. DEFINISI
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda
:
 Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.1
 American College of Obstetricians and Gynaecologists dan
American Academy of Pediatrics
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi
sebagai berikut:3
 Nilai Apgar menit kelima 0-3

 Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

 Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

 Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan


kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang


dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksiaiskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan
utama.4

10
II. EPIDEMIOLOGI
Asfiksia neonatorum memiliki kejadian 1 sampai 6 per 1.000
kelahiran hidup aterm, dan merupakan penyebab kematian neonatus paling
umum ketiga (23%) didunia setelah kelahiran prematur (28%) dan infeksi
berat (26%).1 Menurut WHO, 4 juta kematian setiap tahun terjadi karena
asfiksia saat lahir, mewakili 38% dari semua kematian anak-anak di bawah
usia 5 tahun. 4

Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia


saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy,
retardasi mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar
tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah
gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan
sepsis neonatorum (12.0%). 4
Menurut data-data di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun
2004 bayi baru lahir berjumlah 184 orang, meninggal 9 orang (4,89%) 1 bayi
meninggal dengan asphyxia neonatorum. Tahun 2005 bayi baru lahir
berjumlah 215, meninggal 9 orang (4,19%) dimana 1 bayi meninggal dengan
asphyxia neonatorum.2
Di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan. Tahun 2005, bayi baru lahir
berjumlah 754 orang, 27 bayi (3,58%) meninggal dan tahun 2006 dari jumlah
kelahiran 1.185 bayi, bayi dengan asphyxia neonatorum 205 meninggal
sebelum usia 7 hari sejumlah 134 (11,31%), dimana asphyxia neonatorum
merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 108 bayi (81%) dan
tahun 2007 angka kelahiran 757, bayi lahir dengan asfiksia neonatorum
sebanyak 234 (30,31%) dan meninggal sebelum usia 7 hari sebanyak 59
(77,94 per seribu) dan bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum sebanyak
20 bayi (34%).2

11
III. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun
plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.4
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan
persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat
mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat ringan dan
sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis yang terdapat
pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan beratnya dan
lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan terjadinya
perubahan fungsi sistem kardiovaskuler.2
Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri
dari 3:
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya

b. Gangguan aliran darah uterus


Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada
(a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat, (b) Hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, (c) Hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta

12
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu
dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali
pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan
jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan
pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
(b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.(c)
Kelainan konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika
atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.

IV. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam
paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (PaO2) parsial
rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.4
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan
interstitial paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. 4

13
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 4
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan
pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah
yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 4
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. 4
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung
kepada berat dan lamanya asfiksia.
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer

14
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder
sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi
kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada
fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan
ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk
menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder,
namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan
mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.13

Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu


adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam
keadaan apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi
dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat
memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat,
hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi
yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. 13

15
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis asfiksia neonatus dilihat beradasarkan skor Apgar.
Berikut merupakan manifestasi klinis asfiksia neonatorum berdasarkan
penilaian APGAR : 1,5
1. ‘Vigorous baby’. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan tertentu.
2. ‘Mild-moderate asphyxia’ (asfiksia sedang). Skor Apgar 4-6. Pada
pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflex iritabilitas tidak ada.
3. (a) Asfiksia berat. Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat,
dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
(b) Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung
adalah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit
sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum.
Dalam hal ini pemeriksaan fisik lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada
penderita asfiksia berat.
Tanda 0 1 2

Frekuensi Tidak ada Kurang dari 100 x/menit Lebih dari 100
jantung x/menit

Usaha Tidak ada Lambat, tidak teratur Menangis keras


bernapas

Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi sedikit Gerakan aktif

Refleks Tidak ada Gerakan sedikit, sedikit Menangis,


mimikri batuk/bersin

16
Warna Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
ekstremitas biru ekstremitas
kemerahan

Skor Apgar pada Bayi Baru Lahir

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorum.
Pemeriksaan fisis
 Bayi tidak bernafas atau menangis
 Denyut jantung kurang dari 100x/menit
 Tonus otot menurun
 Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
 BBLR
Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil
asidosis pada darah tali pusat:
 PaO2 < 50 mmHg
 PaCO2 > 55 mmHg
 pH < 7,00
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
o Darah perifer lengkap
o Analisis gas darah sesudah lahir

17
o Gula darah sewaktu
o Elektrolit darah (Kalsium, Natrium,Kalium)
o Ureum kreatinin
o Pemeriksaan radiologi/foto dada
o Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
o Pemeriksaan USG Kepala
o Pemeriksaan EEG
o CT scan kepala
o Laktat

VII. KOMPLIKASI
Gambaran klinis yang terlihat pada berbagai organ tubuh sangat bervariasi
tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan
hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal. Beberapa
penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah
susuna saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat
hamper selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan
failure).1
Sistem Pengaruh
Sistem saraf pusat Ensefalopati Hipoksik Iskemik
(EHI), infark, perdarahan
intracranial, kejang-kejang, edema
otak, hipotonia, hipertonia
Kardiovaskular Iskemia miokardium, kontraktilitas
buruk, bising jantung, hipotensi
Pulmonal Hipertensi pulmonal, pneumonia,
perdarahan paru, sindrom
kegawatdaruratan pernapaasan

18
Ginjal Nekrosis tubular akut atau korteks
Adrenal Perdarahan adrenal
Saluran cerna Perforasi, ulserasi, nekrosis
Metabolik Sekresi ADH yang tidak sesuai,
hiponatremia, hipoglikemia,
hipokalsemia, mioglobinuria
Kulit Nekrosis lemak subkutan
Hematologi Koagulasi intravascular tersebar

VIII. PENATALAKSANAAN
American Heart Association merekomendasikan resusitasi neonatus
ketika terjadi asfiksia pada bayi baru lahir. Tujuan resusitasi pada neonatus
adalah membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam
sesudah lahir. Resusitasi pada bayi baru lahir adalah prosedur yang
diaplikasikan pada BBL yang tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.6
Secara singkat, ada beberapa hal yang harus dinilai pertama kali pada
neonatus yaitu usia kehamilan, apakah bayi bernapas atau tidak, dan kekuatan
otot bayi. Kemudian lakukan langkah selanjutnya dengan memberikan
kehangatan, keringkan badan bayi, membersihkan jalan nafas, dan merangsang
bayi agar menangis. Penilaian lebih lanjut didasarkan pada denyut jantung dan
oksimeter denyut. Lalu dilakukan intervensi berupa ventilasi tekanan positif
(VTP), kompresi dada, intubasi endotrakeal, dan adrenalin intravena.
Pemberian ventilasi merupakan langkah yang paling penting untuk keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir yang belum merespon dengan langkah-langkah awal.
Protokol merekomendasikan bahwa resusitasi harus dimulai dengan udara
ruangan, dan 100% O2 harus digunakan setelah terjadi hipoksemia atau
bradikardia yang berkepanjangan.8

19
Langkah Awal Resusitasi

Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran


panas, memposisikan kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas,
membersihkan jalan nafas, keringkan dan memberikan rangsangan, atur posisi
kembali dan penilaian pernafasan, denyut dan kulit (HAIKAP).8
1. Menghangatkan

20
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi.
Hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant
warmer. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai risiko
tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus
dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. 8
2. Atur posisi kepala dan Isap / membersihkan Jalan Nafas
Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya
diposisikan terlentang dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing
position. Kemudian jalan nafas harus dibersihkan. Jika tidak ada mekonium,
jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka hidung dan mulut
dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb
syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction
terhadap mulut lebih dahulu sebelum suction pada hidung, untuk
memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut yang dapat
menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang
terlalu kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal
yang menyebabkan
bradikardi dan apneu. 8

Sniffing position

Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan


laju nadi lebih dari 100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik,
lakukan suction pada mulut dan hidung dengan bulb syringe ( balon
penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan. 8
Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi
mekonium saat proses persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena

21
itu, jika bayi menunjukan usaha nafas yang buruk, tonus otot yang
melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan
suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir.
Hal ini dapat dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan
kateter penghisap ukuran 12 French (F) atau 14 F untuk membersihkan
mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan memasukkan endotracheal
tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan
mekonium sangat minimal. 8

Balon Penghisap dan Kateter Penghisap8

3. Keringkan dan Atur posisi kembali


Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah
terjadinya kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas
bayi masih belum baik, dapat diberikan rangsang taktil dengan memberikan
tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau dapat juga dilakukan
dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi. 8
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda
vital pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah
periode awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu
primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan. 8
Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan
melakukan beberapa usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke
dalam periode apnu sekunder. Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja

22
tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan
pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan untuk mengatasi
masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun
pada saat bayi mengalami apnu primer, tekanan darah akan tetap bertahan
sampai dimulainya apnu sekunder. 8

4. Penilaian Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit


Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi, Pergerakan dada harus baik
dan tidak ada megap megap (gasping ). Jika laju nadi kurang dari 100 kali per
menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif. warna kulit dapat dilakukan
dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk menilai ada
tidaknya sianosis sentral sedangkan Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan
hal yang normal pada neonatus. 8
Di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat
merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif. Pemberian
oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari 100
kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Standar oksigen yang
digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Namun pada
penelitian menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% (udara
ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan talitas
neonatus bahkan pada neonatus preterm. 8

A. Ventilasi Tekanan Positif

 VTP dilakukan selama 30 detik sebanyak 20-30 kali, dengan fase


eskpirasi lebih lama daripada fase inspirasi. Setelah 30 detik ventilasi,
dilakukan penilaian frekuensi jantung. Apabila denyut jantung >100x
per menit dan target saturasi tercapai tanpa alat, maka lanjutkan ke

23
perawatan obseravasi, apabila pasien menggunakan alat maka
lanjutkan ke perawatan pasca resusitasi. 8
 Apabila neonatus dapat bernapas spontan, perhatikan apakah
neonatus mengalami distress napas (takipneu, retraksi atau merintih)
atau sianosis sentral persisten tanpa distress napas. Apabila ada
distress napas maka diberikan continuous positive airway pressure
(CPAP) dengan PEEP 5-8 cmH2O dan dilakukan pemantauan
saturasi oksigen. Apabila denyut jantung >100x per menit dan target
saturasi tercapai tanpa alat, maka lanjutkan ke perawatan obseravasi,
apabila pasien menggunakan alat maka lanjutkan ke perawatan pasca
resusitasi. Apabila gagal CPAP, PEEP 8 cmH20 dan FiO2 >40%
dengan distress napas, maka pertimbangkan intubasi. Apabila terjadi
sianosis sentral persisten tanpa distress napas, pertimbangkan
suplementasi oksigen dan lakukan pemantauan SpO2. Apabila laju
denyut jantung >100x per menit dan target saturasi oksigen tercapai
tanpa alat, lanjutkan ke perawatan observasi, jika dengan alat maka
lanjutkan ke perawatan resusitasi. Penggunaan oksimetri nadi (pulse
oximetry) direkomendasikan jika resusitasi diantisipasi, VTP
diperlukan lebih dari beberapa kali napas, sianosis menetap, oksigen
tambahan diberikan. 8

Apabila setelah dilakukan resusitasi dengan VTP dan denyut jantung


tetap <100x/menit, perhatikan pengembangan dada, apakah adekuat
atau tidak. 8

 Jika VTP tidak efektif maka harus dilakukan Langkah koreksi yang
terdiri dari (SRIBTA) :
 Sungkup melekat rapat
 Reposisi jalan nafas

24
 Isap mulut dan hidung bila terdapat lender
 Buka mulut bayi dan berikan ventilasi
 Tingkatkan tekanan puncak inspirasi
 Alternatif jalan nafas lain jika langkah gagal maka lakukan
intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring
 Jika dada mengembang adekuat namun denyut jantung <60x/menit,
maka dilakukan VTP (oksigen 100%) + kompresi dada (3 kompresi
tiap 1 nafas), pertimbangkan intubasi pada langkah ini apabila VTP
tidak efektif atau telah dilakukan selama 2 menit. Observasi denyut
jantung dan pernapasan setiap 30 detik.
B. Kompresi dada
Indikasi dilakukannya kompresi dada yaitu apabila setelah 15-30
detik, denyut jantung < 60 kali/menit atau antara 60-80 kali/menit dan tidak
meningkat setelah pemberian positive pressure ventilation dengan FiO2
100%.
Kompresi dada dilakukan pada sternum 1/3 bawah. Tedapat 2 tehnik
dari kompresi dada yaitu: 8
1. Menggunakan 2 ibu jari yang diletakkan pada sternum (sejajar dengan
1 jari dibawah puting susu) dengan jari-jari tangan lainnya melingkari
dada (the two thumb-encircling hands technique).
2. Tehnik dengan dua jari tangan kanan(the two finger technique) yang
diletakkan di dada dengan tangan lainnya menyokong punggung.

Beberapa data menunjukkan bahwa the two thumb-encircling


hands technique memiliki beberapa keuntungan dalam mencapai puncak
tekanan sistolik dan tekanan perfusi koroner, sehingga lebih dipilih
dibandingkan dengan the two finger technique. Dalamnya kompresi dada
kurang lebih sepertiga dari diameter anterior-posterior dada. The pediatric

25
basic live support guidelines merekomendasikan dalamnya kompresi dada
kurang lebih 1/3 -½ dari diameter anterior posterior dada. Tidak ada data
yang spesifik mengenai dalamnya kompresi dada yang ideal, namun
direkomendasikan untuk melakukan kompresi dada sekitar sepertiga dari
dalamnya dada, tetapi kompresi ini harus dapat untuk membuat denyut
nadi yang teraba secara adekuat. Tehnik kompresi dada ini dapat dilihat
pada gambar 2.4. Perbandingan antara kompresi dada dengan ventilasi
adalah 3:1, yaitu dengan melakukan 90 kali kompresi dan 30 kali ventilasi
dalam satu menit. Denyut jantung harus dievaluasi secara periodik yaitu
setiap 30 detik. Kompresi dada dihentikan apabila denyut jantung terjadi
secara spontan lebih dari 80 kali/menit. 8

Kompresi Dada8

C. Obat-Obat Resusitasi
Obat-obatan jarang diindikasikan pada resusitasi bayi baru lahir. Obat-
obatan diberikan apabila denyut jantung < 80 kali/menit, walaupun telah
mendapatkan ventilasi yang adekuat dengan oksigen 100% dan telah

26
dilakukan kompresi dada minimal selama 30 detik. Obat-obatan yang
digunakan yaitu epinefrin, volume expander,ntrium bikarbonat, nalokson.
Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.8

 Epinefrin
Pemberian epinefrin diindikasikan apabila denyut jantung < 60
kali/menit setelah ventilasi yang adekuat dan kompresi dada selama 30
detik. Epinefrin terutama diindikasikan apabila terdapat asistol. 8

Epinefrin memiliki efek stimulasi terhadap reseptor α dan β


adrenergik. Pada cardiac arrest, α adrenergik menyebabkan
vasokonstriksi yang akan meningkatkan tekanan perfusi selama
kompresi dada, sehingga terjadi peningkatan hantaran oksigen ke
jantung dan otak. Epinefrin juga meningkatkan keadaan kontraktil
jantung, menstinulasi kontraksi spontan dan meningkatkan denyut
jantung. 8

Dosis intravena atau endotrakea adalah 0,1-0,3 mL/kg dengan


pengenceran 1:10000 (0,01-0,03 mg/kg), dapat diulang setiap 3-5
menit. Pemakaian epinefrin dosis tinggi pada binatang dapat
menyebabkan hipertensi dengan curah jantung yang rendah. Efek
hipotensi yang diikuti dengan hipertensi dapat meningkatkan risiko
perdarahan intrakranial, terutama pada bayi preterm. 8

D. Volume ekspander
Volume ekspander penting untuk melakukan resusitasi pada bayi baru
lahir yang mengalami hipovolemia. Kecurigaan terjadinya hipovolemia
diketahui dengan kegagalan dalam merespon resusitasi. Cairan yang dipilih
kristaloid isotonik misalnya normal salin atau ringer laktat. Pemberian sel
darah merah O-negatif dapat diindikasikan untuk mengganti kehilangan darah

27
dalam jumlah yang besar. Solution yang menggandung albumin jarang
digunakan untuk ekspansi volume pada tahap awal karena penggunaannya
terbatas, risiko infeksi, dan pada observasi dihubungkan dengan peningkatan
mortalitas. 8
Dosis awal dari volume ekspander adalah 10 mL/kg yang diberikan
secar perlahan melalui jalur intravena selama 5-10 menit. Dosis ini dapat
diulang setelah ditentukan kondisi klinis lebih lanjut dan diobservasi respon
yang terjadi.pemberian bolus dalam dosis yang besar dapat dilakukan pada
bayi yang lebih besar. Akan tetapi, volume overload atau komplikasi
(misalnya perdarahan intrakranial) dapat terjadi akibat pemberian volume
ekspander intravaskuler yang tidak tepat pada bayi asfiksia dan bayi preterm. 8

 Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat diberikan pada keadaan asidosis metabolik yang
persisten ataupun hiperkalemia.dosis yang diberikan yaitu 1-2 mEq/kg dari
solution 0,5 mEq/mL yang diberikan melalui jalur intravena secara perlahan
(minimal dalm 2 menit) setelah ventilasi dan perfusi adekuat. 8

 Nalokson
Nalokson hidroklorida merupakan antagonis narkotik yang tidak
mempunyai efek depresi respirasi. Secara spesifik diindikasikan untuk
melawan efek depresi respirasi pada bayi baru lahir, yang ibunya mendapat
narkotik dalam 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum pemberian nalokson
selalu dijaga keadekuatan ventilasi. Jangan memberikan nalokson pada bayi
baru lahir yang ibunya dicurigai menggunakan obat-obat narkotik (drug
abuse) karena dapat menyebabkan efek withdrawal. 8

Dosis yang direkomendasikan yaitu 0,1 mg/kg dari 0,4 mg/mL atau
solution 1 mg/mL yang diberikan secara intravena, endotrakea, atau apabila
perfusinya adekuat dapat diberikan intramuskular atau subkutan. Karena

28
durasi dari narkotik lebih lama dibandingkan nalokson, maka monitoring
secara kontinyu merupakan hal yang penting, dan pemberian nalokson dapat
diulang untuk mencegah apneu rekuren. 8

OBAT INDIKASI DOSIS CARA EFEK


PEMBERIA
N
Epinefrin Asistol 0,01mg/kg ET, IV ↓ denyut jantung
(0,1 mL/kg) ↓ kontraktilitas
diencerkan miokard
1:10000 ↓ tekanan arteri
Natrium Asidosis 1-2 meq/kg IV Mengoreksi
bikarbonat metabolik diluted 1:2 asodosis metabolik
(sangat  COP dan perfusi
perlahan) perifer
Nalokson Ibunya 0,1 mg/kg ET, IV, SC,  ventilatory rate
menggunaka IM
n opiat+bayi
apneu
Cairan Hipovolemi 10-20 mL/kg IV secara  tekanan darah
(PRC, a perlahan  perfusi perifer
albumin 5%,
normal
salin)

E. Intubasi Endotrakeal

29
Intubasi diindikasikan untuk mengisap mekonium dalam trakea bila
didapatkan ada mekonium dalam air ketuban dan bayi tidak bugar. Selain itu
diindikasikan untuk meningkatkan efektivitas ventilasi bila setelah beberapa
menit melakukan ventilasi balon dan sungkup tidak efektif, untuk membantu
koordinasi kompresi dada dan ventilasi, serta untuk memaksimalkan efisiensi
pada setiap ventilasi. Diindikasikan juga untuk memberikan obat epinefrin
bila diperlukan untuk merangsang jantung sambil menunggu akses intravena,
selain itu dilakukan pada bayi sangat kurang bulan untuk ventilasi dan atau
pemberian surfaktan.

Ukuran dan panjang pipa endotrakea8


Berat (gram) Umur kehamilan Ukuran pipa Dalamnya insersi
(minggu) dari bibir atas
(diameter mm)
<1000 <28 minggu 2,5 6,5-7

1000-2000
28-34 3,0 7-8

2000-3000
34-38 3,0/3,5 8-9
>3000
>38 3,5/4,0 >9

Komplikasi dari intubasi endotrakeal adalah perforasi trakea, perforasi


esofagus, udema larings, posisi pipa tidak tepat, obstruksi atau penekukan
pipa, trauma pada palatum dan stenosis subglotis.
F. Perawatan pasca resusitasi
Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia
perinatal, sangat kompleks,  membutuhkan monitoring ketat dan tindakan
antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami disfungsi multiorgan

30
dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis fisiologis.
Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya
melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, stabilitas suhu, koreksi
hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan
hipotensi. Salah satu acuan yang telah mempunyai bukti ilmiah yang kuat
dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus dikenal
sebagai S.T.A.B.L.E. yaitu tindakan stabilisasi yang terfokus pada 6 dasar
penanganan yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics
(AAP), bertujuan untuk meningkatkan keamanan pasien, baik dalam
manajemen, mencegah kemungkinan adanya kesalahan, serta mengurangi
efek samping. Stabilisasi neonatus yang tepat terbukti menurunkan tingkat
morbiditas dan mortalitas. 9

G. Komplikasi Bayi dengan Resusitasi Berkelanjutan Kompleks


Bayi yang membutuhkan VTP berkepanjangan, intubasi, dan atau kompresi
dada kemungkinan mengalami stress berat dan berisiko mengalami disfungsi
multiorgan yang mungkin tidak terlihat sehingga bayi perlu dirawat di ruang
perawatan lanjutan.
Sistem Organ Komplikasi Tindakan Pasca Resusitasi
Otak - Apnea Monitor apnea
- kejang Memberi ventilasi bila
- perubahan pada dibutuhkan
pemeriksaan Memantau glukosa dan
neurologis elektrolit
Mencegah hipertermia
Mempertimbangkan terapi
anti kejang; hipotermia
Paru-paru - hipertensi pulmoner Mempertahankan oksigenasi
- pneumonia & ventilasi adekuat

31
- pneumotoraks Mempertimbangkan
- takipnea sementara antibiotik
- sindrom aspirasi Melakukan sinar X dan gas
mekonium darah
- defisiensi surfaktan Menunda minum jika ada
gawat napas
Kardiovaskular Hipotensi Memantau tekanan darah &
frekuensi jantung
Mempertimbangkan
penggantian volume, diikuti
pemberian inotropik jika
terjadi hipotensi
Ginjal Nekrosis tubular akut Memantau produksi urin
Memantau serum elektrolit
Membatasi cairan bila bayi
oliguri sedangkan volume
vaskular cukup
Gastrointestinal  Ileuis Menunda pemberian minum
 Enterokolitis Memberi cairan intravena
nekrotikans Mempertimbangkan nutrisi
parenteral
Metabolik/ - Hiperglikemia Memantau glukosa darah
hematologik - hipokalsemia Memantau elektrolit
- hiponatremia Memantau hematokrit
- anemia Memantau plasenta

IX. PROGNOSIS

32
Kriteria berikut telah terbukti paling membantu dalam menguraikan
kemungkinan prognosis asfiksia neonatus :12
 Kurangnya upaya pernapasan spontan dalam 20-30 menit kelahiran
hampir selalu dikaitkan dengan kematian.
 Adanya kejang merupakan pertanda buruk. Risiko kelainan neurologis
yang buruk lebih besar pada bayi yang mengalami kejang, terutama jika
kejang sering terjadi dan sulit dikendalikan.
 Temuan neurologis klinis abnormal yang menetap di luar 7-10 hari
pertama kehidupan biasanya menunjukkan prognosis yang buruk. Di
antaranya, kelainan tonus otot dan postur (hipotonia, kekakuan,
kelemahan).
 EEG pada sekitar 7 hari yang mengungkapkan aktivitas latar belakang
normal adalah tanda prognostik yang baik.
 Kesulitan makan yang terus-menerus, yang umumnya disebabkan oleh
otot-otot mengisap dan menelan yang abnormal, juga menunjukkan
kerusakan susunan saraf pusat yang signifikan.
 Pertumbuhan kepala yang buruk selama periode pascanatal dan tahun
pertama kehidupan adalah temuan sensitif yang memprediksi frekuensi
defisit neurologis yang lebih tinggi.

I. KEJANG NEONATUS
1. Definisi
Kejang pada BBL (Bayi Baru Lahir) secara klinis adalah perubahan
paroksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan
fungsi autonom sistem syaraf) yang terjadi pada neonatus (bayi berumur sampai
dengan 28 hari).4
2. Epidemiologi

33
Angka kejadian bangkitan kejang pada BBL sulit dikenali sehingga
kejadiannya sesungguhnya tidak diketahui. Kejang pada BBL relatif umum dan
terjadi pada 0,15-1,5% dari semua neonatus. Angka kejadian di Amerika Serikat
berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 BBL per tahun, sedang pada kepustakaan lain
menyebutkan 1-5 % bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi
meningkat pada BKB sebesar 57.5-132 dibanding BCB sebesar 0.7-2.7 setiap
1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada
BKB dan 1.4% pada BCB.2,4
3. Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan
gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya
Natrium dan repolarisasi terjadi karena keluar nya Kalium melalui membaran sel.
Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari
ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan
masuknya kalium.2
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar
glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi
pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan
oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan
oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri
sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik.
Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan
sinaptik.2
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan
anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:2
- Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal: Susunan dendrit dan
remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan

34
- Sinaptogensis belum sempurna
- Mielinisasi pada sistem efferent di kortikal belum lengkap
Keadaan Fisiologis perinatal:2
- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi
- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
- Inhibisi kejang oleh sistim substansia nigra belum berkembang
Mekanisme penyebab kejang pada BBL:
Kemungkinan Kelainan
penyebab
Kegagalan mekanisme pompa Hipoksemi-iskemik,
Natrium dan Kalium akibat Hipoglikemia
penurunan ATP

Eksitasi neurotransmitter yang Hipoksemi-iskemik,


berlebihan Hipoglikemia

Penurunan inhibisi Ketergantungan piridoksin


neurotransmitter
Kelainan membrane sel yang Hipokalsemia dan
mengakibatkan kenaikan hipomagnesemia
permiabilitas Natrium
Tabel 1. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 2,4

4. Etiologi
Penyebab kejang pada BBL dapat karena kelainan Susunan Syaraf Pusat
terjadi primer karena proses intrakranial (meningitis, cerebrovascular accident,
encephalitis, perdarahan intrakranial, tumor) atau sekunder karena masalah
sistemik atau metabolik (misalnya iskemik-hipoksik - hipokalsemia,hipoglikemia,
hiponatremia).2
a) Ensefalopati Iskemik Hipoksik
Ensefalopati iskemik hipoksik merupakan penyebab tersering (60-65%)
kejang pada BBL, biasanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama dan sering
dimulai 12 jam pertama setelah asfiksia saat lahir dan sering refrakter

35
terhadap dosis obat kejang konvensional. Manifestasi klinis ensefalopati
hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu: ringan, sedang dan
berat.2,4,5
b) Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial seperti perdarahan subarachnoid, perdarahan
periventrikular, atau intraventrikular dapat menyebabkan keadaan hipoksia
sehingga menyebabkan kejang. Perdarahan matriks germinal atau
intraventrikel adalah penyebab kejang tersering pada bayi preterm. Perdarahan
intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya
berhubungan dengan penyebab lain , yaitu:2,4
c) Perdarahan subarachnoid.
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba
dapat terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi lumbal harus
dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan
serebrospinal. Darah biasanya terdapat di fisura interhemister dan resesus
supra dan infra tentorial. Kemudian bayi tampak sakit berat dalam 1-2 hari
pertama dengan canda peninggian tekanan intrakranial seperti ubun-ubun
besar tegang dan membonjol, muntah, tangis yang melengking dan kejang-
kejang.2,4
 Perdarahan periventrikular atau intraventrikular (PIV) yang timbul
dari matriks germinal subependim disertai dengan kejang subtle,
postur deserebrasi, atau kejang tonik umum, tergantung pada tingkat
keparahan perdarahan. PIV merupakan penyebab umum kejang pada
bayi prematur dan sering terjadi di antara usia 1 dan 3 hari.
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada
beratnya penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Gejala neurologis
yang paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal,

36
multifocal atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi lain
berupa apne, anemis, sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun
besar membonjol, tangis melengking, perubahan tonus otot hingga
koma. 2,4,5
 Perdarahan subdural menyebabkan kejang fokal dan tanda-tanda
serebral fokal. Perdarahan sub dural Perdarahan ini umumnya terjadi
akibat robekan tentorium di dekat falks serebri. Keadaan ini karena
molase kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak muka dan
partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan
batang otak. Manifestasi klinis hampir sama dengan ensefalopati
hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada
batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur, kesadaran
menurun, cangis melengking, ubun-ubun besar membonjol dan
kejang. Perdarahan pada parenkin otak kadang-kadang dapat
menyertai perdarahan subdural. Deteksi kelainan ini dengan
pemeriksaan USG atau CT-scan.2,4
d) Metabolik
o Hipoglikemia
Kejang akibat hipoglikemi sering terjadi saat kadar gula darah turun ke
kadar pascanatal terendah (pada usia 1 sampai 2 jam atau setelah 24
sampai 48 jam pada asupan nutrisi yang buruk). Hipoglikemia
seringkali didapatkan pada BBL dengan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) pada bayi dengan ibu penderita diabetes mellitus
(IDMS). Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut
hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena
jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang. untuk
mengembalikan kadar gula darah kembali normal secepatnya.2,4,5
o Hipokalsemia/Hipomagnesemia

37
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan ke
dua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan
dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes melitus.
Kejadian kejang lambat akibat hipokalsemi pada BCB yang mendapat
susu formula yang kandungan rasio fosfat dengan kalsium/magnesium
kurang optimal. Setengah dari bayi pada penelitian Brown dkk
mengalami hipokalsemi. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium <
7.5 mg/dL (< 1.87 mmol/L), biasanya diserta dengan kadar fosfat > 3
mg/dL (> 0.95 mmol/L), seperti hipoglikemia kadang asimptomatis.
Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan persalianan
dan asfiksia.2,4,5
o Hiponatremia atau hipernatremia
Hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus
intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang
berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia terjadi akibat
dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium
yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang
berlebihan secara oral maupun parenteral.2,4
o Gangguan metabolik lainnya
i. Kejang disertai letargis , asidosis dan riwayat kematian bayi
dalam keluarga dapat disebabkan oleh kelainan metabolik
bawaan seperti: 6
ii. Pyridoksin dependency atau ketergantungan piridoksin
menyebabkan kejang yang resisten terhadap
antikonvulsan. Bayi dengan kelainan ini mengalami
kejang intrauterin dan dilahirkan dengan pewarnaan
meconium. Mereka menyerupai bayi yang sesak napas.4

38
iii. Gangguan asam amino. Kejang pada bayi dengan
gangguan asam amino selalu disertai dengan manifestasi
neurologis lainnya. Hiperamonemia dan asidosis
umumnya ditemukan pada kelainan asam amino.4

e) Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL,
bakteri, non- bakteri maupun congenital dapat menyebabkan kejang BBL,
biasanya terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi intrakranial
sekunder akibat agen bakteri atau nonbakterial dapat diperoleh oleh neonatus
dalam rahim, selama persalinan, atau dalam periode perinatal.2
 Infeksi akut. Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau
tanpa keadaan sepsis dapat mengakibatkan kejang, biasanya
sering berhubungan dengan meningitis. Kuman Gram negatif
sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada
BBL. Meningitis akibat infeksi Streptokokus grup B, Escherichia
coli, atau Listeria monocytogenes disertai dengan kejang selama
minggu pertama kehidupan.
 Infeksi kronik. Infeksi intrauterine yang berlangsung lama akibat
toksoplasmosis dan infeksi herpes simplex, cytomegalovirus,
rubella, dan virus coxsackie B menyebabkan infeksi intrakranial
dan kejang.

f) Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang
disertai meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20 mg/dl. Pada bayi
prematur yang sakit, kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan

39
kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang
tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit
dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang anggi
untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari
hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah Pada hari kedua terdapat gejala
demam, regidiras dan posisi dalam opistotonus.2
g) Kejang berhubungan dengan obat
 Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawal)
Tiga kategori obat yang digunakan oleh ibu menyebabkan kecanduan
pasif dan putus obat (kadang-kadang disertai dengan kejang) pada bayi.
Obat lainnya: analgesik seperti heroin, metadon, dan propoksifen
(Darvon); hipnotik sedatif seperti secobarbital; dan alkohol. Studi saat ini
mengungkapkan bahwa paparan antidepresan dikaitkan dengan
peningkatan risiko kejang bayi, terutama paparan serotonin reuptake
inhibitor (SSRI).2
 Intoksikasi anestesi lokal
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal / anastesi blok pada ibu yang
masuk ke dalam sirkulasi janin akibat suntikan langsung obat anestesi
lokal ke kulit kepala janin. Keadaan ini dapat terjadi akibat anestesi blok
paraservical, pudendal atau epidural serta anestesi lokal pada episiotomi
yang tidak tepat. Kita curigai intoksikasi bila ditemukan bradikardi, pupil
tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi
pada refleks okulosefalik (reflek dol's eye menghilang). Bayi yang lahir
menunjukkan skor Apgar yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang
terjadi dalam waktu 6 jam pertama kelahiran. Prognosisnya baik, bila
diberikan pengobatan suportif yang memadai akan membaik setelah 24 -48
jam.2,6

h) Kelainan yang diturunkan

40
o Gangguan metabolisme asam amino.
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk
kelainan ini ialah maple syrup urine disease, isovaleric acidemia,
glycine encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria.2
o Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin
dilaporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin
terjadi akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan
ini kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan koenzim
peridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang
terlibat dalam pembentukan gama-aminobutyric acid (GABA).
Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmiter
inhibisi yang dapat menimbulkan kejang. Kejang sering terjadi pada
jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam kandungan. "Kejang ini
bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang
yang diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik dengan
pemberian glukose, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat
diberikan piridoksin sebagai dengan dosis 50-100 mg secara intravena.
Pemberian piridoksin intravena sebaiknya dengan monitoring EEG.
Sebelum pengobatan EEG menunjukkan gambaran abnorımal dengan
disorganisasi umum disertai dengan gelombang paku. Setelah
pengobatan gambaran EEG menjadi normal. Bila gambaran EEG
normal dan serangan kejang berhenti, diagnosis ketergantungan
piridoksin dapat ditegakkan.2
i) Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif
sering menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama,
resisten terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan

41
dihentikan menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada
golongan idiopatik terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang
BBL familial jinak dan kejang hari kelima.2

5. Manifestasi klinis
Penting untuk dipahami bahwa kejang pada neonatus berbeda dari yang
terlihat pada anak yang lebih besar. Perbedaannya mungkin karena status
perkembangan neuroanatomik dan neurofisiologis bayi baru lahir. Di otak
neonatal, proliferasi glial, migrasi neuron, pembentukan kontak aksonal dan
dendritik, dan deposisi mielin tidak lengkap. Kejang klinis dapat terjadi tanpa
korelasi elektrografi dan sebaliknya (disosiasi elektroklinik). Empat jenis kejang,
berdasarkan presentasi klinis, diakui: subtle, klonik, tonik, dan mioklonik.1
a) Subtle
Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang
lain, hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan maca,
gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata
yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah ( lebih
sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liut, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir, dan pergerakan ekstremitas
sering seperti gerakan orang berenang, mendayung, bertinju atau
bersepeda.2
b) Tonik
Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi
perinatal berat misalnya berat misalnya pada perdarahan intraventrikular.
Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tonik satu ekstremitas atau
pergerakan tonik umum

42
i. Fokal terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan
atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata
abnormal.
ii. Kejang tonik umum ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi
leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi
ekstremitas bawah juga.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan
sikap opistitonus yang disebabkan oleh rangsang meningeał karena infeksi
selaput orak atau kernikterik.2
c) Klonik
Kejang klonik seringnya merupakan petunjuk dari lesi fokal yang
mendasari seperti infark korteks, namun kejang klonik juga dapat
disebabkan oleh sebab metabolik. Bayi dengan kejang klonik biasanya
tidak mengalami penurunan kesadaran. Dikenal 2 bentuk:2
i. Fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua
ekstremitas pada sisi unilateral dengan atau tanpa adanya
gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi
1-4 kali perdetik.
ii. Multifokal: Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih
dari satu fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu
ekstremitas yang kemudian secara acak pindah ke ekstremitas
lain nya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik dari salah
satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri
diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-
kadang karena kejang yang satu dengan yang lain sering
bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai kejang
umuin. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan

43
metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan
berat lebih 2,500 grams.2
d) Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor.
Kejang mioklonik terdiri atas.2 :
i. Fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot
fleksor ekstremitas atas
ii. Multifokal: terditi dari gerakan tidak sinkron dari
beberapa bagian tubuh
iii.Umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif
dari kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi atau
ekstensi dari ekstremitas.
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB
dan cukup bulan saat sedang tidur.2

6. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap,
riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis
kejang, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis 2,7
- Kapan terjadinya kejang
- Berapa lama kejang berlangsung
- Keadaan umum bayi saat kejang
Faktor risiko:
 Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak
terdahulu atau bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui
penyebabnya biasanya didapatkan pada kasus kesalahan metabolik dan
kejang neonatal familial jinak.

44
 Riwayat kehamilan/prenatal
- Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
- Preeklamsia, gawat janin.
- Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
- Imunisasi anti teranus, Rubela
 Riwayat Persalinan
- Asfiksia, episode hipoksik
- Trauma persalinan
- KPD (Ketuban Pecah Dini)
- Anestesi lokal/ blok
 Riwayat paskanatal
- Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
- Bayi dengan pewarnaan kuning dan rimbulnya dini.
- Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat.
- Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur
perawatan
- Waktu atau awitan kejang mungkin berhubugan dengan etiologi
- Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan
neurologis, dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan
neurologi saat antar kejang dalam batas normal, namun demikian bergantung
penyakit yang mendasarinya, sehingga pada BBL yang mengalami kejang
perlu pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan neonatologik dan
neurologis, dilakukan secara sistematik dan berurutan:2
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi atau pemantauan dari
pola kejang. Ketika kejang diamati, mereka harus dijelaskan
secara rinci, termasuk tempat onset, penyebaran, sifat, durasi, dan

45
tingkat kesadaran. Dengan mengetahui bentuk kejang,
kemungkinan penyebab dapat dicurigai.2
2. BBL yang mengalami kejang biasanya lethargi dan tampak sakit.
Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi
dan berhentinya pernapasan, kejang tonik, posisi dalam
deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat
kuadriparesis flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan
intraventrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital (jantung, atau pernapasan).
Pemeriksaan dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan
kelainan pada jantung atau pernapasan perlu dicurigai terjadinya
iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kelainan berupa fraktur,
depresi atau moulding yang berlebihan karena trauma. Ubun-
ubun besar yang tegang dan membonjol menunjukkan adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
perdarahan subaraknoid atau subdural serra kemungkinan
meningitis. Luka bekas tusukan jarum pada kepala atau fontanel
anterior karena kesalahan penyuntikan obar anestesi pada ibu.
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan
retina atau subhialoid yang merupakan manifesrasi
patognomonik untuk hematoma subdural. Ditemukan
korioretinitis dapat terjadi pada toksoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubela.
6. Pemeriksaan talipusat , apakah ada infeksi, berbau busuk, atau
aplikasi dengan bahan tidak steril pada kasus yang dicurigai
spasme atau tetanus neonatorum.1
7. Evaluasi neurologis. Evaluasi neurologis harus mencakup
penilaian tingkat kewaspadaan, saraf kranial, fungsi motorik,

46
refleks neonatal primer, dan fungsi sensorik. Beberapa fitur
spesifik yang harus dicari adalah ukuran dan "rasa" fontanel,
perdarahan retina, chorioretinitis, ukuran pupil dan reaksi
terhadap cahaya, gerakan ekstraokular, perubahan tonus otot, dan
status refleks primer.2

c. Pemeriksaan penunjang
Sagraves R. menyebut pemeriksaan penunjang ini dengan melakukan
"Neonatal seizure work-up" : yaitu pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis kejang yang terdiri dari:2
 Harus dapat mengidentifikasi masalah atau latar belakang
penyebab
 Langkah-langkah:
a. Pemeriksaan kimia darah dan kadar elektrolit serum .
b. "Infectious disease work-up " dengan melakukan :
pemeriksaan junlah sel lekosit, jumlah trombosit, kultur
darah,urin dan CSP (Cairan serebrospinal), pemeriksaan
infeksi intrauterin : titer TORCH (yang sering
mengakibatkan kelainan pada otak dan mengakibatkan
kejang)
c. "Metabolic disease work-up" dengan melakukan
pemeriksaan ammonia serum asam amino pada urin dan
pemeriksaan asam organik
d. CT scan dan MRI untuk membantu mengidentifikasi
adanya infark, perdarahan, kalsifikasi atau kelainan
malformasi otak sebagai penyebab kejang.

47
Pemeriksaan penunjang penunjang untuk mengidentifikasi
penyebab kejang pada BBL yang dapat dilakukan ialah sebagai
berikut:2
1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan gula darah, elektrolit (natrium, kalsium,
magnesium), amonia/ BUN, laktat
 Pemeriksaan darah rutin: hemoglobin, hemotokrit, trombosit,
leukosit, hitung jenis lekosit
 Analisa gas darah
 Analisa cairan serebrospinal
 "Septic work up ": Kultur dan uji kepekaan kuman (jika di
curigai infeksi)
 Kadar bilirubin total/ direk dan indirek
2. Elektro Ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG pada kejang
dapat membantu diagnosis, lamanya pengobat dan prognosis di
kemudian hari. Gambaran EEG abnormal pada BBL dapat
berupa: Gangguan kontinuitas, amplitudo atau frekuensi;
Asimetri atau asinkron interhemisfer; bentuk gelombang
abnormal; Gangguan dari fase tidur; Aktifitas kejang mungkin
dapat dijumpai.
The Intenational League Against Epilepsy
Mempertimbangkan kriteria kejang sebagai berikut:
 Non epileptic: Berdasarkan gejala klinik kejang semata
 Epileptic: Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG
(Elektroensefalografi) Secara klinis tidak tampak kejang,
namun secara elektrografik masih mengalami kejang.
3. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi

48
 USG kepala Sonografi kepala dilakukan jika dicurigai
adanya perdarahan intrakranial atau intraventrikuler. Pada
perdarahan subaraknoid atau lesi kortikal sulit dinilai
dengan pemeriksaan ini
 Skintigrafi kepala (CT-scan Cranium) Pemeriksaan ini
lebih sensitive dibanding sonografi untuk mengetahui
kelainan parenkim otak
 MRI Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui
malformasi subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan CT-scan Cranium

4. Pemeriksaan lain
 Foto radiologi kepala, perlu dikerjakan apabila pada
pengukuran terdapat lingkaran yang lebih kecil atau lebih
besar dari ukuran standard normal.
 Uji tapis obat-obatan

49
7. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kejang pada BBL meliputi stabilisasi keadaan umum
bayi, menghentikan kejang dan identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta
suportif untuk mencegah kejang berulang. Kebanyakan bayi diterapi hanya
berdasarkan diagnosis klinis saja, dan monitoring terapinya juga dilakukan dengan
merngamati perubahan klinisnya saja. Penelitian dengan EEG yang kontinyu
menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya
kejang setelah dimulai terapi anti konvulsan. Pada beberapa neonatologis akan
menterapi jika bayi yang mengalami kejang lebih dari tiga kali dalam satu jam,
atau kejang tunggal yang berlangsung lebih dari 3 menit.1
Manajemen awal kejang2
 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen.
 Pasang jalur infus IV dan beri cairan dengan dosis rumatan
 Bila kadar glukose darah kurang 45 mg/dL, tangani hipoglikeminya
sebelum melanjutkan manajemenkejangseperti di bawah ini, untuk
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia sebagai penyebab kejang.
 Bila bayi dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam
terakhir, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg berat badan secara IV,
diberikan pelan-pelan dalam waktu 5 menit:
 Bila jalur IV belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg dosis
tunggal secara IM, atau dosis dapat ditingkatkan 10-15% disbanding
dosis IV
o Bila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, beriulangan
fenobarbital 10 mg/ kg berat badan secara IV atau IM. Dapat
diulangi sekali lagi 30 menit kemudian bila perlu.Dosis maksimal
40mg/kgbb/hari

50
o Bila kejang masih berlanjut atau berulang, beri injeksi fenitoin 20
mg/kg, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 fenitoin hanya boleh diberikan secara IV
 campur dosis fenitoin ke dalam 15 mL garam fisiologis
dan diberikan dengan kecepatan 0,5 mL/menit selama 30
menit. Fenitoin hanya boleh dicampur dengan larutan
garam fisiologis, sebab jenis cairan lain akan
mengakibatkan kristalisasi;
 monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin IV
Paclac Manual and Guidelines menyarankan untuk manajemen kejang
sebagai berikut. Disarankan untuk melakukan konsultasi dengan ahli
neonatologi dan Sub Bagian Syaraf Anak.2
a) Terapi suportif
 Pemantauan ketat: Pasang monitor jantung dan
pernapasan serta "pulse oxymeter"
 Intra vena, berikan infus dekstrosa
 Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan
 Koreksi gangguan metabolik dengan tepat

b) Medikamentosa
Pemberian antikonvulsan merupakan indikasi pada
manajemen awal
1. Fenobarbital
 Dosis awal (loading dose) 20-40 mg mg/kgBB intravena
diberikan mulai dengan 20 mg/kg BB selama 5 - 10 menit
 Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
 Dosis rumatan: 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis

51
 Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah
pemberian intravena atau 2 4 jam setelah pemberian per
oral dengan kadar 15-45 ugm/mL
2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi
tidak memberi respons yang adekuat terhadap pemberian
fenobarbital
 Dosis awal (Loading dose) untuk status epileptikus 15 20
mg/kgBB intravena pelan-pelan
 Karena efek alami obat yang ititatip maka beri pembilas
larutan garam fisiologis sebelum dan sesudah pemberian
obat
 Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan
hipotensi selama pemberian infus
 Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena
pemberian oral tidak efektip) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 atau 3 dosis
 Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat)
12 - 20 mg/L atau 1-2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas)
3. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang
tidak memberi respons terhadap pemberian fenobarbital dan
fenitoin secara ber urutan
 Dosis efektip: 0.05 0.10 mg/kgBB diberikan intravena
dimulai dengan 0.05 mg/kgBB pelan-pelan dalam
beberapa menit
 Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan
membentuk efek antikonvulsan yang nyata dalam waktu
kurang 5 menit
 Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi

52
Gambar 3: Algoritme Tatalaksana Kejang Neonatus1

53
Anti kejang rumatan
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian
anti kejang rumatan, fenobarbital 5 mg/kg/hari adalah pilihan pertama.
Kasus yang resisten harus diterapi dengan kombinasi fenobarbital dan
karbamazepin, meski sodium valproat dapat berhasil pada beberapa
kasus.2
Pada neonatus dengan pemeriksaan neurologis normal dan /atau
elektroensefalografi normal, pertimbangkan menghentikan obat
antiepilepsi jika bebas kejang selama> 72 jam; obat harus dipasang
kembali jika terjadi kejang.2,12

8. DIAGNOSIS BANDING
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikular
- Ensefalopati bilirubin/Kernikterus

54
Gambar 4: Diagnosis Banding Kejang2

9. PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh etiologi kejang neonatal. Jika EEG normal,
prognosisnya sangat baik untuk mengatasi kejang; perkembangan normal dapat
terjadi. Kelainan EEG yang parah menunjukkan prognosis yang buruk; pasien
seperti itu sering mengalami cerebral palsy dan epilepsi. Kehadiran pada EEG

55
abnormal (lonjakan EEG) dikaitkan dengan risiko 30% mengembangkan epilepsi
masa depan.10
Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan
kejang yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan
sitoarkitektural otak biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan
rentan terhadap status epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter
adalah untuk mengenali penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera
dan mengjindari penundaan diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis
berat irreversibel.10
Indikator prognosis pada kejang neonatus.11 :
 Indikator prognosis buruk
- Hipoksia – iskemia berat
- Malformasi kongenital yang parah pada perkembangan kortikal dan
meningoensefalitis
- Kejang subtle dan tonik umum/menyeluruh
- EEG yang hampir datar atau EEG yang sangat rendah dan tidak
terputus dengan semburan lonjakan tegangan tinggi dan aktivitas
yang lambat
 Indikator prognosis yang baik
- Hipokalsemia (tipe alimentary) dan perubahan metabolik sementara
lainnya
- Infeksi ekstrakranial dengan kejang (otitis, pneumonia,
gastroenteritis, dll.)
- Kejang – Benign familial and non-familial convulsions
- Kejang klonik yang pendek dan jarang terjadi
- EEG inter-iktik yang normal
 Indikator prognosis sedang atau dijaga

56
- Infeksi atau malformasi sistem saraf pusat yang cukup parah
- Sebagian besar perdarahan intrakranial atau infark
- Gangguan metabolisme SSP yang lebih serius
- EEG persistensi pola yang belum matang
- Kejang klonik yang sering atau berkepanjangan dan status klonik
epileptikus

10. KOMPLIKASI
Kejang neonatal adalah faktor risiko yang secara nyata meningkatkan angka
morbiditas jangka panjang dan kematian neonatal. Kehadiran kejang neonatal
adalah prediktor terbaik defisit fisik dan kognitif jangka panjang. Komplikasi
kejang neonatal dapat meliputi:12
- Cerebral palsy / spasticity
- Atrofi otak / Hydrocephalus ex-vacuo
- Epilepsi
- Kesulitan makan

57
BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya bayi yang mengalami asfiksia harus dilakukan resusitasi
neonatus. Tujuan resusitasi pada neonatus adalah membuat bayi baru lahir stabil
dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir. Resusitasi pada bayi baru lahir
adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.

Penyebab kejang pada BBL dapat karena kelainan susunan syaraf pusat
primer karena proses intrakranial (meningitis, cerebrovaskular accident, encephalitis,
perdarahan intrakranial, tumor) atau sekunder karena masalah sistemik atau
metabolik (misalnya iskemik-hipoksik-hipokalsemia, hipoglikemia, hiponatremia).

Penatalaksanaan kejang pada bayi baru lahir: Fenobarbital 20 mg/kg berat


badan intra vena dalam waktu 5 menit, jika kejang tidak berhenti dapat diulang
dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit.
Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kg berat badan intravena dalam larutan
garam fisiologis dengan kecepatan 1mg/kgberat badan/menit.

58
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu kesehatan anak. Edisi 7. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.h.1072-81.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan medik pedoman penatalaksanaan
praktis. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.240-4.
3. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisis pada anak. Edisi 3.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2003.h.1-19.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi 8.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.650-1.
5. Mitchell RN, et al. Buku saku dasar patologis penyakit robbins & cotran. Edisi 7.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.274-6.
6. Meadow SR, Newell SJ. Lecture notes: pediatrika. Edisi 7. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2005.h.155.
7. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan medik pedoman penatalaksanaan
praktis. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.240-4.
8. IDAI. Buku Panduan Pelayanan Neonatal Ukk Neonatologi PP IDAI. 2018
9. American Heart Association, Perkumpulan Perinatologi Indonesia (PERINASIA),
American Academy of Pediatrics. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi 6.
Jakarta: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association;
2011.h.10-2.
10. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain Injury
: Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition. 2012
11. Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia
Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan.
2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.
12. Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.

59
13. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan
Asfiksia Neonatorum.
14. Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika
Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
15. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, Sp.OG. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
16. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1. Jakarta
: EGC.
17. Wulandari A., Sri M., Pudjiastuti. Perkembangan Diagnosis Sepsis pada Anak.
Sari pediatric, 2017; 19 (4): 237-244.
18. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar Neonatologi.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249
19. Azzahroh, Putri, and Wahyu Ekaningtyas Utami. "Hubungan BBLR dengan
Kejadian Sepsis Neonatorum di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2015." Ilmu dan Budaya 40.57 (2018).
20. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-7. New York : Lange
Books/Mc Graw-Hill, 2013.
21. Sheth, Raj D. Neonatal Seizure. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article, 2019
22. Marcdante, Karen J. Dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam.
Singapore: Saunders Elsevier, 2011
23. Kapita Selekta Kedokteran “Essentials of Medicine” : Jakarta, 2014

60

Anda mungkin juga menyukai