Anda di halaman 1dari 52

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO PALU

MANAJEMEN ANASTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS G5P4A0 GRAVID


36-37 MINGGU INPARTU KALA I FASE AKTIF MEMANJANG + PRESENTASI
BOKONG + TB PARU RO

DISUSUN OLEH:
Anggie Anggraini Pageno
N 111 21 084

PEMBIMBING KLINIK:
dr. Imtihanah Amri, Sp.An., M.Kes., KIC

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Anggie Anggraini Pageno


No. Stambuk : N 111 21 084
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Refleksi Kasus : Manajemen Anastesi Pada Pasien Dengan Diagnosis
G5P4A0 Gravid 36-37 Minggu Inpartu Kala I Fase Aktif
Memanjang + Presentasi Bokong + TB Paru RO

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Bagian Anestesiologi dan Reanimasi


RSUD UNDATA PALU
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Agustus 2023

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Imtihanah Amri, Sp.An., M.Kes., KIC Anggie Anggraini Pageno


BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana
untuk mematikan rasa. Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan
rasa sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit. Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani
an-“tidak, tanpa” dan aestheos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr
pada tahun 1846.1
Secara Umum pengertian anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Prinsip Anastesi mencangkup 3 hal yaitu:
anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran
(sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat
berjalan dengan lancar.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum
dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
bersifat sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan
kesadaran.1,2
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Bakteri Tahan Asam (BTA) Mycobakterium tuberkulosis dan sampai saat ini
masih menjadi masalah kesehatan utama dunia terutama di negara berkembang
seperti Indonesia.3 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Dalam setiap detik,
ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Setiap tahunnya, diperkirakan dapat
ditemukan 6 hingga 9 juta kasus tuberkulosis baru yaitu 95%.4
Pengaruh TB pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor antara lain:
lokasi penyakit (intra atau ekstrapulmonal), usia kehamilan, status gizi ibu dan ada
tidaknya penyakit penyerta. Selama kehamilan dapat terjadi transmisi basil TB ke
janin. Transmisi biasanya terjadi secara limfatik, hematogen atau secara langsung.
Janin dapat terinfeksi melalui darah yang berasal dari infeksi plasenta melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion, komplikasi seperti ini jarang terjadi.
TB yang terjadi disebut sebagai TB kongenital.5
Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) didefinisikan sebagai penyakit
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dimana terdapat resistensi
terhadap obat isoniazid dan rifampisin. MDR TB menjadi masalah kesehatan
terutama jika mengenai ibu hamil. Ibu hamil dengan MDR TB mempunyai risiko
persalinan prematur 5 kali lebih sering dan pertumbuhan janin terhambat 3 kali
lebih sering, dibandingkan ibu hamil tanpa MDR TB. Pengobatan MDR TB
membutuhkan terapi obat antituberkulosis (OAT) lini kedua.6
Karena keterbatasan penelitian terhadap efek samping OAT pada janin / bayi,
sehingga efek samping penggunaan OAT pada ibu hamil masih menjadi
kontroversi sampai saat ini. Diketahui penggunaan Aminoglycosides dapat
menyebabkan ototoksik dan nefrotoksik pada ibu dan janin, sedangkan golongan
quinolones bersifat teratogenik dan dapat menyebabkan deformitas pada tulang
janin.7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN


Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura,
kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.20
Infeksi terjadi melalui penderita TB yang menular. Penderita TB yang
menular adalah penderita dengan basil TB di dalam dahaknya, dan bila
mengadakan ekspirasi paksa berupabatuk atau bersin akan menghembus
keluar percikan dahak halus (droplet nuclei) yang berukuran kurang dari 5
mikron dan yang akan melayang di udara. Droplet nuclei ini mengandung
basil TB yang akan melayang-layang di udara, jika droplet nuclei ini hinggap
disaluran penapasan yang besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei
akan segera dikeluarkan oleh gerakan silia selaput lendir saluran pernapasan,
tetapi bila droplet nuclei ini berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun
menempel pada mukosa bronkiolus, droplet nuclei akan menetap dan basil
TB akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak.9
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh jumlah kuman
yang dikeluarkan dari paru. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menularpenderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), makapenderita tersebut dianggap tidak
menular. Seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor endogenseperti daya
tahan tubuh, usia, dan penyakit penyerta (infeksi HIV, limfoma,
leukemia,malnutrisi, gagal ginjal, diabetes melitus dan terapi imunosupresif)
juga mempengaruhi kerentanan seseorang tertular kuman TB.8
A. Dasar Diagnosis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan
bakteriologis merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis
(dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M.
tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO.20
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan
gen pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam
waktu 2 (dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan
metode konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard).
Penggunaan TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji
kepekaan konvensional yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
definitif TB, terutama pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopis
apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk mengetahui resistensi
OAT selain rifampisin.20
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara
ekspektorasi spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau
prosedur invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi. Pemeriksaan
tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun
terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan
lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-
lain.20
Alur Diagnosis TB 20
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga
diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO. Terduga TB-RO adalah
pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien
yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di
bawah ini:20
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2.
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling
sedikit selama 1 bulan.
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan
pengobatan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1
dan kategori 2.
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-
RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di lapas/rutan,
hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).
Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada
kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan
diagnosis dengan TCM yang saat ini sudah tersedia. Kriteria terduga TB-
MDR menurut program manajemen TB resistan obat di Indonesia:20
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2 Pasien TB dengan hasil
pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir
pengobatan
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif setelah
pengobatan tahap awal
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
minimalis selama 1 bulan. Pasien TB yang memiliki riwayat
pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan OAT standar, dan atau
menggunakan kuinolon serta obat injeksi lini kedua paling sedikit
selama 1 bulan
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal. Pasien TB dengan hasil
pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir
pengobatan.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan (yang tidak konversi). Pasien TB dengan hasil
pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan tahap awal
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2. Pasien TB yang
pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai
berobat/default). Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan putus
berobat selama dua bulan berturut-turut atau lebih
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-
MDR. Terduga TB yang pernah memiliki riwayat atau masih kontak
erat dengan pasien TB-RO
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis
awal tidak menggunakan TCM). Pasien ko-infeksi TB-HIV dalam
penggunaan OAT selama dua minggu tidak memperlihatkan
perbaikan klinis.20
Diagnosis TB resistan obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis baik menggunakan metode fenotipik dengan menggunakan
media padat atau media cair, maupun menggunakan metode genotipik
TCM dan LPA.20
Terdapat beberapa jenis resistansi terhadap OAT, yaitu:23
a. Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini pertama,
misalnya resistansi terhadap isoniazid (H)
b. Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin (HR), misalnya
resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE),
isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), atau rifampisin,
etambutol dan streptomisin (RES)
c. Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
d. Pre-XDR: TB MDR yang disertai resistansi terhadap salah salah satu
obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
e. Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resistansi
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
f. TB resistan rifampisin (TB RR): Resistan terhadap rifampisin (dalam
bentuk monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan
atau tanpa resistansi terhadap obat antituberkulosis lain.
Alur Diagnosis TB-RO 23

B. Etiologi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara.20
C. Klasifikasi
1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :20
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra
paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus
TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis
setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi
bakteriologis.
2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :20
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program).
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis
TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang
disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari
2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai
hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.
Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :20
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap
Rifampisin baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional), dengan atau tanpa resistensi
terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB
RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR
yang terbukti resistan terhadap rifampisin
4) Klasifikasi berdasarkan status HIV20
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki
hasil tes HIV-positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan
diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di register
HIV (register pra ART atau register ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki
hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan
diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak
memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi telah
terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif
dikemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
D. Faktor Risiko
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :20
1) Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2) Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
3) Perokok
4) Konsumsi alkohol tinggi
5) Anak usia < 5 tahun dan lansia
6) Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
7) Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8) Petugas kesehatan
E. Efek TB Pada Kehamilan
Kehamilan menyebabkan sedikit perubahan pada sistem pernapasan,
karena uterus yang membesar dapat mendorong diafragma dan paru ke
atas serta sisa udara dalam parukurang, namun penyakit tersebut tidak
menjadi lebih berat. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa
faktor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat
menerima pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), status nutrisi,
penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas
diagnosis dan OAT.21
Sebelum tahun 1940, kehamilan dianggap sesuatu yang mengganggu
penyembuhan TB paru dan wanita dengan TB paru dianjurkan untuk tidak
hamil, jika terjadi konsepsi maka dilakukan aborsi. Sejak saat itu, banyak
dokumentasi yang menyatakan bahwa riwayat TB tidak berubah dengan
adanya kehamilan pada penderita yang diobati. TB akan meningkat secara
progresif antara 15-30% pada penderita yang tidak diobati selama 2,5
tahun pertama.22
TB aktif tidak membaik atau memburuk dengan adanya kehamilan.
Reaktivasi TB paru yang inaktif juga tidak mengalami peningkatan selama
kehamilan. Angka reaktivasi TB paru kira-kira 5-10% tidak ada perbedaan
antara mereka yang hamil maupun tidak hamil. Tetapi kehamilan bisa
meningkatkan risiko TB inaktif menjadi aktif terutama periode
postpartum.22
Ibu hamil dengan MDR TB mempunyai risiko persalinan prematur 5
kali lebih sering dan pertumbuhan janin terhambat 3 kali lebih sering,
dibandingkan ibu hamil tanpa MDR TB. Pengobatan MDR TB
membutuhkan terapi obat antituberkulosis (OAT) lini kedua.6
Kasus MDR TB pada kehamilan membutuhkan penanganan khusus
mengingat obat-obat yang diberikan umumnya kategori C yang berpotensi
menyebabkan gangguan pada janin. Di Indonesia sampai saat ini belum
ada data dan konsensus mengenai penanganan MDR TB selama
kehamilan. Laporan 7 kasus yang dipaparkan oleh Shin, dkk pada tahun
2003 menyebutkan bahwa pemberian pengobatan pada wanita dengan
MDR TB sebaiknya ditunda sampai trimester kedua dan beberapa obat lini
kedua sebaiknya diberikan setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu,
selama tidak ada kegawatan yang mengancam nyawa ibu. Namun Shin
dkk juga mengatakan bahwa pengobatan MDR TB pada ibu hamil sangat
bersifat individualis.6
993
F. Penatalaksanaan
Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan
paduan standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH. Tahapan
pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya
obat diberikan setiap hari.

Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa.

Tuberkulosis maternal berhubungan dengan peningkatan risiko


abortus spontan, mortalitas perinatal dan berat badan lahir rendah.
tuberkulosis maternal akan menyebabkan TB kongenital merupakan akibat
penyebaran hematogen maternal. Streptomisin berhubungan dengan
ototoksisitas janin sehingga tidak direkomendasikan untuk pengobatan
tuberkulosis pada ibu hamil.20
Strategi pengobatan pasien TB RO adalah memastikan semua pasien
yang sudah terkonfirmasi sebagai TB RR/ MDR dapat mengakses
pengobatan secara cepat, sesuai standar dan bermutu. Paduan obat untuk
pasien TB RO terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua. Paduan OAT
tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
Tuberculosis.23
Pasien TB RO yang sedang hamil direkomendasikan untuk segera
memulai pengobatan segera setelah diagnosis TB RO ditegakkan, terutama
pada pasien TB RO yang memiliki koinfeksi HIV. Pada pasien TB RO
dengan HIV negatif, pengobatan TB RO dapat ditunda sampai trimester
kedua bila kondisi pasien stabil (atau penyakit TB tidak berat) untuk
menghindari terjadinya efek teratogenik pada trimester pertama kehamilan.
Beberapa prinsip pengobatan TB RO pada ibu hamil adalah:23
- Wanita hamil tidak bisa mendapatkan paduan pengobatan TB RO
jangka pendek.
- Obati dengan minimal empat (4) jenis OAT lini kedua oral yang
diperkirakan efektif.
- Obat pilihan untuk pengobatan TB RO pada kehamilan ialah
bedaquiline dan delamanid (kategori B), serta fluorokuinolon,
sikloserin, dan PAS (kategori C).
- Hindari pemberian Etionamid atau Protionamid karena dapat
meningkatkan mual-muntah pada kehamilan, dan terdapat efek
teratogenik pada percobaan hewan.
- Hindari penggunaan obat injeksi aminoglikosida karena bersifat
ototoksik.
- Untuk pasien TB RO dengan kehamilan, dianjurkan untuk dilakukan
rawat bersama dengan dokter spesialis obstetric ginekologi.
- Bayi yang lahir dari ibu yang sedang menjalani pengobatan TB RO
perlu ditata laksana bersama dengan dokter spesialis anak.
Kategori keamanan obat TB RO pada kehamilan

Pengobatan pasien TB-RO: 23


1) Pengobatan dengan panduan jangka pendek
Diberikan pada pasien TB RR/MDR dengan kriteria sebagai berikut:
- Tidak resistan terhadap fluorokuinolon
- Tidak ada kontak dengan pasien TB pre/XDR
- Tidak pernah mendapat OAT lini kedua selama ≥ 1 bulan
- Tidak ada resistansi atau dugaan tidak efektif terhadap OAT pada
panduan jangka pendek (kecuali resistan INH dengan mutasi inhA
atau katG)
- Tidak sedang hamil atau menyusui
- Bukan kasus TB paru berat
- Bukan kasus TB ekstra paru berat
- Pasien TB RO (paru ataupun ekstraparu) dengan HIV
- Anak usia lebih dari 6 tahun
Pengobatan jangka pendek diberikan selama 9-11 bulan yang
terdiri dari 7 jenis obat pada 4 bulan fase awal (Bila terjadi konversi
BTA pada atau sebelum bulan ke-4. Bila belum terjadi konversi BTA
pada bulan ke-4, tahap awal diperpanjang sampai bulan ke-5 atau
bulan ke-6) dan 4 jenis obat pada 5 bulan fase lanjutan. 23
Pada tahun 2019, WHO mengeluarkan rekomendasi terkait
penggunaan paduan pengobatan TB resistan obat tanpa injeksi,
dimana obat injeksi kanamisin atau kapreomisin digantikan dengan
obat bedaquiline. Penggunaan obat injeksi Km/Cm diketahui berkaitan
dengan hasil pengobatan yang buruk, sehingga kedua obat injeksi ini
tidak lagi dipakai dalam pengobatan TB resistan obat. 23
Semua obat diminum satu kali sehari, 7 hari dalam seminggu
(setiap hari), kecuali bedaquiline yang diminum setiap hari pada 2
minggu pertama dan 3x seminggu pada 22 minggu berikutnya (total
Bdq diminum selama 24 minggu). 23

Komposisi Paduan Pengobatan TB RO Jangka Pendek23


Durasi pemberian obat pada paduan pengobatan TB RO jangka pendek23

Dosis OAT berdasarkan berat badan untuk paduan pengobatan TB RO


jangka pendek23
Skema Pemberian Paduan Pengobatan TB RO Jangka Pendek23

2) Pengobatan dengan paduan individual (jangka panjang) 23


Pengobatan TB RO dengan paduan jangka panjang (18– 24 bulan)
dapat dimodifikasi sesuai kondisi pasien (individualized), sehingga
disebut juga sebagai paduan individual untuk dapat meningkatkan
efektivitas dan keamanan dalam mengobati pasien TB RO.
Kriterianya sebagai berikut: 23
- Pasien TB RR/ MDR dengan resistansi terhadap florokuinolon (TB
pre-XDR)
- Pasien TB XDR
- Pasien gagal pengobatan jangka pendek sebelumnya
- Pasien TB RO yang pernah mendapatkan OAT lini kedua selama ≥
1 bulan
- Pasien TB RR/ MDR yang terbukti atau diduga resistan terhadap
Bedaquiline, Clofazimine atau Linezolid
- Pasien TB MDR dengan hasil LPA terdapat mutasi pada inhA dan
katG
- Pasien TB RR/MDR paru dengan lesi luas, kavitas di kedua lapang
paru
- Pasien TB RR/MDR ekstra paru berat atau dengan komplikasi
(yang harus diobati jangka panjang), seperti TB meningitis, TB
tulang, TB spondilitis, TB milier, TB perikarditis, TB abdomen
- Pasien TB RO dengan kondisi klinis tertentu, misalnya alergi
berat / intoleran terhadap obat-obatan pada paduan jangka pendek
- Ibu hamil, menyusui

Langkah penyusunan paduan pengobatan TB RO jangka Panjang23

Contoh paduan pengobatan TB RO jangka panjang tanpa injeksi yang dapat


diberikan: 23
Contoh Paduan Pengobatan TB RO Jangka Panjang berdasarkan Kondisi
Pasien23
Dosis OAT untuk paduan pengobatan TB RO jangka panjang ( Usia ≥ 15
tahun) 23
2. GENERAL ANESTESI
A. Definisi
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak
dan “Aesthesis” yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti
suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan
hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa tetapi bersifat
sementara dan akan kembali kepada keadaan semula, karena hanya
merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan syaraf baik
lokal maupun umum. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal
yaitu: anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia),
menghilangkan kesadaran (sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang
optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.10,11
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Teknik anestesi umum dapat dilakukan
dengan anestesi inhalasi, anestesi intravena, ataupun kombinasi kedua
teknik tersebut.10,12,13
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat
dimana akan dilakukan operasi. Obat anestesi yang diberikan secara
intravena lebih popular untuk induksi anestesi karena obat ini lebih cepat
dan mulus dibandingkan dengan yang berkaitan dengan obat inhalasi.
Beberapa obat anestesi intravena: Thiopental, propofol, etomidate,
ketamine.14
Teknik general anestesi inhalasi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi. Bebebrapa obat anestesi inhalasi seperti: Halothan,
isofluran, sevofluran, desfluran, Nitrous Oksida.15
B. Jalur Pemberian Anestesi Umum
1) Pramedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama
periode sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan
dari obat-obat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari
premedikasi adalah untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida,
antiautonomik, dan analgesia.16
Tujuan pemberian terapi premedikasi:
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah
konduksi anestesi.Untuk anak prasekolah dan usia sekolah yang
tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat dilakukan
dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10
menit setelah pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau
dengan latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine
(dipakai atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan
maksimal 0,5 mg), yang dapat digunakan untuk mencegah
bradikardia, khususnya pada anak-anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan
diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan
antasida peroral). 16
2) Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya,
untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi
saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah
tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery. 16
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat
tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-
intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. 16
3) Maintenance
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum
sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita
yang tingkatan algesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas
otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a) Gerakan lengan atau kaki
b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakaipipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor
laryngeal,broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat,
f) Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai
trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anestesi.14
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant,
maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau
mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak
dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
karena itu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi
kendali ataucontrol respiration.14
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioiddosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-
12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.14
4) Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat
yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat
anestesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obat anestesi dalam darah.14
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi
dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi
pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat
terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak
sadar sampai sadar.14
5) Skor Pemulihan Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan
operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu
melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di
ruang Recovery room (RR).14
C. General Anestesi Endotrakeal
a. Definisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum
laryngoscopy.17
b. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka
panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi
terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks
akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi
dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin
fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral,
kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama
operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran
napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan
untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi
intubasi endotrakeal adalah: trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit
untuk dilakukan intubasi.18
c. Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian
cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter.
Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya
intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus
sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk
induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi
rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain:19
STATICS
- Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta
laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa
memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar,
dikenal dua macam laringoskop:
1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-
dewasa.
2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih
bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi
adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga
laring jelas terlihat.
- Tube
- Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia,
pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran
diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang
pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi
dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun
tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor.Alasan lain adalah
penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput
lendir trakea dan postintubation croup.
- Airway
- Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidungfaring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat
jalan napas
- Tape
- Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut. Introducer Introducer yang dimaksud
adalah RlasticR atau stilet dari kawat yang dibungkus Rlastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan
- Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan
bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
- Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur : 31 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 60 kg
Tinggi badan : 157 cm
Alamat : Desa Ketong. kec. Balaesang tanjung donggala
Diagnosa pra-Anestesi : G5P4A0 Gravid 36-37 Minggu Inpartu Kala I
Fase Aktif Memanjang + Pres-Bok + TB Paru RO
Jenis anastesi : General Anestesia
Tanggal Operasi : 3 Agustus 2023
Anestesiologi : dr. Imtihanah Amri, Sp.An., M.Kes., KIC
Operator : dr. Gladys Susanti, Sp.OG

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak dan nyeri perut bawah
2. Riwayat penyakit sekarang : Seorang wanita berusia 31 tahun dengan
G5P4A0 gravid 36-37 minggu mengeluhkan sesak napas (+), nyeri perut
tembus belakang (+), batuk berlendir (+) dan sakit kepala (+). Keluhan
sesak dan batuk dialami sejak + 1 bulan lalu dan keluhan nyeri perut
hilang timbul dirasakan sejak + 3 hari lalu. Keluhan disertai pelepasan
lendir, darah dan air dari jalan lahir. Pasien memiliki riwayat penyakit
tuberculosis dan mengonsumsi OAT tuntas selama 6 bulan yang terakhir
kali dikonsumsi pada bulan Maret 2023. Pasien masuk ke RSUD Undata
sejak tanggal 14 Juli 2023 dan telah dilakukan pemeriksaan sputum BTA
dengan hasil “MTB Detected Very Low, Rif Resistance Detected”. Keluhan
lain seperti demam, mual dan muntah disangkal oleh pasien. BAB dan
BAK dalam batas normal.
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat TB Paru dan mengonsumsi OAT tuntas selama 6 bulan,
terakhir kali bulan Maret 2023.
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hipertensi(-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat operasi sebelumnya (-)
- Riwayat Maag (-)
Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK :
1. Tanda vital
TD : 130/90mmHg
NADI : 120 x/menit
RR : 40 x/menit
SUHU : 36.60C
2. Pemeriksaan Fisik :
 Kepala : anemis (-) sianosis (-) ikterus (-)
 Leher : deviasi trakhea (-), kelenjar thyroid : pembesaran (-), kelenjar
getah bening : pembesaran (-)
 Thoraks : simetris kiri = kanan
BP : Vesikuler +/+, Rh (+)/(+), Wh (-)/(-)
BJ I/II : Reguler bising jantung : (-)
 Ekstremitas : Edema (-) akral hangat +/+
 Pemeriksaan Leopold
Leopold 1: TFU 30 cm
Leopold 2: Pu-Ka
Leopold 3: Pres-Bok
Leopold 4: Sudah masuk PAP
HIS : (+) 3x dalam 10 menit dengan durasi 25-30 detik
DJJ : 150 x/menit
TBJ : 2790 gram
3. B1 (Breath)
Airway terpasang O2 via NRM 10-15 lpm,
gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR:40x/menit, Mallampati: 1, Riwayat
asma (-) alergi (-), batuk (+), sesak (+), leher pendek (-), pergerakan
leher bebas, pernapasan vesikuler(+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi (+/+), wheezing(-/-)
4. B2 (Blood)
Akral hangat, TD: 130/90 mmHg, HR :120x/menit irama reguler, CRT
< 2 detik. Masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
5. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor (2
mm/2mm) Refleks Cahaya +/+, suhu: 36,6C, VAS: 5
6. B4 (Bladder)
Sulit saat BAK (-), nyeri saat BAK (-), kencing batu (-), urin
bercampur darah (-), menggunakan kateter (+).
7. B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen cembung (gravid), BAB
Lancar
8. B6 Back & Bone
Pergerakan ekstremitas atas kanan (bebas)
Pergerakan ekstremitas atas kiri (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 2 detik,
CRT < 2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 3.1. Pemeriksaan Laboratorium (3/08/2023)
Hematologi Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 9.2 12 - 16 g/dl
Leukosit 23.4 4.000 - 11.000 103/mm3
Eritrosit 4.00 4.1 - 5.1 Juta/ul
Hematokrit 29.5 36 - 47 %
Trombosit 276 150.000-500.000 103/mm3

Tabel 3.2. Pemeriksaan Laboratorium (24/07/2023)


Kimia Darah Hasil Rujukan Satuan
Asam Urat 3.7 2.4 – 5.7 mg/dl
Glukosa Puasa 86 70 – 126 mg/dl
Glukosa 2 jam 97 70 - 200 mg/dl
Albumin 2.7 3.4 – 4.8 g/dl
Serologi / Imunologi Hasil Rujukan Satuan
FT4 0.69 0.93 – 1.71 ng/dl
TSH 1.0 0.4 – 4.2 IU/mL

E. Pemeriksaan TCM
Hasil Tes : MTB Detected Very Low.
Rif Resistance Detected
F. Assesment
 PS ASA 3
 Diagnosis pra-bedah : G5P4A0 Gravid 36-37 Minggu Inpartu Kala I
Fase Aktif Memanjang + Pres-Bok + TB Paru RO

G. Plan
 Jenis anestesi : General Anestesi
 Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
 Jenis pembedahan : Sectio Caesarea (SC) + Tubektomi Bilateral
H. Persiapan pasien preoperatif di ruangan :
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 8 jam pre-operasi
c. IVFD NaCl 500 ml

I. Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :

● Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.

● Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.

● Alat-alat resusitasi (STATICS)

● Obat-obat anastesia yang diperlukan.

● Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.

● Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

● Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.

● Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse

Oxymeter” dan “Capnograf”.

● Kartu catatan medik anesthesia

Persiapan alat (STATICS)


a. Scope : Laringoscope, Stetoscope
b. Tube : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
c. Airway : Pipa orofaring (OPA) (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
nasofaring (NPA) (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction : Penyedot lendir, saliva dan lain-lainnya

J. Prosedur General Anestesi


1. Pasien di meja operasi dalam keadaan duduk, infus terpasang di tangan
kanan dan tangan kiri dengan cairan RL 20 tpm
2. Memasang monitor untuk melihat heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi
3. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Ondancentron 4 mg/iv
4. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Midazolam 2 mg/iv
5. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Dexametasone 10 mg
6. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Fentanyl 100 mcg/iv
7. Diberikan obat induksi yaitu Propofol 150 mg/iv
8. Memposisikan kepala dan menjaga agar leher tidak ekstensi, lalu
memberikan ventilasi tekanan positif
9. Diberikan obat muscle relaxan yaitu Atracurium 15 mg/iv
10. Setelah 3-5 menit saat muscle relaxan bekerja, dilakukan intubasi trachea
dengan memasukan laringoskop secara lembut dengan cara menyisipkan
laringoskop ke sisi kanan mulut pasien, lalu menggusur lidah ke kiri
hingga terlihat epiglotis dan menyusuri hingga pita suara sudah terlihat.
11. Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada pasien ini
menggunakan ETT dengan ukuran 6,5.
12. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon dengan
udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik.
13. Menghubungkan pipa ET dengan bagging dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama mengecek pada paru kanan dan
kiri atas sambil memperhatikan pengembangan dada, terdengar bunyi
napas dan pengembangan paru yang simetris kiri dan kanan, lalu
membandingkan paru kiri dan kanan bawah setelah itu melakukan
auskultassi pada lambung (tidak terdengar bunyi gurgling) artinya udara
tidak masuk ke esofagus.
14. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di
sebelah kanan mulut pasien
15. Maintenance selama operasi diberikan:
 Sevoflurans 0,5 vol %
 O2 10-15 lpm via NRM
16. Diberikan Peinlos 400 mg
17. Operasi selesai,
18. Pasien di transfer ke Ruang Perawatan Dahlia

Laporan Anestesi
Diagnosis pra-bedah : G5P4A0 Gravid 36-37 Minggu Inpartu Kala I Fase Aktif
Memanjang + Pres-Bok + TB Paru RO
Diagnosis post-bedah : P5A0 Post SC Emergency a/i Kala I Memanjang + Pres-
Bok + Tubektomi Bilateral + Akseptor Kontap
Jenis pembedahan : Sectio Caesarea + Tubektomi Bilateral
Persiapan anestesi : Informed consent
Jenis anestesi : General Anastesi
Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
Medikasi anestesi : Ondansetron 4 mg, Midazolam 2 mg, Fentanyl 100 mcg,
Propofol 150 mg, Atracurium 15 mg, Dexametasone 10 mg.

Medikasi tambahan : Oxytocin 20 IU


Metil Ergometrin 0,2 mg
Peinlos 400 mg
Maintenance : O2 NRM 10 lpm
Posisi : Supine
Respirasi : Circuit
Anestesi mulai : 14.25 WITA
Operasi mulai : 14.35 WITA
Lama operasi : 60 menit
Lama anestesi : 70 menit
Tabel 3.2. Monitoring Intraoperatif
Wakt Tekanan Nadi Saturasi Tindakan
u Darah Oksigen

• Infus RL terpasang di tangan


kanan dan kiri
• Injeksi Ondansetron 4 mg
14:20 130/78 121 99%
Midazolam 2 mg + fentanyl 100
mcg + dexametasone 10 mg +
atracurium 15 mg
14.25 123/72 119 99% • Induksi propofol 150 mg
• Dilakukan general anestesi
dengan intubasi menggunakan
ETT nomor 7
14.30 120/70 117 99 %
14.35 120/70 116 99 %
14.40 121/73 118 100 %

14.45 120/71 116 100 % • Drips Oxytocin 10 IU

14.50 128/82 117 99 % • Injeksi metergin 0,2 mg

14.55 132/83 119 100%

15.00 141/89 117 99% • Injeksi atracurium 10 mg

15.05 158/98 106 98% • Injeksi fentanyl 30 mcg

15.10 150/92 106 98%


15.15 145/90 102 100%

15.20 143/85 101 99% • Injeksi atracurium 10 mg

15.25 145/90 100 100% • Fentanyl 30 mcg

15.30 130/82 100 100%

15.35 129/83 99 99% • Peinlos 400 mg

Tabel 3.3. Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual

Pre Operasi - BB: 60 Kg Input:


- Maintenance kebutuhan cairan per jam:
= 2 cc/ kg BB/Jam RL: 200
= 2 x 60
= 120cc/ jam cc

- Kebutuhan cairan pengganti puasa 8 jam:


Maintenance x Puasa
= 120cc x 8 jam
= 960cc/ 8 jam
(Selama berpuasa, pasien tetap dalam keadaan
diinfus)
Durante • Estimate Blood Volume (EBV): Input :
= BB x Average Blood Volume RL 1000
Operasi
= 60 kg x 65 cc/kg cc +
= 3.900 cc Gelafusin
500ccc
• Jumlah perdarahan selama operasi ± 500 cc
500cc x 3 = 1500 cc Total
(untuk mengganti kehilangan darah 500cc Perdarah
diperlukan 1500cc cairan kristaloid) an: + 500
cc
• % perdarahan :
= Jumlah perdarahan : EBV x 100%
= 500 : 3.900 x 100%
= 12,82%

( Hct Act−Hct Tar) x BB x 65


MABL =
Hct Act
(36−29 , 5) x 60 x 65
=
36
(6 , 5)x 3900
=
36
25.350
=
36
= 704 cc

Defisit MABL = MABL- Total perdarahan


= 704 – 500
= 204 cc

Stress operasi:
Operasi berat
= 8 cc/ kgbb/ jam x BB
= 8 ml x 60
= 480 cc/jam (8 cc/ menit)
Operasi berlangsung selama 60 menit
= 8 cc x 60
= 480 cc
Perhitungan Input Cairan Durante Operatif
1000 cc RL (kristaloid) + 500cc Gelofusin (koloid)
cairan
Koloid jika dikonversi menjadi kristaloid maka:
= 1000 cc + (500 cc x 3)
= 2500 cc

Output :
= Stress operasi + defisit darah selama operasi +
defisit urin selama operasi
= 480 cc + (500 cc x 3 ) + 100 cc
= 2080 cc

Keseimbangan Kebutuhan Cairan :


= Input – Output
= 2500cc – 2080 cc
= 420 cc

POST OPERATIF
Pemantauan di Recovery Room :
Tekanan darah: 160/92 mmHg
Nadi :112 kali permenit
Pernafasan :32 x per menit
Glasgow coma scale E4V5M6.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Aldrete score)

Aktivitas Tidak ada 0


Pernapasan Pernapasasn tidak adekuat 0
Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20 – 49% mmHg dari pre-op 1
Kesadaran Tidak ada respon 0
SpO2 Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai 90% 1
Total 2
Pasien dipindah ke ICU jika score < 8 setelah 2 jam.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini, seorang perempuan berusia 31 tahun dengan


diagnosis G5P4A0 Gravid 36-37 Minggu Inpartu Kala I Fase Aktif Memanjang +
Pres-Bok + TB Paru RO dengan jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah
General Anesthesia dengan teknik intubasi endotrakeal.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan status fisik ASA serta ditentukan rencana jenis anastesi yang
dilakukan, yaitu general anastesi.
Berdasarkan hasil pre operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status fisik
pasien pra anastesi American Society of Anestesiology (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anastesi menjadi 6 kelas yaitu:11
 ASA 1 : Pasien sehat normal
 ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tanpa keterbatasan
fungsional)
 ASA 3 : Pasien dengan penyakit sistemik yang parah (beberapa
keterbatasan fungsional)
 ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistemik parah itu adalah ancaman
konstan terhadap kehidupan (fungsionalitas lumpuh)
 ASA 5 : Pasien yang hampir mati yang tidak diharapkan bertahan hidup
tanpa operasi
 ASA 6 : Pasien mati otak yang organnya sedang dihapus untuk tujuan
donor
 E : Jika prosedurnya darurat, fisik status diikuti oleh "E" (misalnya,
"2E")
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tersebut, pasien digolongkan pada PS ASA 3 karena pasien hamil dengan penyakit
tuberkulosis yang disertai sesak. Setelah penentuan ASA, kemudian menentukan
jenis anestesi yang akan digunakan.4
Jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah General Anastesi dengan
teknik intubasi endotrakeal tube. Teknik anestesi GA dipilih karena pertimbangan
sesak napas yang dialami oleh pasien. Adapun indikasi dilakukan General
Anestesi dengan teknik intubasi endotrakeal diantaranya adalah lokasi
pembedahan di abdomen bagian atas sehingga regional anastesi tidak
memungkinkan, kemungkinan operasi yang panjang, diperlukan mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk).

Pada persiapan periopeatif, pasien dipuasakan sebelum operasi. Puasa


preoperatif pada pasien bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa
menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang disarankan
menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan berat
dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak
pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada kasus ini, pasien telah
dipuasakan sejak pukul 06:00 WITA sehingga lama puasa pasien hingga
menjelang operasi + 8 jam. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran puasa
perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi.14

Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu.


Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik, golongan sedatif,
dan golongan analgetik. Tujuan pemberian premedikasi adalah untuk
menimbulkan rasa nyaman, megurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks
vagus, memperlancar induksi, mengurangi dosis anestesia, serta mengurangi rasa
sakit dan kegelisahan pasca bedah. Salah satu tujuan premedikasi berguna
meredakan kecemasan dan ketakutan. Pada pasien diberikan premedikasi berupa
ondacentron 4 mg/iv, fentanyl 100 mcg/iv, midazolam 2 mg/iv, dexamethasone
10mg/iv.
Diberikan ondacentron 4 mg sebagai obat antiemetik untuk mencegah
mual dan muntah, dimana Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT 3 yang
mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dalam mengantogonisasi reseptor 5-
HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan
mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pasien diberikan Fentanyl 100
mgc/iv diberikan sebagai analgesia, karena fentanyl memiliki sifat analgesia yang
baik, onset yang cepat dan durasi yang singkat, sedikit mendepresi kardiovaskular
serta tidak menyebabkan pelepasan histamin, maka fentanyl sering kali menjadi
pilihan utama sebagai agen premedikasi dan induksi dalam anestesi umum.
Pemberian injeksi midazolam 2 mg bertujuan sebagai sedatif dan anxiolitik.
Pemberian injeksi dexamethasone 10 mg bertujuan sebagai antiinflamasi.
Postoperative sore throat (POST) terjadi akibat proses inflamasi pada mukosa
faring dan trakea setelah intubasi.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu Propofol
100 mg/iv karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron
yang hancur oleh GABA. Pemberian atracurium 15 mg sebagai pelemas otot
penapasan untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube dan untuk
relaksasi otot rangka selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien
dengan metode head tilt dan chin-lift yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas
antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah
dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor
7,0 serta terpasang packing.

Setelah diintubasi dengan menggunakan endotracheal tube, maka dialirkan


sevofluran 2,5 vol%. Sevofluran merupakan halogen eter yang memiliki proses
induksi dan pemeliharaan paling cepat. Sevofluran relatif lebih stabil dan tidak
menimbulkan aritmia selama anestesi berlangsung.
Pasien menggunakan aliran oksigen sekitar 10-15 lpm via NRM sebagai
anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/
menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan
efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan
agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.
Kemudian dilakukan ekstubasi endotrakeal secara cepat dan pasien dalam keadaan
sadar untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.

Penambahan obat medikasi pertama berupa pemberian analgetik


digunakan Peinlos (ibuprofen 100 mg/ml) sebanyak 400 mg diberikan dengan
cara drips iv. Peinlos merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Peinlos sering diberikan selama dan setelah operasi sebagai
bagian dari rejimen analgesik multimodal untuk meningkatkan manajemen nyeri
setelah prosedur bedah mayor dan minor. Efek hemat opioid dari peinlos dapat
memfasilitasi proses pemulihan dengan meningkatkan manajemen nyeri dan
mengurangi efek samping terkait opioid (misalnya, mual, muntah, konstipasi,
retensi urin, depresi kardiorespirasi, pruritus, dan gangguan tidur).

Sebelum dilakukan operasi, pasien di anjurkan untuk puasa 8 jam, dimana


kebutuhan cairan pengganti puasa adalah 8 jam x 120 cc = 960 cc. Namun selama
pasien berpuasa, pasien dalam keadaan tetap terpasang infus (NaCl 0,9% 20 tpm)
dan sebelum pembedahan pasien telah diberikan cairan RL dimana cairan yang
masuk pada pasien sejumlah + 200 cc sehingga kebutuhan cairan pengganti puasa
dianggap telah terpenuhi. Kemudian pasien akan dilakukan Pro Sectio Caesarea +
Tubektomi Bilateral dimana operasi ini merupakan operasi berat dengan stres
operasi sebesar 8 cc x 60 Kg = 480 cc/jam.
Pasien telah kehilangan darah ± 500 cc. Untuk menggantikan darah yang
hilang selama operasi dapat menggunakan cairan koloid dan kristaloid. Pada
pasien ini diberikan cairan koloid (gelafusin) 500cc sehingga pengganti hilangnya
darah selama operasi dianggap telah terpenuhi. Selanjutnya pasien juga diberikan
kristaloid dimana pemberian kristaloid bertujuan untuk mengganti kebutuhan
cairan pasien selama perioperatif. Lama pasien menjalani operasi yaitu 60 menit.
Total kebutuhan cairan perioperatif pasien yaitu stress operasi + defisit darah
selama operasi + defisit urin selama operasi = 480 cc + (500 cc x 3) + 100 cc =
2.080 ml. Cairan yang masuk intra operatif yaitu RL 1000 cc + gelafusin 500cc
(setara dengan 1500 cc kristaloid) = 2500 cc. Total kebutuhan cairan pasien
selama operasi yaitu 2.080 ml dimana keseimbangan kebutuhan cairan = total
cairan yang masuk – (total kebutuhan cairan selama operasi dan puasa) = 2500 –
2.080 = 420 ml. Sehingga pasien mengalami kelebihan cairan sebanyak 420 ml.
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi. Namun kondisi
pasien pasca operasi masih memerlukan perawatan intensif sehingga seharusnya
pasien perlu dirawat di ruang ICU, akan tetapi karena pasien memiliki penyakit
tuberculosis, pasien dibawa ke ruang dahlia dengan kondisi masih terpasang
ventilator. Penilaian tanda-tanda vital setelah pemidahan pasien ke ruang dahlia
didapatkan tekanan darah 160/92 mmHg , Nadi 112 kali permenit, pernafasan 40x
permenit, dan hasil Alderete score 2.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Pada kasus ini pasien pria usia 31 tahun dengan diagnosis G5P4A0 Gravid
36-37 Minggu Inpartu Kala I Fase Aktif Memanjang + Pres-Bok + TB Paru
RO. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka ditentukan status fisik PS. ASA III karena pasien memiliki
penyakit sistemik dan memiliki keterbatasan aktivitas fungsional akibat
sesak berat yang dialami pasien.

2. Jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah General Anastesi dengan
teknik intubasi endotrakeal tube. Teknik anestesi GA dipilih berdasarkan
status PS. ASA dan kondisi fisik pasien. Adapun indikasi dilakukan General
Anestesi dengan teknik intubasi endotrakeal yaitu lokasi pembedahan di
abdomen bagian atas sehingga regional anastesi tidak memungkinkan,
kemungkinan operasi yang panjang, diperlukan mempertahankan jalan nafas
agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya
aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak
ada refleks batuk).

3. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ruang dahlia namun tetap


dipantau ketat secara intensif. Pada penilaian skor pemulihan anestesi pada
pasien ini dengan Aldrette Score didapatkan hasil 2 sehingga pasien
seharusnya dipindahkan ke ruang ICU.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, A. Said dkk. 2016.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. 2014. Buku Ajar Ilmu Anestesia
Reanimasi. Jakarta: indeks
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional TB. Jakarta:
Depkes RI; 2014.
4. Laksmi PW, Mansjoer A, Alwi I, Setiadi S. Penyakit-penyakit pada
kehamilan: peran seorang internis. Jakarta: Interna Publishing; 2008.
5. Olabisi ML, Ibraheem A. Tuberculosis in pregnancy. Journal of Pregnancy
[internet]. 2012 [disitasi 12 april 2018]; 3(4):1-8. Tersedia dari:
http://dx.doi.org/10.1155/2012/379271
6. Yusuf D, Lisnawati Y. Luaran Bayi dari Ibu dengan Tuberkulosis Resistan
Multi Obat. Journal Of The Indonesian Medical Association. 2019,69(4): 197-
201.
7. Taylor AW, Mosimaneotsile B, Mathebula U, Mathoma A, Moathlodi R,
Theebetsile I, Samandari T. Pregnancy outcomes in HIV-infected women
receiving long-term isoniazid prophylaxis for tuberculosis and antiretroviral
therapy. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology. 2013.
8. Sudoyo AW. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, editor. Ilmu penyakit dalam. Jilid
III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm. 243-45.
9. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi
6. Jakarta: Erlangga; 2007.
10. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
11. Purmono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2015.
12. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange
13. Okta, I.B,. Subagiartha, I.M,. Wiryana,M. 2017. Perbandingan Dosis Induksi
Dan Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor Yang
Mendapatkan. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 9(3) : 137-145
14. Amri Imtihanah, Kuliah Umum Manajemen Jalan napas. 2020
15. Rajagopal, S. buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Tangerang Selatan : karisma
publishing group. 2014
16. Gugule A.S, Posangi J, Mariati N.W.Gambaran Efek Pemberian Anestesi
Lokal Dengan Teknik Blok Mandibula FisherPada Peminum Alkohol. Jurnal
e-Gigi (eG),Volume 1, Nomor 1, Maret 2015
17. Reksoprodjo. Himpunan Makalah Prof. Dr.H.Reksoprodjo, SpB.,SpOT.
Jakarta : Pelangi Warna Kreasondo Print . 2006
18. Sari A. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keterlambatan Berobat
Pada Pasien Patah Tulang Yang Menggunakan Sistem Pembiayaan
Jamkesmas [skripsi].Semarang : Universitas Diponogoro. 2012.
19. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. 2009.
20. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019 Nomor:
Hk.01.07/Menkes/ 755/2019.
21. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis and
Pregnancyhttp://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/specpop/pregnancy.h
tm
22. Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC,
2000.1387-1389.
23. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Tuberkulosis Resistan Obat
di Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2020.

Anda mungkin juga menyukai