Anda di halaman 1dari 42

Tinjauan Pustaka

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN MANIFESTASI KLINIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik


Senior Di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Banda Aceh / Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Pembimbing:
dr.
Disusun oleh:
Suci Ramadhani
20

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


RSUD MEURAXA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul “Lupus
Eritematosus Sistemik”. Penulis menyusun tinjauan pustaka ini untuk memahami
lebih dalam tentang LES dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Abulyatama di RSUD
Meuraxa, Banda Aceh.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih


kepada dokter pembimbing saya dr. Kurniadi Abdullah, Sp.PD dan kepada kedua
orangtua yang selalu memberikan dukungan, doa, dan spiritual bagi keberhasilan
penulis.

Penulis sadar membuat tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, kami harapkan
semoga tinjauan pustaka ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, Oktober 2021

Suci Ramadhani
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………...2

DAFTAR ISI…………………………………..
……………………………………………3

BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………..4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….


……………………..5

2.1 Definisi……………..…………………………………………….
…………………….5

2.2 Epidemiologi……..…………………………………………………………...
………..5

2.3 Etiologi…..………………………………………..……………………………..
……..7

2.4 Patogenesis……….………………………………………………….………..…....
…10

2.5 Patofisiologi…………………………………..…………………………...…….
…….14

2.6 Manifestasi
Klinis……………………………………………………………………..15

2.7 Diagnosis………………………………………………………...…..…..
…………….21
2.8 Pemeriksaan Penunjang………………………………………….
……………………22

2.9 Diagnosis Banding……………………………………………..……..


…………….....24

2.10 Derajat Berat Ringannya LES………………………………...………………….


…..25

2.11 Pengelolaan…………………………………………………………….
……………..26

BAB III KESIMPULAN…….…………………………….….………………………..


….33

DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………..34
BAB I

PENDAHULUAN

Akne vulgaris (AV) didefinisikan sebagai penyakit kulit akibat inflamasi


kronik unit pilosebasea yang terdiri atas lesi non inflamasi seperti komedo
terbuka dan komedo tertutup serta lesi inflamasi berupa papul, pustul, dan
nodul.1Akne vulgaris umumnya menandai pubertas dan pada perempuan mendahului
menstruasi pertama.1 Kelainan kulit ini bermanifestasi di area tubuh yang memiliki
kelenjar sebasea lebih besar dan banyak, misalnya di wajah, dada, punggung, dan
lengan atas.1,2 Pasien seringkali melaporkan timbulnya lesi akne yang bertahap,
sehingga akan didapati berbagai lesi yang bervariasi, yaitu lesi non-peradangan dan
peradangan. Lesi non-peradangan terdiri atas komedo terbuka dan tertutup,
sedangkan lesi peradangan meliputi papul, pustul, nodus, atau kista.1,3

Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial, baik dari dalam maupun


luar. Faktor dari dalam meliputi 4 elemen kunci utama, yaitu peningkatan produksi
sebum, hiperkeratinisasi folikuler, kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes (P.
acnes), dan inflamasi. Elemen pertama dan kedua di atas sangat dipengaruhi hormon
androgen, merupakan hormon seks yang produksinya akan meningkat saat remaja. 4
Pada pasien perempuan dengan awitan akne vulgaris yang mendadak dan parah,
kondisi hiperandrogenisme harus selalu dipikirkan. Tanda hiperandrogenisme,
meliputi menstruasi tidak teratur, suara berat, hirsutisme, dan alopesia androgenik.
Bila terdapat beberapa tanda tersebut, maka pemeriksaan ginekologis dan hormonal
dapat diindikasikan.1,4,5

Sebanyak 85% AV didapatkan padaremaja namun AV juga ditemukan pada


20-40% usia dewasa dan didapatkan paling banyak pada perempuan.5,6
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per
100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000
penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000
penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per
100.000 penduduk. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi.

Berdasarkan jenis kelamin, 90% pasien LES adalah perempuan usia muda
dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio
penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Angka morbiditas dan
mortalitas pasien LES masih cukup tinggi. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien
LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1990-2002.

Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang
tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat. Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan
oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila
ditemukan 4 dari 11 kriteria. Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif
meliputi non medika mentosa dan medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal
pasien LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan dan intervensi psikologis sangat
diperlukan. Sedangkan untuk pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat
beratnya LES dengan tujuan terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe
flare, dan mengontrol gejala sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik
adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat
ringan hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang
komponen sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia,
artritis, nefritis, pleuritis, perikarditis, leukopenia atau trombositopenia,
anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam
dan berbagai gejala konstitusional lainnya. Sedangkan menurut buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, LES adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh
adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
dalam tubuh.
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa Yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai
daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped
malar rash.

2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit
rematik utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES
meningkat tiga kali lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang
reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria American College of
Rheumatology (ACR). Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1
kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara
dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana
negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000
penduduk.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang
dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat
291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20%
sebelum usia 16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES
adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun
selama masa reproduksi. Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki
adalah 9:1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rupert W. Jakes,
dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per
100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES
pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8
kasus tiap tahunnya.
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi,
dimana angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di
RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1990-2002. Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate LES untuk 1-5,
5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%,
dan 53-64%. Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W. Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5
tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun. Pada tahun-tahun pertama mortalitas LES
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan dengan penyakit vaskular, seperti aterosklerosis. Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik
yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%
keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis
LES tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam
5 tahun), Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10
tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di
negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.

2.3 Etiologi
Etiologi LES diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Beberapa faktor
tersebut saling berkaitan. Pada kasus LES yang terjadi secara sporadik tanpa
identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat.
Beberapa faktor tersebut saling berkaitan.
a. Faktor Genetik
Angka kejadian LES lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%). Pada keluarga penderita
LES akan mengalami peningkatan frekuensi LES dibandingkan
dengan kontrol sehat. Terdapat peningkatan prevalensi LES pada
kelompok etnis tertentu.
b. Faktor Hormonal
- Hormon Seks
LES adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali LES jarang terjadi pada usia prepubertas
dan setelah menopause. Predileksi perempuan menjadi kurang
nyata diluar rentang usia produktif. Selain itu, penderita sindrom
klinefelter’s dengan karakteristik hypergonadotrophic
hypogonadism, cenderung akan berkembang menjadi LES. Hal ini
menunjukan adanya peran hormon sex endogen dalam predisposisi
penyakit.
Perempuan dengan LES juga mempunyai konsentrasi androgen
plasma yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotertosteron,
dihidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron
(DHEAS).
Konsentrasi testosterone plasma yang rendah pada penderita LES
perempuan dibandingkan kontrol sehat.
Beberapa studi melaporkan adanya peningkatan konsentrasi PRL
(prolaktin) serum pada penderita LES, dan hiperprolaktinemia
(konsentrasi PRL >20 ng/ml) pada penderita LES didapatkan
sekitar 15-31%.
- Aksis Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA)
Aksis HPA adalah komponen utama dari sistem ketegangan
(stress). Ketegangan memicu peningkatan konsentrasi
glukokortikoid serum yang merupakan komponen sangat penting
dalam pencegahan autoreaktif/respon imun yang tidak terkendali,
dimana hal ini akan mengakibatkan self injury dan autoimunitas.
- Hormon Sel Lemak (Adipocyte-derived Hormone)
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis
LES adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin serum pada
penderita LES perempuan yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales
dkk, mendapatkan kadar leptin pada penderita LES lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sehat.
c. Adrenomedullin (AM)
Adrenomedullin (AM) adalah suatu peptida yang mengandung 52
asam amino. AM diketahui berhubungan erat dengan sistem imun.
Ekspresi mRNA AM pada penderita nefritis lupus berkorelasi negatif
dengan ekspresi protein urin.
Pada nefritis lupus yang aktif berdasarkan pemeriksaan histopatologi
didapatkan ekspresi mRNA AM lebih rendah secara bermakna
dibandingkan dengan nefritis lupus tidak aktif. Penderita LES aktif
yang mendapatkan terapi imunosupresan didapatkan konsentrasi AM
plasma lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita LES yang
tidak mendapat imunosupresan.
d. Disfungsi Imun
- Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita LES adalah produksi
autoantibodi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang
paling banyak ditemukan pada penderita LES (lebih dari 95%).
Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi
merupakan antibodi yang spesifik untuk LES, sehingga
dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari LES.
Ada 3 fase perkembangan autoantibodi pada LES yaitu: 1. Fase
normal yaitu orang tanpa gejala (asimptomatik) dan tidak
mempunyai autoantibodi untuk LES, 2. Fase autoimunitas benign
yaitu sudah ditemukan autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro,
anti-La dan antifosfolipid antibodi, tanpa adanya manifestasi
klinik, 3. Fase autoimunitas patogenik yaitu sudah terbentuk
autoantibodi yang lebih buruk seperti anti-dsDNA, anti-Sm dan
anti-nuklear ribonukleoprotein antibodi dan sudah ada manifestasi
klinik.
- Gangguan Respon Imun
LES ditandai oleh banyaknya gangguan dalam sistem imun yang
meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-sel monositik, yang
mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel
yang memproduksi antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks imun.
- Sitokin pada LES
Sitokin berperanan dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat
dalam organ yang berbeda pada LES. Produksi sitokin pada
penderita LES dengan kontrol sehat maupun penderita penyakit
lain seperti atritis rheumatoid (RA).
- Komplemen pada LES
Komplemen terlibat dalam pembersihan kompleks imun dan hal
ini berhubungan dengan perkembangan LES.
- Gangguan Regulasi Imun
Pada penderita LES terjadi ketidaksempurnaan (defective)
pembersihan kompleks imun oleh sel fagositik karena adanya
penurunan jumlah reseptor komplemen CR1 dan defect pada
fungsi reseptor permukaan sel. Pembersihan yang tidak sempurna
ini mungkin juga akibat dari tidak adekuatnya fagositosis
kompleks imun yang mengandung IgG2 dan IgG3. Fagositosis sel-
sel apoptosis juga mengalami gangguan pada LES. Menetapnya
sisa-sisa apoptosis dalam sirkulasi merupakan imunogen yang
akan menginduksi autoreaktif sel limfosit dan sebagai antigen
untuk membentuk kompleks imun.
e. Apoptosis
Apoptosis pada LES mengakibatkan gangguan toleransi, yang
akhirnya terbentuk antibodi anti-nuklear dan lupus-like
glomerulonephritis. Selain adanya apoptosis yang menyimpang,
gangguan pembersihan sel-sel apoptosis.
f. Faktor Lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan
predisposisi untuk LES, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan
hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan
kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.

Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang


nuklear endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan
oleh sel yang mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel
dendritik ke sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10)
dan IL23 yang mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome
endogen dapat berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat
menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya
inflamasi. Selain itu juga nucleosome dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel seperti BCR (B cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like
receptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif terdapat peningkatan ekspresi
TLR9.

Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung


menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome,
nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut
bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai
dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari
ini yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang
terdeposisi di jaringan sehingga membuat:

1. Sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi Ig yang


beredar di sirkulasi,
2. Fiksasi dan cleaving komplemen,
3. Pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan
4. Enzim-enzim yang mendestruksi jaringan

Gambar 1. Patogenesis LES


Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a)
meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b)
terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan
organ. Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan
kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan
adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen
dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal.
Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi
hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang
menimbulkan respon imun abnormal.

Gambar 2. Mekanisme Sistemik LES

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa


gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun
dalam hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-
gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar
sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya.

Gambar 3. Patofisiologi LES

2.5 Manifestasi Klinis


Lupus eritematosus sistemik merupakan kelainan reumatik autoimun
dengan etiologinya yang belum jelas benar dengan gambaran klinik yang
sangat bervariasi dari kelainan berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia,
trombositopenia, glomerulonephritis dan dapat mengenai organ yang lainnya
ditubuh, akan tetapi ada satu hal yang sama, yaitu dicirikannya berupa
produksi autoantibodi tertentu, misalnya Anti Nuclear Antibody (ANA), anti
Double stranded DNA (anti ds DNA), dan autoantibodi yang jarang seperti
anti smith (anti sm) dan anti-Ro.

Manifestasi Umum
Manifestasi klinik LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana yang
terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, sendi, ginjal, otak, paru,
jantung, gastrointestinal, hematologik dan lain-lainnya. Pada kelainan
autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan konstitusional
seperti: cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat
badan hal ini merupakan gejala awal atau bahkan merupakan komplikasi dari
penyakitnya
Keluhan fatigue dan malaise (tidak enak badan) sering timbul bila keadaan
penyakitnya yang masih aktif, penderita merasa cepat lelah dan tidak enak
badan dan dihubungkan karena proses inflamasinya, stress psikososial dan
efek dari penyakitnya.
Manifestasi pada Mukokutan
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan LES,
bahkan 4 dari 11 kriteria diagnosis LES merupakan kelainan pada kulit,
seperti: foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan (lesi
pada mulut). Kelainan pada kulit di bagi menjadi kelainan yang bersifat
spesifik dan non spesifik.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada
hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu
termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.
Gambar 4. Lesi Kulit Akut LES

2. Lesi Kulit Sub Akut


Gambar 5. Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.
Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung,
dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.
Gambar 6. Discoid lupus erythematous
4. Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis
kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.

Gambar 7. Livedo retikularis


Gambar 8. Eritema periungual
Manifestasi pada Muskuloskeletal
 Artritis
Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, keduanya sering timbul
pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering pada
penderita dengan LES aktif. Pada pemeriksaan radiologik didapatkan
subluksasi minimal dan deformitas akan tetapi tidak dijumpai kelainan
erosi dan destruksi pada sendi tangan walaupun kelainan artritis sudah
berlangsung lama.
 Miositis dan Mialgia
Rasa sakit pada otot pada penderita LES dikenal sebagai mialgia bila
pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase (CPK) dalam batas
normal, sedangkan miositis bila terjadi kenaikkan enzim creatine
phosphokinase (CPK), hal ini seringkali sulit dibedakan dengan
kelainan otot karena fibromialgia yang disebabkan karena depresi.
Manifestasi pada Ginjal

 Nefritis lupus
Komplikasi pada ginjal merupakan salah satu komplikasi yang serius
pada penderita LES sebab akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penderita LES. Yang paling mencolok keterlibatan ginjal
pada penderita LES yakni berupa adanya proteinuria atau silinder
eritrosit atau granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada
keadaan yang lebih ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala,
sedangkan pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum
ureum-kreatinin dan hipertensi.
Hal terpenting pada pemeriksaan laboratorium pada penderita nefritis
lupus adalah didapatkannya proteinuria dan silinder urin dengan
berbagai derajatnya adalah gambaran yang paling dominan. Umumnya
jika pasien belum mendapat terapi jumlah proteinuria < 1 gram/hari
dengan hematuria dan tidak adanya silinder urin dikenal sebagai
nefritis mesangial. Dikatakan glomerulopati membraneus bila
proteinuria disertai silinder urin dengan berbagai variasinya dan
dikatakan nefritis proliferatif jika disertai dengan hipertensi. Untuk
lebih jelasnya biopsi ginjal diperlukan mengetahui seberapa ginjal jauh
terlibat, derajat kerusakan ginjalnya dan prognosisnya serta untuk
mendapatkan penanganan yang lebih tepat.
Diagnosis nefritis lupus umumnya didasarkan atas kriteria World
Health Organization (WHO) yang mana penilaian berdasarkan
gambaran histologi dan lokasi atau tempat komplek imun, akan tetapi
saat ini digunakan kriteria yang lebih baru oleh Perhimpunan Ginjal
Internasional (International Society of Nephrology (ISN)) dan Renal
Pathology Society (RPS) ada perbedaan penting pada klasifikasi yang
baru berusaha melakukan stratifikasi lesi proliferatif fokal dan difus
(klas III dan IV).
Manifestasi pada Neuro Psikiatrik

Komite Adhoc The American College of Rheumatology (ACR) membuat


standarisasi untuk mendiagnosis neuro-psikiatrik lupus (neuropsychiatric
syndrome systemic lupus erythematosis). Manifestasi yang tersering ialah:
sakit kepala, gangguan psikiatrik dan gangguan kognitif.

 Kelainan Neurologik
Kelainan neurologik pada LES dibagi menjadi 2 bagian, pertama
kelainan pada susunan saraf pusat, kedua kelainan pada susunan saraf
perifer.
- Sistem Saraf Pusat, nyeri kepala yang tidak hilang-hilang dan tidak
responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general,
biasanya berhubungan dengan penyakit lupusnya yang dalam keadaan
aktif, gejala yang lain jarang misalnya: korea, cerebrovascular
accident, meningitis, dan aseptik.
- Sistem Saraf Perifer, terutama terlibatnya saraf kranial baik motorik
atau sensorik pada mata dan nervus trigeminal misalnya pasien dengan
gangguan pengelihatan, buta, edem papil, nistagmus, hilang
pendengaran, vertigo atau facial palsy serta paralisis mirip dengan
sindrom Guillain-Barre atau Miastenia gravis.
Manifestasi Psikiatrik

Gangguan psikiatrik pada LES dapat berupa: Perubahan Perilaku, psikosis,


insomnia, delirium dan depresi.

Manifestasi pada Gastrointestinal

Komplikasi gastrointestinal bisa berupa kelainan pada esophagus, vaskulitis


mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan peritonitis.

Manifestasi pada Hepar

Manifestasi pada hati dapat berupa: hepatitis kronik aktif, hepatitis


granulomatosa, hepatitis kronik persisten dan steatosis. Biasanya diperlihatkan
dengan meningkatnya enzim hati seperti SGOT, SGPT dan alkali-fosfatase.

Manifestasi pada Sistem Hematologik

Sitopenia termasuk didalamnya anemia, trombositopenia, limfofenia,


leukopenia sering terjadi pada penderita LES. Anemia pada LES sering
disebabkan karena supresi eritropoesis karena inflamasi yang kronik.
Leukopenia (leukosit <4500/mL) terjadi pada kurang lebih pada 50% kasus,
sedangkan limfositopenia (limfosit <1500/uL) terjadi kurang lebih 20% dari
kasus. Trombositopenia (trombosit <100.000/uL) karena sistem imun merusak
trombosit yang beredar di darah di samping itu dapat juga karena supresi
produksi trombosit di sumsum tulang.

Manifestasi pada Paru

 Manifestasi Pleuritis
Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus,
pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru dan hipertensi pulmonal.
Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru dari
beberapa studi dikatakan berkisar antara 41-56%. Keluhannya berupa
nyeri dada baik unilateral atau bilateral biasanya pada pinggir
kostoprenikus baik anterior atau posterior, seringkali diikuti dengan
batuk, sesak nafas dan demam serta umumnya akan berkembang
menjadi suatu efusi pleura.
Manifestasi pada Kardiovaskular

 Gangguan Perikardium
Manifestasi LES pada jantung dapat mengenai perikardium,
miokardium, sistem kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya. Yang tersering adalah perikarditis dengan prevalensi 16-
61% kasus. Gejalanya dapat berupa nyeri dada pada perubahan posisi,
nyeri bertambah bila tidur terlentang atau dengan inspirasi dalam
dengan lokasi pada pre kordium atau substernal, seringkali disertai
dengan demam, sesaf nafas dan takikardi. Tanda klinik lainnya: suara
jantung melemah, gesekan pericardium (pericardial rub), hipotensi
dan pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan EKG akan ditemukan
depresi dan melebarnya PR segmen, ST segmen konkaf keatas dan
kadang-kadang gelombang T inversi. Pada foto rontgen akan terlihat
bayangan jantung yang membesar (enlarged cardiac silhouette) bila
terdapat efusi. Pada ekokardiografi akan terlihat dengan jelas jumlah
cairan dan tanda-tanda bahaya adanya cardiac tamponade.
 Gangguan Miokardium
Gambaran miokarditis didapatkan pada 10% kasus. Diagnosis
miokardial disfungsi didasari atas gejala dan tanda klinik: ada tidaknya
keluhan cepat lelah, sesak, takikardi, dyspnea d’effort, dan paroxysmal
nocturnal dyspneu. Pada pemeriksaan jantung dicari ada tidaknya
gagal jantung kongestif seperti: jugular venous pressure (JVP) yang
meningkat, edema, bising jantung. Pada pemeriksaan EKG tidak
dijumpai tanda yang khas mungkin didapatkan: perubahan gelombang
ST-T, atrial atau ventricular premature, aritmia dan gangguan
konduksi jantung, sedangkan pada pemeriksaan ekokardiografi
didapatkan dilatasi bilik jantung, disfungsi sistolik, diastolik dan
sumbatan pembuluh darah jantung.
Manifestasi yang Lain

 Manifestasi vaskulitis
Kejadian vaskulitis pada penderita LES bisa secara kutaneus ataupun
viseral. Ujud kelainan kulit pada vaskulitis kutaneus di kulit dapat
berupa lesi pungtuata, purpura, papula, urtikaria, ulkus, plakat dan
panikulitis, sedang vaskulitis viseral dapat berupa mono-neuritis
multiplek, nekrosis jari-jari dan pembuluh dasar besar seperti arteritis
mesenterika dan arteritis arteri koronaria.
 Fenomena Raynaud
Fenomena Raynaud sering terjadi pada LES karena pengaturan kontrol
neuro endothelial yang abnormal pada tonus vascular, kasus ini terjadi
pada 10-57% kasus.
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan mengacu pada kriteria dari
American College of Rheumatology revisi tahun 1997 yang terdiri dari 11
kriteria.

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas
eminensia malar atau dapat melebar sampai
lipatan naso-labial
Ruam diskoid Warna kemerahan pada kulit dengan
penebalan keratin kulit, penyumbatan kelenjar
folikel rambut dan atropi kulit
Fotosensitivitas Perubahan warna kulit ataupun bentuk rash
dikulit bila terkena cahaya matahari baik
dirasakan oleh penderita atau dilihat oleh
dokter
Ulkus di mulut (stomatitis) Ulkus pada daerah mulut atau nasofaring
tanpa nyeri
Artritis non erosif Terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan
ciri khusus nyeri tekan, bengkak atau adanya
efusi (tanda-tanda artritis)
Serositis
Pleuritis Pleuritis secara klinik ditemukan adanya nyeri
pleura dan dengan stetoskop terdengar
“pleural friction rub” atau ditemukan adanya
efusi baik pada pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan rontgen
Perikarditis Perikarditis ditemukan secara klinik dengan
mendengar suara pericardial friction rub
dengan stetoskop atau dengan pemeriksaan
rontgen ada efusi pericardial atau dengan
pemeriksaan EKG
Gangguan ginjal Proteinuria yang menetap >0,5 gram/hari atau
> (+++) pada pemeriksaan urin secara
kualitatif, atau
Ditemukan silinder eritrosit, granular, tubular
atau campuran
Gangguan neurologik Adanya kejang tanpa ditemukan sebab lain
seperti karena obat atau gangguan metabolik
(misal uremia, ketoasidosis, gangguan
keseimbangan elektrolit), atau
Psikosis tanpa ditemukan sebab lain seperti
karena obat atau gangguan metabolik (misal
uremia, ketoasidosis, gangguan keseimbangan
elektrolit)
Gangguan hematologik  Anemia hemolitik dengan
(paling sedikit didapatkan retikulositosis
1 kelainan)
 Leukopenia (leukosit <4000/mm3)
pada minimal 2 kali pemeriksaan
 Limfofenia (limfosit <1500/mm3) pada
minimal 2 kali pemeriksaan
 Trombositopenia (trombosit
<100.000/mm3) dengan tidak ada obat-
obatan lain yang menjadi penyebabnya
Gangguan imunologik  Titer anti dsDNA yang meningkat
(paling sedikit didapat 1  Anti Sm (+)
kelainan)  Antibodi antifosfolipid (+) berupa:
- Kadar IgG atau IgM anti kardiolipin
yang meningkat
- Lupus antikoagulan (+) atau hasil
positif palsu paling sedikit 6 bulan
dengan menggunakan tes antibodi
absorbs dengan fluorosensi terhadap
Treponema pallidum
Tes Antibodi Antinuklear Dengan mengesampingkan obat-obatan yang
(ANA) (+) dapat mempengaruhi tes

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bilan hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.
Sama seperti penyakit reumatik yang bersifat sistemik lainnya,
diagnosis LES dibutuhkan secara integrasi antara gejala klinik, pemeriksaan
fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan penunjang,
karena LES merupakan kelainan autoimun yang bersifat nonorgan spesifik
gambaran klinik sangat bervariasi tergantung sistem organ mana yang terlibat
bisa tunggal beberapa sistem organ ataupun semua sistem organ di tubuh
secara bersamaan terlibat semuanya dan sangat mirip dengan kelainan
sistemik pada penyakit reumatik lainnya.
Pemeriksaan tes imunologi seperti tes ANA merupakan pemeriksaan
yang penting dalam membantu diagnosis LES, walaupun tidak spesifik untuk
LES tetapi sangat sensitif (95%) sehingga dapat dipakai sebagai skrining.
Antibodi anti ds DNA merupakan pemeriksaan penting pada penderita LES,
karena 70% didapatkan pada penderita dengan lupus dan sangat spesifik untuk
LES (95% kasus).
Anti Sm (Smith) dapat dideteksi pada 10-30 kasus lupus dan adanya
antibodi pada pasien lupus merupakan tanda yang patognomonik. Anti-Ro
(SS-A) dan anti-LA (SS-B) dapat dideteksi pada penderita LES masing-
masing 10-50% dan 10-20% tetapi tidak spesifik. Antibodi anti ribosomal
sangat spesifik untuk membantu diagnosis LES, tetapi kurang sensitif
dibandingkan anti ds DNA atau anti Sm antibodi dan antibodi ini
dihubungkan dengan manifestasi neuropsikiatrik lupus.
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis
dan monitoring:
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, Laju Endap Darah (LED)**
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)**
4. PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid
5. Serologi ANA*, anti-dsDNA***, komplemen (C3,C4)***
6. Foto polos toraks
* Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring

** Setiap 3-6 bulan bila stabil

*** Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES.


Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis
pasien.

Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 atau


lebih kriteria:

Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih


Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
Muskuloskeletal:artritis, atralgia, miositis
Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis
Ginjal: hematuria, proteinuria, silinder, sindrom nefrotik
Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru
Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis
transversa, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap
penyakit lainnya. Bagi dokter umum yang menemukan gejala-gejala di atas
dimintakan untuk mewaspadai kemungkinan penyakit LES dan dilanjutkan
dengan melakukan rujukan.

2.7 Diagnosis Banding


Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau bebrapa tes laboratorium
yang serupa, yaitu:
 Undifferentiated connective tissue disease
 Sindrom Sjӧgren
 Sindrom antibodi antifosfolipid (APS)
 Fibromialgia (ANA positif)
 Purpura trombositopenik idiopatik
 Lupus imbas obat
 Artritis rheumatoid dini
 Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-
gejala yang dapat menyerupai LES yakni artritis reumatika, sklerosis
sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
2.8 Derajat Berat Ringannya Penyakit LES
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi berbagai
kemungkinan kesalahan yang menyangkut obat yang akan diberikan, berapa
dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan
pada pasien adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan, sedang, dan berat atau sampai
mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat gejala atau tanda yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit
Kriteria untuk dikatakan LES sedang adalah:

1. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)


2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Kriteria untuk dikatakan LES berat atau mengancam nyawa:

 Jantung: endokarditis, Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,


miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna
 Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung
 Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika
 Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous
 Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
 Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindrom
demielinasi
 Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia <20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri

2.9 Penatalaksanaan
Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai
digunakannya/ diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang
bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang
lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial. Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:
a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ
agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.
Pilar Pengobatan. Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat,
diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar
pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya
pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat
dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
- OAINS
- Anti malaria
- Steroid
- Imunosupresan / Sitotoksik
- Terapi lain
a. Tatalaksana non medikamentosa
 Edukasi/Konseling
Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar
dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup
mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung
atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi
dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai
fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam
penatalaksanaan LES, maka setiap pasien LES perlu dianalisis
adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan
data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan
fungsi kognitif sebesar 86,49%. Pembuktian dilakukan
menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL
A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan
besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada
LES, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi
20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih
memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan
fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak
buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat
kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak
stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE,
memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam
kehidupan kesehariannya.
 Program Rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis
pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan:
- istirahat

- Terapi Fisik

- Terapi dengan Modalitas

- Ortotik, dll

b. Terapi Medikamentosa
Table 1. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada LES

Jenis Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Obat Toksisitas Awal Klinis Laboratoriu
m
OAINS Tergantung Perdarahan Darah Gejala Darah rutin,
OAINS saluran cerna, rutin, gastrointesti kreatinin,
hepatotoksik, kreatinin, nal AST/ALT
sakit kepala, urin setiap 6
hipertensi, rutin, bulan.
aseptic, AST/AL
meningitis, T
nefrotoksik
kortikost Tergantung Cushingoid, Gula Tekanan Glukosa
eroid derajat LES hipertensi, darah, darah
dislipidemi, profil
osteonekrosis, lipid,
hiperglisemia, DXA,
katarak, tekanan
osteoporosis darah
klorokui 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Funduskopi
n (3,5-4 keluhan GIT, mata, dan
mg/kgBB/hari) rash, myalgia, G6PD lapangan
Hidrosik 200-400 sakit kepala, pada pandang
loro- mg/hari anemia pasien mata setiap
kuin hemolitik berisiko 3-6 bulan
dengan
defisiensi
G6PD
Azatriop 50-150 mg/hari Mielosupresif, Darah Gejala Darah tepi
in dosis terbagi 1- hepatotoksik, tepi mielosupres lengkap tiap
3 tergantung gangguan lengkap, if 1-2 minggu
berat badan limfoprolifera kreatinin, dan
tif AST/AL selanjutnya
T 1-3 bulan
interval,
AST tiap
tahun dan
pap smear
secara
teratur
Siklofos - Per oral; 50- Mielosupresif, Darah Gejala Darah tepi
famid 150 mg/hari gangguan tepi mielosupres lengkap dan
- IV; 500-750 limfoprolifera lengkap, if, urin lengkap
mg/m2 dalam tif, keganasan, hitung hematuria tiap bulan,
dextrose 250 imunosupresif jenis dan sitologi urin
ml, infuse , sistitis leukosit, infertilitas dan pap
selama 1 jam hemoragik, urin smear tiap
infertilitas lengkap tahun
sekunder seumur
hidup.
Metotre 7,5-20 Mielosupresif, Darah Gelaja Darah tepi
ksat mg/minggu, fibrosis tepi mielosupres lengkap,
dosis tunggal hepatic, lengkap, if, sesak terutama
atau terbagi 3. sirosis, foto nafas, mual hitung
Dapat diberikan infiltrate toraks, dan muntah, trombosit
pula melalui pulmonal dan serologi ulkus mulut tiap 4-8
injeksi fibrosis hepatitis minggu,
B&C, AST/ALT
AST, dan albumin
fungsi tiap 4-8
hati, minggu,
kreatinin urin lengkap
dan
kreatinin
Siklospo 2,5-5 mg/kgBB Pembengkaka Darah Gejala Kreatinin,
rin atau sekitar n dan nyeri tepi hipersensitif LFT, darah
100-400 mg per gusi, lengkap, itas terhadap tepi lengkap
hari dalam 2 peningkatan kreatinin, castor oil
dosis tergantung TD, urin (bila obat
berat badan peningkatan lengkap diberikan
pertumbuhan LFT injeksi), TD,
rambut, fungsi hati
gangguan dan ginjal
fungsi ginjal,
nafsu makan
menurun,
tremor
Mikofen 1000-2000 mg Mual, diare, Darah Gejala Darah tepi
olat dalam 2 dosis leukopenia tepi gastrointesti lengkap
mofetil lengkap, nal; mual terutama
feses leukosit dan
lengkap dan muntah hitung
jenisnya

 Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya


a. Pengobatan LES Ringan
Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara
bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada
beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari)
(1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin
basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian
dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin
dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg
/ hari atau yang setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun
protection faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan LES Sedang Pilar penatalaksanaan LES sedang
sama seperti pada LES ringan kecuali pada pengobatan.
Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.
Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison
atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa Pilar
pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada
penggunaan obat-obatannya. Pada LES berat atau yang

mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana


tercantum pada bagan .

Gambar 9. Algoritma penanganan LES sesuai derajat


keparahan
 Pencegahan
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari,
lingkungan yang sangat dingin dan stress emosional. Antara
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
- Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah
- Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
- Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid
secara tiba-tiba.
- Istirahat
- Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda
infeksi maka harus diobati dengan segera.
- Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk
mengurangkan efek daripada stress oksidatif
- Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
- Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain,
seperti anemi, demam infeksi, gangguan hormonal,
komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup
istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan
mampu mengubah gaya hidup.
- Hindari Merokok
- Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses
inflamasi
- Hindari stres dan trauma fisik
- Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
- Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada
pukul 10.00 sampai 15.00
- Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang
mengandung hormon estrogen.
BAB III

KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi


autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi
penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut
merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks
imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit


dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash,
bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non


medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk
meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;
2012. H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical
features, and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) :
159- 68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB,
editor. Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV.
Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2009.
10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus
erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) :
1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape;
2014 [cited 2015 Mei 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan
kelamin Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition.
2005. h 384-7

Anda mungkin juga menyukai