Pembimbing:
dr.
Disusun oleh:
Suci Ramadhani
20
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul “Lupus
Eritematosus Sistemik”. Penulis menyusun tinjauan pustaka ini untuk memahami
lebih dalam tentang LES dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Abulyatama di RSUD
Meuraxa, Banda Aceh.
Penulis sadar membuat tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, kami harapkan
semoga tinjauan pustaka ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Suci Ramadhani
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………...2
DAFTAR ISI…………………………………..
……………………………………………3
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………..4
2.1 Definisi……………..…………………………………………….
…………………….5
2.2 Epidemiologi……..…………………………………………………………...
………..5
2.3 Etiologi…..………………………………………..……………………………..
……..7
2.4 Patogenesis……….………………………………………………….………..…....
…10
2.5 Patofisiologi…………………………………..…………………………...…….
…….14
2.6 Manifestasi
Klinis……………………………………………………………………..15
2.7 Diagnosis………………………………………………………...…..…..
…………….21
2.8 Pemeriksaan Penunjang………………………………………….
……………………22
2.11 Pengelolaan…………………………………………………………….
……………..26
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………..34
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan jenis kelamin, 90% pasien LES adalah perempuan usia muda
dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio
penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Angka morbiditas dan
mortalitas pasien LES masih cukup tinggi. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien
LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1990-2002.
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang
tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat. Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan
oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila
ditemukan 4 dari 11 kriteria. Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif
meliputi non medika mentosa dan medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal
pasien LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan dan intervensi psikologis sangat
diperlukan. Sedangkan untuk pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat
beratnya LES dengan tujuan terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe
flare, dan mengontrol gejala sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik
adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat
ringan hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang
komponen sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia,
artritis, nefritis, pleuritis, perikarditis, leukopenia atau trombositopenia,
anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam
dan berbagai gejala konstitusional lainnya. Sedangkan menurut buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, LES adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh
adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
dalam tubuh.
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa Yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai
daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped
malar rash.
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit
rematik utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES
meningkat tiga kali lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang
reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria American College of
Rheumatology (ACR). Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1
kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara
dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana
negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000
penduduk.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang
dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat
291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20%
sebelum usia 16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES
adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun
selama masa reproduksi. Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki
adalah 9:1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rupert W. Jakes,
dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per
100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES
pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8
kasus tiap tahunnya.
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi,
dimana angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di
RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1990-2002. Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate LES untuk 1-5,
5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%,
dan 53-64%. Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W. Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5
tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun. Pada tahun-tahun pertama mortalitas LES
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan dengan penyakit vaskular, seperti aterosklerosis. Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik
yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%
keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis
LES tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam
5 tahun), Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10
tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di
negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.
2.3 Etiologi
Etiologi LES diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Beberapa faktor
tersebut saling berkaitan. Pada kasus LES yang terjadi secara sporadik tanpa
identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat.
Beberapa faktor tersebut saling berkaitan.
a. Faktor Genetik
Angka kejadian LES lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%). Pada keluarga penderita
LES akan mengalami peningkatan frekuensi LES dibandingkan
dengan kontrol sehat. Terdapat peningkatan prevalensi LES pada
kelompok etnis tertentu.
b. Faktor Hormonal
- Hormon Seks
LES adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali LES jarang terjadi pada usia prepubertas
dan setelah menopause. Predileksi perempuan menjadi kurang
nyata diluar rentang usia produktif. Selain itu, penderita sindrom
klinefelter’s dengan karakteristik hypergonadotrophic
hypogonadism, cenderung akan berkembang menjadi LES. Hal ini
menunjukan adanya peran hormon sex endogen dalam predisposisi
penyakit.
Perempuan dengan LES juga mempunyai konsentrasi androgen
plasma yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotertosteron,
dihidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron
(DHEAS).
Konsentrasi testosterone plasma yang rendah pada penderita LES
perempuan dibandingkan kontrol sehat.
Beberapa studi melaporkan adanya peningkatan konsentrasi PRL
(prolaktin) serum pada penderita LES, dan hiperprolaktinemia
(konsentrasi PRL >20 ng/ml) pada penderita LES didapatkan
sekitar 15-31%.
- Aksis Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA)
Aksis HPA adalah komponen utama dari sistem ketegangan
(stress). Ketegangan memicu peningkatan konsentrasi
glukokortikoid serum yang merupakan komponen sangat penting
dalam pencegahan autoreaktif/respon imun yang tidak terkendali,
dimana hal ini akan mengakibatkan self injury dan autoimunitas.
- Hormon Sel Lemak (Adipocyte-derived Hormone)
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis
LES adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin serum pada
penderita LES perempuan yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales
dkk, mendapatkan kadar leptin pada penderita LES lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sehat.
c. Adrenomedullin (AM)
Adrenomedullin (AM) adalah suatu peptida yang mengandung 52
asam amino. AM diketahui berhubungan erat dengan sistem imun.
Ekspresi mRNA AM pada penderita nefritis lupus berkorelasi negatif
dengan ekspresi protein urin.
Pada nefritis lupus yang aktif berdasarkan pemeriksaan histopatologi
didapatkan ekspresi mRNA AM lebih rendah secara bermakna
dibandingkan dengan nefritis lupus tidak aktif. Penderita LES aktif
yang mendapatkan terapi imunosupresan didapatkan konsentrasi AM
plasma lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita LES yang
tidak mendapat imunosupresan.
d. Disfungsi Imun
- Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita LES adalah produksi
autoantibodi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang
paling banyak ditemukan pada penderita LES (lebih dari 95%).
Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi
merupakan antibodi yang spesifik untuk LES, sehingga
dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari LES.
Ada 3 fase perkembangan autoantibodi pada LES yaitu: 1. Fase
normal yaitu orang tanpa gejala (asimptomatik) dan tidak
mempunyai autoantibodi untuk LES, 2. Fase autoimunitas benign
yaitu sudah ditemukan autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro,
anti-La dan antifosfolipid antibodi, tanpa adanya manifestasi
klinik, 3. Fase autoimunitas patogenik yaitu sudah terbentuk
autoantibodi yang lebih buruk seperti anti-dsDNA, anti-Sm dan
anti-nuklear ribonukleoprotein antibodi dan sudah ada manifestasi
klinik.
- Gangguan Respon Imun
LES ditandai oleh banyaknya gangguan dalam sistem imun yang
meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-sel monositik, yang
mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel
yang memproduksi antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks imun.
- Sitokin pada LES
Sitokin berperanan dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat
dalam organ yang berbeda pada LES. Produksi sitokin pada
penderita LES dengan kontrol sehat maupun penderita penyakit
lain seperti atritis rheumatoid (RA).
- Komplemen pada LES
Komplemen terlibat dalam pembersihan kompleks imun dan hal
ini berhubungan dengan perkembangan LES.
- Gangguan Regulasi Imun
Pada penderita LES terjadi ketidaksempurnaan (defective)
pembersihan kompleks imun oleh sel fagositik karena adanya
penurunan jumlah reseptor komplemen CR1 dan defect pada
fungsi reseptor permukaan sel. Pembersihan yang tidak sempurna
ini mungkin juga akibat dari tidak adekuatnya fagositosis
kompleks imun yang mengandung IgG2 dan IgG3. Fagositosis sel-
sel apoptosis juga mengalami gangguan pada LES. Menetapnya
sisa-sisa apoptosis dalam sirkulasi merupakan imunogen yang
akan menginduksi autoreaktif sel limfosit dan sebagai antigen
untuk membentuk kompleks imun.
e. Apoptosis
Apoptosis pada LES mengakibatkan gangguan toleransi, yang
akhirnya terbentuk antibodi anti-nuklear dan lupus-like
glomerulonephritis. Selain adanya apoptosis yang menyimpang,
gangguan pembersihan sel-sel apoptosis.
f. Faktor Lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan
predisposisi untuk LES, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan
hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan
kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Manifestasi Umum
Manifestasi klinik LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana yang
terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, sendi, ginjal, otak, paru,
jantung, gastrointestinal, hematologik dan lain-lainnya. Pada kelainan
autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan konstitusional
seperti: cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat
badan hal ini merupakan gejala awal atau bahkan merupakan komplikasi dari
penyakitnya
Keluhan fatigue dan malaise (tidak enak badan) sering timbul bila keadaan
penyakitnya yang masih aktif, penderita merasa cepat lelah dan tidak enak
badan dan dihubungkan karena proses inflamasinya, stress psikososial dan
efek dari penyakitnya.
Manifestasi pada Mukokutan
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan LES,
bahkan 4 dari 11 kriteria diagnosis LES merupakan kelainan pada kulit,
seperti: foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan (lesi
pada mulut). Kelainan pada kulit di bagi menjadi kelainan yang bersifat
spesifik dan non spesifik.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada
hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu
termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.
Gambar 4. Lesi Kulit Akut LES
3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.
Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung,
dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.
Gambar 6. Discoid lupus erythematous
4. Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis
kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Nefritis lupus
Komplikasi pada ginjal merupakan salah satu komplikasi yang serius
pada penderita LES sebab akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penderita LES. Yang paling mencolok keterlibatan ginjal
pada penderita LES yakni berupa adanya proteinuria atau silinder
eritrosit atau granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada
keadaan yang lebih ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala,
sedangkan pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum
ureum-kreatinin dan hipertensi.
Hal terpenting pada pemeriksaan laboratorium pada penderita nefritis
lupus adalah didapatkannya proteinuria dan silinder urin dengan
berbagai derajatnya adalah gambaran yang paling dominan. Umumnya
jika pasien belum mendapat terapi jumlah proteinuria < 1 gram/hari
dengan hematuria dan tidak adanya silinder urin dikenal sebagai
nefritis mesangial. Dikatakan glomerulopati membraneus bila
proteinuria disertai silinder urin dengan berbagai variasinya dan
dikatakan nefritis proliferatif jika disertai dengan hipertensi. Untuk
lebih jelasnya biopsi ginjal diperlukan mengetahui seberapa ginjal jauh
terlibat, derajat kerusakan ginjalnya dan prognosisnya serta untuk
mendapatkan penanganan yang lebih tepat.
Diagnosis nefritis lupus umumnya didasarkan atas kriteria World
Health Organization (WHO) yang mana penilaian berdasarkan
gambaran histologi dan lokasi atau tempat komplek imun, akan tetapi
saat ini digunakan kriteria yang lebih baru oleh Perhimpunan Ginjal
Internasional (International Society of Nephrology (ISN)) dan Renal
Pathology Society (RPS) ada perbedaan penting pada klasifikasi yang
baru berusaha melakukan stratifikasi lesi proliferatif fokal dan difus
(klas III dan IV).
Manifestasi pada Neuro Psikiatrik
Kelainan Neurologik
Kelainan neurologik pada LES dibagi menjadi 2 bagian, pertama
kelainan pada susunan saraf pusat, kedua kelainan pada susunan saraf
perifer.
- Sistem Saraf Pusat, nyeri kepala yang tidak hilang-hilang dan tidak
responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general,
biasanya berhubungan dengan penyakit lupusnya yang dalam keadaan
aktif, gejala yang lain jarang misalnya: korea, cerebrovascular
accident, meningitis, dan aseptik.
- Sistem Saraf Perifer, terutama terlibatnya saraf kranial baik motorik
atau sensorik pada mata dan nervus trigeminal misalnya pasien dengan
gangguan pengelihatan, buta, edem papil, nistagmus, hilang
pendengaran, vertigo atau facial palsy serta paralisis mirip dengan
sindrom Guillain-Barre atau Miastenia gravis.
Manifestasi Psikiatrik
Manifestasi Pleuritis
Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus,
pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru dan hipertensi pulmonal.
Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru dari
beberapa studi dikatakan berkisar antara 41-56%. Keluhannya berupa
nyeri dada baik unilateral atau bilateral biasanya pada pinggir
kostoprenikus baik anterior atau posterior, seringkali diikuti dengan
batuk, sesak nafas dan demam serta umumnya akan berkembang
menjadi suatu efusi pleura.
Manifestasi pada Kardiovaskular
Gangguan Perikardium
Manifestasi LES pada jantung dapat mengenai perikardium,
miokardium, sistem kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya. Yang tersering adalah perikarditis dengan prevalensi 16-
61% kasus. Gejalanya dapat berupa nyeri dada pada perubahan posisi,
nyeri bertambah bila tidur terlentang atau dengan inspirasi dalam
dengan lokasi pada pre kordium atau substernal, seringkali disertai
dengan demam, sesaf nafas dan takikardi. Tanda klinik lainnya: suara
jantung melemah, gesekan pericardium (pericardial rub), hipotensi
dan pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan EKG akan ditemukan
depresi dan melebarnya PR segmen, ST segmen konkaf keatas dan
kadang-kadang gelombang T inversi. Pada foto rontgen akan terlihat
bayangan jantung yang membesar (enlarged cardiac silhouette) bila
terdapat efusi. Pada ekokardiografi akan terlihat dengan jelas jumlah
cairan dan tanda-tanda bahaya adanya cardiac tamponade.
Gangguan Miokardium
Gambaran miokarditis didapatkan pada 10% kasus. Diagnosis
miokardial disfungsi didasari atas gejala dan tanda klinik: ada tidaknya
keluhan cepat lelah, sesak, takikardi, dyspnea d’effort, dan paroxysmal
nocturnal dyspneu. Pada pemeriksaan jantung dicari ada tidaknya
gagal jantung kongestif seperti: jugular venous pressure (JVP) yang
meningkat, edema, bising jantung. Pada pemeriksaan EKG tidak
dijumpai tanda yang khas mungkin didapatkan: perubahan gelombang
ST-T, atrial atau ventricular premature, aritmia dan gangguan
konduksi jantung, sedangkan pada pemeriksaan ekokardiografi
didapatkan dilatasi bilik jantung, disfungsi sistolik, diastolik dan
sumbatan pembuluh darah jantung.
Manifestasi yang Lain
Manifestasi vaskulitis
Kejadian vaskulitis pada penderita LES bisa secara kutaneus ataupun
viseral. Ujud kelainan kulit pada vaskulitis kutaneus di kulit dapat
berupa lesi pungtuata, purpura, papula, urtikaria, ulkus, plakat dan
panikulitis, sedang vaskulitis viseral dapat berupa mono-neuritis
multiplek, nekrosis jari-jari dan pembuluh dasar besar seperti arteritis
mesenterika dan arteritis arteri koronaria.
Fenomena Raynaud
Fenomena Raynaud sering terjadi pada LES karena pengaturan kontrol
neuro endothelial yang abnormal pada tonus vascular, kasus ini terjadi
pada 10-57% kasus.
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan mengacu pada kriteria dari
American College of Rheumatology revisi tahun 1997 yang terdiri dari 11
kriteria.
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas
eminensia malar atau dapat melebar sampai
lipatan naso-labial
Ruam diskoid Warna kemerahan pada kulit dengan
penebalan keratin kulit, penyumbatan kelenjar
folikel rambut dan atropi kulit
Fotosensitivitas Perubahan warna kulit ataupun bentuk rash
dikulit bila terkena cahaya matahari baik
dirasakan oleh penderita atau dilihat oleh
dokter
Ulkus di mulut (stomatitis) Ulkus pada daerah mulut atau nasofaring
tanpa nyeri
Artritis non erosif Terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan
ciri khusus nyeri tekan, bengkak atau adanya
efusi (tanda-tanda artritis)
Serositis
Pleuritis Pleuritis secara klinik ditemukan adanya nyeri
pleura dan dengan stetoskop terdengar
“pleural friction rub” atau ditemukan adanya
efusi baik pada pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan rontgen
Perikarditis Perikarditis ditemukan secara klinik dengan
mendengar suara pericardial friction rub
dengan stetoskop atau dengan pemeriksaan
rontgen ada efusi pericardial atau dengan
pemeriksaan EKG
Gangguan ginjal Proteinuria yang menetap >0,5 gram/hari atau
> (+++) pada pemeriksaan urin secara
kualitatif, atau
Ditemukan silinder eritrosit, granular, tubular
atau campuran
Gangguan neurologik Adanya kejang tanpa ditemukan sebab lain
seperti karena obat atau gangguan metabolik
(misal uremia, ketoasidosis, gangguan
keseimbangan elektrolit), atau
Psikosis tanpa ditemukan sebab lain seperti
karena obat atau gangguan metabolik (misal
uremia, ketoasidosis, gangguan keseimbangan
elektrolit)
Gangguan hematologik Anemia hemolitik dengan
(paling sedikit didapatkan retikulositosis
1 kelainan)
Leukopenia (leukosit <4000/mm3)
pada minimal 2 kali pemeriksaan
Limfofenia (limfosit <1500/mm3) pada
minimal 2 kali pemeriksaan
Trombositopenia (trombosit
<100.000/mm3) dengan tidak ada obat-
obatan lain yang menjadi penyebabnya
Gangguan imunologik Titer anti dsDNA yang meningkat
(paling sedikit didapat 1 Anti Sm (+)
kelainan) Antibodi antifosfolipid (+) berupa:
- Kadar IgG atau IgM anti kardiolipin
yang meningkat
- Lupus antikoagulan (+) atau hasil
positif palsu paling sedikit 6 bulan
dengan menggunakan tes antibodi
absorbs dengan fluorosensi terhadap
Treponema pallidum
Tes Antibodi Antinuklear Dengan mengesampingkan obat-obatan yang
(ANA) (+) dapat mempengaruhi tes
*** Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
2.9 Penatalaksanaan
Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai
digunakannya/ diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang
bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang
lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial. Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:
a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ
agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.
Pilar Pengobatan. Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat,
diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar
pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya
pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat
dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
- OAINS
- Anti malaria
- Steroid
- Imunosupresan / Sitotoksik
- Terapi lain
a. Tatalaksana non medikamentosa
Edukasi/Konseling
Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar
dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup
mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung
atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi
dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai
fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam
penatalaksanaan LES, maka setiap pasien LES perlu dianalisis
adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan
data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan
fungsi kognitif sebesar 86,49%. Pembuktian dilakukan
menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL
A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan
besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada
LES, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi
20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih
memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan
fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak
buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat
kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak
stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE,
memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam
kehidupan kesehariannya.
Program Rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis
pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan:
- istirahat
- Terapi Fisik
- Ortotik, dll
b. Terapi Medikamentosa
Table 1. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada LES
KESIMPULAN