Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan menguraikan mengenai beberapa konsep yang nantinya akan lebih

menjelaskan dan melengkapi kepustakaan yang digunakan untuk mengetahui kepatuhan

Antenatal Care (ANC) terhadap kejadian Preeklamsia Berat (PEB).

A. Preeklamsia Berat (PEB)

1. Pengertian Preeklamsia Berat (PEB)

Preeklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, oedema, dan

proteinuria yang timbul saat kehamilan. Preeklamsia berat adalah penyakit

yang mempunyai dua atau lebih gejala seperti tekanan sistolik Tekanan darah

sistolik  160 mmHg, Tekanan darah diastolik  110 mmHg, proteinuria > 5 g

dalam 24 jam, Oliguaria < 400 ml/24 jam, keluhan serebral, nyeri epigasrtium,

edema paru-paru atau sianosis (Wiknjosastro, 2007).

Preeklamsia adalah apabila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg pada usia

kehamilan lebih dari 20 minggu disertai dengan proteinuria lebih dari

300mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick lebih dari 1+. Preeklamsia ringan

yang ditemukan pada kehamilan lebih dari 34 minggu biasanya tidak

bermasalah dan prognosenya baik, sebaliknya preeklamsia berat yang

ditemukan pada kehamilan kurang dari 34 minggu akan meningkatkan


9
10

morbiditas dan mortalitas ibu, apabila dijumpai penyakit penyerta lainnya

(Roeshadi, 2007).

2. Etiologi Preeklamsia Berat (PEB)

Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak

teori-teori dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya,

namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang

sekarang ini dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia

plasenta”. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang

berkaitan dengan penyakit ini. Rupanya tidak hanya satu faktor yang

menyebabkan preeklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang

ditemukan sering kali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat

(Winkjosastro, 2007).

3. Tanda dan Gejala Preeklampsia Berat (PEB)

Biasanya tanda-tanda preeklamsia berat timbul dalam urutan: pertambahan

berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya

proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif.

Pada preeklamsia berat, gejala-gejalanya adalah tekanan darah sistolik  160

mmHg, tekanan darah diastolik  110 mmHg, peningkatan kadar enzim hati/

ikterus, trombosit < 100.000/mm³, oliguria < 400 ml/24 jam, proteinuria > 3

g/liter, nyeri epigastrium, skotoma dan gangguan virus lain atau nyeri frontal

yang berat, perdarahan retina, oedema pulmonum, koma (Winkjosastro,2007).


11

4. Faktor-Faktor Preeklamsia Berat (PEB)

Ada beberapa faktor predisposisi dan faktor risiko yang mugkin berperan

terjadinya preeklamsia berat diantaranya :

a. Faktor Predisposisi

Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklamsia berat bila

mempunyai faktor-faktor predisposisi sebagai berikut:

1) Nulipara

2) Kehamilan ganda

3) Usia < 20 atau > 35 th

4) Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya

5) Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia

6) penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada

sebelum kehamilan

7) Obesitas.

b. Faktor Risiko yang Mungkin Berperan

Melalui pendekatan safe motherhood terdapat peran determinan yang dapat

mempengaruhi terjadinya komplikasi kehamilan seperti preeklamsia berat

yang menjadi faktor utama yang menyebabkan angka kematian ibu tinggi

disamping perdarahan dan infeksi persalinan. Determinan tersebut dapat

dilihat melalui determinan proksi/dekat (proximate determinants),

determinan antara (intermediate determinants), dan determinan

kontekstual (Contextual determinants).


12

1) Determinan proksi/dekat

Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi

preeklampsia berat, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki

risiko tersebut.

2) Determinan intermediate

Yang berperan dalam determinan intermediat antara lain:

a) Faktor usia

Usia 20 – 30 tahun adalah periode paling aman untuk hamil atau

melahirkan, akan tetapi di negara berkembang sekitar 10% - 20%

bayi dilahirkan dari ibu remaja yang sedikit lebih besar dari anak-

anak. Padahal dari suatu penelitian ditemukan bahwa dua tahun

setelah menstruasi yang pertama, seorang wanita masih mungkin

mencapai pertumbuhan panggul antara 2–7 % dan tinggi badan 1%.

Dampak dari usia yang kurang wanita usia 15 tahun mempunyai

angka kematian ibu 7 kali lebih besar dari wanita berusia 20–24

tahun.

Faktor usia berpengaruh terhadap terjadinya preeklamsia berat. Usia

wanita remaja pada kehamilan pertama atau nulipara umur belasan

tahun (usia muda kurang dari 20 thn), cenderung terlihat insiden

preeklampsia cukup tinggi di usia belasan tahun, yang menjadi

problem adalah mereka tidak mau melakukan pemeriksaan

antenatal. Hubungan peningkatan usia terhadap preeklamsia adalah

sama dan meningkat lagi pada wanita hamil yang berusia diatas 35
13

tahun karena ditemukan 2/3 kematian maternal terjadi pada usia di

atas 30 tahun atau lebih Sudhaberata (2007).

b) Hipertensi

Karena kehamilan paling sering mengenai wanita nulipara. Wanita

yang lebih tua, yang dengan bertambahnya usia akan menunjukkan

peningkatan insiden hipertensi kronis, menghadapi risiko yang

lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan atau

superimposed pre-eclampsia. Jadi wanita yang berada pada awal

atau akhir usia reproduksi, dahulu dianggap rentan. Insiden

hipertensi kerena kehamilan meningkat tiga kali lipat ( 9,6 lawan

2,7% ) dibandingkan dengan wanita kontrol yang berusia 0-30

tahun. Beberapa penelitian dan melaporkan peningkatan insiden

preeklamsia berat sebesar 2-3 kali lipat pada nulipara yang berusia

di atas 40 tahun bila dibandingkan dengan yang berusia 25 – 29

tahun.

c) Paritas

Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada

kehamilan, 3–8 persen pasien terutama pada primigravida, pada

kehamilan trimester kedua. Catatan statistik menunjukkan dari

seluruh insiden dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua

kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan oleh primigravida.

Faktor yang mempengaruhi preeklamsia berat frekuensi

primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,


14

terutama primigravida muda. Persalinan yang berulang-ulang akan

mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti bahwa

persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman.

Pada The New England Journal of Medicine (2005) tercatat bahwa

pada kehamilan pertama risiko terjadi preeklampsia 3,9%,

kehamilan kedua 1,7% , dan kehamilan ketiga 1,8%.

d) Kehamilan ganda

Preeklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari

105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu

kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal,

dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari

penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan

bahwa (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin

lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus

mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

e) Faktor genetika

Terdapat bukti bahwa preeklamsia berat merupakan penyakit yang

diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita

dari ibu penderita preeklamsia berat atau mempunyai riwayat pre-

eklampsia dalam keluarga. Faktor ras dan genetik merupakan unsur

yang penting karena mendukung insiden hipertensi kronis yang

mendasari, 18% wanita kulit putih, 20% wanita Hispanik serta

22% wanita kulit hitam menderita hipertensi yang memperberat

kehamilan (Cuningham dan Leveno, 2005).


15

Insiden hipertensi dalam kehamilan untuk multipara adalah 6,2%

pada kulit putih, 6,6% pada Hispanik, dan 5% pada kulit hitam,

yang menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih sering terkena

penyakit hipertensi yang mendasari. Separuh lebih dari multipara

dengan hipertensi juga mendrita proteinuria dan karena menderita

superimposed preeclampsia. Kecenderungan untuk preekalmpsia

akan diwariskan.

f) Riwayat preeklamsia

Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan (2005)

menyebutkan bahwa terdapat (50,9%) kasus preeklamsia berat

mempunyai riwayat preeklamsia sebelumnya pada kehamilan yang

lalu.

g) Riwayat penderita diabetus militus

Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu lebih dari 140 mg dapat

beresiko mengalami preeklamsia berat.

h) Status gizi

Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah

juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah

darah yang berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka

makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah yang

terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi

pemompaan jantung. Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya

preeklamsia berat.
16

i) Stres / Cemas

Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya

dengan kejadian preeklamsia, namun pada teori stres yang terjadi

dalam waktu panjang dapat mengakibatkan gangguan seperti

tekanan darah. Manifestasi fisiologi dari stres diantaranya

meningkatnya tekanan darah berhubungan dengan kontriksi

pembuluh darah reservoar seperti kulit, ginjal dan organ lain,

sekresi urin meningkat sebagai efek dari norepinefrin, retensi air

dan garam meningkat akibat produksi mineralokortikoid sebagai

akibat meningkatnya volume darah dan curah jantung meningkat.

j) Kepatuhan Antenatal Care (ANC)

Preeklapmsia Berat merupakan komplikasi kehamilan

berkelanjutan, oleh karena itu melalui antenatal care yang

bertujuan untuk mencegah perkembangan preeklampsia, atau

setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat

mengurangi kejadian kesakitan. Pada tingkat permulaan

preeklampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat dirasakan

oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat dibuat dengan

antepartum care. Jika calon ibu melakukan kunjungan setiap

minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu terakhir

kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes proteinuri,

mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda udema.

Setelah diketahui diagnosa dini perlu segera dilakukan penanganan

untuk mencegah masuk kedalam eklampsia.


17

Disamping faktor-faktor yang sudah diakui, jelek tidaknya kondisi

ditentukan juga oleh baik tidaknya antenatal care. Dari 70% pasien

primigrafida yang menderita preeklamsia, 90% nya mereka tidak

melaksanakan atenatal care.

Berdasarkan jurnal yang didapat bahwa hasil penelitian yang

dilakukan oleh Salim (2005) di RSIA Fatimah menyebutkan bahwa

ibu yang pemeriksaan ANC tidak lengkap berisiko 3,615 kali

mengalami preeklamsia, dan penelitian yang dilakukan oleh

Rozikhan (2007) di Rumah Sakit Kendal menyebutkan kepatuhan

melakukan pemeriksaan ANC kurang atau sama dengan 3 kali

berisiko 1,50 kali menyebabkan preeklampsia. Oleh sebab itu

diperlukannya kepatuhan dalam ANC yang dilakukan oleh ibu.

5. Pencegahan Preeklamsia Berat (PEB)

a. Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan

b. Istirahat tidak selalu berarti berbaring ditempat tidur, namun pekerjaan

sehari-hari perlu dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan

berbaring. Diet tinggi protein, dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan

penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan.

c. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia berat dan

mengobatinya segera apabila di temukan.


18

d. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke

atas apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia berat tidak juga

dapat di hilangkan.

e. Penilaian kondisi janin dalam rahim. Pemantauan tinggi fundus uteri,

pemeriksaan gerak janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan

air ketuban.

f. Dalam keadaan yang meragukan, maka merujuk penderita merupakan

sikap yang paling tepat dilakukan.

6. Penanganan Preeklamsia Berat (PEB)

Penanganan preeklamsia berat berujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi

eklampsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan

optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal. Semua kasus

preeklampsia berat harus ditangani secara aktif.

Di bawah ini adalah penanganan awal yang dapat diberikan kepada pasien

dengan preeklampsia berat menurut Saifuddin (2009) :

a. Penanganan Umum

1) Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, berikan obat

antihipertensi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan

diastolik diantara 90-100 mmHg dan mencegah perdarahan serebral.

Berikan hidralazin 5 mg IV, pelan-pelan setiap 5 menit sampai tekanan

darah turun atau berikan hidralizin 12,5 mg IM setiap 2 jam. Jika tidak

tersedia, berikan: a. labetolol 10 mg IV, jika tekanan diastolik tetap


19

>110 mmHg, berikan labetolol 20 mg IV, naikkan dosis sampai 40

dan 80 mg jika tekanan diastolik tetap >110 mmHg sesudah 10 menit.

b. nifedipin 5 mg sublingual, jika tidak baik setelah 10 menit, beri

tambahan 5 mg sublingual. c. metildopa 3 x 250 – 500 mg/hari.

2) Pasang infus dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar).

3) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan.

Kateterisasi urine untuk memantau pengelaran urine dan proteinuria.

4) Jika jumlah urine < 30 ml/jam : a. Hentikan magnesium sulfat

(MgSO4) dan berikan cairan IV (NaCl 0,9 % atau RingerLaktat) pada

kecepatan 1 liter per 8 jam. b. Pantau kemungkinan edema paru.

5) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap

jam.

6) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.

7) Hentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretik, misalnya

furosemid 40 mg IV, sekali saja jika ada edema paru.

8) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana (bedside

clotting test). Jika ada pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit,

kemungkinan terdapat koagulopati.

9) Pada penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda-tanda

preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk

mencegah timbulnya kejang-kejang. Apabila sesudah 12-24 jam

bahaya akut dapat diatasi dapat difikirkan cara terbaik untuk

menghentikan kehamilan. Tindakan ini perlu utuk seterusnya bahaya

eklampsia.
20

Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang-kejang dapat

diberikan: a. Larutan sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4gram),

disuntikkan intarmuskulus bokong kiri dan kanan sebagai dosis

permulaan dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan.

Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik,

refleks patella positif, dan kecepatan pernafasan lebih dari 16 er menit.

obat tersebut, selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan

meningkatkan diuresis; b. Klorpomazin 50 mg intramuskulus; c.

Diazepam20 mg, intramuskulus.

10) Kadang–kadang keadaan penderita dengan pengobatan tersebut

menjadi lebih baik. Akan tetapi umumnya pada preeklampsia berat

sesudah bahaya akut berakhir sebaiknya pertimbangkan menghentikan

kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan bahwa janin

hidup terus tidak besar dan adanya janin dalam uterus menghambat

sembuhnya penderita dari penyakitnya.

B. Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau

petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet,

latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Stanley,

2007).
21

Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak

mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Green dalam

Notoatmodjo, 2005).

Kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total compliance)

dimana pada kondisi ini ibu hamil harus patuh secara sungguh-sungguh

terhadap antenatal care, dan ibu hamil yang tidak patuh (non compliance)

dimana pada keadaan ini ibu hamil tidak melakukan antenatal care.

2. Faktor – Faktor yang Mendukung Kepatuhan

Menurut Feuer Stein ada beberapa faktor yang mendukung sikap patuh

diantaranya : (Faktul, 2009).

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan

kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan

penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan

mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohani (cipta, rasa,

karsa) dan jasmani.

Domain pendidikan dapat diukur dari (Notoatmodjo, 2005) :

1) Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).

2) Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan

(attitude).

3) Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang

diberikan.
22

b. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang

dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus dilibatkan

secara aktif dalam program pengobatan.

c. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat

penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami

kepatuhan terhadap program pengobatan.

d. Perubahan Model Terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat

aktif dalam pembuatan program tersebut.

e. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien

Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah

memperoleh informasi diagnosa. Carpenito (2005) berpendapat bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu

yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi

mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak

patuh.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :

1) Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika dirinya salah paham tentang

instruksi yang diberikan padanya. Pasien saat diwawancarai setelah

bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan

kepada mereka. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan


23

profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap,

penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi

yang harus diingat oleh penderita. Kesalahan pemahaman ini juga dapat

terjadi pada ibu hamil.

2) Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang

bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang

diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu. (Suparyanto,

2010) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses

perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur–umur

tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat

ketika berusia belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan

faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang

akan mengalami puncaknya pada umur–umur tertentu dan akan

menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring

dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat

pendidikan yang rendah. Lanjut usia sebagai kelompok usia yang telah

lanjut mengalami kemunduran daya ingat, sehingga terkadang tidak

dapat mencerna kepatuhan untuk melakukan antenatal care

3) Kesakitan dan pengobatan.

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak

ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran

mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks,


24

pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas sering

terabaikan.

4) Keyakinan, sikap dan kepribadian.

Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal berbeda.

Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas,

sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih

lemah dan memiliki kehidupan sosial yang lebih, memusatkan

perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai

dengan kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya. Variabel-

variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak

patuhan. Bagi lanjut usia yang tinggal di daerah sepanjang Pantura

mungkin makanan yang terasa asin akan lebih nikmat karena kebiasaan

yang sudah dialami sebelumnya.

5) Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi

segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya seseorang yang sudah

pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain

yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan

perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah

akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik

tidak terjadi ketidakpatuhan.


25

C. Antenatal Care (ANC)

1. Pengertian Antenatal Care (ANC)

Pelayanan Antenatal care merupakan langkah identifikasi medis dan psikologis

yang mungkin dapat mempengaruhi kesehatan maternal dan perinatal serta

mengurangi adanya komplikasi tak terdeteksi yang dapat menyebabkan

konsekuensi serius bagi ibu dan bayi (Potter dkk, 2009).

Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau

dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan

pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan Antenatal Care (ANC),

petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui

anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan

intrauterine serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifudin, 2009).

Intervensi esensial dalam ANC adalah identifikasi dan manajemen komplikasi

obstetrik seperti preeklampsia, imunisasi tetanus toksoid, penanganan

pencegahan intermitten untuk malaria, manajemen infeksi HIV, sipilis dan

penyakit menular seksual lainnya (Lincetto dkk, 2006).

ANC juga merupakan wadah edukasi bagi ibu hamil dan keluarga mengenai

pentingnya asupan makanan yang adekuat, mengurangi pekerjaan yang

berat, serta dukungan emosional yang adekuat dari keluarga untuk ibu hamil

(Fischer, 2012).
26

2. Tujuan Antenatal Care (ANC)

Menurut Indriyani (2013), tujuan dilakukannya antenatal care adalah sebagai

berikut :

a. Membantu kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan

tumbuh kembang bayi.

b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, sosial, dan

bayi.

c. Menganalisis secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama kehamilan termasuk riwayat penyakit secara

umum, yaitu pembedahan dan kebidanan.

d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat baik ibu

maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.

e. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI

ekslusif.

f. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi

agar tumbuh dan berkembang secara normal.

3. Frekuensi Kunjungan Antenatal Care (ANC)

WHO merekomendasikan jumlah kunjungan Antenatal care bagi ibu hamil

dengan tanpa komplikasi di negara berkembang, yakni minimal sebanyak

empat kali kunjungan (Tran dkk. 2012). Sebagaimana yang dipaparkan

dalam “WHO Clinical Guidelines : The Four-Visit ANC Model”, bahwa ibu

hamil disarankan melakukan kunjungan pertama kali yakni pada usia

kehamilan 8- 12 minggu, kunjungan kedua pada usia kehamilan 24–26


27

minggu, kunjungan ketiga di usia kehamilan 32 minggu, dan kunjungan

keempat di usia kehamilan 36–38 minggu (Lincetto dkk, 2006).

Tujuan dari kunjungan ANC di setiap trimester kehamilan, yaitu karena di

setiap trimester kehamilan memiliki kegiatan fokus pemeriksaan tersendiri

sesuai dengan perkembangan ibu dan janin, misalnya pada kunjungan pertama,

yakni usia kehamilan 8–12 minggu, fokus kegiatan ANC yakni

mengkonfirmasi kehamilan, mendeteksi kebutuhan jumlah kunjungan

(apakah hanya empat kali atau lebih), menentukan / skrining apakah ibu

membutuhkan pencegahan komplikasi tertentu (Lincetto dkk, 2006).

Departemen Kesehatan RI (2007) dalam bukunya “Pedoman Pelayanan

Antenatal”, mencantumkan jumlah frekuensi kunjungan yang harus dilakukan

oleh ibu hamil yakni paling sedikit 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan

ketentuan waktu sebagai berikut :

a. Kunjungan Ibu Hamil yang Pertama (K1)

Kunjungan K1 adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan petugas

kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan

kesehatan trimester I, dimana usia kehamilan 1 sampai 12 minggu

b. Kunjungan Ibu Hamil yang Keempat (K4)

Kunjungan K4 adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih dengan

petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan

pelayanan kesehatan pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunjungan antenatal

sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama masa kehamilan

dengan distribusi kontak sebagai berikut :


28

1) Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.

2) Minimal 1 kali pada trimester II, usia kehamilan 13-24 minggu

3) Minimal 2 kali pada trimester III, (K3-K4), usia kehamilan > 24

minggu.

4. Pelaksana Pelayanan Antenatal Care (ANC)

Pelaksana pelayanan antenatal adalah dokter, bidan (bidan puskesmas, bidan di

desa, bidan di praktek swasta), pembantu bidan, perawat yang sudah dilatih

dalam pemeriksaan kehamilan (Depkes RI, 2007)

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Melakukan Antenatal

Care (ANC)

Menurut Mahfuzar Rahman (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi kunjungan ANC, diantaranya:

a. Usia Ibu

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan

berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada

orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai

akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa

seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan

antenatal care (Notoatmodjo, 2007).


29

b. Tingkat pendidikan ibu

Faktor pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan dan informasi yang

dimilikinya. Rendahnya pendidikan ibu hamil serta informasi yang

didapat ibu hamil menyebabkan kurangnya pengetahuan ibu hamil terhadap

pentingnya Antenatal Care (ANC) secara teratur, sedangkan pada

pendidikan yang tinggi mencerminkan pengetahuan yang dimiliki semakin

baik dan mempengaruhi seseorang dalam menerapkannya terhadap

pelaksanaan Antenatal Care (ANC). Tura (2007) mengungkapkan ibu

hamil dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah

menerima informasi yang diberikan kepadanya serta memiliki

pengetahuan yang lebih baik daripada ibu dengan tingkat pendidikan

rendah.

c. Paritas

Menurut Wiknjosastro (2007), paritas 2-3 merupakan paritas paling aman

ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih

dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Makin tinggi

paritas ibu maka makin kurang baik endometriumnya. Hal ini diakibatkan

oleh vaskularisasi yang berkurang ataupun perubahan atrofi pada desidua

akibat persalinan yang lampau sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

plasenta previa. Ibu yang pernah melahirkan mempunyai pengalaman

tentang Antenatal Care (ANC), sehingga dari pengalaman yang terdahulu

kembali dilakukan untuk menjaga kesehatan kehamilannya (Depkes RI,

2008). Pada kehamilan pertama atau Primipara umumnya ibu hamil lebih

memperhatikan kondisi kehamilannya, karena pada saat ini ibu hamil akan
30

beradaptasi atas perubahan fisik dengan peningkatan BB dan adaptasi

psikologis yang akan terjadi yaitu penerimaan menjadi seorang ibu. Mereka

cenderung menjaga kesehatan dan melakukan pemeriksaan kehamilan

untuk mengetahui kondisi kehamilannya.

d. Pekerjaan

Mayoritas ibu hamil tidak bekerja atau ibu rumah tangga menurut

Kassyou (2008) mengungkapkan salah satu faktor yang mempengaruhi

ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan adalah terlalu sibuk

dengan pekerjaannya. Ibu hamil yang tidak bekerja memiliki waktu

yang lebih banyak untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari dan pergi ke

pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya. Pada ibu hamil

yang bekerja, pekerjaan mereka memberikan kesibukan tambahan

sehingga ibu hamil kadang tidak sempat memeriksakan kehamilannya.

Walaupun demikian, lingkungan tempat mereka bekerja dapat

memberikan akses yang lebih baik terhadap berbagai informasi

mengenai kesehatan khususnya pemeriksaan kehamilan. Hal ini sesuai

dengan penelitian Pasaribu (2005) yang menyatakan bahwa ibu hamil

yang bekerja tidak hanya mempunyai sumber penghasilan untuk

melakukan pemeriksaan kehamilan tetapi juga dalam pekerjaannya

dapat berinteraksi dengan orang lain yang memiliki pengetahuan

tentang pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga ibu yang

bekerja mendapatkan pengetahuan yang lebih dan memiliki motivasi untuk

memeriksakan kehamilannya.
31

e. Adat Istiadat

Adanya faktor budaya yang penting untuk dipertimbangkan, seperti gaya

hidup serta kepercayaan yang dianut individu (Leifer, 2008). keluarga

mempunyai adat istiadat dan tata nilai masing-masing menjadi faktor

penting yang mempengaruhi ibu hamil dalam melakukan antenatal care.

Salah satunya sering kali penggunaan obat-obat tradisional yang digunakan

untuk menggantikan terapi yang diberikan oleh tim medis.


32

Skema 2.1

Kerangka Teori

Sumber : Notoatmodjo (2010), Wiknjosastro (2007), Depkes RI (2007)

Kehamilan

Tanda dan Gejala Nutrisi

Perubahan Hormonal Perubahan Anatomi

Perubahan Psikologi Perubahan Fisiologi

Rancangan genetik normal Rancangan genetik abnormal, Hamil ganda


Asupan nutrisi cukup, Hamil Tunggal, Asupan nutrisi kurang, Perokok aktif/pasif
Tidak ada penyakit menyertai Ada penyakit menyertai, Masa kehamilan abnormal
Masa Kehamilan normal

Tidak Terjadi PEB


Perubahan kondisi
Terjadi PEB Kesehatan Ibu

TD: ≤160/110 TD : ≥ 160/110


mmHg ANC mmHg

Faktor yang
mempengaruhi:
Frekuensi ANC pada Usia, Frekuensi ANC
TM I, II, dan III pada TM I, II, dan
Pendidikan,
sebanyak ≥ 4x dan III sebanyak < 4x
teratur Suku, dan tidak teratur
Pasritas,
Pekerjaan,

Keteraturan Frekuensi Keteraturan Frekuensi

TM I ≥ 1x TM I tidak ANC
Teratur Tidak
teratur
TM II ≥ 1x TM II tidak ANC

TM III ≥ 2x TM III < 2x


33

Anda mungkin juga menyukai