Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus Terkait dengan Faktor Risiko


Penyakit pembuluh darah arteri koroner adalah gangguan fungsi sistem
kardiovaskuler yang disebabkan karena otot jantung kekurangan darah akibat adanya
oklusi pembuluh darah arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung.
Penyempitan lumen arteri terjadi karena adanya penumpukkan lemak, kalsifikasi lemak,
dan proliferasi sel-sel otot polos. Dengan adanya sumbatan tersebut aliran darah ke
sirkulasi koroner ke miokard menjadi terhambat, sehingga akan timbul keluhan angina
yang tipikal dengan ST elevasi atau tanpa ST elevasi yang diklasifikasikan sebagai
ACS.
Secara umum, faktor risiko yang terkait dengan ACS sering dipisahkan menjadi 2
kategori yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi jenis kelamin, usia, ras/etnis, dan
genetika. Sebaliknya, faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi,
dislipidemia, diabetes, gaya hidup, obesitas, diet, stres, dan merokok. Tn. S memiliki
faktor resiko seperti genetika, riwayat merokok, dan gemar makan-makanan berminyak
dan bersantan.
Riwayat orang tua atau dari beberapa generasi sebelumnya yang menderita
penyakit jantung koroner akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis
pada orang tersebut. Tidak hanya faktor keturunan saja yang dapat menyebabkan
ateroseklerosis tetapi juga familal lipid mempunyai andil dalam meningkatkan penyakit
aterosklerosis tersebut. Tn. S mempunyai faktor riwayat keluarga dengan ACS, ayah Tn.
S telah meninggal dunia di usia 56 tahun akibat penyakit jantung korener.
Tn. S mengatakan bahwa dirinya adalah perokok berat, sudah merokok sejak masih
SMA dan dalam 1 hari bisa menghabiskan 2-3 bungkus rokok. Merokok dapat
menaikkan kadar karbon dioksida dalam darah, kemampuan mengikat oksigen menjadi
menurun dan jumlah oksigen yang rendah dapat mengganggu kemampuan jantung
untuk memompa, dan nikotin yang terkandung dalam rokok menstimulasi
diproduksinya katekolamin yang akan meningkatkan frekuensi heart rate dan blood
pressure. Merokok akan mengganggu respon vaskuler sehingga meningkatkan adhesi
dari platelet, yang akan meningkatkan risiko terjadinya trombus. Trombus yang
menempel pada dinding pembuluh darah akan berdampak pada gangguan aliran darah
karena trombus dan berpotensi untuk lepas yang selanjutnya akan berjalan didalam
aliran darah sehingga terjadilah penutupan pembuluh darah.
Dislipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan
protein seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya kadar HDL menurun. Dislipidemia
tidak lepas dari keterpajanan terhadap asupan lemak sehari-hari terutama asupan lemak
jenuh dan kolesterol, yang dapat meningkatkan insidens penyakit jantung koroner. Tn. S
mengatakan, dirinya sering makan makanan bersantan dan berminyak.

4.2 Analisis Kasus Terkait dengan Klasifikasi Kategori ACS


Kategori ACS dengan STEMI ditandai dengan adanya angina tipikal dan perubahan
EKG dengan gambaran elevasi yang didiagnosa untuk infark miokard akut. Infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan bagian dari spektrum ACS
yang menggambarkan cedera miokard akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus.
Bila tidak dilakukan reperfusi segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang
berhubungan linear dengan waktu.
Presentasi klinis STEMI yang dialami Tn. S diawali dengan timbul nyeri dada
prekoridal, dengan gambaran sensasi seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke lengan kiri,
leher dan tembus ke punggung, durasi nyeri lebih dari 20 menit, lengan kiri terasa
kesemutan dan kebas. Nyeri dada yang dialami cukup hebat, sehingga terjadi aktivitas
simpatis mual dan muntah.
Monitoring EKG pada pasien suspect STEMI perlu sesegera mungkin untuk
mendeteksi aritmia yang mengancam jiwa. Diagnosis STEMI harus sesegera mungkin,
selambat-lambatnya 10 menit dari kontak medis pertama. EKG pada pasien STEMI
merupakan EKG yang berevolusi berawal dari suatu cidera dengan gambaran EKG pada
jam pertama hiperakut T, diikuti dengan elevasi segmen ST. Kemudian dalam 2-8 jam,
ST elevasi akan semakin tinggi disertai dengan inversi gelombang T dan terbentuknya
gelombang Q bersamaan dengan penurunan amplituda QRS. Ditemukannya evolusi
EKG seperti di atas merupakan diagnostik EKG untuk STEMI. Pada kasus Tn. S
ditemui gambaran EKG : ST Elevasi di Lead II,III,aVF dan ST Depresi di I, aVL pada
saat dilakukan perekaman EKG di RSUD Cilincing sekitar 1,5 jam setelah serangan
pertama.
Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal yang
sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah
awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya dengan rentang waktu
door to ballon < 90 menit. Tn. S dengan STEMI Inferior onset 8 jam dilakukan
tindakan PCI di RCA : Dilakukan rekanulasi dengan GC JR 3.5/6F. Dilakukan wiring
dengan NS Floopy Runthrough berhasil menembus lesi lalu ditempatkan di distal PDA.
Dilakukan implantasi dengan DES Xience Expedition 2,75 x 23 mm di proksimal PDA
dengan tekanan maksimal 14 atm selama 10 detik. Dilakukan post dilatasi dengan
ballon exstent dengan tekanan 14 atm selama 10 detik. Angiografi evaluasi
menunjukkan TIMI 3 flow, diseksi (-), residual trombus (-), perforasi (-). Tindakan
selesai. Tekanan darah 114/63 mmHg, HR 72 bpm. SpO2 100%. Kesimpulan : Post
PPCI 1 DES RCA pada CAD2VD dengan hasil baik.

4.3 Analisis Diagnosa Keperawatan


4.3.1 Risiko penurunan perfusi miocard tidak efektif
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan adalah risiko penurunan perfusi miocard
tidak efektif berhubungan dengan spasme arteri koroner. Implementasi yang dilakukan
yaitu manajemen perawatan jantung seperti: mengidentifikasi gejala penurunan curah
jantung, memonitor tekanan darah, mengobservasi keluhan nyeri dada, memonitor
nilai laboratorium, mengatur posisi semi fowler atau fowler dengan kaki kebawah atau
posisi nyaman, memfasilitasi pasien untuk modifikasi gaya hidup sehat terutama
berhenti merokok dan rajin berolahraga, makan makanan sehat dan bergizi tinggi, serta
tindakan kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan.
4.3.2 Intoleransi aktivitas
Diagnosa kedua pada kasus ini adalah Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Implementasi
yang dilakukan yaitu manajeman energi dan dukungan perawatan diri, seperti
mengidentitfikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan,
mengobservasi kelelahan fisik dan emosional, memonitor pola dan jam tidur,
mengidentifikasi lokasi dan ketidaknyamanan saat melakukan aktivitas,
menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus, menganjurkan
melakukan aktivitas secara bertahap, menganjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang, membantu dalam melakukan
perawatan diri, mandi, mengenakan pakaian, mengatur posisi nyaman untuk
makan/minum, menganjurkan untuk membatasi waktu tidur siang, agar malam
hari dapat tidur.

4.3.3 Ansietas
Diagnosa ketiga pada kasus ini adalah ansietas berhubungan dengan krisis
situasional. Implementasi yang dilakukan adalah reduksi ansietas, tindakan yang
dilakukan diantaranya mengidentifikasi ansietas, mengidentifikasi kemampuan
mengambil keputusan, mengobservasi tanda ansietas fisik dan non verbal,
menciptakan hubungan saling percaya, mendengarkan dengan penuh perhatian,
mendiskusikan rencana pengobatan pasien, menginformasikan secara jelas program
pengobatan dan prognosi seta mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

Anda mungkin juga menyukai