Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Dan Sejarah 

Hermeneutika

https://lathevha.wordpress.com/2017/09/20/pengertian-dan-sejarah-hermeneutika/

Posted on September 20, 2017 by lathevha Standar


A. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama
hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan,
memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari
nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi
pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi
makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”. Sedangkan pengertian hermeneutik
secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan
teks.
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang
punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai
sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks
keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan
untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni
maupun tradisi masyarakat.

B. Sejarah Hermeneutika
Jika asal kata hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata Hermes,
seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan
(message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah
seorang utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama
Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang
dibebani dengan misi tertentu.
Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed
Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang
disebut dalam al-Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi
tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren,
Nabi Idris adalah orang yang ahli di bidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di
lingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir dikenal dengan
Nabi Musa. Intinya, persoalan krusial yang harus diselesaikan oleh Hermes adalah bagaimana
menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh manusia
yang “berbahasa bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul, yaitu
merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia. Dengan demikian
kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni
menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus
menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai makna rasional dan dapat diuji sebagai sebuah seni,
ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang sesuatu penafsiran.
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar
logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan
rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep ini terbawa pada tradisi
beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan
sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional.
Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan
konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat
Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan
ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan(rennaisance), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M,
kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali
dengan upaya para ahli filologi klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad
pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis
eksegesis, direduksi menjadi literal dan gramatikal eksegesis. Pemahaman ini diawali oleh seorang
ahli filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friedrich August Wolf
dan Friedrich Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan
interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh
lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika
sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di
ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk
melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses
hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap
generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis
akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat
obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir sebagai
paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan
bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi
manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon positif dari Hans-Georg Gadamer yang
kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama
sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur
memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi
teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad
pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan
oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana
umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas
yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.
Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang
tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga bentuk atau model
hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh
klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio
Betti (1890-1968). Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern
khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930). Dan satu lagi yakni
hermeneutika campuran, sebagaimana yang disampaikan Wardatun Nazilah dalam pembukaan
kuliah hermeneutikanya.
https://www.psychologymania.com/2019/02/tokoh-tokoh-hermeneutik.html

Sebagai sebuah aliran, khususnya dalam penelitian kualitatif, ada beberapa tokoh yang terkenal
dalam aliran hermeneutic. Tokoh-tokoh ini berbicara mengenai sistematika dalam epistemology dan
metodologi penelitian hermeneutika.

D. E. Scehleiermacher (1768 – 1834)

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dilahirkan di Breslau di Silesia, sebagai anak seorang pendeta
tentara dari Gereja Reformasi di Prusia. Ia belajar di sebuah sekolah Moravia di Niesky di Lusatia
Hulu, dan di Barby dekat Halle. Scehleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang
seni dan interpretasi, yaitu rekontruksi historis, obyektif dan subyektif terhadap sebuah pernyataan.
Dengan rekontruksi obyektif-historis terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekontruksi obyektif
historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai
keseluruhan. Dengan rekontruksi subyektif-historis ia membahas awal mulanya sebuah pernyataan
masuk dalam pikiran seseorang. Scehleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik
adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengalamannya sendiri dan memahami pengarang
teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada
memahami diri sendiri.

Schleiermacher dalam uraiannya banyak dipengaruhi oleh Freidrich Ast dan Freidrich August Wolf.
Menurut Ast tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta
sifatinya menurut jamannya. Ia membagi tugas itu dalam tiga bagian, sejarah, tata bahasa dan aspek
kerohaniannya (geistige). Korespondensi ketiga bagian tersebut merupakan tiga taraf penjelasan
yaitu:
F.A. Wolf mendefiniskan hermeneutik sebagai seni menemukan makna sebuah teks. Menurutnya ada
tiga jenis hermeneutik atau interpetrasi yaitu Interpretasi gramatikal, Interpretasi historis,
dan Interpretasi Retorik.

Perbedaan antara Ast dan Wolf adalah, Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik sebagai
studi persiapan filologi sementara Ast menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya lampiran
(appendiks) bagi filologi. Menurut Shleiermacher sendiri ada dua tugas hermeneutik yang identik satu
sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis.

Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui sesorang sangat menentukan keberhasilan


sebuah interpretasi. Karena dua hal tersebut sangat sulit mengingat, Schleiermacher mempunyai
sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi yaitu rekonstruksi hitoris, obyektif dan subyektif
terhadap sebuah pernyataan.

Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002)

Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg tahun 1900. Ia belajar filsafat di universitas di kotanya seperti
pada Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf Bultmann (teolog protestan). Karier filsafat
Gadamer mencapai puncak pada 1960, saat ia menjelang pensiun, melalui bukunya ‘Kebenaran dan
Metode’ (Wahrheit und Methode) – sebuah dukungan berarti bagi karya Heidegger ‘Sein und Zeit’
(Being and Time).
Gadamer boleh kita sebut sebagai hermeneut sejati. Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa
persoalan hermeneutik bukanlah persoalan tentang metode tidak mengajarkan tentang metode yang
digunakan untuk Geisteswissenschaften. Hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan
menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman
mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis atau techne tertentu, dan berusaha
kembali kesusunan tata bahasa, karena techne  atau kunstlehre (ilmu tentang seni) inilah maka
hermeneutik menjadi sebuah ‘filsafat praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang
segala hal yang universal yang mungkin untuk diajarkan Pemahaman pada dasarnya berkaitan
dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita
perbincangkan. Dan inilah yang dimaksudkan denagan ‘dinamika perpaduan berbagai macam factor’
dalam sebuah bahasa. Namun hermeneutik bukan merupakan kemampuan teknis.
Empat faktor yang terdapat di dalam interprestasi adalah:

Dari semuanya itu, konsep tentang pengalaman termasuk didalamnya. Sifat pengalaman adalah
personal dan individu, jadi hanya akan valid jika diyakinkan dan diulangi oleh individu lain.
Pengalaman yang benar hanyalah yang secara histories dimiliki oleh seseorang. Orang yang
berpengalaman mengetahui keterbatasan semua prediksi dan ketidak tentuan semua rencana.
Seorang yang berpengalaman perlu selalu bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, menjauhkan
diri dari hal-hal yang bersifat statis dan dogmatik, mencari fleksibilitas dan transparansi yang
memungkinkannya untuk menerima kebenaran yang berasal dari dunia eksternal dalam arah yang
memusat. Pengalaman mengajarkan kepada kita kemampuan mengenali realitas, termasuk juga
realitas tentang “engkau” atau ‘yang lain’ dalam teks atau peristiwa sejarah. Pengalaman yang datang
dan pergi antara “Aku dan Engkau” bersifat dialetik dan menurut semacam keterbukaan tanpa
prasangka atau keterbukaan yang tulus.

Jurgen Habermas (1929 – now)

Selain tekun dalam filsafat, Habermas yang lahir di Gummersbach 1929, juga menekuni bidang politik
dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang ‘persenjataan kembali’ (reamament) di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak
mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam tulisannya
‘Knowledge and Human Interest’.

Menurut Habermas, penjelasan ‘menuntut penerapan proporsi-proporsi teoritis terhadap fakta yang
terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis’ (Habermas, 1972:144). Sedangkan
pemahaman adalah ‘suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi
satu’.

Pendekatan hermeneutik mengandaikan adanya aturan – aturan linguistic transcendental pada


tindakan komunikatif, sebab akal pikiran atau penalaran sifatnya melebihi bahasa.

Pemahaman hermeneutic mempunyai tiga momentum, yaitu:


Jacques Derrida (1930 – 2004)

Jacques Derrida (lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 – meninggal di Paris, Prancis, 8 Oktober 2004
pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf kontemporer Prancis yang dianggap sebagai pengusung
tema dekonstruksi di dalam filsafat pascamodern.

Keseluruhan gagasan tentang hermeneutic cenderung berhubungan dengan pengertian tentang


‘yang merangkai’ dan ‘yang dirangkaikan’ menurut kerangka waktu pengarang teks tahu
pembacanya. Jadi dalam hal ini, interpreter harus dapat menerapkan pesan teks kedalam kerangka
waktunya sendiri. Istilah ‘kelayakan’ dipergunakan untuk menggambarkan cara pembaca dan kritik
menghayati pandangan dunia si pengarang. Kemudian istilah “permanan” dipergunakan oleh
Gademer untuk menunjukan bahwa hermeneutic hanyalah sekedar permainan di mana interpreter
adalah ahlinya.
Di dalam La Dissemimanation, Derrida membicarakan tentang “obat” buatan plato. Ia mengatakan
bahwa air, tinta, cat ataupun parfum adalah obat-obat yang meresap dalam bentuk bentuk cairan.
Barang – barang cair itu diminum, dihisap, masuk kedalam tubuh kita. Menurut Derrida, sebuah istilah
menggandakan dirinya melalui ‘pembelahan diri’, atau berkembang melalui ‘pencakokan diri’. Jadi
istilah bagaikan sebuah benih, dan bukan sebagai istilah yang bersifat mutlak. Sebagaimana sebuah
benih, istilah mempunyai keterbatasannya sendiri yang berasal dari dalam, bukan dari luar dirinya.
Atas dasar inilah Derrida menolak polisemi dan sebagai gantinya ia menganjurkan diseminasi atau
penguraian yang fatal.

Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar mengetahui
makna atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca
harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya.
Inilah yang dimaksudkan istilah ‘kelayakan’ atau ‘kepatuhan’. Namun, interprestasi tidak pernah dapat
terterlaksana jika dilakukan dalam rasio satu lawan satu antara interpreter dengan teks. Orang harus
menempatkan dirinya pada interprestasi subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan.

Dari pembahasan di atas itu, tampak bahwa Derrida tidak dapat disebut sebagai pemikir relatif-
empiris ataupun skeptis. Bahkan juga bukan anti kebenaran. Ia sendiri mengatakan bahwa kebenaran
itu sifatnya imperatif. Apakah seseorang menggunakan metode fenomenologis, strukturalis, ataupun
hermeneutik, ia pasti akan mencapai kebenaran. Jika kebenaran itu meragukan, pasti bukan karena
interprestasi yang lemah atau interpreternya lemah, melainkan karena keterbatasan bahasa, atau
karena keterbatasan dan ketidak sempurnaan manusia sendiri.

Wilhelm Dilthey (1833 – 1911)

Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset historisnya dalam bidang hermeneutik.
Ia berambisi menyusun dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman
yang memandang dunia sebagai wajah interior dan eksterior.

Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan intelektualnya, terutama pada
kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya
kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato.
Dithey seakan-akan ‘mematri’ sejarah dan filsafat menjadi satu maksud untuk mengembangkan suatu
pandangan filosofis yang komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak
‘diredupkan’ oleh prasangka.

Ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epitemologis baru bagi pertimbangan sejarah, gagasan
tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, interior (wajah
dalam) dan eksterior (wajah luar). Mirip dengan dualisme Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu
spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai bagian eksterior.

Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara
interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai
sama, bahkan dapat dikatakan dalam keadaan saling tergantung.

Kesulitan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah sejajar
dengan penelitian ilmiah.

Paul Ricoeur (1913 – 2005)

Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada tahun 1913 dan Dia menjadi yatim piatu
pada saat usia 2 tahun. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai
salah satu seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia memiliki perspektif
kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian
mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik.

Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap
interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah
interpretasi (Ricoeur, 1974).

Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-
simbol mulai dilibatkan. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang
masih terselubung.

Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan
misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum
diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983).

Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah ‘perjuangan
melawan distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat
interpretasi dengan baik.

Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit,
Riceour kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks
sebagai penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik
karena budaya oral dapat dipersempit.

Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural
kerja di dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk
memproyeksikan diri keluar.

Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985). Baginya manusia pada dasarnya
adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.

Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik
memberi kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang
menimbulkan problem. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk
memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan
metode dapat menimbulkan proses dialektis.

Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan teks, dan untuk siapa teksi tu dimaksudkan.

Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas
simbol-simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah
simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh
simbol serta penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar
filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya
bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie.

Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur:

Anda mungkin juga menyukai