Anda di halaman 1dari 110

(Studi Komperatif Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Dan Tafsir Al-

Misbah)

OLEH :
INDRA PRASETIA
NIM.160585

SKRIPSI

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri


Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
TAHUN 2021
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK

Indra Prasetia
NIM.16.0585

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DI DALAM AL-QUR’AN (Studi


Komperatif Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Misbah). Skripsi, Progam
Studi Ilmu AL-Quran dan Tafsir, STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau.
Kata Kunci : Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, Tafsir Al-
Misbah, Al-Qur’an.

Agama Islam merupakan agama yang membawa perdamaian dan kasih


sayang terhadap seluruh makhluk di dunia ini. Dalam ajaran Islam kita
diperintahkan untuk senantiasa berbuat kebaikan menyeru kepada hal yang Ma’ruf
dan mencegah kepada hal yang Munkar. Amar Ma’ruf Nahi Munkar seringkali
digunakan sebagai jargon dakwah Islam saat ini. Dari sinilah penulis hendak
menkaji mengenai Amar Ma’ruf nahi Munkar di dalam al-Qur’an. Dalam
penelitian ini penulis merujuk pada tafsir Fi-Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Misbah.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan
metode kepustakaan (library research). Selanjutnya dalam metode analisis data
penulis menggunakan metode komperatif (perbandingan).
Penulis menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut, pertama menurut
kedua tafsir yakni Tafsir Al-Misbah dan tafsir Fi Zhilalil-qur’an makna amar
ma’ruf nahi munkar adalah segala perintah terhadap manusia untuk saling
mengingatkan antar sesama individu dan komunitas untuk berbuat atau
melakukan kebaikan yang di pandang baik oleh syari’at dan norma masyarakat
dan mencegah atau melarang darinya melakukan perbuatan munkar namun,
Sayyid Quthb dalam penafsirannya lebih menekankan kepada pembentukan
kepemimpinan. Menurutnya harus ada segolongan atau kekuasaan yang menyeru
kepada kebaikan. Menurutnya dakwah secara individu tidak akan berhasil tanpa
kekuasaan.
Selanjutnya implementasi amar ma’ruf nahi munkar dalam kajian surat Ali
Imran ayat 104, 110 dan 114 memiliki persamaan dalam menafsirkan ayat ini
antara Tafsir Al-Misbah dan Tafsir fi Zhilalil-Qur’an yaitu membentuk sebuah
kelompok atau golongan yang bertugas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Namun pada penafsiran al-Misbah lebih menekankan kepada nilai kebaikan dan
manfaat dalam mengajak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan lebih
mengutamakan perbuatan baik itu dilaksanakan dari diri individu terlebih dahulu
sebab gagasan apabila dipaksakan maka tidak akan terlaksana. Sedangkan dalam
tafsir fi Zhilalil-Qur’an Sayyid Quthb dalam penafsirannya lebih mengutamakan
ukhuwah islamiyah dan menegakkan manhaj Allah dan cenderung kepada
membentuk kepemimpinan sebagai syarat dalam menerapkan amar ma’ruf nahi
munkar.

vi
PEDOMAN TRANSLITERISASI

Transliterasi berfungsi untuk memudahkan penulis dalam memindahkan

bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Pedoman transliterasi harus konsisten

dari awal penulisan sebuah karya ilmiah sampai akhir.

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam tesis ini disesuaikan dengan

penulisan transliterasi Arab-Latin mengacu kepada keputusan bersama Menteri

Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1987 Nomor: 158

tahun 1987 dan Nomor: 0543b/u1987, sebagai berikut:

1. Konsonan Tunggal :

ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

‫ث‬ Tsa ś Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim j Je

‫ح‬ Cha ḫ Ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha kh Ka dan ha

‫د‬ Dal d De

‫ذ‬ Dzal dh De dan ha

‫ر‬ Ra r Er

‫ز‬ Za z Zet

‫س‬ Sin s Es

vii
‫ش‬ Syin sy Es dan ye

‫ص‬ Shad ṣ Es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Dlat ḍ De (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Tha ṭ Te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Dha ẓ Zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘Ain ‘ Koma terbalik di atas

‫غ‬ Ghain gh Ge dan ha

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ك‬ Kaf K Ka

‫ل‬ Lam L El

‫م‬ Mim M Em

‫ن‬ Nun N En

‫و‬ Wawu W We

‫هـ‬ Ha H Ha

‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof

‫ي‬ Ya Y Ye

2. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin

dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:

a. Vokal rangkap ( َ‫ ) و أ‬dilambangkan dengan gabungan huruf aw, misalnya :

al-Yawm.

viii
b. Vokal rangkap ( َ‫ ) أ‬dilambangkan dengan gabungan huruf ay, misalnya :
‫ي‬

al-Bayt.

3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat

dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf

dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya ( ِ‫ = تحةْ ْلَفا ا‬al-

,) ( ‫ = ا ْلعُلُ ْوم‬al-‘ulūm ) dan ( ˚‫َمة‬ = qīmah ).


‫ ْي‬Fātihah

4. Syaddah atau tasydid yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydid,

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama

dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya ( ‫ = حد‬ḣaddun ), ( ‫= سد‬

saddun), ( ‫يب‬ = ṭayyib ).


‫ِ’ ط‬

5. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf alif-lam,

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “al”, terpisah

dari kata yang mengikuti dan diberi tanda hubung, misalnya ( ْ‫ = يت ْلبَ ا‬al-

Bayt

), ( ‫ =السمآء‬as-samā’ ).

6. Tā’ marbuṭah mati atau yang dibaca seperti ber-ḣarakat sukūn,

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,

sedangkan tā’ marbuṭah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya

‫ر ْؤ َيةُـ ا ْل‬ = ru’yah al-Hilāl atau ru’yatul hilāl).


( ‫ِهالل‬

7. Tanda apostrof (’) sebagai transliterasi huruf hamzah hanya berlaku untuk

yang terletak di tengah atau di akhir kata, misalnya ( َ‫ = يةُـ ْؤ ر‬ru’yah ), ( َ‫= هاء فَُق‬

fuqahā’)
ix
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Segala puji hanya milik Allah SWT Tuhan semesta alam Yang telah
menciptakan manusia serta telah memberikan nikmat ilmu yang tiada tara.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Amar Ma’ruf
Nahi Munkar Di Dalam Al-Qur’an (Studi Komperatif Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
dan Tafsir al-misbah)”. Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan
rahmatnya kepada nabi Muhammad saw, yang menjadi teladan bagi umat islam
yang merindukan keindahan surga.
Penulis sangat menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan, bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, dengan segala hormat dan rendah
hati saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan kehidupan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani maupun rohani.
2. Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi panutan bagi umat
Muslim.
3. Bapak Dr. Muhammad Faisal, M.Ag. Selaku Ketua Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau
(Kepri).
4. Bapak Fauzi S.Sos, MA selaku pembimbing 1 yang telah memberikan
masukan, bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini
5. Ibu Dian Rahmawati S.Th.I,MA selaku ketua Program Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir STAIN SAR sekaligus pembimbing 2 yang telah
memberikan masukan, bimbingan, dan saran dalam metode penulisan
skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta, yakni ayahanda Ahmad Yani dan ibunda Rosnita
hormat dan bakti penulis kepada beliau berdua yang tidak dapat penulis
ungkapkan yang senantiasa berdo’a dan mensuport sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada dosen yang tidak bisa disebukan namanya yang telah memberikan
pencerahan, materi diskusi dan sebuah pembelajaran penting yang
bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.
8. Siti Nur Anisa yang senantiasa memotivasi agar segera menyelesaikan
skripsi ini.
9. Adik-adik saya Muhammad Yuda dan M. Alif Rahman serta Keluarga
yang senantiasa mensuport untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat seperjuangan IAT

x
Penulis tidak dapat membalas apa yang telah mereka berikan, semoga
Allah SWT yang akan memberikan balasan serta mencatat sebagai amal sholeh
yang mendapat pahala di sisi-Nya. Disamping itu, penulis juga menyadari bahwa
apa yang penulis kerjakan tentu jauh dari kata sempurna, oleh karena itu besar
harapan penulis agar ada masukan-masukan sehingga penulis jadikan
pembelajaran nantinya. Semoga apa yang penulis kerjakan bisa bermanfaat bagi
penulis dan bagi masyarakat umum, Amin.

Bintan, 31 Agustus 2021


Penulis,

Indra Prasetia
NIM.160585

xi
MOTTO

‫ض ت ال َع ِز ْيـ َمة‬ ‫سر‬ ‫ص ْل‬ ‫صـ خ‬ ‫ال ـ م س ح‬


‫ر‬ ‫تَــحت‬ ‫َبةٌـ تَـتَـك‬ ‫رة‬ ‫ت ْي ل‬
‫َبا‬
“Mustahil adalah batu keras yang dapat hancur oleh
pukulan-pukulan tekad bulat”
MOTTO
xii
DAFTAR ISI

COVER
PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN.........................................................................ii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
PENGESAHAN..............................................................................................iii
NOTA DINAS PEMBIMBING 1..................................................................iv
NOTA DINAS PEMBIMBING 2...................................................................v
ABSTRAK......................................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERISASI..............................................................vii
KATA PENGANTAR.....................................................................................x
MOTTO.........................................................................................................xii
DAFTAR ISI................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................6
C. Batasan Masalah...............................................................................7
D. Rumusan Masalah.............................................................................7
E. Tujuan Penelitian..............................................................................8
F. Signifikansi Penelitian......................................................................8
G. Penelitian Terdahulu.........................................................................8
H. Kerangka Teori.................................................................................9
I. Metode Penelitian...........................................................................10
J. Sistematika Pembahasan.................................................................12

BAB II TEORISASI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR........................14


A. Artukulasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar..........................................14
B. Ayat-Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar..........................................18
C. Rukun-Rukun Amar Ma’ruf Nahi Munkar.....................................25

BAB III BIOGRAFI DAN PROFIL TAFSIR............................................28


A. Biografi Dan Profil Tafsir Sayyid Quthb.......................................28
B. Biografi Dan Profil Tafsir Muhammad Quraish Shihab................33
xiii
A. Hukum Dan Syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar............................40
DAFTAR ISI
B. Analisis Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada Surat Ali-Imran. .44
1. Penafsiran Surat Ali Imran Ayat 104......................................45
2. Penafsiran Surat Ali Imran Ayat 110......................................59
3. Penafsiran Surat Ali Imran Ayat 114......................................69
C. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar......................................73

BAB V PENUTUP.........................................................................................79
A. Kesimpulan.....................................................................................79
B. Saran...............................................................................................81

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................82
BIOGRAFI PENULIS..................................................................................84

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang membawa perdamaian dan kasih sayang

terhadap seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Islam mempunyai

tujuan mulia yakni bertujuan untuk menyejahterakan seluruh umat manusia di

dunia maupun di akhirat. Ajaran Islam bertujuan untuk menciptakan manusia

yang baik dalam akhlak, akidah, ibadah dan dalam bermuamalahnya. Allah swt

mengutus Nabi Muhammad saw adalah untuk membimbing dan

menyempurnakan kehidupan manusia disegala sudut kehidupan manusia

dengan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar.

Umat Islam diperintahkan untuk mengajak saudaranya senantiasa berbuat

kebaikan sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah swt serta menjauhi

segala bentuk larangan dari Allah swt. Bentuk usaha yang harus dilakukan

dalam menyeru tersebut contohnya, mengajak manusia untuk beriman,

bertaqwa dan beramal saleh serta mematuhi segala perintah yang Allah swt

perintahkan. Melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, membangun

masyarakat Islami dan menegakkan serta menyiarkan ajaran agama Islam

sesuai dengan cara yang telah Rasulullah saw contohkan, maka orang-orang

yang melakukan hal ini akan mendapatkan pahala dan kemuliaan di sisi Allah

swt.1

1
Saerozi, Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 25.

1
2

Allah swt mengutus para Nabi dan Rasul ke dunia pada dasarnya adalah

untuk menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Seandainya jika Allah swt

tidak memerintahkan untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, maka

tatanan kehidupan di dunia akan berantakan, kebodohan dan kesesatan akan

menyebar luas. Hal ini akan menimbulkan berbagai macam kerusakan dan

kekacauan di bumi.2 Syaikh Nashr bin Muhammad bin Ibrahim Al-Samarqandi

atau yang lebih dikenal juga dengan nama julukan Imamul Huda mengartikan

kata ma’ruf sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan

akal. Sedangkan munkar sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an

dan akal.

Secara bahasa ma’ruf berasal dari kata ‫ يعرف‬- ‫ معرفة‬- ‫ عرف‬yang


berarti mengetahui, mengenal atau mengakui. Sedangkan munkar berarti

adalah sesuatu hal yang dibenci, ditolak dan tidak pantas.3 Di dalam Al-Qur’an

terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang penulis telusuri menggunakan kalimat

Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar secara utuh yakni pada :

1. Q.S Ali Imran [3] : 104, 110, 114.

2. QS. An-Nisa [4] : 114.

3. QS. Al-Maidah [5] : 78 sampai 79.

4. QS. Al-A’raf [7] : 157.

5. QS. At-Taubah [9] : 67, 71, 112.

Imam Al-Ghazzali, Ihya’Ulumuddin (Buku Kelima : Pergaulan, Uzlah, Safar, Amar


2

Makruf Nahi Mungkar, Akhlak Nabi), Cet ke 1, (Bandung : Penerbit Marja, 2005), hlm. 147.
3
Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Cet ke 5, (Jakarta: Kencana, 2016 ), hlm. 37.
3

6. QS.An-Nahl [16] : 90.

7. QS. Al-Hajj [22] : 41.

8. QS. Al-Luqman [31] : 17

Melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah sesuatu yang

penting, diutamakan dan dianjurkan dalam agama Islam. seperti yang

telah ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 104 yang berbunyi :

‫ن عن‬
ۡ َ ‫ون ِإلَى ٱ ۡلخ َي رو ِبٱ ۡل رو‬ ‫َي‬ ‫و ۡلتَـُكن ’من‬
‫ۡي ِر ۡأم ن َم ۡع ف ي و‬ ‫ۡد ُأ‬ ‫ۡم‬
ۡ َٰٓ
‫نو ه‬ ‫و‬
‫ة‬ٞ ‫ّم‬
٤٠١ ‫ُم ٱ ۡلم ۡف ِلحون‬ ‫لَ ِئك‬² ‫ٱ ۡلمنك ِِۚـر وأُـ ْو‬
Artinya :“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung”.(Q.S ali-Imran[3]:104).

Berdasarkan ayat di atas, Allah swt memerintahkan kita untuk

melaksanakan tugas Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Pengertian Amar

Ma’ruf Nahi Munkar menurut Sayyid Quthb dalam menerjemahkan surat

Ali Imran ayat 104 adalah dalam penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

harus ada segolongan orang dalam satu kekuasaan untuk menyeru kepada

hal ma’ruf dan mencegah kepada hal yang munkar. Artinya dalam

menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dibutuhkan kekuasaan yang

menaunginya4. Sedangkan menurut Muhammad Quraish Shihab dalam

Tafsirnya pada ayat ini beliau berpendapat bahwa Allah swt

memerintahkan orang-orang beriman untuk menempuh jalan yang

berbeda, yakni menempuh jalan yang luas dan lurus. Beliau juga

berpendapat bahwa dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus

dimulai dari diri sendiri. Lebih spesifik ayat ini menurutnya adalah

4
Sayyid Quthb, Fi-Zilalil-qur’an, Terj.Drs As’ad Yasin, (Jakarta : Gema Insani Press,
Jilid 2, 2001), hlm. 123
4

menekankan perlunya berbuat baik dan melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi

Munkar.5

Dari uraian di atas terdapat perbedaan penafsiran antara Sayyid

Quthb dan M. Quraish shihab dalam kitab karya Tafsirnya, yakni pada

Sayyid Quthb dalam Tafsirnya Fi Zhilalil-Qur’an mengatakan bahwa

dalam menerapkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar harus ada kekuasaan

yang menaungi. Sedangkan pada M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya Al-

Misbah, menurutnya menerapkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus

dimulai dengan diri sendiri.

Mengutip dari jurnal, karya atik wartini, mengatakan bahwa

metode tafsir pada tafsir al-misbah menggunakan metode tahlili

dibuktikan dengan pembahasan ayat di dalam tafsir al-misbah sesuai

dengan urutan mushaf.6 Selanjutnya pada segi penulisan tafsir, antara

Tafsir fi zhilalil Qur’an dan tafsir al-misbah terdapat kesamaan metode

yang digunakan oleh kedua tafsir ini. Yakni menggunakan metode tahlili,

artinya uraian Tafsirnya tertib sesuai dengan urutan mushaf. Maksudnya

adalah dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.

Selain itu kedua Tafsir ini memiliki kesamaan corak, yakni sama-sama

menggunakan corak Adabi Ijtima’i. Berangkat dari perbedaan penafsiran

inilah penulis tertarik untuk meneliti makna amar ma’ruf nahi munkar

antara Tafsir Al Misbah dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an),
(Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol.2, hlm. 172.
6
Atik Wartini, tafsir feminis M.Quraish Shihab, Jurnal Palastren, Vol.6, no.2, hlm.484
5

Beberapa waktu belakangan ini sedang hangat pembicaraan

mengenai konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan pelaksanaannya,

khususnya di negara Indonesia. Banyak ormas Islam di Indonesia yang

mengaplikasikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan cara dan jalannya

masing-masing sesuai dengan paham yang dipahami oleh masing-masing

golongan. Di negara kita Indonesia khususnya, ada banyak contoh

tindakan yang diakui sebagai pencegahan terhadap kemungkaran yang

cenderung terlihat anarkis. Contohnya, pengrusakan dan penggrebekan

tempat yang diduga digunakan untuk melakukan kemaksiatan seperti

lokalisasi prostitusi, diskotik, bar dan tempat perjudian. Bahkan yang

lebih ekstrim lagi adalah melakukan tindakan bom bunuh diri yang

ditujukan kepada orang-orang non muslim yang di lakukan oleh jaringan

teroris isis.

Saat ini proses penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Indonesia

baik secara individu maupun secara kelompok memiliki ragam variasi.

Disebabkan oleh pemahaman yang berbeda dari setiap golongan dan

kelompok. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika segolongan

orang yang melakukan tindak anarkis lalu mengatasnamakan Amar

Ma’ruf Nahi Munkar untuk membenarkan apa yang mereka lakukan.

Menurut penulis fakta ini menuntut perlunya pengkajian yang mendalam

tentang pemahaman Amar Ma’ruf Dan Nahi Mungkar agar

meminimalisir pemahaman yang salah dalam memahami Amar ma’ruf

Nahi Munkar.
6

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas,

mendorong penulis untuk mengungkapkan permasalahan dalam

menafsirkan ayat-ayat yang berbicara mengenai Amar Ma’ruf Nahi

Munkar. Sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan detail

mengenai hal ini. Oleh karna itu penulis mengambil judul “Amar Ma’ruf

Nahi Munkar Di Dalam Al-Qur’an” Studi Komperatif Tafsir Al-Misbah

karya Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, M.A dan Tafsir Fi-

Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb. Dengan menggunakan metode

komperatif atau perbandingan.

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari pemaparan di atas, diketahui bahwa masalah pokok dalam

kajian ini adalah penerapan perbuatan ma‘ruf dan mencegah perbuatan munkar.

Adapun permasalahan yang teridentifikasi diantaranya :

1. Apa syarat dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar?

2. Apa artikulasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut para ulama Tafsir ?

3. Bagaimana penafsiran makna Amar Ma’ruf Nahi Munkar pada perspektif

Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an ?

4. Bagaimana implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar antara perspektif

Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an pada Surat Ali-Imran ayat

104, 110, 114 ?

5. Siapa yang berhak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan hukum

meninggalkannya ?
7

C. Batasan Masalah

Mengingat permasalahan yang teridentifikasi serta untuk efesiensi waktu

dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan masalah. Pembatasan

masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target dengan hasil yang

maksimal. Pembatasan masalah yang dimaksud, yaitu :

1. Pembahasan difokuskan pada makna serta syarat syarat dalam

melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan pengertian menurut para

ulama Tafsir serta yang berhak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi

Munkar, yang ditawarkan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam

Tafsirnya Al-Misbah dan Sayyid Quthb dalam Tafsirnya Fi-Zhilalil

Qur’an.

2. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang membahas mengenai Amar Ma’ruf

Nahi Munkar secara utuh dalam satu ayat. Namun yang menjadi fokus

penulis adalah pada surat Ali-Imran yang berkaitan dengan Amar

Ma’ruf Nahi Munkar yakni pada ayat 104, 110 dan 114..

D. Rumusan Masalah

1. Apa syarat dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ?

2. Bagaimana penafsiran makna Amar Ma’ruf Nahi Munkar pada

perspektif Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an ?

3. Bagaimana implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar antara perspektif

Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an pada Surat Ali-Imran

ayat 104, 110, 114 ?


8

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa saja syarat dalam melaksanakan Amar Ma’ruf

nahi Munkar.

2. Untuk memahami penafsiran Amar Ma’ruf Nahi Munkar perspektif

Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an.

3. Untuk memahami implementasi dan penafsiran tentang ayat Amar

Ma’ruf Nahi Munkar antara perspektif Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-

Zhilalil Qur’an pada Surat Ali-Imran ayat 104, 110, 114.

F. Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan berguna untuk :

1. Bahan informasi ilmiah khususnya dibidang ushuluddin.

2. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.

3. Bahan telaah bagi siapa saja yang ingin melanjutkan penelitian secara

lebih mendalam lagi mengenai permasalahan ini.

G. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, penulis menemukan

beberapa kajian ilmiah terdahulu mengenai konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

diantaranya sebagai berikut :

1. “Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif K.H. Hasyim Asy’ari Di

Indonesia” karya Lilik Nurhaliza, dari Jurusan Komunikasi Penyiaran

Islam Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam

Negeri (Iain) Metro Lampung Tahun 2019. Di dalamnya terdapat


9

pembahasan mengenai konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam

perspektif K.H Hasyim Asy’ari. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian

yang penulis lakukan, penulis mengkaji Amar Ma’ruf Nahi Munkar

dalam Studi Tafsir Komparatif Al-Misbah dan Fi-Zhilalil Qur’an.

2. “Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Tafsir Al-Misbah Karya

Quraish Shihab Dalam Perspektif Dakwah” tulisan ini adalah skripsi

karya Nurul Atiqoh pada Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Walisongo Semarang pada tahun 2011. Dalam penelitiannya

tersebut, ia membahas tentang pemaparan Quraish Shihab dalam kitab

Tafsir Al-Misbah tentang ayat-ayat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

dan relevansinya dengan perspektif dakwah dalam konteks masa kini.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti karena

tulisan ini mengkaji Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam perspektif

dakwah dalam konteks masa kini sedangkan penulis membahas Amar

Ma’ruf Nahi Munkar dari segi konsep.

H. Kerangka Teori

Objek kajian dalam penelitian ini adalah konsep Amar Ma’ruf Nahi

Munkar di dalam Al-Qur’an pada surah Ali-Imran, Al-A’raf dan surah Al-Hajj.

Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun ayat yang

berkaitan dengan tema penelitian penulis. Dalam hal ini telah ditentukan dalil

yang digunakan, yakni surah Ali-Imran ayat 104, 110, 114. Kemudian penulis

melihat antara Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an selanjutnya

penulis akan menganalisis ayat tersebut dengan metode yang telah di tentukan.
10

I. Metode Penelitian

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah, harus menggunakan metodologi

penelitian. Adapun dalam penyusunan skripsi adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif.

2. Metode Penelitian

Adapun untuk memperoleh wacana tentang Amar Ma’ruf Nahi

Munkar dalam Al-Qur’an menggunakan metode penelitian komperatif.

3. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan menggunakan metode kepustakaan (library research). Dalam

penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melalui

penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan

catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung

penelitian.7

4. Pengolahan Data

a. Editing, yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian,

relevansi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikakan

data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah

direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.

7
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.
102.
11

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan

metode komperatif atau metode perbandingan.

6. Sumber Data

Sumber data yang digunakan sebagai landasan pembahasan dalam

penelitian ini mengambil sumber-sumber yang sesuai dan berhubungan

dengan topik pembahasan serta dapat dipertanggung jawabkan. Adapun

sumber sumbernya sebagai berikut.

a. Sumber Primer

Sumber data Primer merupakan data yang didapat dari

sumber pertama baik individu atau perseorangan seperti hasil dari

wawancara atau hasil dari pengisian kuesioner yang biasa

dilakukan oleh peneliti.8 Sumber data primer pada penelitian ini

adalah Al Qur’an dan Tafsirnya, kemudian kitab yang dirujuk

adalah Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, dan Tafsir Fi

Zhilalil-Qur’an karya Sayyid Quthb.

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data primer yang telah

diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data

primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel – tabel

atau diagram.9 Adapun sumber data sekunder penelitian ini adalah

sumber-sumber yang berkitan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

8
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis Edisi Kedua, (Jakarta
Rajawali Pers, 2009), hlm. 42.
9
Ibid, hlm. 42.
12

J. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-

masing menampakkan titik berat yang berbeda. Namun dalam satu kesatuan

yang berhubungan sehingga tak dapat dipisahkan. Bab pertama berisi

pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka, Metode

Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Dalam bab pertama ini tampak

penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang

ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga, keempat

dan kelima.

Bab kedua berisi tentang tinjauan umum Amar Ma’ruf Nahi Munkar,

yang terdiri dari pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut ahli Tafsir,

konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

dan rukun amar ma’ruf nahi munkar.

Bab ketiga biografi Quraish Shihab dan Sayyid Quthb mulai dari riwayat

hidup, pengembaraan intelektual baik dalam bidang akademik, sosial, maupun

keagamaan dan beberapa karya beliau yang telah dijadikan sebuah rujukan

besar oleh kalangan masyarakat umum, serta beberapa pemikiran beliau

mengenai Tafsir yang dikarangnya yakni Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi

Zhilalil-Qur’an.
13

Bab keempat berisi tentang Syarat dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi

munkar, analisis serta membandingkan antara penafsiran M. Quraish Shihab

dan Sayyid Quthb dalam Tafsir Al-Misbah dan Fi Zhilalil-Qur’an mengenai

penafsiran Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang tertuang dalam kandungan surah

Ali-Imran ayat 104, 110, 114. kemudian dilanjutkan dengan analisa

implementasi ayat-ayat tersebut.

Bab kelima berisi penutup meliputi kesimpulan, saran dan penutup.


BAB II

TEORISASI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

A. Artikulasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Definisi amar ma’ruf nahi munkar secara universal merupakan

bagian dari upaya menegakkan agama serta kemaslahatan umat. Akan

tetapi Sebelum kita melihat pengertian amar ma’ruf nahi munkar

berdasarkan konteks yang lebih mendalam maka terlebih dahulu kita

melihat makna amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut:

1. ‫( أمر‬Amar)
Amar berasal dari kata
‫ـ‬-‫ـأمرا‬-‫ـ يأمر‬-‫ امر‬juga bermakna yang
‫مر‬
‫الشيئ منه طلب‬ yaitu memerintah (untuk mengerjakan sesuatu) 10,

serta memiliki lima arti dasar yaitu sesuatu (perkara), perintah yang

merupakan lawan dari larangan, tumbuh dan berberkah, petunjuk arah,

dan menakjubkan.11 Amara sebagai lafaz khusus disini adalah sighat

masdar (asal kata) yang mengandung makna perintah, sedangkan jika

berupa sighat amar digunakan untuk selain perintah, seperti

membimbing, menakut-nakuti, serta doa, maka penggunaan sighat

amar tersebut bersifat majas (kiasan).12 jadi menurut etimologinya kata

amar bermakna perintah yang merupakan lawan dari larangan.

10
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah, cet.42 (Beirut: Dar Al-Masyriq, 2007), hlm. 17.
11
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqayis Al-Lugah, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr,
t.th) hlm.137.
12
Ahasin W.Al-Hafiz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 23-24.

14
15

Secara terminologi, amar adalah tuntutan melakukan perbuatan

dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah

kedudukannya, yang dimaksud dengan yang lebih tinggi

kedudukannya dalam Al-Qur’an adalah Allah sebagai pemberi

perintah, sedangkan yang lebih rendah kedudukannya adalah makhluk

sebagai pelaksana perintah.13

2. ‫( معروف‬Ma’ruf)

Sedangkan kata ma’ruf berasar dari akar kata bahasa arab

berikut
‫ـ إعرف‬-‫عرفانا‬ ‫ـ‬-‫عرفة‬-‫يعرفـ‬ -‫عرف‬ dan ‫المـعروف‬
bermakna ‫ الخير‬atau ‫الـرزق‬, yakni kebajikan maupun rizki.14 Ma’ruf

yang mempunyai arti lawan dari munkar, perbuatan yang dianggap

baik, semua perbuatan yang dianggap baik oleh manusia dan membuat

manusia tenang, kata yang mencakup semua jenis ketaatan dan

pendekatan pada Allah swt dan perbuatan baik pada manusia dan juga

termasuk setiap hal-hal baik yang dianjurkan agama untuk

melakukannya dan menjauhkan diri dari hal-hal buruk. Kata ma’ruf

juga berarti perbuatan yang sudah lumrah dalam masyarakat yang jika

mereka melihatnya mereka tidak mengingkarinya.15 Jadi kata ma’ruf

13
Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab, Juz IV, (t.t: Dar Al-Ma‘arif, t.th), hlm. 2899-2900.
14
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, cet.2 (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hlm. 921.
15
Manzur, Op.Cit., hlm. 2901.
16

setidaknya mengandung dua makna yaitu sesuatu yang telah diketahui

dan segala sesuatu yang baik menurut pandangan syari’at.

Sedangkan ma’ruf secara terminologi adalah mencakup segala

sesuatu yang diperintahkan, yang baik menurut syari’at.16 Apabila

pengertian amar dan ma’ruf digabungkan, maka artinya adalah

perintah kepada kebaikan atau kebajikan. Sedangkan amar ma’ruf

secara terminologi adalah segala perbuatan manusia yang dapat

mendekatkan dirinya kepada Allah. Penggabungan antara kata amar

dan ma’ruf yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perintah

atau petunjuk untuk melakukan sesuatu yang baik dan telah dikenal

dalam syariat.

3. ‫( نهى‬Nahi)
Kata nahi secara etimologi berasal bahasa Arab yakni ‫ نهى‬yang

terdiri dari beberapa rangkaian huruf


‫ي‬-‫ه‬-‫ن‬ yang memiliki makna

tujuan dan penyampaian,17 lawan kata (antonim) dari perintah dan juga

bermakna mencegah atau menghalangi.18

16
Abi Hasan Al-Husaini Al-Jarjani Al-Hanafi, Al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lebanon.
1985), hlm. 197.
17
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqayis Al-Lugah, Juz V, hlm. 359.
18
Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab, Juz VI, hlm. 4564.
17

4. ‫( منكر‬Munkar)
Sedangkan lafad munkar berasal dari akar kata bahasa arab

berikut
‫نكارة بمعنى اشتد او صعب‬ ‫ـ‬-‫ـ ينكر‬-‫نكر‬ artinya sulit atau

susah. Secara terminologi menurut pendapat Al-Jurjani,19 munkar

adalah:

‫والمنكر ما ليس فيه رضا هلال من قول او فعل والمعروف ضده‬


Artinya : “munkar adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah baik
perkataan maupun perbuatannya, sedangkan Al-Ma’ruf
adalah kebalikannya.”

Jika pengertian keduanya digabungkan menurut etimologi

adalah bermaksud melarang perbuatan durhaka atau perbuatan

melanggar peraturan. Sedangkan nahi munkar secara terminologi

adalah, segala sesuatu yang dianggap buruk dan dibenci oleh syari’at.

Kemunkaran mencakup segala yang bertentangan syari’at, meskipun

pelakunya tidak berdosa melakukannya seperti, orang gila yang

minum khamar, orang tersebut dilarang tetapi tidak dicela atasnya.

Demikian itulah pengertian munkar, yaitu yang mencakup seluruh apa

yang dilarang.

19
Hasan Al-Husaini Al-Jarjani Al-Hanafi, Op.Cit., hlm. 210.
18

B. Ayat-Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang amar ma’ruf nahi munkar

yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Tabel 1.1
Persebaran Ayat-Ayat Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Al-
Qur’an

No.
Surat Ayat Status

1.
Ali Imran (3) 104,110,114 Madaniyyah

2.
Al-A’raf (7) 157 Makiyyah

3.
Al-Taubah (9) 67, 71, dan 112 Madaniyyah

4.
Al-Hajj (22) 41 Madaniyyah

5.
Luqman (31) 17 Makiyyah

1. Q.S Ali Imran/3:104


‫ن عن‬ ُ‫أ‬ ‫و َْلت ن‬
ْ ‫و َيأ ن ِبا عر َي‬ ِ ‫ون ِإلَى ا‬
‫ْن و‬ ‫ُمرو ْل َم و‬ ‫ْل ر‬
‫ف‬ ‫خ‬
‫وه‬ ‫ْي‬ ‫ّمة˚ َي‬
‫منكُ ْم‬²’
‫ا ْلمنك ِر وأُـولَ ِئك ُم ا ْلم ْف ِلحون‬
Artinnya :“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.”20

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa hendaknya ada

segolongan umat atau kelompok dari orang mukmin yang dapat

melaksanakan fungsi dakwah yaitu sekelompok orang yang dapat

menjadi teladan dan didengar nasehatnya yang mengajak orang lain

20
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah (Bandung: Syaamil Quran, 2012),
hlm. 63-64.
19

secara terus menerus kepada kebajikan, menyuruh kepada yang

ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Sebagian ulama memahami

kata “minkum” dalam ayat di atas dengan makna sebagian. Ini berarti

bahwa perintah berdakwah sebagaimana dipesankan dalam ayat di

atas tidak dibebankan kepada setiap orang, melainkan sebagiannya

saja. adapun sebagian ulama yang lain seperti Ahmad Mustafa Al-

Maraghi mengartikan kata “minkum” sebagai penjelasan, sehingga

perintah berdakwah menjadi beban setiap orang mukmin, hanya saja

setiap orang dalam melaksanakan tugas dakwah berbeda-beda sesuai

dengan kemampuannya.21

Dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada pendapat Imam

Al-Qurtubi dalam Tafsirnya, beliau mengungkapkan bahwa lebih tepat

memahami kata minkum pada ayat ini dalam arti sebagian kamu,

berdasar kebutuhan umat Islam terhadap adanya kelompok khusus

yang menangani dakwah dan membendung informasi yang

menyesatkan. Tanpa menutup kewajiban setiap muslim untuk

senantiasa saling mengingatkan kepada kebajikan (Bersifat fardhu

kifayah).22

Selanjutnya dalam rangka perintah berdakwah, Allah swt

menggunakan dua kata yang berbeda, yaitu yud’auna (mengajak) dan

ya’muruna (memerintahkan). Penggunaan dua kata yang berbeda ini

menurut Ibnu Katsir menunjukkan keharusan adanya dua kelompok

21
Lihat juga Muhammad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, Juz. 4 (Cet I; Kairo:
Dar Maktab Babil Halabi. 1946), hlm. 23.
22
Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, Juz 4 (Kairo: Dar Al-Kutub
Al-Mishriyah, 1964 ) hlm. 164.
20

dakwah dalam masyarakat Islam, yakni kelompok pertama yang

bertugas mengajak dan kelompok kedua yang bertugas memerintah.23

2. Q.S Ali Imran/3:110


‫عن ا ك ِر‬ ْ ‫ر أ ِ ت س تَـأ رو ْ عر ف‬ ‫ُكنتُ ْم خ ْي‬
‫ْلمن‬ ‫و‬ ‫َّمة أ رج لنَّا ُم ن ل و وتَـ ْن‬
‫ن‬ ‫َم ا‬ ‫خ‬
‫ه‬
‫ا م ْؤ ِمن ـُون‬ ‫ْن‬ ‫وتُـ ْؤ ِم ُنون ا ِهـلل وَل ْو ن ل ا ْل ل كان خ‬
‫ْل‬ ‫ْيرا ه ِۚم‬ ‫آ َم أَه ِكتَـا ب‬
‫ه‬ ‫’م‬
‫ُم‬
‫وأَ ْكثَ رُه ُم ا سقُون‬
‫ْلَفا‬

Artinya:“Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang


dilahirkan untuk manusia,(karena kamu) menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-
orang fasik.”24

Dalam ayat di atas menurut Al-Baghawi Allah swt Menjelaskan sifat-

sifat dasar yang dimiliki oleh umat yang diungkapkan Al-Qur’an sebagai

umat terbaik, yaitu senantiasa menyuruh kepada yang ma’ruf, senantiasa

mencegah dari yang munkar dan senantiasa beriman kepada Allah swt.25

3. QS. Al-Nisa/4 :114 :

‫ص َال‬ ‫َّل خ ْير ِفي ٍر ’من َّن ْج َوا أَ َم ِ ص َأ معرو ف‬


َّ
‫َأ ْو‬ ‫ ْم ِإل من ب دَـق ْو‬² ‫ك‬
‫ة‬ ‫ِثي‬
‫ر‬
‫َذ ْب ِت ْ ضا ف س ُن ْؤ ِتي أَجرا عظيما‬ ‫ْين الـَّنا ِۚس َي‬
‫ه‬ ‫ْف ِل اء ك ا ر ت َِّ ْو ف‬
‫لال‬ ‫و ل‬
‫م‬ ‫َمن‬
Artinya :“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan
mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
21
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya
pahala yang besar”.26

23
Abu Fida’ Ismail bin kathir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Juz 2, (T.t. Dar Al-Thaibah,
1999), hlm. 19.
24
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, hlm. 64.
25
Muhammad Bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’alim Al-Tanzil, Juz.2, (t.t: Dar Al-Thaibah,
1997), hlm. 89.
26
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, hlm. 97.
22

4. QS. Al-Maidah/5:78-79 :

‫سى ٱ م ۡر َي ِۚ َم‬ ‫علَى سان دَـا و‬ ‫ ََٰٓر‬² ‫ع ن ٱل ك رو ۢ ِني ِإ س‬²ِ ‫ُل‬


‫ۡبن‬ ‫ُۥود عي‬ ‫ل‬ ‫ِء ي ل‬ ‫ِذين ف ْا ن‬
َ
‫م‬
‫عن منك لُو ِب ۡئس‬ ۡ ‫وكانُواْ ي كانُو َّل‬ ‫ذَـ ِلك َما عصوا‬
‫ر ف ِۚه‬, ‫ا َي تَـَنا و‬ ‫ۡعتَـدُـون‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ما كانُواْ َي ۡف َعلُون‬
Artinya : “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melaui
lisan (ucapan) Daud dan `Isa putera Maryam. Yang
demikian itu karena mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah
perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh
sangat buruk apa yang mereka perbuat”27

Dalam ayat di atas Al-Qur’an menguraikan, bahwa sebab dilaknatnya

orang-orang kafir dari bani israil adalah karena mereka telah durhaka dan

senantiasa melampaui batas. Bentuk kedurhakaan mereka secara umum yaitu

dengan tidak saling melarang keburukan keburukan yang telah mereka

kerjakan.28

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata yatanahauna

semestinya berarti jika ada kemunkaran, maka haruslah ada yang lain

yang melarang atau mencegahnya, begitu seterusnya selalu ada timbal

balik. Namun, orang kafir Bani Israil tidak melakukan hal tersebut.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata yatanahauna dapat

dipahami dalam arti berhenti, sehingga penambahan huruf la

menunjukkan bahwa para kafir bani israil tidak berhenti dan terus-

menerus melakukan kemunkaran sehingga mendapat laknat.29

27
Ibid., hlm. 121.
28
Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Juz. 6, (Kairo: Dar Kutub Al-
23
Mishriyah, 1964), hlm. 253.
29
Muhammad Rayid Ridha, Tafsir Qur’an Al-Hakim, juz.6, (t.t: Al-Hai’ah Al-Mishriyah,
1990), hlm. 404.
24

5. QS. Al-A’raf/7:157

‫جُدوَنهُـ مكتُـو عن َدـُه ْم ي‬ ‫ُْْل‬


‫ي ال‬ ‫تَـّ ِب ر ُسول‬ ‫الَّ ِذين‬
‫ًبا‬ ‫ِذي‬ ‫ِ’م‬ ‫الَّن ِب‬ ‫ُعون ال‬
‫يا‬
‫عن ا و ُيحل لَه ُم‬ ‫ْل ف و َ ي‬ ‫ل َيأ‬ ‫وا‬ ‫ال ـتَـّ ْورا ِة‬
‫ْلمنك ِر‬ ‫َمعرو ا ْنهاُه ْم‬ ‫ِْلنجي ُمر م‬
‫صرُه ْم وا ْلَـغ َالل ال‬ ‫خ َبا ِئث و َيضع ع ْنه‬ ‫و ُيح علَ ْي‬ ‫الـط ِ’ي َبا‬
‫ِتي‬ ‫ْم ِإ‬ ‫ِ ه ُم ا‬ ‫م‬ ‫ر‬
ُ ِ ‫ـ‬

‫ت‬
‫ه وعزرو ُهـ و واتَـّ َب ُعوا ال ـنُّور الَّ ِذي‬ ‫كاَنت عَل ْي ِه ِۚ ْم َفالَّ ِذي ن آ‬
‫أُـن ِزل‬ ‫نَ صروه‬ ‫َمُنوا‬
‫َل ِئك ُه ُم ا ْل م ْف ِلحون‬² ‫م ُهـ أُـو‬
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi
(tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka,
yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, dan yang menghalalkan segala yang
baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk
bagi mereka, dan membebaskan bebanbeban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka.\ Adapum orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya,
dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang
beruntung”30

Ayat di atas pada dasarnya merupakan berita gembira kepada

bani Israil yakni yahudi dan nasrani mengenai kedatangan Nabi

Muhammad saw. Yang juga sejalan dengan apa yang termaktub dalam

kitab suci keduanya. Setelah dijelaskan mengenai pribadi Nabi saw,

ayat ini kemudian menjelaskan mengenai ajaran yang dibawa

Rasulullah saw. Yaitu bahwa Rasulullah saw senantiasa

memerintahkan kepada kebaikan serta adat istiadat yang diakui baik

oleh masyarakat, dan mencegah mereka dari mendekati atau

mengerjakan segala hal yang dipandang buruk oleh agama dan adat

istiadat.31
25
30
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, hlm. 170.
31
Muhammad Al-Syairazi Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi, Juz.3, (Beirut: Dar Al-Fikr,
T.t), hlm. 64.
26

Selain itu ayat di atas juga menjelaskan mengenai salah satu

tujuan kedatangan Nabi saw. Yaitu sebagai anugerah kepada bani

israil dengan meringankan tuntunan dan hal-hal yang memberatkan

mereka, seperti menghalalkan bagi mereka hal-hal yang baik dan

mengharamkan hal-hal yang buruk atau berdampak kepada

keburukan. Kemudian Allah swt menyatakan bahwa siapa saja yang

meyakini dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi saw Maka akan

termasuk sebagai orang orang yang beruntung.

6. QS. Al-Hajj/22:41

‫روا‬
َ ‫الَّ ِذي ن مكن ْم ِفي ا ض موا الص َالةَـ وآتَـ ُوا كا‬
‫الز َة م‬ ‫أَـَقا‬ ‫ْْلَـ ْر‬ ‫ِإن ا‬
َ‫وأ‬
‫ا ْل َمعروف و َنه ْوا عن ا ْلمنك ِهـر و ِ َّ ِلل عا ِق َبةُـ ا ْْلُـ ُمو ِر‬
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di
bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan
menyuruh berbuat yang mak`ruf dan mencegah dari yang
munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”32

Dari ayat-ayat diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain

sebagai berikut :

Terdapat keutamaan beramar ma’ruf dan nahi munkar :

a. Dinilai sebagai umat terbaik jika dibarengi dengan keimanan

kepada Allah seperti yang ditunjukkan dalam Q.S Ali

Imran/3:110.

b. Dinilai sebagai orang saleh yang selain diwujudkan dalam

keyakinan (beriman kepada Allah dan hari akhir), juga

diwujudkan dalam bentuk perbuatan (QS. Ali Imran/3:114).

c. Akan mendapat pahala yang besar (QS. Al-Nisa/4 :114).

32
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, hlm. 337.
27

d. Dinilai sebagai orang yang beruntung (QS. Al-A’raf/7:157).

Akibat tidak melakukan atau meninggalkan amar ma’ruf dan

nahi munkar maka perbuatan seseorang tersebut dinilai sebagai bentuk

kedurhakaan, melampaui batas yang dikecam oleh Allah swt (QS. Al-

Maidah/5:78-79) bahkan jika perbuatan tersebut dilakukan sebaliknya

maka seseorang tersebut akan dilupakan oleh Allah swt. (QS. At-

Taubah/9:67).

Ada 2 hal yang mengindikasikan pentingnya beramar ma’ruf

dan nahi munkar :

a. Disejajarkan dengan perintah shalat dan zakat (QS. Al-

Hajj/22:41).

b. Termasuk perkara wajib (QS. Al-Luqman/31:17)

Keenam ayat di atas menggunakan kalimat amar ma’ruf dan

nahi munkar secara jelas. Jika menilik penafsiran masing-masing ayat

maka dapat diketahui bahwa penggunaan kalimat amar ma’ruf dan

nahi munkar dalam ayat ayat di atas bermakna sama, yaitu perintah

untuk senantiasa mengerjakan semua hal yang dianggap baik oleh

syari’at dan adat istiadat masyarakat serta mencegah dari semua hal

yang dipandang buruk oleh syari’at dan tradisi masyarakat. Sifat inilah

yang menjadi ciri penting orang-orang mukmin untuk menjadi satu

umat yang terbaik. Adapun kata ma’ruf dengan makna lain dapat

dilihat dalam QS. An-Nisa’/4:5, namun maknanya pun tak jauh dari

makna kebahasaannya yaitu sesuatu yang baik, yang dikenali, yang

sudah diketahui oleh banyak orang sehingga menjadi suatu kebiasaan.


28

Begitu juga dengan kata munkar, penggunaan kata kata yang seakar

dengannya bisa dilihat pada QS. Al-Mujadalah/58:2, namun sama

halnya dengan ma’ruf, maknanya tak menyimpang dari makna

kebahasaannya yaitu sesuatu yang tidak dikenali dan tidak biasa

sehingga diingkari oleh orang banyak. Berangkat dari hal inilah dalam

skripsi ini penulis hanya fokus pada penkajian di surat Ali-Imran ayat

104,110,114.

C. Rukun-Rukun Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Amar ma'ruf nahi munkar terdiri atas empat rukun: Pertama,

pelaku amar ma’ruf nahi munkar (Al-muhtasib); kedua, yang ditujukan

kepadanya amar ma’ruf nahi munkar (Al-muhtasb ‘alaihi); ketiga,

perbuatan yang menjadi obyek amar ma’ruf nahi munkar (Al-muhtasab

fihi); dan keempat, hakikat amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri (Al-

ihtisab).33

1. Al-Muhtasab (pelaku amar ma’ruf nahi munkar)

Kewajiban ber amar ma'ruf nahi munkar berlaku atas setiap

muslim yang mukallaf (yang telah berlaku hukum-hukum agama atas

dirinya) dan memiliki kemampuan. Oleh sebab itu, tidak ada

kewajiban atas seorang gila atau anak kecil atau kafir atau yang tidak

berkemampuan. Dalam kewajiban ini termasuk semua penduduk

negeri (yang memenuhi persyaratan di atas), walaupun tidak mendapat

izin khusus dari penguasa negeri. Dan termasuk pula orang yang fasik

(yang biasa melakukan perbuatan dosa), budak dan perempuan.

33
Al-Ghozali Muhammad, Amr ma’ruf nahi munkar, (Bandung: Karisma 2003), hlm. 35.
29

2. Al-Muhtasab alaihi (pelaku yang ditunjukkan kepadanya amar ma'ruf

nahi munkar)

Syarat untuk diajukannya amar ma’ruf nahi munkar, ialah adanya

seseorang (manusia) yang memenuhi suatu sifat tertentu, sehingga

menjadikan setiap perbuatan terlarang yang dilakukanya, termasuk

dalam kategori kemunkaran. Tidak diisyaratkan ia seorang mukallaf

(yakni yang telah berlaku kewajiban agama atas dirinya), mengingat

bahwa seperti telah dijelaskan sebelum ini seandainya seorang anak

kecil (yang belum baligh) minum khamr,wajib atas yang mengetahui

hal itu untuk melarangnya. Tidak diisyaratkan pula ia seorang yang

berakal waras, dan karena itu, seandainya seorang gila berzina dengan

seorang perempuan gila juga, wajiblah mencegahnya dari perbuatan

tersebut.

3. Al-Muhtasab fihi (perbuatan yang menjadi obyek amar ma'ruf nahi

munkar)

Yaitu setiap kemunkaran yang ada saat sekarang, tampak (atau

diketahui secara jelas) bagi yang hendak ber amar ma’ruf nahi munkar

tanpa harus memata-matai, dan dikenal secara meluas sebagai

kemunkaran, tanpa memerlukan ijtihad.

4. Al-Ihtisab (bentuk amar ma’ruf nahi munkar)

Ada berbagai tingkatan cara ber-amar ma’ruf nahi munkar. Yakni

pertama-tama adalah menyelidiki kemunkaran, memberitahu kepada si

pelaku kemunkaran, melarang, menasehati, mengecam, mengubah

melalui tindakan, mengancam akan memukul, memukul, mengancam


30

dengan senjata, dan terakhir mengatasi dengan cara mengumpulkan

kawan dan pasukan.


BAB III

BIOGRAFI DAN PROFIL TAFSIR

A. Biografi Dan Profil Tafsir Sayyid Quthb

1. Biografi Sayyid Quthb

Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili bin haji Ibrahim Quthb

adalah nama lengkapnya. Beliau lahir di daerah dataran tinggi mesir

provinsi Asyuth, tepatnya di daerah Bernama Mausyah (Musha),

sebuah desa dengan tradisi keagamaan yang masih sangat kental.

Sayyid Quthb Lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 M. Berlatar belakang

dari keluarga yang cinta akan ilmu agama Islam dan mencintai al-

Qur’an, mempengaruhi sosok Sayyid Quthb dalam menjalani

kehidupannya. Sayyid quthb menjadi sosok yang terkenal baik dalam

ilmu sosial, politik, bahasa, agama maupun pendidikan.34

Ayahanda Sayyid Quthb bernama Haji Ibrahim Quthb. Beliau

merupakan anggota Komisaris partai hizb al-Wathany. Tempat

tinggalnya dijadikan sebagai markas kegiatan politik dan sering

dijadikan tempat untuk berdiskusi para aktivis partai. Ibunda Sayyid

Quthb bernama Fatimah, beliau merupakan sosok Wanita sederhana

yang rajin ibadah, selalu sabar dan senantiasa optimis. Ayahandanya

berpulang ke rahmattullah ketika Sayyid Quthb sedang kuliah, dan

34
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, pengantar memahami Tafsir Fi Zilalil Qur’an, terj
Salafudin Abu Sayyid (Surakarta: Era Intermedia, 2001), hlm. 23.

28
29

ibunya menyusul tak lama setelah ayahandanya wafat pada tahun

1941.35

Sayyid Quthb wafat di atas tiang gantung pada tanggal 29

Agustus 1966 pada usianya yang memasuki usia 59 tahun. Pada tahun

1964 ia sempat dibebaskan dari penjara dan menghirup udara segar.

Namun setahun setelah itu beliau ditangkap kembali pada tahun 1965

dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan rencana pembunhan presiden

mesir kala itu Gamal Abdel Naser. Akhirnya pada tahun 1966 Sayyid

Quthb dieksekusi hukuman gantung.36

2. Pendidikan Sayyid Quthb

Sayyid Quthb adalah sosok anak yang cerdas dan berbakat. Beliau

mampu menghafal al-Qur’an sejak umurnya belum genap menginjak 10

tahun, serta berhasil dalam menamatkan pendidikan dasarnya di sekolah

Kuttab pada tahun 1918 M. Pada tahun 1921 M, Sayyid Quthb

berangkat dari desanya menuju Kairo untuk melanjutkan pendidikannya

dijenjang I’dadiyah dan melanjutkan ke jenjang Tsanawiyah yakni pada

Tajhizial Darul Ulum, dan lulus pada akhir tahun 1925 M. Kemudian

beliau melanjutkan pendidikannya ke Universitas Dar al-‘Ulum pada

tahun 1929 hingga memperoleh gelar Lc dalam bidang sastra dan

diploma pendidikan pada tahun 1933 M dalam bidang tarbiyah.

Setelah menyelesakan sarjananya di Universitas Darul Ulum,

kemudian beliau mengajar di Departemen Pendidikan selama kurang

35
Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani,2005), hlm. 16.
36
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Azlina
Roslan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hlm. 250.
30

lebih enam tahun. Setelah mengajar di Departemen Pendidikan,

kemudian beliau berpindah tugas sebagai pegawai kantor Departemen

Pendidikan. Setelah itu beliau dipindahkan tugasnya ke Lembaga

Pengawasan Pendidikan Umum selama delapan tahun lamanya, hingga

pada akhirnya kementerian mengirimnya ke Amerika.37

Pada tahun 1949 beliau dikirim ke Amerika untuk memperdalam

ilmunya dibidang pendidikan, Sayyid Quthb mengkaji mengenai

kurikulum dan sistem pendidikan negara Amerika selama dua tahun di

Washington city, tepatnya di Wilson Teacher College dan di greely

college di Colorado.38 Kemudian beliau kembali ke Mesir pada 20

Agustus 1950 M. Setelah serangkaian perjalanan beliau menimba ilmu

di luar negeri, beliau diangkat sebagai Asisten Pengawas Riset

Kesenian di kantor Mentri Pendidikan, dan akhirnya pada tanggal 18

Oktober 1952, beliau mengajukan permohonan pengunduran diri.39

3. Karya Sayyid Quthb

Karya Sayyid Quthb sangat banyak sekali sebagai sumbangsih

beliau dalam mengisi dan meramaikan khazanah pengetahuan Islam,

terlebih pada masa kontemporer. Bahkan ketika beliau di penjara pun

beliau tetap melanjutkan karya Tafsirnya. Karya-karyanya dikenal luas

di dunia islam, diantaranya sebagai berikut :

a. Muhimmatus Sya’ir fil Hayah wa Syi’r al-Jail al-Hadhir (1933)

b. As Sathi’ al-Majhul (1935)

37
Abdul Fatah al-Kalidi, Op.Cit., hlm. 28.
38
Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Quthb Dalam Tafsir Zilal (Solo: Era
Intermedia, 2001), hlm. 31.
39
Abdul Fatah al-Kalidi, Op.Cit., hlm. 29.
31

c. Naqd Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah di mishr” li ad-Duktur

Thaha Husain (1939)

d. At- Tashwir al-Fanni fil Qur’an (1954)

e. Al- Athyaf al-Arba’ah (1945)

f. Thilf min al-Qaryah (1946)

g. Al-Madinah al-Manshurah, (1946)

h. Kutub wa Syakhsyiat, (1946)

i. Ashwak, (1947)

j. Mashahid al-Qiyamah fil-Qur’an, (1947)

k. Raudhatul Thifl

l. Al- Qashash ad- Diniy

m. Al- Jadid al-Lughah al-Arabiyyah

n. Al- Adalah al-Ijtima’ iyah fil al-Islam, (1949)

o. Ma’rakah al-Islam wa ar- Ra’ simaliyah, (1951)

p. As- Salam al- Islami wa al-Islam, (1951)

q. Tafsir Fi-Zhilal al-Qur’an

r. Dirasat Islamiah (1953)

s. Al- Mustaqbal li Hadza ad-Din

t. Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwimatahu,

u. Al-Islami wa Musykilat al-Hadharah

v. Ma’ alim fith-Thariq.40

40
Ibid, hlm. 22.
32

4. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan salah satu karya Sayyid

Quthb yang sangat popular dikalangan masyarakat Islam, terutama

dibidang pendidikan. Tafsir ini sering digunakan sebagai bahan rujukan

dalam berbagai penelitian ilmiah terutama dikalangan mahasiswa

universitas agama islam. sejarah dan historis dalam penulisan Tafsir ini

membuat para akademisi tertarik untuk mengkaji Tafsir ini. Yang mana

di dalam Tafsir Fi Zhilail Qur’an mengandung bagaimana cara

berkehidupan di bawah naungan Qur’an, sebagaimana motivasi Sayyid

Quthb dalam menuliskan Tafsir ini.

Dalam penulisannya, metode yang di gunakan Sayyid Quthb

dalam penulisan karyanya yakni Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, beliau

menggunakan metode Tahlili. Metode tahlili adalah metode yang

berusaha menerangkan makna ayat al-Qur’an dari berbagai segi

berdasarkan aturan urutan ayat atau surat dengan menonjolkan

kandungan lafaznya, hubungan ayatnya, serta pendapat-pendapat para

mufassirin itu sendiri.41 Penulis melihat dari beberapa tanda dan bukti

bahwa beliau menggunakan metode tahlili. Dalam penyajiannya beliau

menyajikan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dengan cara berurutan sesuai

dengan mushaf Qur’an (Tartib Mushafi) maksudnya adalah beliau

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf

al-Qur’an, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat

an-Nas.

Ahmad Syurbasyi, Qishatul Tafsir (Study Sejarah Perkembangan Tafsir), terj. Zufran
41

Rahman (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 232.


33

Di dalamnya juga mengemukakan penjelasan arti dari setiap

kosakata seluruh ayat. Kemudian setelahya membahas munasabah ayat

dan asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat tersebut. terlihat dari setiap

akhir penjelasan ayat, sayyid Quthb menjelaskan maksud dari ayat

sesudahnya. Contohnya dalam akhir penjelasan surah al-Fatihah ayat 6

kemudian ayat berikutnya menjelaskan maksud dari sifat jalan yang

lurus itu. Ditambah lagi dengan menyertakan Hadits, pendapat para

sahabat dan pendapat mufassir itu sendiri.

Corak dalam penafsiran Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menggunakan

corak Adabi al-Ijtima’i. maksudnya adalah berusaha memahami al-

Qur’an dengan cara mengemukakan ungkapan al-Qur’an secara teliti

dan menjelaskan makna yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan gaya

bahasa yang indah dan menarik. Beliau berusaha menghubungkan ayat

yang tengah dikaji dengan kenyataan sistem social budaya yang berlaku

dengan tujuan untuk membantu memecahkan segala problematika

zaman yang sedang dihadapi oleh umat Islam. 42

B. Biografi Dan Profil Tafsir M. Quraish Shihab

1. Biografi M. Quraish Shihab

Prof. Dr. AG. H. Muhammad M. Quraish Shihab, Lc., M.A. bin

Abdurrahman Shihab merupakan nama lengkap dari M. Quraish

Shihab. Saat ini beliau berumur 77 tahun. Beliau terlahir di Rappang,

Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Indonesia pada tanggal 16

42
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i suatu pengantar, terj. Suryan A
Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 18.
34

Februari 1944.43 Beliau adalah putra dari seorang ulama dan guru besar

dalam bidang Tafsir yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN

Alauddin Makasar ke 3 (1973-1979) yakni Prof. Habib Abdurrahman

Shihab. Beliau juga salah seorang penggagas berdirinya UMI

(Universitas Muslim Indonesia) yaitu universitas Islam swasta

terkemuka di Makasar dan beliau pernah menjabat sebagai Rektor UMI

ke 2 (1959-1965).44

Peran dan figur sosok ayah dari M. Quraish Shihab lah yang

menghantarkan sosok kharismatik M. Quraish Shihab menjadi sosok

yang berhasil mengikuti jejak Langkah ayahnya sebagai pemuka agama

Islam dalam bidang Tafsir. M. Quraish Shihab sudah mendapatkan

dorongan dan motivasi dari ayahnya sejak beliau kecil. Menurut

pengakuannya bahwa kecintaannya terhadap al-Qur’an dan bidang

Tafsir sudah ditanamkan dalam dirinya sejak kecil oleh ayahandanya.

Ayahandanya sering mengajak M. Quraish Shihab dan saudara-

saudaranya untuk duduk bersama setelah melaksanakan salat magrib

berjamaah. Kemudian sang ayah memberikan petuah dan nasehat

agama yang berasal dari al-Quran dan hadits, perkataan dari Sahabat

dan ulama serta pakar al-Qur’an.45

43
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 7.
44
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad M. Quraish Shihab,
(Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I, hlm. 31.
45
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. II, hlm. 19-20.
35

2. Pendidikan M. Quraish Shihab

Pendidikan yang dijalani Prof. Dr. M. Quraish Shihab dimulai

sejak di kampung kelahirannya sendiri, yakni Ujung Pandang. sedari

usia kecil beliau telah terbiasa mengikuti pengajian Tafsir yang diasuh

oleh ayahandanya. Beliau menamatkan pendidikan SMP di Ujung

Pandang Makassar hingga kelas dua (1985). Selanjutnya beliau

melanjutkan pendidikannya di Malang, sebagai santri pondok pesantren

Darul Hadis Al-Fiqhiyyah (1967). Setelah tamat dari pondok pesantren

di Malang, beliau berangkat menuju Kairo, Mesir untuk melanjutkan

studinya dan beliau diterima di kelas II Madrasah Tsanawiyah Al-

Azhar. Hingga pada tahun 1967 beliau meraih gelar Lc pada fakultas

Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Setelah itu

beliau melanjutkan studinya di fakultas yang sama, dan memperoleh

gelar MA pada 1969 dengan spesialisasi bidang Tafsir al-Qur‘an.46

Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab berangkat menuju Kairo

kembali untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah dua tahun, beliau

berhasil menamatkan dan mendapatkan gelar Doktor untuk spesialisasi

Tafsir Al-Quran dengan predikat Summa Cumlaude atau Mumtaz ma’a

Martabat as-Syaraf al-Ula dengan judul Disertasinya “Nazm ad-Durar

li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah”. Beliau merupakan orang Asia

Tenggara pertama yang berhasil meraih gelar Doktor dengan nilai dan

peringkat istimewa tersebut.47

46
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 363.
47
M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 5.
36

Setelah meraih gelar doktornya beliau kembali ke bumi pertiwi

sejak tahun 1984. Prof. Dr. M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas

Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah dan

akhirnya jadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 7 tahun

yakni pada 1992 hingga 1998. Diluar lingkup kampus beliau juga

dipercaya menjabat beberapa jabatan penting, yakni ketua Majelis

Ulama Indonesia pusat sejak 1985 hingga 1998, anggota Lajnah

Pentashih Al-Qur’an Depatemen Agamasejak tahun 1989, Anggota

Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1988 hingga

1996. Anggota MPR RI dua periode yakni pada 1992-1987 dan 1987-

2002, anggota Badan Akreditasi Nasional sejak 1994 hingga 1998,

Direktur Pengkaderan Ulama MUI selama tiga tahun yakni sejak 1994

hingga 1997, anggota Dewan Riset Nasional selama empat tahun yakni

1994 hingga 1998, anggota Dewan Syari’ah Bank Muamalat Indonesia

Selma 8 tahun sejak 1992 hingga 1999 dan sebagai Direktur Pusat Studi

Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Beliau juga pernah juga menduduki jabatan

mentri agama RI pada masa pemerintahan presiden Soeharto.48

3. Karya-karya M. Quraish Shihab

Prof. Dr. M. Quraish Shihab merupakan sosok tokoh agama Islam

terkemuka di Indonesia bahkan didunia saat ini. Beliau adalah tokoh

mufassir yang produktif dalam menghasilkan karya tulisannya. Bahkan

di sela-sela kesibukan beliau, masih saja bisa menghasilkan karya yang

48
Anshori, Op.Cit., hlm. 35-36
37

sangat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Berikut beberapa karya

tulisan Prof. Dr. M. Quraish Shihab :

a. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Berbagai Persoalan Umat.

Buku ini memuat 33 topik al-Qur’an mengenai berbagai masalah,

dicetak pertama kali pada tahun 1996.

b. Lentera Hati, Buku ini adalah hasil kumpulan artikel beliau yang

berkaitan dengan Tafsir yang pernah diterbitkan di harian rubrik

pelita hati sejak tahun 1990 hingga awal 1993.

c. Menyingkap Tabir Ilahi Asma Al-Husna dalam Perspektif al-

Quran. Buku ini diterbitkan pertama sekali oleh penerbit Lentera

Hati di Jakarta, pada bulan Ramadhan tahun 1998 M/ 1419 H.

Isinya berkaitan tentang penjelasan Asmaul Ḣusna (nama-nama

Tuhan).

d. Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil.

e. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek

Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu.

f. Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat. Buku ini berasal dari makalah-

makalahnya sejak tahun 1975. Diterbitkan di Bandung oleh

Penerbit Mizan yang dicetak pertama sekali pada bulan mei 1412

H.

g. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir al-Qur’an.

h. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdhah.

i. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Muamalah.


38

j. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan kelemahannya. Buku ini

diterbitkan di Ujung pandang IAIN Alauddin pada tahun 1984

k. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

l. Studi Kritis Terhadap Tafsir Al-Manar, Buku ini membahas

tentang kritikan Quraish terhadap Tafsir Al-Manar, karya

Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha.

m. Wawasana al-Qur’an Tentang Dzikir dan Doa. 49

4. Tafsir Al-Misbah

Tafsir Al-Misbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam

metode yang digunakan dalam penulisannya beliau menggunakan

metode tahlili. Maksud dari metode Tahlili adalah, suatu metode yang

menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai

dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir yang

dihidangkannya secara runtut sesuai dengan peruntutan ayat-ayat dalam

mushaf.50 Hal ini terlihat dari caranya membahas setiap surat atau ayat,

yang beliau selalu mengelompokkan ayat-ayat dalam surat sesuai

dengan tema tema pokoknya. Selain itu susunan dari Tafsir Al-Misbah

ini adalah tartib mushafi. Maksudnya adalah susunannya sesuai dengan

urutan mushaf al-Qur’an sebagiamana yang telah penulis paparkan

pada pembahasan Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an sebelumnya.

Corak yang digunakan pada Tafsir Al-Misbah ini sama dengan

corak yang digunakan pada Tafsir Fi Zhilail Qur’an, yakni


49
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah: Kajian atas Amtsal Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 13-14
50
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,(Tanggerang: Lentera Hati, 2013), cet, II, hlm 378.
39

menggunakan corak Tafsir adabi Ijmima’i. sebagaimana pembahasan

penulis sebelumnya bahwa corak ini di sebut juga sebagai corak sastra

budaya maksudnya adalah, corak ini membahas fenomena yang terjadi

pada masanya. contohnya masalah ilmu pengetahuan dan teknologi

yang berkembang mengikuti zaman.


BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Hukum dan syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang wajib

sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama. 51

Ahlul ilmi bersepakat tentang wajibnya amar ma’ruf nahi munkar baik

fardu ain maupun kifayah dan sebagian lainnya berpendapat hukumnya

fardu ain. Perbedaan ini berawal dari penagfsiran para ulama terhadap QS

Ali ‘imran: 104. Berikut akan penulis jelaskan.

‫ك‬
ۚ ‫عن ا‬ ْ ‫و رو ْ عر َي‬ ِ ‫دْ لَى ا‬ ُ‫أ‬ ‫و ْلتَـكُن‬
‫ْلمن ِر‬ ‫و‬ ‫ْن‬ ‫َيأ ن ل و‬ ‫ر‬ ‫ُعون‬ ²
‫ن‬ ‫ف‬ ‫َم ا‬ ‫خ‬ ˚‫ّمة‬
‫ه‬ ‫ُم‬ ‫ْي‬
‫و‬
‫’من ْم‬
‫وأُـولَ ِئ ك ُه ُم ا حون‬
‫ْلم ْف ِل‬
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.”

Mereka yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah fardu kifayah

berdalil dengan lafadz “minkum yang terdapat pada ayat diatas yang

artinya “sebagian”. Sedangkan yang berpendapat fardu ain mengartikan

lafad “minkum” sebagai bayan atau menjelaskan.52

Dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada pendapat Imam Al-

Qurtubi dalam Tafsirnya, beliau mengungkapkan bahwa lebih tepat

memahami kata minkum pada ayat ini dalam arti sebagian kamu, berdasar

kebutuhan umat Islam terhadap adanya kelompok khusus yang menangani

51
Saleh Bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Relasi Dunia
Modern (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 81.
52
Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut ahlus sunnah wal
jama’ah (depok: Pustaka Khazanah Fawaid,2017), hlm. 53.

40
41

dakwah dan membendung informasi yang menyesatkan. Tanpa menutup

kewajiban setiap muslim untuk senantiasa saling mengingatkan kepada

kebajikan (Bersifat fardhu kifayah).53

Apabila umat yang disebutkan dalam ayat tersebut, yakni

segolongan melaksanakan tugasnya maka gugurlah yang lain. Akan tetapi,

dengan syarat golongan tersebut termasuk orang-orang yang mampu

melaksanakan fardlu kifayah dalam syi’ar ini. Akan tetapi dalam beberapa

keadaan, amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardu ‘ain dan disamping itu

nahi munkar dengan hati dan benci terhadap kemunkaran dan pelakunya,

hukumnya fardu ‘ain terhadap semuanya berdasarkan kesepakatan ulama

dan tidak ada seorangpun yang dikecualikan, karena hal tersebut

memungkinkan bagi setiap orang.54

Ibnu hazm berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar

hukumnya fardlu ‘ain berdasarkan hadits abu said Al-khudri yang marfu’:

‫وسل‬ َ‫ص لَُّال عل‬ ‫ سمعت رسول هلال‬:‫عن أبي سعيد الخدري قال‬
:‫ّ َم يقول‬ ‫ْيه‬ ‫لـَّى‬
‫(مـن رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع‬
).‫فبقلبه وذلك أضعف اَّليمان‬

Artinya: “dari abu sa’id Al-Khudri berkata, saya mendengar Rasulullah


saw bersabda, ”barang siapa di antara kamu yang melihat
kekurangannya, maka hendaklah ia merubah dengan
tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan
lisannya, jika tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan
hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah” (HR. Muslim.
No.49).55

53
Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, Juz 4 (Kairo: Dar Al-Kutub
Al-Mishriyah, 1964 ) hlm. 164.
54
Salman, Al-Audah dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1993), hlm. 50.
55
Abu Al-Husain Muslim Al-Naysaburi, Al-Jami’ Al-Sahih, (Beirut: Dar Al-Jayl, T.t),
hlm. 50.
42

Adapun syarat dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar diantaranya :

1. Islam

Para ulama, menjadikan agama Islam sebagai kunci syarat utama,

sebab menjauhi kemunkaran adalah tanggungjawab dan tugas yang

disyariatkan. Maka sebab demikian, orang kafir tidak diwajibkan

mengerjakannya. Dengan alasan pertama, dalam hal hisbah (melaksanakan

amar ma’ruf nahi munkar) terdapat hukum-hukum Islam, meskipun dia

mengaku mengetahuinya.56

2. Pengetahuan

Ilmu adalah mengetahui sesuatu yang ingin diketahui, yaitu

dengan mengetahui ciri dan maknanya yang sebenarnya. Ilmu

terkadang disebut ma’rifah karena siapa yang memiliki ilmu tentang

sesuatu maka ia telah mengetahuinya. Begitu juga orang yang

memerintahkan ma’ruf dan mencegah munkar harus mengetahui agar

ia dapat mengingkarinya. Selain itu ia juga mengetahui kebaikan

supaya bisa memerintahkan pada dirinya,mengetahui alasan kenapa

yang ini munkar dan yang ini ma’ruf, serta mengetahui langkah terbaik

dalam menyampaikan perintah dan larangan. Orang yang bermaksud

melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus memiliki pengetahuan

syariat seperti hal-hal yang berkaitan dengan kemunkaran dan

kebaikan. Dengan begitu, dia akan menjalankan amar ma’ruf nahi

munkardengan berlandaskan ilmu pengetahuan, bukan dasar

56
Abdullah Darwis, Op.Cit., hlm. 106.
43

ketidaktahuan dan penyimpangan. Allah swt berfirman dalam QS.

Yusuf (12):108

َِّ‫ل‬ ‫و‬ ‫عو ِۚ ع َ صير ٍة َ ن ِن‬ ُ ْ‫ل َه ِذ ِه س ِبي ِلي أَـد‬


‫ا‬ ‫ْبحان‬ ‫أَـَنا م اتَـّ َب ي‬ ‫لَى ل َِّ ل ب‬
‫ا‬
‫و‬ ‫ى‬
‫و َما أَـ نَ ا من ا ْلمش ِر ِكين‬
Artinya: “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-
orang yang musyrik”.57
3. Ikhlas

Menyerukan yang ma’ruf dan melarang yang munkar semata-mata

karena Allah swt dan demi memuliakan agama, bukan lantaran riya’

(pamer) serta menginginkan kedudukan di sisi manusia (maksudnya,

dihormati dan disegani manusia). 58

4. Bersikap lemah lembut

Orang yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran

harus melatih diri bersikap lemah lembut dan sabar. Hal ini beralasan

bahwa sikap kasar dan emosional kadang menghalangi pengingkaran

kemunkaran, bahkan akan membuat kemunkaran semakin berlipat dan

melebar. Syarat ini termasuk yang paling penting dalam melaksanakan

amar ma’ruf nahi munkar. Dalam masalah melarang hendaknya harus

ada dalam jiwanya sifat ramah dan lemah lembut.59

5. Sabar dan Murah hati

Sabar, ia bisa membawa beban amarah dan mengendalikannya.

Sesungguhnya dalam beramar ma‟ruf nahi mukar akan menghadapi

berbagai aniaya. Maka dalam menghadapi tidak perlu gelisah atau

57
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 248.
58
Abdul Qadir Jawaz,Op.Cit., hlm. 56.
59
Ibid., hlm. 57.
44

khawatir. Semua itu dilakukan karena jalan amar ma‟ruf nahi munkar

tidak semudah yang kita bayangkan. Maka barangsiapa yang tidak

sabar, maka jalan ini seakan-akan begitu panjang dan terasa berat,

karena kosong dari Mahimmah Rabbaniyyah (kepentingan demi

Rabb) yang mulia, yang mewakili jiwa dengannya. Oleh karena itu

Allah memerintahkan kepada Rasul, para imam dan kaum muslimin

untuk selalu sabar dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.

Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara demikian

amatlah sulit dilakukan oleh kebanyakan orang.60

6. Memiliki kepribadian yang baik

Setiap muslim yang hendak menyampaikan amar ma‟ruf nahi

munkar, diwajibkan mempunyai kepribadian jauh lebih baik untuk

menunjang keberhasilan, kita dapat menggali atau mencontoh

kepribadian yang sangat tinggi dan tidak pernah kering digali

contohnya kepribadian Rasulullah saw. Ketinggian kepribadian

Rasulullah dapat dilihat dari pernyataan Al-Qur’an.

B. Analisis Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada Surat Ali-Imran

Surat Ali Imran adalah surat ketiga di antara surat-surat dalam Al-

Qur’an. Surat Ali Imran terdiri dari 200 ayat, dan termasuk dalam surat

Madaniyah, maksudnya ayat-ayat yang turun atau diwahyukan kepada

Rasulullah saw ketika beliau di Madinah, atau setelah Rasulullah saw

60
Ibid., hlm. 57.
45

hijrah dari mekah ke Madinah.61 Diberi nama surat Ali Imran disebabkan

surat ini menceritakan mengenai kisah keluarga Imran (Ali Imran), selain

itu kandungan pada surat Ali Imran juga menceritakan kisah kelahiran

Nabi Isa as tentang kenabiannya dan beberapa mukjizat yang dimiliki Nabi

Isa as. Kemudian juga menjelaskan tentang Maryam Binti Imran, yakni

merupakan ibu dari Nabi Isa as.

Selain mengenai keluarga Imran, pokok dari isi surat Ali Imran

adalah alasan yang membantah orang Nashrani mempertuhankan Nabi Isa

as, tentang bermubahalah, bermusyawarah, larangan praktik riba, perang

badar, perang uhud serta pelajaran yang dapat diambil darinya, kemudian

golongan manusia dalam memahami tentang ayat mutasyabihat,

selanjtmya juga membahas mengenai sifat Allah swt, ciri orang yang

bertaqwa, jalan yang diridhoi Allah swt, mudharatnya menjadikan orang

kafir sebagai teman kepercayaan, perumpamaan dan peringatan terhadap

para mukmin, peringatan kepada Ahlul kitab dan ka’bah yang merupakan

rumah peribadatan yang tertua.62

1. Penafsiran Ayat Ali-Imran 104 Menurut Tafsir Al-Misbah dan Tafsir

fi Zhilail Qur’an

ِۚ ‫ك ِر‬
‫عن ٱ‬ ْ ‫و رو ْ عر َي‬ ِ ‫َلى ٱ‬ ‫ْم أُـ َّمة˚ـ َي‬ ‫و َْلت‬
‫ْلمن‬ ‫و‬ ‫ْن‬ ‫َيأ ن ل و‬ ‫ْل ر‬ ُ‫ُعون ’منك‬ ²
‫ن‬ ‫ف‬ ‫َم ٱ‬ ‫خ‬
‫ه‬ ‫ُم‬ ‫ْي‬
‫و‬ ٰٓ
‫كُن‬
َ
‫وأُـ ۟وَل ِئ ُه ُم ٱ ِ حون‬
‫ْل ك ل‬
ْ
‫ف‬

‫م‬
46
Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung” (Q.S ali-Imran [3]: 104).

61
Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014),
hlm. 85.
62
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al Qur’an, (Jakarta: AMZAH, 2008), cet.3, hlm. 20.
47

a. Penafsiran Tafsir Al-Misbah

Pada surat Ali Imran ayat 104, dalam kitab Tafsir Al-Misbah

menjelaskan bahwa pada ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada

orang yang beriman untuk senantiasa menempuh jalan yang berbeda,

yaitu menempuh jalan yang luas serta lurus, dan juga kemudian

mengajak orang lain untuk senantiasa menempuh jalan kebijakan dan

jalan yang ma’ruf.63

Pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang akan

terlupakan jika tidak ada orang yang membantu untuk mengingatkan

atau tidak di ulangi dalam mengerjakannya. Selain itu, pengetahuan

serta pengamalan saling terikat dan berkaitan. Pengetahuan itu

mendorong kita kepada pengamalan serta meningkatkan kualitas amal.

Sedangkan amalan yang terlihat dalam kehidupan itu merupakan guru

terbaik bagi manusia.

Jika seperti itu, maka setiap manusia perlu senantiasa diingatkan

dan diberikan contoh yang baik. Inilah yang dimaksud dengan inti dari

dakwah islamiyah. Dari hal inilah akan lahir tuntunan ayat ini dan dari

hal ini pula akan terlihat keterkaitannya dengan tuntunan sebelumnya.

Kalaulah tidak semua komponen masyarakat bisa melaksanakan

fungsi dakwah, maka hendaklah ada di antara kamu wahai orang-

orang yang beriman segolongan umat, yakni kelompok manusia yang

kepadanya bisa dijadikan sebagai contoh yang baik dan didengar

olehnya nasihatnya yang mengajak orang lain secara rutin tanpa bosan
63
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jilid
2), hlm. 172.
48

dan lelah kepada kebajikan, yakni petunjuk dari Ilahi, menyuruh

masyarakat kepada yang ma’ruf, yakni nilai-nilai luhur yang

mengandung kebaikan serta adat istiadat yang diakui baik oleh

mereka, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan dan syari’at

mencegah mereka dari yang munkar yakni yang dinilai buruk serta

diingkari oleh akal sehat manusia. Mereka yang melaksanakan

tuntunan ini dan yang sungguh tinggi serta jauh martabat

kedudukannya, merekalah orang-orang yang beruntung, yang mana

mereka mendapatkan apa yang mereka impikan dan dambakan dalam

kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Kata ‫م نك م‬ minkum pada ayat tersebut, terdapat beberapa

pandangan ulama. Ada ulama yang memahami dengan arti sebagian,

dengan demikian, maka perintah berdakwah yang terkesan oleh ayat

ini tidak tertuju bagi setiap orang. Bagi ulama yang memahaminya

demikian, maka ayat ini menurut mereka mengandung dua macam

perintah, yakni yang pertama ditujukan untuk seluruh umat Islam agar

membentuk serta menyiapkan sebuah kelompok khusus yang bertugas

untuk melaksanakan dakwah. sedangkan perintah yang kedua adalah

tertuju kepada kelompok khusus itu untuk melaksanakan dakwah

kepada hal yang ma’ruf serta mencegah dalam kemunkaran. Kemudian

ada juga ulama yang memfungsikan kata ‫م نك م‬ minkum dalam arti

penjelasan, sehingga ayat ini adalah perintah kepada setiap orang

muslim untuk melaksanakan dakwah tersebut sesuai dengan


49

kemampuan yang dimilikinya. Jika dakwah yang dimaksud merupakan

dakwah yang sempurna, maka tidak semua dapat melakukannya.64.

Pada Tafsir Al Misbah ini selanjutnya juga termaktub di dalamnya

mengenai kebutuhan masyarakat saat ini, yang membahas mengenai

informasi benar di tengah arus informasi saat ini. Bahkan juga

termaktub di dalamnya mengenai perang informasi yang sedemikian

pesat seiring dengan perkembangan teknologi dengan sajian baru yang

sering membingungkan. Semua hal itu menuntut terciptanya sebuah

kelompok khusus yang menangani dalam dakwah dan membendung

informasi yang bisa menyesatkan. Oleh karna itu maka lebih tepat

untuk memahami kata minkum pada ayat tersebut dengan makna

sebagian kamu tanpa harus menutup kewajiban bagi setiap muslimin

untuk saling ingat mengingatkan. Bukan disebabkan ayat ini, namun

berdasarkan firman Allah swt dalam surah al-‘Ashr yang mana

menilai seluruh umat manusia dalam kerugian, terkecuali mereka yang

beriman serta yang beramal saleh dan senantiasa saling ingat

mengingatkan tentang kebenaran serta ketabahan.

Selanjutnya ditemukan bahwa ayat di atas menggunakan dua kata

berbeda adalam rangka perintah berdakwah. Yakni yang pertama

adalah kata ‫ي ـدعون‬ yad’una, artinya mengajak, dan yang

kedua adalah ‫ي ـأمرون‬ ya’muruna, maknanya memerintahkan.

Kemudian M.Quraish Shihab menyadur perkataan Sayyid Quthb

dalam Tafsirnya yang mengemukakan bahwa, dalam penggunaan

dua kata yang

64
Ibid., hlm. 173.
50

berbeda tersebut menunjukkan akan keharusan adanya dua kelompok

dalam struktur masyarakat Islam. Yakni kelompok yang pertama

adalah bertugas untuk mengajak, dan kelompok kedua bertugas untuk

memerintah dan melarang. Kelompok kedua tersebut tentulah harus

memiliki kekuasaan di bumi. “Ajaran Ilahiah di duni ini bukan hanya

sekedar kepada nasihat, petunjuk dan penjelasan saja. Ini merupakan

salah satu sisi, sedangkan sisi yang kedua merupakan melaksanakan

kekuasaan memerintah serta melarang, supaya ma’ruf dapat

ditegakkan, dan kemungkaran dapat hilang dan sirna. Demikian tutur

Sayyid Quthb.

M. Quraish Shihab juga mengemukakan dalam kitab Tafsirnya,

bahwa apa yang diperintahkan oleh ayat di atas sebagaimana terbaca

berkaitan pula dengan dua hal, mengajak dikaitkan dengan al-khair,

sedang memerintah jika berkaitan dengan perintah melakukan

dikaitkan dengan al-ma’ruf, sedang perintah untuk tidak melakukan,

yakni melarang dikaitkan dengan al-munkar. Artinya mufassir

tersebut mempersamakan kandungan al-khair dengan al-ma’ruf, dan

bahwa lawan dari al-khair adalah al-munkar. Padahal hemat penulis

tidak ada dua kata yang berbeda walau sama akar katanya kecuali

mengandung pula perbedaan makna. Tanpa mendiskusikan perlu

tidaknya ada kekuasaan yang menyuruh kepada kebaikan dan

mencegah kemunkaran, penulis mempunyai tinjauan lain.65

65
Ibid., hlm. 174
51

Yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan ayat di atas yakni

yang pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi

disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekadar

mengajak yang dicerminkan antara kata mengajak dan firman-Nya:

“Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan cara yang bijaksana, nasihat

(yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan

cara yang lebih baik.” Qs. An-Nahl [16]: 125. Perhatikan kata “bi

allati hiya ahsan” dengan cara yang lebih baik, bukan sekedar baik.

Selanjutnya, setelah mengajak siapa yang akan beriman silahkan

beriman, dan siapa yang kufur silahkan pula, masing-masing

mempertanggung jawabkan pilihannya.

Hal kedua yang perlu digaris bawahi adalah al-ma’ruf, yang

merupakan kesepakatan umum masyarakat. Ini sewajarnya

diperintahkan, demikian juga al-munkar seharusnya dicegah. Baik

yang memerintahkan dan yang mencegah itu pemilik kekuasaan

maupun bukan. Siapa pun di antara kamu melihat kemunkaran maka

hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangan /

kekuasaan-Nya, kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan)

maka dengan lidah / ucapannya, kalau (yang ini pun) dia tidak mampu

maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. Demikian

sabda Nabi Salallahu ‘alaihi wassallam, yang diriwayatkan oleh

sejumlah perawi hadits antara lain Imam Muslim, at-Tirmidzi dan Ibn
52

Majah melalui sahabat Nabi Salallahu ‘alaihi wassallam, Abu Sa’id

al-Khudri.66

Dalam konteks ini dapat dipahami ungkapan Ibn al-Muqaffa’

yang berkata:

‫ذَا ل ال عرو ص ْ كرا و ِاذَ شا ص معر ْوفًا‬


Artinya : “Apabila ‫ ع ار‬maka
ma’ruf telah kurang diamalkan ‫ا‬ ‫ف ار‬
ia ‫ن‬menjadi ‫َم‬

‫م‬
munkar dan apabila munkar telah tersebar maka ia menjadi
ma’ruf.”

Dengan konsep ma’ruf, al-Qur’an membuka pintu yang cukup

lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan

positif masyarakat. Perlu dicatat bahwa konsep ma’ruf hanya

membuka pintu bagi perkembangan positif masyarakat, bukan

perkembangan negatifnya. Dari sini filter al-khair harus benar-benar

difungsikan. Demikian juga halnya dengan munkar, yang pada

gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muru’ah, identitas

dan integritas seseorang. Karena itu, sungguh tepat khususnya pada

era yang ditandai oleh pesatnya informasi serta tawaran nilai-nilai,

berpegang teguh pada kaidah:

‫خ ْ ِد ا ص ِل ِح‬ ْ ‫علَى ا ْلَق ِد ْي صا‬


‫وا‬ ‫ا ْل م حاف‬
‫ذ ل ْْلَ ج‬ َ‫ِم ال ِلح ل‬ ‫ظ‬
‫ِد ْي‬
‫ا‬
Artinya: “Mempertahankan nilai lama yang baik, dan mengambil nilai
baru yang lebih baik”.67

Menurut analisa penulis di dalam surat Ali-Imran ayat 104 yaitu

dalam ayat ini terkandung beberapa nilai kehidupan untuk


53
mengamalkan kebajikan. Ayat ini menjelaskan mengenai kehidupan

66
Ibid., hlm. 175
67
Ibid., hlm. 176
54

manusia dalam menjalankan perintah dari Allah swt, dengan

mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah memerintahkan orang-

orang yang beriman untuk menempuh jalan yang berbeda dari orang-

orang yang kafir. Diseru untuk mengambil jalan yang luas (banyak

jalan) dan jalan yang lurus (tidak melenceng) serta mengajak orang

lain menempuh jalan kebajikan dan ma’ruf, seperti halnya berdakwah,

mengajar, mengingatkan untuk tidak berbuat hal yang mungkar.

Dalam melakukan amar ma‘ruf nahi munkar dapat kita ketahui

dari penyelidikan, baik secara terang-terangan maupun secara diam-

diam. Untuk mengetahui tentang kemunkaran yang terjadi di

masyarakat. Kemudian mendapat kesaksian dari orang lain yang

dianggap jujur maka perbuatan tersebut dapat dicegah. Seorang yang

melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, jika sudah mengetahui hal itu

benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pelaku kemungkaran, maka

selanjutnya ia dapat menasehati agar tidak melakukannya lagi atau

agar mengurungkan niatnya untuk bermaksiat. Jika itu semua dapat

terbina dengan baik maka rasa nyaman dan aman akan didapat oleh

semua orang dan akan mendapat pujian antara satu manusia dengan

manusia lain sehingga terciptalah keharmonisan dalam bermasyarakat.

Dalam ayat 104 surat ali-Imran pada tafsir Al-Misbah ini

termaktub, pengetahuan dan pengamalan saling berkaitan. Dalam ayat

di atas, memiliki dua hal, yaitu perbedaan antara yad’una (mengajak)

dan ya’muruuna (memerintahkan). Sudah jelas perbedaan antara

mengajak dan memerintahkan tersebut sangat berbeda. Mengajak bisa


55

diartikan dalam mengajak dalam kebaikan namun, kita bisa langsung

membimbing, dan mengayomi orang-orang yang kita ajak dalam hal

yang ma’ruf. Sedangkan, memerintahkan bisa diartikan hanya

memberi titah, memberi perintah tanpa membimbing, dan mengayomi

orang-orang dalam hal yang ma’ruf, dalam tafsir Al-Misbah juga

dijelaskan kata perintah bisa diartikan untuk tidak melakukan, yang

dikaitkan dengan al-munkar. Konsep al-ma’ruf hanya membuka jalan

bagi perkembangan positif masyarakat luas, bukan terhadap

perkembangan negatifnya.68

b. Penafsiran Tafsir FI Zhilalil Qur’an

ِۚ ‫ك ِر‬ ‫ُـ‬
‫عن ٱ‬ ْ ‫و رو ْ عر َي‬ ِ ‫ْم أ َّمة˚ـ َي لَى ٱ‬ ‫و َْلت‬
‫ْلمن‬ ‫و‬ ‫ْن‬ ‫َيأ ن ل و‬ ‫ْل ر‬ ُ‫ُعون ’منك‬ ²
‫ن‬ ‫ف‬ ‫َم ٱ‬ ‫خ‬
‫ه‬ ‫ُم‬ ‫ْي‬
‫و‬ ٰٓ
‫ُكن‬
َ
‫وأُـ ۟وَل ِئ ُه ُم ٱ ِ حون‬
‫ْل ك ل‬
ْ
‫ف‬

‫م‬
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung”. (QS.[3]: 104)
Dalam Tafsir fi zhilail al-qur’an, dakwah Amar Ma’ruf Nahi

Munkar menjelaskan bahwa perlunya adanya sebuah kekuasaan untuk

menegakkannya. Adapun tugas kaum muslimin yang berpijak di atas

dua pilar ini adalah tugas utama yang harus mereka laksanakan untuk

menegakkan manhaj Allah di muka bumi, dan untuk memenangkan


56
kebenaran atas kebatilan, yang ma’ruf atas yang mungkar, dan yang

baik atas yang buruk. Tugas yang karenanya Allah mengorbitkan

kaum muslimin dengan tangan dan pengawasan-Nya, serta sesuai

manhaj-Nya.
68
Op.Cit., hal. 176
57

Dalam Tafsir fi zhilail-Qur’an menjelaskan, haruslah ada

segolongan orang atau satu kekuasaan yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang

mungkar. Ketetapan bahwa harus ada suatu kekuasaan adalah madlul

‘kandungan petunjuk’ nash Al-Qur’an ini sendiri. Terdapat “seruan”

kepada kebajikan, tetapi juga ada “perintah” kepada yang ma’ruf dan

“larangan” dari yang mungkar. Apabila dakwah (seruan) itu dapat

dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka “perintah

dan larangan” itu tidak akan dapat dilakukan kecuali oleh orang yang

memiliki kekuasaan.

Maka, manhaj Allah di muka bumi bukan semata-mata nasihat,

bimbingan, dan keterangan. Memang ini adalah satu aspek, tetapi ada

aspek yang lain lagi. Yaitu, menegakkan kekuasaan untuk memerintah

dan melarang; mewujudkan yang ma’ruf dan meniadakan

kemungkaran dari kehidupan manusia; dan memelihara kebiasaan

jamaah yang bagus agar jangan disia-siakan oleh orang-orang yang

hendak mengikuti hawa nafsu, keinginan, dan kepentingannya. Juga

untuk melindungi kebiasaan yang saleh ini agar setiap orang tidak

berkata menurut pikiran dan pandangannya sendiri, karena

menganggap bahwa pikirannya itulah yang baik.69

Oleh karena itu, dakwah kepada kebajikan dan mencegah

kemungkaran bukanlah tugas yang ringan dan mudah. Sesuai

tabiatnya, kita lihat adanya benturan dakwah dengan kesenangan,

69
Sayyid Quthb, fi Zhilalil-Qur’an II, JUZ III, hlm.125.
58

keinginan, kepentingan, keuntungan, keterpedayaan, dan

kesombongan manusia (objek dakwah). Terang Sayyid Quthb di

antara manusia itu ada penguasa yang kejam, pemerintah yang

berkuasa, orang yang rendah moralnya, orang yang sembrono dan

membenci keseriusan, orang yang mau bebas dan membenci

kedisiplinan, orang yang zalim dan membenci keadilan, serta orang

yang suka menyeleweng dan membenci yang lurus. Mereka

menganggap buruk terhadap kebaikan dan menganggap baik terhadap

kemungkaran. Padahal, umat manusia pun tidak akan bahagia kecuali

kalau kebaikan itu yang dominan. Sedangkan, hal itu tidak akan terjadi

kecuali yang ma’ruf tetap dpandang ma’ruf dan yang mungkar

dipandang mungkar. Semua itu memerlukan kekuasaan bagi kebajikan

dan kema’rufan. Kekuasaan untuk memerintah dan melarang agar

perintah dan larangannya dipatuhi.

Sesungguhnya membentuk jamaah merupakan suatu keharusan

dalam manhaj Ilahi. Jamaah ini merupakan komunitas bagi manhaj ini

agar dapat bernapas dan eksis dalam membentuk riilnya. Yang ma’ruf

di kalangan mereka adalah kebaikan, keutamaan, kebenaran, dan

keadilan. Sedangkan, yang mungkar adalah kejahatan, kehinaan,

kebatilan, dan kezaliman.70

Tashawwur ‘persepsi’, pemikiran islami tentang alam wujud,

kehidupan, tata nilai, perbuatan, peristiwa, benda, dan manusia

berbeda dengan persepsi jahiliah dengan perbedaan yang mendasar

70
Ibid., hlm. 126.
59

dan substansial. Oelh karena itu, harus ada sebuah komunitas khusus

di mana persepsi ini dapat hidup dengan segala tata nilainya yang

spesifik. Harus ada komunitas dan lingkungan jahiliah.

Inilah komunitas khusus yang hidup dengan tashawwur islami dan

hidup untuknya. Maka, di kalangan mereka hiduplah tashawwur ini.

Karakteristiknya dapat bernapas dengan bebas dan merdeka dan dapat

tumbuh dengan subur tanpa ada hambatan atau serangan dari dalam.

Apabila ada hambatan-hambatan maka ia akan diajak kepada

kebaikan, disuruh kepada yang ma’ruf, dan dicegah dari yang

mungkar. Apabila ada kekuatan zalim yang hendak menghalang-

halangi manusia dari jalan Allah maka akan ada orang-orang yang

yang memeranginya demi membela manhaj Allah bagi kehidupan.

Komunitas ini terlukis dalam wujud jamaah kaum muslimin yang

berdiri tegak di atas fondasi iman dan ukhuwah. Iman kepada Allah,

untuk mempersatukan persepsi mereka terhadap alam semesta,

kehidupan, tata nilai, amal perbuatan, peristiwa, benda, dan manusia.

Juga agar mereka kembali kepada sebuah timbangan untuk

menimbang segala sesuatu yang dihadapinya dalam kehidupan; dan

agar berhukum kepada satu-satunya syariat dari sisi Allah, dan

mengarahkan segala loyalitasnya kepada kepemimpinan untuk

mengimplementasikan manhaj Allah di muka bumi. Ukhuwwah fillah’

persaudaraan karena Allah’, untuk menegakkan eksistensinta atas

dasar cinta dan solidaritas.


60

Demikianlah kaum muslimin pertama di Madinah, berdiri tegak di

atas pilar ni. Pertama, pilar iman kepada Allah swt, terlukisnya sifat-

sifat-Nya di dalam hati, takwa kepada-Nya, merasa bersama-Nya, dan

diawasi-Nya, dengan penuh kesadaran dan sensitivitas dalam batas

yang jarang dijumpai pada orang lain. Kedua, didasarkan pada cinta

yang melimpah dan mengalir deras; dan kasih sayang yang nyaman

dan indah serta saling setia kawan dengan kesetiaan yang mendalam.

Semuanya bisa dicapai oleh jamaah itu. Di atas pijakan iman dan

persaudaraan seperti itulah manhaj Allah dapat ditegakkan di muka

bumi sepanjang masa. 71

Dalam Tafsir fi zilalil al-Qur’an pada surat al-Imran ayat 104 ini

Sayyid Quthb menafsirkan menyeru berdakwah dengan cara membuat

suatu komunitas yang terlukis dalam wujud jamaah kaum muslimin

yang berdiri di atas pondasi iman dan ukhuwah untuk menghidupkan

tashawwur islami dan hidup untuknya, Ukhuwah fillah persaudaraan

karena Allah. Komunitas ini untuk mempersatukan persepsi atau

argumen masing-masing terhadap alam semesta, kehidupan, tata nilai,

amal perbuatan, peristiwa yang terjadi, supaya mereka menimbang

mengerjakan segala sesuatu, kembali ke hukum kepada satu-satunya

syariat dari sisi Allah, dan menyeru kepada loyalitas terhadap

kepemimpinanya untuk mengimplementasikan manhaj Allah swt.

Dalam pelaksanaan beramar ma’ruf nahi munkar, menurut beliau

harus ada sebuah kepemimpinan tentu bertujuan agar dalam

71
Ibid., hlm. 127-128.
61

pelaksanaanya lebih terorganisir sehingga antara satu dan yang lainnya

mempunyai kekuatan dalam mencegah kemunkaran yang terjadi di

mmasyarakat. Sebagai contoh dalam pelaksanaannya jika dalam

melaksanakan perintah amar ma’ruf nahi munkar memiliki

kepemimpinan, ketika sosok pemimpin membuat sebuah aturan

mengenai pelarangan melakukan zina sebagai bentuk kemunkaran,

tentunya hal ini harus di patuhi oleh setiap masyarakat, sebab hal ini

merupakan aturan dari seorang pemimpin.

Penulis menyimpulkan pada penafsiran ayat ini dalam tafsir al-misbah

dan tafsir fi zhilalil qur’an, terdapat perbedaan yang signifikan, yakni pada

penafsiran al-misbah, dalam ayat ini menurut M. Quraish Shihab bahwa nilai

ilahi tidak boleh di paksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam

bentuk ajakan yang baik, selanjutnya diserahkan kepada yang di ajak.

Sedangkan menurut sayyid quthb adalah dalam menerapkan amar ma’ruf

nahi munkar cenderung di paksakan. Sebab beliau menuliskan dalam

tafsirnya, bahwa harus memiliki kekuasaan yang menaungi baru bisa

menerapkan amar ma’ruf nahi munkar.


2. Penafsiran Surat Ali-Imran ayat 110 Menurut Tafsir Al-Misbah dan

Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an

a. Penafsiran Kitab Al-Misbah

‫ت َو ْن َه ْوع َ ِنن ا ْل ُم ْن َك ِر‬ْ ‫فع َ ُور‬


ْ ‫َ نت ُ ِْ م خ ْي َر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِر َج ْت ِلل َّنا ِس ت َأ ْ ُم ُر ْو َن ِبالَ َم‬
‫خ ُم ا ْل ُم ْؤ ِم ُن ْو َن‬
ْ ‫لى ِن ُه‬
ْ ‫ت َل َكا َينًرا ’ل ُه ْم ق م‬ ‫قك ْ َو‬
‫ب‬ ُ ِ َ‫ف ا ِ ْسل‬
‫ن ْو َن ِبا َّلِل ق ِ لى و َ َلوا َْ ْوكا َث َم ُ َرنهُ ُا َم ْاه ْل ُل‬
ُ ‫نوت ُ ْؤ ِم‬

Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeuarkan untuk


manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Abl al-Kitab beriman, tentulah itu baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.” (QS.[3] :110)

Setelah menjelaskan kewajiban berdakwah atas umat Islam, pada

ayat 104, persatuan dan kesatuan mereka yang dituntut kini

dikemukakan bahwa kewajiban itu dan tuntutan itu pada hakikatnya

lahir dari kedudukan umat ini sebagai sebaik-baik umat. Ini yang

membedakan mereka dengan sementara Ahl al-kitab yang justru

mengambil sikap bertolak dengan itu. Tanpa ketiga hal yang disebut

oleh ayat ini, maka kedudukan mereka sebagai sebaik-baik umat tidak

dapat mereka peretahankan.

Kamu wahai seluruh umat Muhammad dari generasi ke generasi

berikutnya, sejak dahulu dalam pengetahuan Allah adalah umat yang

terbaik karena adanya sifat-sifat yang menghiasi dari kalian. Umat

yang dikeluarkan, yakni diwujudkan dan dinampakkan untuk manusia

seluruhnya sejak Adam hingga akhir zaman. Ini karena kalian adalah

umat yang terus menerus tanpa bosan menyuruh kepada yang ma’ruf,

yakni apa yang dinilai baik oleh masyarakat selama sejalan dengan

59
60

nilai-nilai Ilahi dan mencegah yang mungkar, yakni yang bertentangan

dengan nilai-nilai luhur, pencegahan yang sampai pada batas

menggunakan kekuatan dan karena kalian beriman kepada Allah,

dengan iman yang benar sehingga atas dasarnya kalian percaya dan

mengamalkan tuntunan-Nya dan tuntunan Rasul-Nya, serta melakukan

amr ma’ruf dan nahi munkar itu sesuai dengan cara dan kandungan

yang diajarkannya. Inilah yang menjadikan kalian meraih kebajikan,

tapi ajngan duga Allah pilih kasih, sebab sekiranya Ahl al-kitab, yakni

orang yahudi dan nasrani beriman, sebagaimana keimanan kalian dan

mereka tidak bercerai berai72 tentulah itu baik juga bagi mereka, di

antara mereka ada yang beriman, sebagaimana iman kalian, sehingga

dengan demikian mereka pun meraih kebajikan itu dan menjadi pula

bagian dari sebaik-baik umat, tetapi jumlah mereka tidak banyak

kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Yakni keluar dari

ketaatan kepada tuntunan-tuntunan Allah swt.

Kata ‫كنتم‬ kuntum yang digunakan ayat di atas, ada yang

memahaminya sebagai kata kerja yang sempurna, ‫تامة كان‬ kana

tammah sehingga ia diartikan wujud, yakni kamu wujud dalam

keadaan sebaik-baik umat. Ada juga yang memahaminya dalam arti

kata kerja yang tidak sempurna ‫ناقصة كان‬ kana naqishah dan dengan

demikian ia mengandung makna wujudnya sesuatu pada masa lampau

tanpa diketahui kapan itu terjadi dan tidak juga mengandung isyarat

72
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jilid II), hlm. 184.
61

bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika akan tiada. Jika demikian,

maka yat ini berarti kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik

umat. Bagaimana pada masa Nabi. Nabi Muhammad saw, bersabda:

“Sebaik-baik generasi adalah generasi ku, kemudian disusul

dengan generasi berikutnya, lalu disusul lagi dengan generasi

berikutnya, lalu disusul lagi dengan generasi berikutnya....” tetapi

dikali lain beliau bersabda: “Umatku bagaikan hujan, tidak diketahui,

awalnya, pertengahannya atau akhirnyakah yang baik.”

Ayat di atas menggunakan kata ‫أمة‬ ummah / umat. Kata ini

digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh

sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama, baik

penghimpunannya secara terpaksa, maupun atas kehendak mereka.

Demikian ar-Raghib dalam al-Mufradat fi Gharb al-Qur’an. Bahkan

al-Qur’an dan hadits tidak tidak membatasi pengertian umat hanya

pada kelompok manusia. “tidak satu burung pun yang terbang dengan

kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu” (QS.al-

An’am[6]: 38). “Semut yang berkeliaran, juga umat dari umat-umat

Tuhan” (HR. Muslim).

Ikatan persamaan apapun yang menyatukan makhluk hidup

manusia atau binatang seperti jenis, bangsa, suku, agama, ideologi,

waktu, tempat dan sebagainya, maka ikatan itu telah melahirkan satu

umat, dan dengan demikian seluruh anggotanya adalah bersaudara.

Sungguh indah, luwes, dan lentur kata ini, sehingga dapat mencakup
62

aneka makna, dan dengan demikian dapat menampung dalam

kebersamaannya aneka perbedaan.73

Menurut analisa penulis, pada ayat di atas (Ali-Imran ayat 110)

kamu (umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassallam) dari

generasi terdahulu sampai generasi berikutnya adalah umat terbaik.

Karena adanya sifat-sifat iman yang menghiasi di dalam diri. Ayat ini

menegaskan bahwa, umat nabi Muhammad saw yang hidup baik pada

masa beliau maupun pada generasi selanjutnya, ini termasuk yang di

maksud sebaik-baik umat, jika pada diri mereka melekat sifat-sifat

yang telah di jelaskan. Yaitu mereka yang berbuat kebaikan dan

meninggalkan atau mengatasi kemungkaran agar para pelaku

keemunkaran meninggalkan perlakuannya tersebut.

b. Penafsiran Kitab Fi Zilalil Al-Qur’an

‫ف وت َ ْن َه ْوعَ ِنن ا ْل ُم ْن َك ِر‬ َ ‫َ ك ْنت ُ ْمخ ْي َر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِر َج ْت ِللَّنا ِس ت َأ ْ ُم ُر ْوِ َ انل َ ِمب ْع ُرَ ْو‬
‫خه ُم ا ْل ُم ْؤ ِم ُن ْو َن‬
ْ ُ ‫ي ًنرا ’ل ُه ْم قلىم ْ ِن‬ َ ‫ت َل َكا‬ ‫قا ْولَ ِ َكنب‬
ُ ‫ل‬
‫فه ُِس‬
ْ َ‫ث َ ُا َرمهُ ُ َمنا ْال‬
‫ن ْو َن ِبا َّل ِل قلىِ َووا َ َ ْلك ْو‬
ُ ‫وت ُ ْؤ ِم‬

Artinya :“Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeuarkan untuk


manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Abl al-Kitab beriman, tentulah itu baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik” (QS.[3] : 110)

Sayyid Quthb menjelaskan di dalam Tafsirnya bahwa ada

munasabat (korelasi) antara ayat ini (surah ali-imran ayat 110) dengan

ayat-ayat sebelumnya. Sudah disebutkan dibagian yang lalu korelasi

73
Ibid., hal. 185
63

(munasabat) surah ali-Imran ayat 104 yaitu berkaitan dengan iman,

ukhuwah serta dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Pada bagian

pertama dalam himpunan ayat ini meletakkan kewajiban yang berat di

atas kaum Muslimin di muka bumi ini dengan memelihara kehidupan

dari kejahatan dan kerusakan dengan mereka harus memiliki kekuatan

sehingga memungkinkan mereka memerintahkan kepada kebaikan dan

mencegah kemunkaran.

Tambahan lagi, menurut Sayyid Quthb pengungkapan ukhrijat

yang terkandung di dalam firman Allah swt di dalam ayat ini

mengandung hakikat diri dari nilainya, dan umat Islam harus mengerti

bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan

memegang kendali kepemimpinan karena mereka adalah umat yang

terbaik untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah

kemunkaran. Selanjutnya, di dalam ayat ini, Sayyid Quthb juga

menerangkan adanya keterkaitan Iman dan taqwa di dalam amar

ma’ruf nahi munkar. Khairu ummah dan aneka macam keadaan ahlil

kitab. Bagian pertama dalam himpunan ayat ini meletakkan kewajiban

yang berat di atas kaum muslimin di muka bumi, sesuai dengan

kemuliaan dan ketinggian kedudukan jamaah ini, dan sesuai dengan

posisi istimewanya yang tidak dicapai oleh kelompok manusia yang

lain.

Pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “ukhrijat”

dikeluarkan, dilahirkan, diorbitkan, dalam bentuk , mabni lighoiril

fa’il (mabni lil majhul) perlu mendapat perhatian. Perkataan ini


64

mengesankan adanya tangan pengatur yang halus, yang mengeluarkan

umat ini dan mendorongnya untuk tampil dari kegelapan kegaiban dan

dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang mengetahui apa yang

ada di baliknya itu kecuali Allah. Ini adalah sebuah kalimat yang

menggambarkan adanya gerakan rahasia yang terus bekerja dan

merambat dengan halus. Suatu gerakan rahasia yang menerbitkan umat

ke panggung eksistensi. Umat yang mempunyai peranan, kedudukan

dan perhitungan khusus.74

Inilah persoalan yang harus dimengerti oleh umat Islam agar

mereka mengetahui hakikat diri dan nilainya, dan mengerti bahwa

mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang

kendali kepemimpinan karena mereka umat yang terbaik. Allah

menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan,

bukan untuk keburukan dan kejahatan. Karena itu kepemimpinan ini

tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa

jahiliah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang

layak untuknya, karena karunia yang telah diberikan kepadanya yaitu

akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan dan ilmu yang

benar. Inilah kewajiban mereka sebagai konsekuensi kedudukan dan

tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan

dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Kedudukan ini memiliki

konsekuensi-konsekuensi karena hal ini bukan sekedar pengakuan

hingga tidak boleh diserahkan kecuali kepada yang berkompeten.

74
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilalil al-Qur’an........jilid 2, hlm.129
65

Umat ini, dengan persepsi akidah dan sistem sosialnya, layak

mendapat kedudukan dan kepemimpinan itu. Dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan pemakmurannya terhadap bumi, sebagai hak khilafah

yang harus ditunaikan, maka mereka layak mendapatkannya.75

Dari sini, jelaslah bahwa manhaj yang harus ditegakkan oleh umat

Islam menuntut banyak hal kepada mereka dan mendorongnya untuk

maju dalam semua bidang, kalau mereka mengikuti konsekuensinya,

ingin melaksanakannya dan mengerti tuntutan-tuntutan beserta tugas-

tugasnya. Tuntutan pertama dari posisi ini yaitu memelihara

kehidupan dari kejahatan dan kerusakan. Untuk itu, mereka harus

memiliki kekuatan sehingga memungkinkan mereka memerintahkan

kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, karena mereka adalah

sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Mereka menempati

posisi sebagai “khairu ummah” ‘sebaik-baik umat’ bukanlah karena

berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan dan serampangan juga

bukan karena kekhususan dan kehormatan sebagaimana anggapan

orang-orang ahli kitab yang mengatakan, “kami adalah putra-putra

Allah dan kekasih-Nya.” Namun tidak demikian, posisi ini adalah

karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari

kemunkaran dan menegakkannya di atas yang ma’ruf, disertai dengan

iman untuk menentukan batas-batas mana yang ma’ruf dan mana yang

munkar itu.

75
Ibid., hlm. 130
66

Menjalankan tugas-tugas umat terbaik dengan segala beban yang

ada dibaliknya, dan dengan menempuh jalannya yang penuh rintangan.

Tugasnya adalah menghadapi kejahatan, menganjurkan kepada

kebaikan, dan menjaga masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Semua

ini merupakan beban yang sangat berat, sekaligus sebagai tugas utama

yang harus dilakukan untuk menegakkan masyarakat yang saleh dan

memeliharanya dan untuk mewujudkan potret kehidupan yang dicintai

oleh Allah. Semua ini harus disertai dengan iman kepada Allah untuk

menjadi timbangan yang benar terhadap tata nilai dan mengetahui

dengan benar mengenai yang ma’ruf dan yang munkar. Istilah jamaah

sendiri belum mencukupi karena kerusakan dan keburukan itu begitu

merata sehingga dapat menggoyangkan dan merusak timbangan.

Untuk itu, diperlukan pula ketetapan yang baku mengenai

kebaikan dan keburukan itu begitu merata sehingga dapat

menggoyangkan dan merusak timbangan. Untuk itu, diperlukan pula

ketetapan yang baku mengenai kebaikan dan keburukan, keutamaan

dan kehinaan yang ma’ruf dan yang munkar, dengan berpijak pada

kaidah lain yang bukan istilah buatan manusia pada suatu generasi.

Inilah yang diwujudkan oleh iman dengan menegakkan tasawwur

yang benar terhadap alam semesta dan hubungannya dengan

penciptanya, dan juga terhadap manusia beserta tujuan keberadaan dan

hakikat alam ini. Dari tasawwur umum yang demikian ini lahirlah

kaidah-kaidah akhlak.
67

Karena didorong oleh keinginannya untuk mendapatkan

keridhaan Allah dan menghindari kemurkaan-Nya,maka terdoronglah

manusia untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah itu, dan, karena

kekuasaan Allah yang disadari dalam hari dan kekuasaan syariat-Nya

terhadap masyarakat maka mereka senantiasa memelihara kaidah-

kaidah tersebut. Selanjutnya, juga harus ada para juru dakwah atau

orang-orang yang menyeru kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf

dan mencegah kemunkaran, dapat menempuh jalan yang sulit dan

memikul tugas yang berat ini. Sementara itu, mereka juga menghadapi

thagut kejahatan dengan kebengisan dan menghadapi thagut syahwat

dengan keasyikan dan kekerasannya, serta menghadapi kejatuhan jiwa,

keletihan semangat dan keinginan yang berat. Bekal serta persiapan

mereka adalah iman dan sandaran mereka adalah Allah. Semua

perbekalan dan persiapan selain iman akan musnah dan tumpah dan

semua sandaran selain Allan akan roboh. 76

Telah disebutkan di atas perintah tugas kepada kaum muslim agar

ada di antara mereka orang-orang yang melaksanakan dakwah dan

kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah

kemunkaran. Sedangkan di sini, Allah menerangkan bahwa tugas-

tugas itu merupakan identitas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa

jamaah ini tidak memiliki wujud yang sebenarnya kecuali jika

memenuhi sifat-sifat atau identitas pokok tersebut, yang dengan

identitas itulah mereka dikenal di antara masyarakat. Mungkin saja

76
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilalil al- Qur’an...., jilid 2, hlm. 130
68

mereka melaksanakan dakwah kepada kebajikan, memerintahkan

kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar sehingga mereka

berarti telah ada wujudnya dan merekalah sebagai umat Islam.

Mungkin juga mereka tidak melaksanakan tugas-tugasnya sama sekali

sehingga mereka dianggap sudah tidak ada wujudnya dan tidak

terwujud identitas Islam pada mereka. Perspektif dalam surat Ali-

Imran ayat 110 dari Tafsir kitab Al-Misbah dan Tafsir Fi Zilalil al-

Qur’an memiliki kesamaan. Hanya saja dalam tafris fi zilalil Qur’an

lebih memberikan tekanan dalam memberikan solusi dengan ‘harus

ada juru dakwah’ atau orang-orang yang menyeru kebajikan.

Pada ayat ini penulis menyimpulkan dalam penafsiran tafsir al-

misbah dan tafsir fi zhilalil qur’an dalam menafsirkan surat ali imran

ayat 110 ini yakni, pada tafsir al-misbah mengatakan bahwa yang di

maksud dengan umat terbaik itu adalah umat yang melaksanakan amar

ma’ruf nahi munkar. Sedangkan pada tafsir fi zhilalil qur’an lebih

menekankan kepada pembentukan kepemimpinan agar dapat

menerapkan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga terwujudlah ummat

terbaik itu.
3. Penafsiran Surat Ali-Imran ayat 114 menurut kitab Al-Misbah dan

kitab Fi Zhilalil Al-Qur’an

‫ك ِر‬
‫عن ٱ‬ ْ ْ ‫عرو‬ ‫ٱ ْل‬ ‫و َيأ‬ ‫ٱلءا‬ ‫َي‬ ‫ْؤ ِمُنون ِبٱ وٱ ْل‬
‫ْلمن‬ ‫و‬ ‫ف ن‬ ‫َم رون‬ ‫ُم‬ ²‫ِخ ِر‬ ‫ِلل‬ ‫ْو ِم‬
‫ن‬ ‫و‬
‫ه‬ ‫َي‬
‫ت وأ من َ حين‬ ‫و ُي َس ِر ى ٱ ْل خ ْي‬
‫۟ولَ ِئك ٱل‬ ‫ َر‬² ‫ُعون‬
‫ص‬
‫ِل‬
Artinya : “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan mereka
itu termasuk orang-orang yang saleh”. (QS.[3]:114)

a. Penafsiran kitab Al-Misbah

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, mereka beriman kepada

Allah dan hari akhir. Mereka telah menyuruh pada perbuatan ma’ruf

dan mencegah yang munkar dan bersegera dalam mengerjakan

kebaikan. Mereka tidak bermalas-malasan seperti orang munafik dan

orang kafir yang telah mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah dan

ajaran-ajaran-Nya. Ahl al-kitab bersegera melakukan kewajibannya

yaitu memelihara nilai-nilai luhur yang telah ditentukan Allah kepada

manusia.77

Mereka orang ahl al-kitab bersegera mengerjakan berbagai

kebajikan. Dalam menjelaskan makna menyegerakan dalam berbagai

kebajikan, ia menggunakan kata ‫في‬ yang berarti berada di dalam,

bukan ‫الى‬ yang artinya menuju ke. Ini memberi pesan bahwa

sejak lahir mereka telah ada wadah kebajikan. Mereka bisa melakukan

kebajikan apa saja yang dia inginkan.78


77
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jilid 2), hlm. 228
78
Ibid., hlm. 229.

69
70

Mereka termasuk orang-orang yang saleh, hal ini termasuk

ungkapan yang memiliki nilai tinggi dari Allah. Karena setelah mereka

beriman kepada Allah dan melakukan hal-hal yang bernilai kebajikan

maka diberikanlah mereka derajat yang tinggi di sisi-Nya yaitu

digolongkan dalam kelompok orang-orang saleh. Bisa masuk dalam

kelompok tersebut karena mereka telah memantapkan niat dan

kepiawiannya dalam persoalan atau sifat yang menandai mereka dan

dapat menggambarkan sikap kebersamaan terhadap sesama makhluk

lain.79

Menurut analisa penulis yaitu mereka (orang-orang) yang beriman

kepada Allah dan hari penghabisan atau di hari akhir, hari

pembangkitan, mereka telah melakukan kebajikan apa saja dan

menjauhi sifat-sifat yang munkar maka mereka itu termasuk golongan

orang-orang yang saleh. Al-Qur’an sering kali menggunakan istilah-

istilah seperti ini “termasuk orang-orang yang saleh”, atau “termasuk

orang-orang mukmin” dan lain-lain. Hal ini untuk melukiskan

pemahaman seseorang yang termasuk dalam kelompok orang-orang

mukmin. Ungkapan-ungkapan seperti ini dinilai oleh para ulama lebih

baik dan lebih tinggi kualitasnya dari pada menyatakan dia adalah

orang saleh atau orang mukmin. Hal ini disebabkan oleh dua hal,

yakni yang pertama, bahwa masuknya seseorang dalam kelompok

pilihan menunjukkan kemantapan dan kepiawaiannya dalam persoalan

atau sifat yang menandai kelompok itu. Kemudian yang kedua, adalah

79
Op Cit., hlm. 229.
71

untuk menggambarkan sikap kebersamaan yang merupakan ciri ajaran

Ilahi. Yang masuk dalam satu kelompok berarti ia tidak sendiri, tetapi

bersama semua anggota kelompok itu, dan sepeti diketahui bantuan

Allah dianugrahkan-Nya kepada yang berjamaah, sebagaimana kata

pepatah bahwa serigala tidak menerkam kecuali domba yang

sendirian. itulah yang dikemukakan dalam surat tersebut.

b. Penafsiran Kitab Fi Zhilalil Al-Qur’an

Dalam kitab Tafsir fi zhilalil Qur’an Sayyid Quthb menuliskan,

lukisan yang terang bagi orang-orang yang beriman dari kalangan Ahli

Kitab. Mereka telah beriman dengan iman yan gbenar dan mendalam,

sempurna dan menyeluruh, bergabung kepada barisan muslim, dan

berusaha menjaga agam ini. Mereka beriman kepada Allah swt dan

hari akhir. Mereka laksanakan tugas-tugas iman, dan mereka

wujudkan identitas umat Islam yang mereka bergabung kepadanya-

sebagai khairu ummah dengan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi

munkar. Jiwa mereka senang kepada kebaikan secara menyeluruh.

Maka, mereka jadikanlah kebaikan ini sebagai sasaran perlombaan

mereka. Sehingga, mereka berlomba-lomba kepada kebajikan. Semua

itu merupakan kesaksian yang tinggi bagi mereka bahwa mereka

termasuk golongan orang-orang yang saleh. Janji yang benar

diperuntukkan buat mereka bahwa mereka tidak akan dikurangi

haknya dan tidak akan dihalang-halangi untuk menerima pahalanya.


72

Di samping itu juga diisyaratkan bahwa Allah mengetahui bahwa

mereka termasuk orang-orang yang bertakwa.

Ini adalah lukisan yang dipasang di hadapan orang-orang yang

menginginkan kesaksian dan janji ini, agar dapat terwujudkan pada

setiap orang yang merindukan ahayanya yang menyinari.

Hal itu pada satu sisi dan pada sisi lain terdapat orang-orang kafir.

Orang-orang kafir yang tidak akan bermanfaat harta dan dan anak-

anaknya. Tidak ada gunanya harta yang mereka nafkahkan di dunia,

tidak akan ada sedikit pun yang sampai kepadanya di akhirat nanti,

karena ia tidak ada hubungannya dengan garis kebajikan yang mantap

dan lurus. Kebajikan yang bersumber dari iman kepada Allah, dengan

gambarannya yang jelas, sasarannya yang mantap, dan jalannya yang

akan menyampaikan ke tujuan. Jika tidak demikian, kebajikan itu

hanyalah keinginan sesaat yang tidak stabil, kecenderungan yang

diombang-ambingkan hawa nafsu, tidak punya rujukan dengan dasar

yang jelas, tidak mudah dimengerti dan dipahami, dan tidak merukuk

kepada manhaj yang sempurna dan lengkap serta lurus.80

Penulis menyimpulkan penafsiran pada ayat ini, yakni terdapat

perbedaan penafsiran surat Al-Imran ayat 114 dalam kitab Al-Misbah

dan kitab fi Zilalil al-Qur’an. Yakni pada tafsir al misbah, Beliau

mengatakan bahwa pada dasarnya kebajikan itu sudah ada dalam diri

tiap manusia dan sudah menjadi fitrah. dan yang di maksud ahli kitab

itu, mereka termasuk orang yang shaleh. Sedangkan, tafsir fi zhilalil

80
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilalil al-Qur’an........jilid 2, hlm.134-135.
73

qur’an, Lebih menjelaskan akan makna orang-orang beriman yaitu dari

Ahli Kitab. Mereka telah beriman dengan iman yang benar dan

mendalam, sempurna dan menyeluruh, bergabung kepada barisan

muslim, dan berusaha menjaga agama ini (Islam). Dan mereka yang

bergabung kepadanya sebagai khairu ummah dengan melaksanakan

amar ma’ruf dan nahi munkar. Serta mendefinisikan orang-orang

kafir yang tak akan memiliki manfaat harta dan anak turunannya.

C. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dari penafsirat ayat-ayat (104, 110, 114) tentang amar ma’ruf nahi

munkar yang terdapat alam surat Ali Imran, bisa kita ambil sebuah

pemahaman tentang pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dalam

kehidupan sehari-hari dalam bersosialisasi yakni dakwah. Yang bisa

disebut hukumnya wajib dilaksanakan kepada umat Muslim. Dan

pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar ini tidak hanya terdapat di dalam

ruang lingkup umat Muslim tetapi juga untuk kalangan non Muslim,

seperti yang sudah dijelaskan dalam surat ali Imran ayat 110, dan ayat 114,

non Muslim di sini yakni Yahudi dan Nasrani. Artinya, objek dalam

menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut tidak hanya dalam lingkup

untuk umat Islam tetapi, cakupan lebih luas bahkan meyeluruh untuk

semua umat di muka bumi ini. Jika kita melihat kemungkaran dimana saja,

dan untuk siapapun itu maka kita berkewajiban untuk mencegah.

Namun Quraish Shihab berpendapat dalam Tafsirnya yaitu

perintah berdakwah dalam surat Ali Imran ayat 104 ini tidak tertuju untuk
74

semua orang. Dan ada juga ulama yang memfungsikan kata minkum dalam

artian ‘penjelasan’, sehingga ayat tersebut dipahami sebagai perintah

berdakwah untuk setiap Muslim sesuai dengan kemampuannya masing-

masing. Kemudia Quraish Shihab menyimpulkan, lebih tepatnya untuk

memahami (minkum) dalam arti ‘sebagian kamu’ tanpa menutup

kewajiban setiap muslim untuk saling mengingatkan.81

Dapat diketahui bahwa dalam surat Ali-Imran (104,110,114),

terutama ayat 104 baik Sayyid Qutb, dan Quraish Shihab sepakat bahwa

arti dari surat ini adalah mengharuskan adanya segolongan yang mengajak

kepada kebaikan menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan

munkar, dan itulah yang dinamakan dakwah.

Implementasi yang dianjurkan Sayyid Quthb dalam surat Al-Imran

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebaikan”. Hendaklah membuat komunitas yang bisa menghidupkan dan

menjalankan kebajikan untuk mencapai manhaj Ilahi.

Selanjutnya pada ayat 110, dalam memahami ayat tersebut Sayyid

Quthb mengemukakan bahwa “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan

untuk manusia”, yang artinya bahwa mereka dilahirkan untuk maju ke

garis depan, memegang kendali kepemimpinannya, karena mereka adalah

umat Nabi Muhammad saw, umat terbaik dari generasi ke generasi.

Artinya Allah swt hanya menghendaki kepemimpinan di muka bumi ini

dipegang untuk kebaikan, bukan untuk kemaksiatan atau kemungkaran.

81
Op Cit, Quraish Shihab, Jilid 2 (penerbit: Lentera Hati), hlm. 173-174
75

1. Aspek Sosial

Mengajak untuk melakukan kebaikan dan mencegah

kemungkaran. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban

terhadap masyarakat Muslim, selain shalat berjama’ah dan shalat di

rumah, menunaikan zakat, umat Islam menang dalam perang

dengan musuh, bahkan kemenangan tidak datang dari Allah,

kecuali bagi orang-orang yang tahu bahwa mereka termasuk orang-

orang yang melaksanakannya. amar ma’ruf merupakan tawaran

konsep dan tatanan sosial yang baik (dengan konkrit).

2. Aspek Politik

Dalam surat Al-Imran ayat 104, implementasikan yang

diharapkan yaitu untuk melakukan kebajikan, dan mencegah yang

munkar. Allah swt telah mengajarkan bagaimana kita seharusnya

melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar maka, dalam hal ini, tidak

ada kebebasan untuk semua umat dalam melakukan hal yang

munkar. Otoritas yang diberikan dari Negara, dalam konteks

kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dapat dipahami sebagai

makna dari “biyadihi” / dengan tangan” dalam hadis yang dikutip

sebelumnya, tentang anjuran merubah kemungkaran82.

Amar ma’ruf nahi munkar dirasa sangat penting bagi umat

Nabi Muhammad saw jika ditinjau dari berbagai sebab dan faktor:

82
Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa, (Yogyakarta: LPPI Ummy), hlm. 64
76

1. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan penyebab kebaikan

umat dan termasuk karakteristiknya yang Allah karuniakan

kepada kita di antara seluruh umat.

Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan

untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan

mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi

mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan

kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS.

Ali-Imran: 110)

2. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari masa

solidaritas yang Allah tegakkan untuk orang-orang Mu’min,

dimana mereka saling menjamin, saling menjaga, saling

melengkapi antar sesama mereka. Sebagai contoh adalah

tidak boleh ada seorang Muslim yang kelaparan sementara

orang-orang Muslim yang ada di sekitarnya kekenyangan,

seandainya terjadi hal demikian maka orang Muslim tersebut

diperkenankan meminta kebutuhannya kepada orang-orang

Muslim yang ada di sekitarnya dengan kekerasan dan orang-

orang Muslim berdosa Karena lalai dan tidak

membantunya.83

83
Salman Al-Audah Dan Fadil Ilahi, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar) Hlm. 25
77

3. amar ma’ruf nahi munkar merupakan jaminan bagi suatu

lingkungan dari bahaya polusi pemikiran dan akhlak.84

4. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar merupakan jaminan

terhindarnya dari adzab illahi yang menimpa masyarakat

yang di dalamnya kerusakan merajalela. Mengenai

pembahasan secara rinci tentang azab-azab tersebut akan

kami bahas pada bagian berikut ini.85

Dengan demikian penulis menganalisa beberapa hal penting

yang tercantum pada surat ali imran ayat 104, 110 dan 114 ini.

Yakni antar ayat tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Pada

ayat 104 kedua penafsir menjelaskan hakikat dari amar ma’ruf nahi

munkar tersebut, kemudian pada ayat 110 terhubung dengan ayat

104, disebabkan pada ayat ini menjelaskan mengenai ummat

terbaik adalah ummat yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar

termasuk didalamnya generasi sebelumnya yakni yang di sebutkan

sebagai ahlul kitab. Kemudian pada ayat 114 berkaitan denyan ayat

sebelumnya pula yakni ayat 110, dimana pada ayat ini menjelasan

bahwa generasi ahlul kitab tersebut digolongkan termasuk orang-

orang yang shaleh.

Selanjutnya kita sebagai umat Islam sangat dianjurkan untuk

saling berbuat kebajikan, mengajak berbuat yang ma’ruf menjauhi

hal yang munkar. Pada kedua penafsiran ini penulis setuju pada

84
Ibid.., hlm. 26
85
Op Cit,... hlm. 28
78

pendapat M. Quraish Shihab dalam implementasi amar ma’ruf nahi

munkar, yakni dengan cara yang baik. Penulis juga setuju pada

penerapan yang ditawarkan oleh sayyid quthb, yakni dengan

memiliki wewenang dan kekuasaan maka Amar Ma’ruf nahi

Munkar dapat terlaksana denngan baik. Karena dalam

penerapannya perlu adanya golongan yang atau para pemimpin

yang mengatur, mengajak, mengawasi orang-orang dari hal yang

tidak baik.

Selanjutnya Ukhuwah fillah yakni persaudaraan karena Allah

ini begitu penting. Persaudaraan yang tidak memandang bulu,

persaudaraan yang tercipta karena rasa cinta atas Allah swt. Jika

semuanya sudah karena Allah, maka hal-hal yang buruk akan

sangat kecil untuk terjadi. Dimana persamaan dari penafsiran di

atas sama-sama menafsirkan Amar ma’ruf nahi munkar sebaik-

baiknya ummat adalah umat terbaik yang mengajak kebaikan

dengan mencegah kemunkaran dan menjaga masyarakat dari unsur-

unsur kerusakan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan yang peneliti

dapatkan yakni :

1. Ada beberapa Syarat dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi

Munkar antara lain adalah yang pertama adalah beragama Islam,

kedua berpengetahuan atau berilmu, ketiga ikhlas, keempat

bersikap lemah lembut, kelima sabar dan murah hati dan yang

terakhir berkepribadian baik atau berakhlakul karimah.

2. Makna Amar Ma’ruf Nahi Munkar pada perspektif Tafsir Al-

Misbah adalah menurut Tafsir Al-Misbah amar ma’ruf nahi

munkar adaalah segala perintah terhadap manusia untuk saling

mengingatkan antar sesama individu dan komunitas untuk

berbuat atau melakukan kebaikan yang di pandang baik oleh

syari’at dan norma masyaraakat dan mencegah atau melarang

darinya melakukan perbuatan munkar. Dimulai dengan diri

sendiri. Sedangkan makna amar ma’ruf menurut Sayyid Quthb

adalah segala perintah seruan kepada kebajikan dan larangan

terhadap perbuatan yang menyeleweng dari syari’at islam.

Kemudian Sayyid Quthub juga mengatakan bahwa harus ada

segolongan atau kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan

79
80

(dakwah), kerana dakwah secara individu tidak akan berhasil

tanpa kekuasaan.

3. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar antara perspektif

Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an. implementasi

atau pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dalam kajian surat

Ali Imran ayat 104, bahwasanya ada persamaan dalam

menafsirkan ayat ini antar Tafsir al-Misbah dan Tafsir fi zhilail-

Qur’an, yakni kita diwajibkan membentuk sebuah kelompok

atau golongan yang bertugas menegakkan amar ma’ruf nahi

munkar, namun pada penafsiran al-Misbah nilai-nilai ilahi tidak

boleh dipaksakan namun di sampaikan secara persuasif dan

dalam ajakan yang baik, hanya sekedar mengajak. Sedangkan

dalam Tafsir fi zhilalil-Qur’an hampir sama dengan apa yang

dipaparkan di Tafsir al-Misbah , hanya saja Sayyid Quthb dalam

penafsirannya lebih mengutamakan ukhuwah islamiyah dan

menegakkan manhaj Allah.

Selanjutnya pada ayat 110, juga dijelaskan bahwa golongan

ini (umat Islam golongan umat pemegang dakwah), mereka

merupakan sebaik-baik umat yang dilahirkan dimuka bumi.

Kemudian pada ayat 114 surah ali-Imran, juga dapat

disimpulkan antara kedua penafsiran ini bahwasanya, sebagian

ahli kitab juga ada yang berlaku lurus, mereka percaya kepada

Allah dan hari kiamat, dan juga melakukan amar ma’ruf nahi

munkar.
81

B. Saran

Setelah melakukan penelitian ini, penulis berharap hasil penelitian

ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan,

khususnya dalam bidang Tafsir. Dan dapat memberikan manfaat dalam

kehidupan sosial dimasyarakat. Selanjutnya penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan penelitian

selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. Ihya ‘Ulumuddin (Buku Kelima: Pergaulan, Uzlah, Safar,


Amar Makruf Nahi Mungkar, Akhlak Nabi), Bandung: Penerbit Marja,
2005.
Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 2014.
Abdul Fatah al-Khalidi, Shalah. pengantar memahami Tafsir Fi Zilalil Qur’an,
terj Salafudin Abu Sayyid, Surakarta: Era Intermedia, 2001.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al Qur’an, Jakarta: AMZAH, 2008, cet.3.
Ali Mukti, Takdir. Membangun Moralitas Bangsa, Yogyakarta: LPPI Ummy.
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab,
Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008, Cet.1.
Aziz, Ali. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2016.
Baidan, Nashrudin. Metode Penafsiran Al Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Chirzin, Muhammad. Jihad Menurut Sayyid Quthb Dalam Tafsir Zilal, Solo: Era
Intermedia, 2001.
Hayy al-Farmawi, Abdul. Metode Tafsir Maudhu’i suatu pengantar, terj. Suryan
A Jamrah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Ilahi, Salman Al-Audah Dan Fadil. “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Kahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Masduki, Mahfudz. Tafsir Al-Misbah: Kajian atas Amtsal Al-
Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005.
Quraish Shihab, Muhammad. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 2007, Cet. II.

82
83

. Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai


Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
. Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013 cet,
II.
. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan keserasian Al-
Qur’an), Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol 2.
Quthb, Sayyid. Fi Zilalil-Quran. Terj. Dari bahasa arab oleh Drs As’ad Yasin,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
. Fi Zhilalil-Qur’an, juz 3.
. Fi Zhilalil-Qur’an, juz 7.
. Fi Zhilalil-Qur’an, juz 22.
Saerozi. Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Ombak, 2013.
Sa’id Mursi, Muhammad. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj.
Azlina Roslan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.
Syurbasyi, Ahmad. Qishatul Tafsir (Study Sejarah Perkembangan Tafsir), terj.
Zufran Rahman, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
BIOGRAFI PENULIS

Nama : Indra Prasetia

NIM : 16.0585

TTL : Tanjungpinang, 21 maret 1998

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Golongan darah :B

Status : Single

Alamat : Jl. Nusantara Km.18 Kijang

e-mail : ndrak1998@gmail.com

No HP 087813073875

Instagram : Indraa_prasetia

Riwayat pendidikan

- SD 013 BINTIM (2004 - 2010)


- SMP 03 BINTIM (2010 - 2013)
- MA MADANI BINTAN (2013 - 2016)

84

Anda mungkin juga menyukai