Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

Fenomena Tidur

A. Pengertian dan Mekanisme Tidur

Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh. Untuk dapat berfungsi secara
normal, maka setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat tidur yang cukup. Pada saat
kondisi istirahat maupun tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh hingga berada dalam kondisi optimal. Pola dan tidur yang baik dan teratur
memberikan efek yang bagus bagi kesehatan.1

Proses tidur diatur oleh sebuah mekanisme khusus yang biasa disebut sebagai Irama
Sirkadian (circadian rhythm) yang berperan sebagai jam biologis. Secara harafiah irama
sirkadian berarti sebuah siklus yang berlangsung sekitar 24 jam (dalam bahasa Latin circa
berarti sekitar, dian berarti satu hari atau 24 jam).2

Irama sirkadian amat peka terhadap rangsang cahaya, disamping faktor-faktor lain
yang juga dapat mempengaruhi. Pada sore hari di saat cahaya sudah mulai meredup, tubuh
kita secara otomatis mulai mempersiapkan diri untuk tidur dengan meningkatkan kadar
melatonin (hormon) dalam darah. Kadarnya akan tetap tinggi sepanjang malam untuk
membantu tidur.

Dalam pengaturan tidur, jam biologis berdetak dan memberikan sinyal-sinyal yang
memberikan sensasi segar dan penuh vitalitas pada jam-jam tertentu. Biasanya rangsang
sadar ini mencapai puncak pada pukul sembilan pagi dan malam. Akan tetapi tentu saja
faktor-faktor lain seperti lingkungan, perilaku, sosial, obat-obatan dan juga usia akan
mempengaruhi seluruh proses ini, sehingga satu orang dengan yang lain akan berbeda.

B. Fenomena Tidur berdasarkan Al-Qur’an

1. Qs. Ar-rum ayat 23


1 Asmadi 2008, hal 133
2 http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=30300.0
1|Tafsir Kontekstual Fenomena Tidur
“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah tidur kamu di waktu malam dan siang
dan usaha kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat bukti-bukti bagi kaum yang mendengarkan.”

Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran allah,
alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam,
serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya di siang hari. Tidur dan bangun itu
silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di
alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi
manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya.

Sementara ulama memahami ayat di atas dalam arti “Diantara tanda-tanda-Nya


adalah tidur kamu di waktu malam dan usaha kamu di waktu siang”. Ini sejalan dengan
banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah menjadikan malam untuk
beristirahat dan siang untuk mencari rizkinya.3 Memang secara umum, malam untuk tidur
dan siang untuk bekerja. Tetapi pemahaman itu tidak harus selalu demikian. Tidak ada
halangan memahami ayat-ayat di atas sesuai bunyi. Apalagi dewasa ini, malam menjadi
waktu tidur sekaligus untuk mencari rizki dan siang digunakan juga untuk kedua tujuan
tersebut. Bahkan sebagian orang ada yang pekerjaannya lebih banyak di waktu malam
daripada di waktu siang.

Pendapat ini dapat dikukuhkan dengan penyebutan kata (fadhlihi). Kata fadhl
berarti kelebihan dari kadar kebutuhan, sebagaimana ia dipahami pula dalam arti
pemberian, karena pemberian adalah sesuatu yang melebihi kebutuhan. Anugeraha Allah
dinamai fadhl karena Dia tidak membutuhkannya bahkan tidak membutuhkan sesuatu. Di
sisi lain, siapa yang bekerja di waktu siang ataupun di waktu malam, maka upayanya
dapat dinilai sebagai upaya meraih kelebihan dari kadar kebutuhannya.

3 QS. An-Naba’ [78]: 10-11.


Ayat di atas yang berbicara tentang kegiatan mencari rezeki dan tidur, ditutup
dengan firmanNya: li qaumin yasma’ûn (bagi kaum yang mendengarkan). Tidur dan
usaha adalah diam dan gerak. Keduanya dapat dijangkau melalui pendengaran. Dengan
demikian, sangat serasi penutup ayat ini dengan bukti-bukti yang terhampar di alam raya
yang di bicarakan dengan gaya Al-Qur’an.4

Dalam keadaan tidur dan dalam keadaan bangun dan tidur, manusia bebas pergi
kemana saja yang ia sukai. Dan dalam keadaan tidur manusia dapat merealisir apa yang
tidak dapat direalisirnya di dunia yang fana ini, dengan begitu manusia akan mendapat
kepuasaan.

Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami ketika tidur adalah sebagai
penetralisir yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Misalnya Bagi orang yang bercinta-
cintaan, mereka dapat mewujudkan apa yang diinginkannya atau dikhayalkannya melalui
mimpi.demikian pula halnya dengan orang-orang yang teraniaya, orang yang lapar dan
sebagainya. Dengan situasi itu jiwa akan lega dan tenteram. Jika tidak demikian tentu
akan terjadi ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat berbahaya.

Jadi dalam tidur manusia akan mendapat kepuasaan akal, rohani, dan jiwa yang
tidak dapat di perolehnya ketikan ia terbangun.

Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka jiwa dan akalpun
memerlukan makan dan minum. Makan dan minumya itu dilakukan di waktu tidur.
Dengan tidur jiwa akan mendapatkan kebebasannya dari segala urusan keduniawian.
Dengan demikian, segi kejiwaan mendapatkan kebahagiaan di waktu tidur yaitu bebas
dari sesuatu yang bersifat kebendaaan, tekanan serta kezhaliman. Kalau tidak demikian,
roh akan selalu terbelenggu di dalam tubuh.

2. Qs Az-zumar ayat 42

4 Sayyid Quthub.
3| Tafsir Kontekstual Fenomena Tidur
“Allah yang nyawa ketika kematiannya dan nyawa yang belum mati di waktu
tidurnya; maka Dia tahanlah yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”

Pada ayat ini Allah SWT menerangkan satu macam kekuasaan-Nya yang
sempurna dan sifat-Nya yang mengagumkan. Yaitu Dialah yang memegang ruh
seseorang ketika ajalnya dengan memutuskan hubungan ruh dengan raganya. Allah
menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dengan tidak mengembalikan
ruh itu, dan melepaskan jiwa yang lain dengan mengembalikan jiwa kedalam raganya,
sehingga ia tidak dapat bangun dari tidurnya sampai waktu yang telah ditentukan. Orang-
orang yang mati itu ruhnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya
dan orang yang belum mati hanya tidur saja, ruhnya dilepaskan sehingga dapat kembali
kepadanya lagi.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dalam tubuh manusia itu ada jiwa dan raga
yang hubungannya seperti sinar matahari. Jiwanya dapat berfikir dan menentukan
pendirian, sedangkan raganya yang menyebabkan ia dapat hidup dan bergerak. Kedua-
duanya dimatikan ketika tiba ajalnya dan dimatikan jiwanya saja ketika tidur, sedangkan
raganya tetap masih ada.

Kata yatawaffâ terambil dari kata wafâ yang pada mulanya berarti
menyempurnakan atau mencapai batas akhir. Kematian dinamakan wafâh karena usia
yang bersangkutan ketika kematiannya telah mencapai batas akhir. Didahulukan lafadz
Allâh atas yatawaffâ menunjukkan makna pengkhususan. Yakni hanya Allah bukan
selain-Nya. Yang dimaksud bahwa Allah yang menentukan dan berwenang penuh untuk
maksud tersebut, walaupun Yang Maha Kuasa itu menugaskan malaikat maut untuk
mencabut ruh.5 Sedang malaikat maut itu sendiri mempunyai pembantu-pembantu yang
terlibat.6

Kata anfus adalah bentuk jamak dari kata nafs. Al-Qur’an menggunakan kata
nafs dalam berbagai arti, antara lain nyawa, jenis, diri manusia, yang ditunjukan dengan
kata saya yakni totalitas jiwa dan raganya serta sisi dalam manusia yang merupakan
potensi batiniah untuk memahami dan menjadi pendorong serta motivator kegiatan-
kegiatannya, juga dalam mencabut ruh. Dan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah
nyawa yang berhubungan dengan badan manusia, bukan diri atau totalitas manusia.

Nafs ditempatkan Allah dalam suatu wadah yaitu jasmani, tetapi penempatan
yang bersifat sementara dan bila tiba saatnya, cepat atau lambat akibat kerusakan organ
maupun perusakan (pembunuhan) Allah memisahkan nafs itu dengan pemisahan
sempurna dan menempatkannya di tempat yang di kehendaki-Nya. Jika demikian, nafs
tetap ada setelah kerusakan wadahnya yang bersifat sementara itu, nafs dalam hal ini
adalah potensi batiniah yang masih tetap berfungsi dalam arti masih dapat bergerak,
merasa dan mengetahui.

Rasul SAW pun dalam sekian sabda beliau mempersamakan antara mati dan tidur
adalah: “Al-Hamdilillâh alladzîahyânâ ba’da mâ amâtanâ wa ilaihi annisyûr” yang
artinya “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan
hanya kepada-Nya kebangkitan”.7 Yang dimaksud dengan menghidupkan adalah
membangunkan dari tidur, sedangkan mematikan adalah menidurkan.

3. Qs. Al-qashash ayat73

5 QS. As-Sajdah [32]: 11.


6 QS. Al-An’am [6]: 61.
7 HR. Bukhari dan Muslim.
5| Tafsir Kontekstual Fenomena Tidur
“Dan sebagian rahmat-Nya: Dia jadikan untuk kamu malam dan siang, supaya
kamu beristirahat padanya dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya dan agar
kamu bersyukur.”

Wa mirrahmatihii (dan karena rahmatnya) rahmat Allah swt. Ja’ala lakumullaila


wa nnaharo litaskunuu fiihi (Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian
beristirahat padanya) yakni pada malam harinya. Wa li tabtaghuu min fadhlihii (dan
supaya kalian mencari sebagian dari karunia-Nya) pada siang harinya, untuk mencari
penghidupan. Wa la’alallakum tasykurun (dan agar kalian bersyukur) dengan adanya
nikmat Allah pada kedua waktu itu, yaitu malam hari dan siang hari.

Tidak adanya pergantian siang dan malam dapat terjadi jika bumi melakukan
rotasi dan revolusi dalam jangka waktu yang sama, yaitu kira 365 hari. Dari rotasi dan
revolusi seperti itu akan terjadi perubahan yang sangat mendasar. Diantaranya kegelapan
akan terus-menerus menyinari sebagian yang lain dan akibatnya, panas udara pada bagian
yang terus-menerus tersinari akan sangat tinggi dan tidak dapat di antisipasi.

Sementara bagian yang tertutup oleh kegelapan akan menjadi beku. Dengan
demikian, kedua belahan bumi menjadi tidak cocok bagi kehidupan. System bumi yang
sekarang ini telah menjamin terjadinya pergantian malam dan siang, sehingga manusia
dapat beristirahat di malam hari dan bekerja di siang hari.8

Pergantian siang dan malam dengan fungsinya masing-masing adalah suatu


rahmat yang SWT yang tak ternilai harganya dan wajib untuk disyukuri. Sesuatu nikmat
yang tidak dapat disyukuri akan hilang lenyap dicabut dan di tarik kembali oleh Allah

8 Tafsir Al-Muntakhab
SWT. Sebaliknya nikmat yang disyukuri yaitu dengan memanfaatkan dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan perintah Allah, akan bertambah terus.

4. Qs. Yusuf ayat 4

“Ketika Yusuf berkata kepada Ayahnya, “Wahai ayahku, sesugguhnya aku telah
melihat sebelas bintang serta matahari dan bulan, telah kulihat semuanya-kepadaku-
dalam keadaan sujud.”

Idzqaalayuusufuliabiihi (ketika yusuf berkata kepada ayahnya) yaitu nabi Ya’kub.


Yaa abati (wahai ayahku) di baca kasrah yaitu Abati untuk menunjukan Ya Idhafat yang
tidak di sebutkan. Sedangkan bila dibaca Fathah maka menunjukan adanya huruf Alif
yang tidak disebutkan, Abata. Kemudian Alif ditukar dengan Ya. Inni ra aitu
(sesungguhnya aku telah melihat) didalam tidurku, yakni bermimpi. Ahada
‘asyarakaukabawwasyamsa wa llqamara ra aytuhum (sebelas buah bintang dan matahari
serta bulan, kulihat semuanya) lafadz Ra aytu hum berkedudukan menjadi Taukid atau
pengukuh dari lafadz Ra aytu di muka tadi. Lii saajidiina (sujud kepadaku) lafadz
sajidina adalah bentuk jamak yang alamat I’rabnya memakai Ya dan Nun karena
menggambarkan keadaan sujud, hal ini cirri khas daripada makhluk yang berakal.

Menurut Muhammad al-Ghazali, sewaktu kecilnya yusuf merasa bahwa dia


mempunyai peranan yang disiapkan oleh Allah swt. Boleh jadi dia pun akan termasuk
mereka yang di pilih Allah swt, memimpin masyarakat di arena kemuliaan dan
kebenaran. Memang dia adalah yang terkecil (selain Benyamin, adiknya) diantara
saudara-saudaranya, tetapi perangai kakak-kakaknya tidak menampakan sesuatu yang
istimewa, tidak juga memancarkan kebajikan. Dia justru lebih dekat kepada ayahnya

7| Tafsir Kontekstual Fenomena Tidur


daripada kakak-kakaknya itu. Agaknya ketika itu, hatinya berbisik siapa tahu warisan
kenabian jatuh padanya. Ayahnya, Ya’kub as, telah mewariskan dari kakeknya Ishak as.
dan Ishak as. Telah mewariskannya dari ayah kakeknya itu Ibrahim as. Siapa tahu dia
merupakan salah satu dari mata rantai itu.9

Benar juga dugaan yusuf, Allah swt menyampikan isyarat berupa berita gembira
kepadanya yang mendukung kebenaran bisikan hatinya melalui mimpi yang
diceritakannya itu.

Sungguh apa yang disampaikan itu adalah suatu hal yang sangat besar, apalagi
bagi seorang anak yang sejak kecil hatinya telah diliputi oleh kesucian dan kasih sayang
sang ayah. Kasih sayang disambut dengan penghormatan kepada beliau. Lihatlah
bagaimana yusuf memanggil ayahnya dengan panggilan yang mengesankan, kejauhan
dan ketinggian kedudukan sang ayah dengan memulai memanggilnya dengan kata yâ
(wahai), lalu dengan kata abati (ayahku).

Kesan tentang besarnya pengaruh mimpi itu pada jiwa yusuf dan anehnya mimpi
itu terasa nyata baginya, dilukiskannya-secara sadar atau tidak-dengan menyebut
sebanyak dua kali dalam penyampaiannya ini bahwa dia melihat. Silahkan anda
membayangkan matahari, bulan dan sebelas bintang semuanya sujud kepada seorang
manusia, anak kecik pula dan hanya kepadanya saja sebagaimana dipahami dari
pernyataannya mendahulukan kata lî (kepadaku) sebelum melukiskan keadaan beda-
benda alam itu sujud.

BAB III

KESIMPULAN

9 Muhammad Imam Ghazali dalam bukunya “Nahwa Tafsir Maudh’iy Suwar al-Qur’an al-
Karim”
Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh. Dalam keadan tidur
terjadi pemisahan antara jiwa dan raga. Allah memegang ruh seseorang ketika ajalnya
dengan memutuskan hubungan ruh dengan raganya. Allah menahan jiwa orang yang
telah Ia tetapkan kematiannya dengan tidak mengembalikan ruh itu, dan melepaskan jiwa
yang lain dengan mengembalikan jiwa kedalam raganya, sehingga ia tidak dapat bangun
dari tidurnya sampai waktu yang telah ditentukan.

Sesungguhnya manusia itu tinggi sekali kedudukannya. Ia selalu turun ke dunia


untuk mengemudikan rumah tangganya di dalam tubuh manusia siang dan malam.
Karena jiwa itu termasuk alam yang luhur, ia selalu rindu untuk kembali ke tempat
asalnya, dan oleh karena itu ia selalu mencari kesempatan kapan saja untuk naik lagi ke
alam luhur itu. Maka dalam masa tidur ia pergunakan kesempatan itu untuk pergi ke
langit, di mana ia sering melihat cahaya di alam ghaib dan apa yang ia jumpai disana
itulah termasuk mimpinya yang shaleh atau Ru’ya Salihah.

Ayat-ayat yang terdapat di dalam makalah ini menunjukkan tanda-tanda


kekuasaan dan kebesaran allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia,
pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya di
siang hari. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih
bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu
seperti tidur dan bangun bagi manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-
Nya.

DAFTAR PUSTAKA

9| Tafsir Kontekstual Fenomena Tidur


• Al –mahalliy, Imam jalalud-din. 1990. Tafsir Jalalain. Bandung : Sinar Baru.

• http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=30300.0

• http://kecindihiang.tasikmalayakota.go.id/index.php?option=com_content&view
article&id=101:yusuf-4&catid=46:ayat-quran

• http://muhammadirfani.wordpress.com/2010/05/23/mimpi-sebuah-fenomena-
tidur/

• http://www.scribd.com/doc/32352927/17/Pengertian-tidur

• Prof. Dr. Hamka. 1999. Tafsir Al-azhar. Jakarta: PT Pustaka Panji Mas.

• Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : Lentera Hati.

Anda mungkin juga menyukai