Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan masalah yang kompleks yang terjadi terus

menerus dan tidak dapat dihindari oleh siapapun juga, karena tubuh

mencakup fisik dan mental yang merupakan bagian dari kesehatan itu

sendiri, yang tak lepas dari segala aktivitas yang dilakukan, baik aktivitas

fisik yang digunakan untuk bergerak dan bersosial maupun mental yang

digunakan untuk berpikir, dimana fisik dan mental dapat mengalami

kelelahan yang dapat berujung menimbulkan suatu penyakit. Maka dari

itu, pendidikan mengenai pencegahan dan penanganan kesehatan

merupakan hal yang wajib dipromosikan secara menyeluruh kepada semua

orang.

Definisi sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2015)

adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang

tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Definisi kesehatan juga

tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1992, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,

jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara

sosial dan ekonomi. Tidak terkecuali kesehatan gigi dan mulut yang

merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara keseluruhan yang tidak

dapat dipisahkan, sangatlah penting dan riskan sebab mulut merupakan

pintu masuk segala jenis patogen yaitu kuman, bakteri, jamur, virus, dan

sebagainya yang merupakan penyebab dari segala macam infeksi penyakit.


Kebersihan gigi dan mulut yang buruk utamanya disebabkan oleh

adanya debris dan plak yang dapat menyebabkan demineralisasi struktur

gigi sehingga dapat menimbulkan terjadinya karies (Shearer et al, 2011).

Tidak hanya karies, plak yang dibiarkan menumpuk ini akan

menimbulkan adanya kalkulus, kalkulus inilah yang berkontribusi besar

terhadap terjadinya radang gusi yang dapat berkembang menjadi penyakit

periodontal (Zeng et al, 2015).

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2013) menyebutkan

bahwa angka permasalahan gigi dan mulut di Indonesia mencapai 25,9%

atau mengalami peningkatan 2,5% dari Riskesdas tahun 2007. Sedangkan

Data Riskesdas tahun 2018, menyatakan halnya angka prevalensi karies di

Indonesia mencapai 88,8%. Hal ini membuktikan bahwa angka karies di

Indonesia cukup tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

mencegah terjadinya suatu penyakit adalah dengan menghilangkan atau

paling tidak mengurangi salah satu faktor penyebab , yaitu patogen.

Bakteri patogen ini biasanya dihasilkan dari sisa-sisa makanan yang

menempel di permukaan gigi dalam waktu yang lama tanpa dibersihkan

sehingga terjadi akumulasi plak yang nantinya menjadi tempat melekatnya

bakteri, terutama genus streptococcus ini, yang merupakan patogen dari

banyak penyakit di rongga mulut. Pengendalian plak dapat dilakukan

dengan menyikat gigi secara rutin dan penggunaan bahan antibakteri yang

dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri. Bahan antibakteri

alami yang dapat digunakan yaitu kitosan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kitosan memiliki potensi sebagai agen antibakteri,


menghambat pembentukan plak pada gigi, dan mempercepat

penyembuhan luka atau lesi mulut. Kitosan selain dapat digunakan sebagai

antibakteri juga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan alami.

Kandungan antibakteri yang terdapat dalam kitosan juga dapat

memperpanjang waktu penyimpanan makanan.

Menurut Wardaniati dan Setyaningsih (2009), kitosan sangat

berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antibakteri, karena mengandung

enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri dan efisiensi daya hambat kitosan terhadap bakteri.

Hardjito (2006) menyatakan, mekanisme kerja larutan kitosan yang

bersifat bakteriostatik diduga hanya menghambat metabolisme kerja sel

bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhannya. Salah satu bahan

yang sering dijadikan kitosan yakni kulit udang. Dimana udang merupakan

hasil perikanan yang banyak diminati, begitupun limbah dari penggunaan

udang pun cukup banyak. Selain produksi udang yang melimpah, didapat

produksi ikan yang cukup banyak juga.

Menurut data Direktorat Jenderal Perikanan dan Budidaya

produksi ikan di Indonesia pada tahun 2013 sangat tinggi sekitar

13.313.838 ton. Beberapa penelitian menggunakan limbah sisik ikan telah

dilakukan antara lain sisik ikan kakap merah (Ifa, dkk., 2018), sisik ikan

bandeng (Bangngalino dan Akbar, 2017) dan sisik ikan gurami

(Yogaswari, 2009). Salah satu limbah sisik ikan yang belum banyak

dimanfaatkan adalah sisik ikan nila. Berdasarkan data Direktorat Jenderal

Perikanan dan Budidaya (2013), ikan nila menempati urutan pertama pada
hasil ikan-ikan yang ada di Indonesia dengan total produksi limbah dari

sisik ikan tersebut sebesar 136.352 ton.

Mengetahui hal tersebut, penulis sangat tertarik meneliti limbah

sisik ikan terutama sisik ikan nila yang belum banyak diteliti ini guna

melihat manfaatnya terhadap pertumbuhan bakteri Selain limbah sisik

ikan nila, peneliti juga ingin membandingkan pengaruh dari kitosan sisik

ikan nila dengan kitosan kulit udang putih. Maka berdasarkan uraian

tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan

pengaruh kitosan sisik ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kitosan kulit

udang putih (Litopenaeus vannamei) terhadap pertumbuhan bakteri

Streptococcus sanguinis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu rumusan

masalah, yaitu :

1. Bagaimana pengaruh kitosan sisik ikan nila (Oreochromis niloticus)

dengan konsentrasi 2,5% dan 5% terhadap pertumbuhan bakteri

Streptococcus sanguinis?

2. Bagaimana pengaruh kitosan kulit udang putih (Litopenaeus vannamei)

dengan konsentrasi 2,5% dan 5% terhadap pertumbuhan bakteri

Streptococcus sanguinis?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan pengaruh kitosan sisik ikan nila

(Oreochromis niloticus) dan kitosan kulit udang putih


(Litopenaeus vannamei) terhadap pertumbuhan bakteri

Streptococcus sanguinis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh kitosan sisik ikan nila (Oreochromis

niloticus) dengan konsentrasi 2,5% terhadap pertumbuhan

bakteri Streptococcus sanguinis.

2. Mengetahui pengaruh kitosan sisik ikan nila (Oreochromis

niloticus) dengan konsentrasi 5% terhadap pertumbuhan

bakteri Streptococcus sanguinis.

3. Mengetahui pengaruh kitosan kulit udang putih (Litopenaeus

vannamei) dengan konsentrasi 2,5% terhadap pertumbuhan

bakteri Streptococcus sanguinis.

4. Mengetahui pengaruh kitosan kulit udang putih (Litopenaeus

vannamei) dengan konsentrasi 5% terhadap pertumbuhan

bakteri Streptococcus sanguinis.

1.4 Manfaat Penelitian

Untuk menambah wawasan dan sebagai referensi penelitian lebih

lanjut di bidang kesehatan, khususnya bidang kedokteran gigi tentang

pengaruh dari kitosan sebagai bahan antibakteri alami terhadap

pertumbuhan bakteri Streptococcus sanguinis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Streptococcus sanguinis

Streptococcus sanguinis yang sebelumnya dikenal dengan nama S.

sanguis, termasuk dalam anggota kelompok Streptococcus viridans.

Streptococcus sanguis ditemukan oleh White dan Niven pada tahun 1946

ketika mengisolasi pasien endocarditis, kemudian namanya berubah menjadi

sanguinis karena mengikuti aturan dari bahasa latin. Menurut beberapa

penelitian sekitar tahun 1960 dan 1970 telah diidentifikasi habitat utama

Streptococcus sanguinis, yang berhubungan dengan erupsi gigi menunjukkan

bahwa permukaan gigi menjadi daerah kolonisasi awal bakteri ini.

2.1.1 Morfologi dan Taksonomi Streptococcus sanguinis

Bakteri Streptococcus sanguinis merupakan bakteri gram positif

berbentuk kokus (bulat) dengan diameter 0,6 –1,0 μm tersusun seperti

rantai. Bakteri Streptococcus sanguinis bersifat non motil (tidak bergerak),

katalase negatif , tumbuh optimum pada suhu 37°C dengan pH 7,4–7,6,

berwarna opak, permukaannya kasar. Berdasarkan struktur dinding sel,

bakteri ini digolongkan pada bakteri gram positif (Jawetz dkk., 1996).

Taksonomi dari Streptococcus sangunis adalah (ITIS, 2012) :

Kingdom : Bacteria

Divisi : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Lactobacillales

Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus

Species : Streptococcus sanguinis

Streptococcus sanguinis memiliki stuktur DNA yang terdiri dari

2.388.435 base pair. Organisme ini mempunyai kode 2.274 protein yang

terdiri dari 61 tRNA dan rRNA. Gen dalam bakteri Streptococcus

sanguinis dapat mempertahankan sintesis protein adhesion pada

permukaan sel (Notohartojo dkk, 2015)

Streptococcus sanguinis merupakan flora normal yang berperan

sebagai pionir kolonisasi bakteri dalam rongga mulut manusia karena

berikatan kuat secara langsung dengan pelikel saliva yang menyebabkan

adesi mikroorganisme oral lain, Streptococcus sanguinis juga merupakan

salah satu mikroba yang diduga sebagai agen patogenesis yang berperan

sebagai penjangkar untuk perlekatan mikroorganisme oral lain, kemudian

membentuk plak gigi dan berkontribusi terhadap perkembangan karies dan

penyakit periodontal (Mounika et al, 2015)

Gambar 2.1 Streptococcus sanguinis (Killian dkk., 2011).


2.1.2 Peranan Streptococcus sanguinis Terhadap Perlekatan

Mikroorganisme Lain

Streptococcus sanguinis adalah bakteri gram positif fakultatif yang

merupakan bakteri awal yang berkolonisasi dengan berikatan langsung

pada pelikel di permukaan gigi. Setelah terikat, bakteri ini memfasilitasi

bakteri lain untuk berkoloni pada permukaan gigi sehingga

membentuk suatu biofilm. Pada kolonisasi kedua dan maturasi plak,

bakteri lain yang bersifat kariogenik secara progresif akan tergabung

dalam biofilm. Dimana biofilm merupakan suatu kompleks aggregasi

mikroorganisme yang tumbuh diatas substrat padat. Sedangkan plak

merupakan biofilm yang terbentuk di dalam rongga mulut. Plak gigi ialah

suatu deposit lunak yang terdiri atas lapisan tipis yang melekat erat pada

permukaan gigi atau permukaan struktur keras lainnya di dalam rongga

mulut. Plak gigi yang menumpuk atau tidak tereliminasi ini akan terbentuk

menjadi deposit yang keras atau yang biasa disebut dengan karies. Dimana

selama proses perlekatan tersebut, kondisi lingkungan perlahan-lahan akan

berubah dan menyebabkan terjadinya pertumbuhan selektif. Keadaan ini

akan menyebabkan perubahan komposisi bakteri, dimana kolonisasi

bakteri kariogenik yang tergabung dalam biofilm tersebut, memiliki sifat

acidogenik, yaitu mampu menghasilkan asam dari karbohidrat yang

dikonsumsi. Asam yang dihasilkan oleh bakteri menyebabkan pH plak

menurun sehingga timbul karies karena terjadinya proses demineralisasi

(Carranza et al, 2002 ; Nadia dkk, 2012).


2.2 Udang Putih (Litopenaeus vannamei)
Menurut Rosenberry tahun 1989, terdapat 343 jenis udang yang

mempunyai nilai ekonomis dan 110 spesies diantaranya berasal dari family

Penaeidae, saat ini baru delapan jenis udang yang bisa dikembangkan untuk

akuakultur, antara lain : Penaeus chinensis, P. indicus, P. japonicus, P.

merguensis, P. monodon, P. stylirostris, P.vannamei, dan Metapenaeus

merguensis. Spesies udang yang banyak dibudidayakan di Indonesia saat ini

adalah P.Monodon dan P. vanamei. Penaeus monodon mempunyai nama lain

yaitu giant tiger prawn dan di Indonesia disebut dengan udang windu.

Sedangkan P. vannamei atau whiteleg shrimp ini sering disebut dengan udang

putih atau vaname. Penaeus vannamei sering pula disebut dengan Litopenaeus

vannamei yang merujuk pada subgenus Litopenaeus. Spesies Penaeus

monodon banyak ditemukan di Indonesia, Thailand, India, Vietnam, Filipina,

China, Bangladesh dan Taiwan, sementara Penaeus vannamei banyak

ditemukan di perairan Ekuador, Mexico, Panama, dan Honduras. (Haliman

dan Adijaya, 2005)

2.2.1 Morfologi dan Taksonomi Udang Putih (Litopenaeus


vannamei)
Tubuh udang vaname berwarna putih transparan sehingga lebih

umum dikenal sebagai “white shrimp”. Namun, ada juga yang

berwarna kebiruan karena lebih dominannya kromatofor biru. Panjang

tubuh dapat mencapai 23 cm. Tubuh vaname dibagi menjadi dua

bagian, yaitu kepala (thorax) dan perut (abdomen). Kepala udang

vaname terdiri dari antenula, antenna, mandibula, dan dua pasang

maxillae. Kepala udang vaname ini juga dilengkapi dengan tiga


pasang maxilliped dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki

sepuluh (decapoda). Sedangkan pada bagian perut (abdomen) udang

vaname terdiri dari enam ruas dan pada bagian abdomen terdapat lima

pasang kaki renang dan sepasang uropuds (mirip ekor) yang

membentuk kipas bersama-sama telson (Yuliati, 2009).

Gambar 2.2 Morfologi Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

(Akbaidar, 2013)

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), taksonomi udang putih

(Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut:


Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapodas

Subordo : Dendrobrachiata

Familia : Penaeidae

Sub genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

2.3 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan

danau-danau sekitarnya di Afrika. Saat ini ikan nila telah tersebar ke wilayah-

wilayah beriklim tropis dan subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim

dingin, ikan nila tidak dapat hidup dengan baik (Angienda et al.,2010).

Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal ikan nila. Ikan ini memiliki

beberapa keunggulan yang menjadi salah satu komoditas ikan air tawar yang

paling diminati di Indonesia. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang mempunyai

resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan sangat mudah

menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga dalam budidaya intensif, ikan

nila memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi (Sonatha dan Puspita, 2016).

2.3.1 Morfologi dan Taksonomi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Habitat ikan nila adalah air tawar, seperti sungai, waduk, danau,

dan rawa-rawa, tetapi karena toleransi ikan nila tersebut sangat luas

terhadap salinitas, sehingga ikan ini dapat hidup dengan baik juga di air

payau. Parameter lingkungan ikan nila juga mempengaruhi kehidupannya

secara langsung yang membuat perbedaan secara morfologi. Ikan nila

yang hidup di air tawar tubuhnya akan berwarna abu cerah dan ada yang

merah sesuai dengan jenis dari ikan nila tersebut. Sedangkan ikan nila

yang hidup di air payau memiliki sisik yang berwarna kehitaman dan lebih

pucat. Bentuk tubuh ikan ini bulat pipih dan terlihat lebih lebar, memiliki

sirip atas yang tajam dan tulang siripnya memanjang. Terdapat beberapa

macam jenisnya seperti ikan nila merah, ikan nila hitam, dan masih banyak

lagi (Mujalifah et al., 2018).

Menurut Cholik (2005), morfologi ikan nila yaitu memiliki bentuk

tubuh yang pipih ke arah vertikal dengan profil empat persegi panjang ke

arah posterior. Posisi mulut terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat

disembuhkan. Pada sirip ekornya tampak jelas garis-garis vertikal,

sedangkan pada sirip punggungnya garis tersebut kelihatan condong. Ciri

khas ikan nila adalah garis-garis vertikal berwarna hitam pada sirip ekor,

punggung dan dubur. Pada bagian sirip ekor (caudal) terdapat warna

kemerahan dan bisa digunakan sebagai indikasi kematangan gonad. Pada

rahang terdapat bercak kehitaman. Sisik ikan nila mempunyai bentuk agak

persegi (ctenoid). Ikan nila juga ditandai dengan jari-jari dorsal yang

keras, begitu pun bagian analnya. Dengan posisi sirip anal di belakang

sirip dada.
Gambar 2.3 Morfologi Ikan Nila (Pratama, 2009).

Taksonomi ikan nila menurut Pauji (2007) adalah sebagai berikut :

Philum : Chordata

Subphilum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Subkelas : Achantopterigii

Ordo : Perciformes

SubOrdo : Percoidei

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus.

2.4 Kitosan
Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari

proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Proses deasetilasi

dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya

gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan
berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga

membentuk gugus amina bebas –NH2 (Rahayu, 2007).

Kitosan merupakan suatu polisakarida yang umumnya berasal dari limbah

kulit hewan Crustacea, tidak hanya dari jenis invertebrata, dewasa ini terdapat

berbagai penelitian yang mencoba membuat kitosan dari jenis lain yakni

vertebrata, termasuk diantaranya ikan. Kitosan memiliki sifat relatif lebih

reaktif dari kitin dan mudah diproduksi dalam bentuk serbuk, pasta, film,

maupun serat. Namun, umumnya kitosan diproduksi dalam bentuk serbuk.

Kitosan merupakan bahan bioaktif dan aktivitasnya dapat diaplikasikan dalam

berbagai bidang termasuk bidang biomedis, farmasi maupun kedokteran.

Kitosan sebagai bahan bioaktif dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan

bahkan senyawa kitosan dapat membunuh bakteri dengan jalan merusak

membran sel (Hui, 2004 ; Agustin, 2006).

Sifat dan penampilan produk kitosan dapat dipengaruhi oleh beberapa

kondisi, seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu dan suhu. Kitosan umumnya

berwarna putih kecoklatan. Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam

bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin

atau semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna

putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni (Elin, 2012).

Kitosan merupakan produk biologis yang bersifat kationik, non toksik,

biodegradable dan biokompatibel. Pelarut yang baik untuk kitosan adalah

asam format, asam asetat dan asam glutamat (Antuni, 2007).

2.4.1 Kitosan Kulit Udang Putih (Litopenaeus vannamei)


Udang merupakan komoditas andalan sektor perikanan yang

menghasilkan limbah yang cukup banyak. Di Indonesia udang mengalami

proses “cold storage” dimana bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang

sebagai limbah. Limbah udang ini dapat mencemari lingkungan di sekitar

pabrik, lingkungan masyarakat pun terkena dampak limbah ini. Sehingga

daur ulang dari limbah tersebut perlu dimanfaatkan. Selama ini kulit udang

hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerupuk, terasi, dan

suplemen bahan makanan ternak. Namun disisi lain, terdapat senyawa

kitin pada limbah udang yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan

kitosan (Haryani dan Budiyati, 2007).

Kulit udang merupakan salah satu sumber yang potensial untuk

digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan yang secara komersil

berpotensi di bidang industri. Kulit udang mengandung protein 25-40%,

kalsium karbonat 40-50%, dan kitin 20-36,61%, tetapi ada beberapa faktor

yang memengaruhi besarnya kandungan komponen tersebut yakni jenis

udang dan tempat hidupnya. (Srijiantodan Imam, 2005).

Dalam kulit udang, kitin terdapat sebagai mukopolisakarida yang

berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat

(CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu

untuk memperoleh kitin dari kulit udang, melibatkan berbagai proses yaitu

pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi).

Sedangkan untuk mendapatkan kitosan, dilanjutkan dengan proses

deasetilasi (Krissetiana, 2004).

2.4.2 Kitosan Sisik Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Sisik ikan merupakan limbah yang belum banyak dimanfaatkan

dengan optimal. Sisik ikan dalam skala industry dapat dimanfaatkan

sebagai sumber kolagen, gelatin juga kitosan. Sedangkan dalam skala

rumah tangga hanya menghasilkan limbah ikan. Pasalnya pada sisik ikan

terdapat bahan yang mengandung kitin dan dapat dijadikan sumber

pembuatan kitosan. Dimana sisik ikan laut yang sudah dikeringkan secara

umum mengandung 30-50% mineral dan 20-30% kitin (Kumari, 2014).

Sisik ikan banyak mengandung senyawa organik antara lain protein

sebesar 41-84% berupa kolagen dan ichtylepidin. Berdasarkan penelitian

Nagai et.al (2004), komponen yang terdapat pada sisik ikan antara lain

70% air, 27% protein, 1% lemak dan 2% abu. Senyawa organik terdiri dari

40-90% pada sisik ikan dan selebihnya merupakan kolagen. Belakangan

ini, penelitian mengenai kitosan sudah banyak dikembangkan. Namun,

kitosan sisik ikan masih minim diteliti. Sementara itu, limbah sisik ikan

pun tak kalah jauh banyaknya dari limbah-limbah rumah tangga lain

seperti limbah udang. Untuk memperoleh kitosan dari sisik ikan

melibatkan proses-proses yang sama halnya pada kitosan kulit udang,

yaitu meliputi deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi (Mahrus,

2010).

2.4.3 Kitosan Sebagai Antibakteri


Bahan antibakteri ialah suatu bahan kimiawi yang mempunyai sifat

membunuh mikroorganisme (bakteriosidik) atau dengan cara menghambat

pertumbuhan mikroorganisme (bakteriostatik). Bahan antibakteri dianggap

baik jika bahan tersebut efektif dalam membunuh kuman tetapi tidak
mengiritasi jaringan sekitarnya. Faktor penting dari efektivitas antibakteri

tergantung dari beberapa hal yakni bahan, konsentrasi, substansi, lama

perawatan, dan penderita yang kooperatif (Katzung, 2001).

Aktivitas antibakteri dari kitosan disebabkan oleh karena terjadinya

interaksi antara kitosan dengan membran sel terluar dari bakteri.

Mekanisme antimikroba kitosan terhadap bakteri terjadi melalui dua teori.

Teori yang pertama, didasari oleh adanya gugus fungsional amina pada

kitosan yang dapat membentuk ikatan dengan dinding sel bakteri dan

mengakibatkan timbulnya kebocoran konstituen intraseluler sehingga

bakteri akan lisis. Teori kedua, menyebutkan bahwa diawali dengan

merusak dinding sel bakteri, dimana kitosan melakukan pengikatan

intraseluler, menghalangi mRNA, dan menghambat sintesis protein

(Andreas et al., 2007).

Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan

antibakteri, karena mengandung enzim lisozim dan gugus

aminopolisakarida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Enzim lisozim merupakan enzim yang sanggup mencerna dinding sel

bakteri sehingga bakteri akan kehilangan kemampuannya menimbulkan

penyakit dalam tubuh. Hilangnya dinding sel ini menyebabkan sel bekteri

akan mati. Keunggulan kitosan adalah tentunya merupakan bahan alami,

penggunaannya dalam jumlah yang sedikit (konsentrat), dan kitosan

mempunyai polikation yang bermuatan positif yang kuat yang dapat

mengikat muatan negatif dari senyawa lain atau berperan sebagai

detoksifikasi maupun mampu menekan atau menghambat pertumbuhan


bakteri. Aksi kitosan terhadap mikroba lebih cepat kepada fungi dan algae

diikuti oleh bakteria. (Riski R, et.al, 2015).

Disamping itu, kitosan mempunyai gugus fungsional amina (-NH2)

yang bermuatan positif sangat kuat yang mampu menarik molekul asam

amino bermuatan negatif pembentuk protein dalam mikroba (Sarwono R,

2010).

Anda mungkin juga menyukai

  • Sejarah Nusa Penida
    Sejarah Nusa Penida
    Dokumen3 halaman
    Sejarah Nusa Penida
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen5 halaman
    Bab 2
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Makalah Odontoma
    Makalah Odontoma
    Dokumen21 halaman
    Makalah Odontoma
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • MUKOKEL
    MUKOKEL
    Dokumen15 halaman
    MUKOKEL
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Abses Lingual
    Bab Ii Abses Lingual
    Dokumen5 halaman
    Bab Ii Abses Lingual
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Bab I Odontoma
    Bab I Odontoma
    Dokumen3 halaman
    Bab I Odontoma
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Kekerasan Seksual
    Kekerasan Seksual
    Dokumen4 halaman
    Kekerasan Seksual
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • Radiologi
    Radiologi
    Dokumen2 halaman
    Radiologi
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat
  • PULPA
    PULPA
    Dokumen6 halaman
    PULPA
    Ni kadek sri yuliantari
    Belum ada peringkat