Anda di halaman 1dari 13

MASHALAH MURSALAH SEBAGAI METODE IJTIHAD

diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ushul Fiqh

Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Adang Jumhur M.Ag.

Disusun Oleh:

1. Siti Fitria : 2008201108


2. Shobikha : 2008201092
3. M. irkham : 2008201099

HUKUM KELUARGA ISLAM 2 C

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2021
KATA PENGANTAR

Tak ada kata yang indah saya ucapkan selain “Alhamdulillah”. puji serta syukur
terpanjatkan selalu kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung,
Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Penulis bersyukur
kepada Allah SWT atas waktu, kesempatan dan kekuatan yang di berikan-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun dengan baik. segala pujian hanyalah bagi Allah SWT.

Sholawat beriring salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada utusan Allah,
baginda kita, Nabi agung Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan hingga zaman yang terang benderang, dari zaman kebodohan hingga kepada
zaman yang serba canggih seperti sekarang ini.

Saya ucapkan terima kasih kepada anggota kelompok dan semua yang telah
berkenan untuk membimbing saya dalam pembuatan makalah ini . Dan dalam program
sebagai tugas mata kuliah Ushul Fiqh ini yaitu pembuatan makalah yang mana bertujuan
untuk pengenalan bagi kami sebagai mahasiswa, Kami yakin dengan tugas ini dapat
bermanfaaat bagi kami dan sebagai pelajaran di masa yang akan datang.

Cirebon, 6 April 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................3

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................3


1.2 Ruang lingkup permasalahan...............................................................................4
1.3 Maksud Dan Tujuan............................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN..........................................................................................5

2.1 Pengertian Maslahah Mursalah............................................................................5

2.2   Kehujjahan Maslahah Mursalah........................................................................6

2.3 Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.......................................................................7

2.4 Macam-Macam Maslahah Mursalah...................................................................8

2.5 Pertentangan Maslahah Mursalah Dan Nash.......................................................9

BAB III. PENUTUPAN...........................................................................................11

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seluruh hukum yang ditetapkan Allah swt. atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau
larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat.
Seluruh perintah Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk
dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya
pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh
sholat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan
jasmani.

Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu
terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.
Contohnya larangan meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari
mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental), dan akal.

Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan
Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan
maslahat itu Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat
itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.

Terlepas dari beda pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang
mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu
terdapat hukum syara’ dalam bentuk perintah. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang
dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada
hukum syara’ dalam bentuk larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal
manusia, dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’.

3
1.2 Ruang Lingkup Permasalahan

1. Apa pengertian Maslahah Mursalah?

2. Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?

3. Apa syarat-syarat Maslahah Mursalah?

4. Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?

5. Bagaimana pertentangan antara Maslahah Mursalah dan Nash?

1.3. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Maslahah Mursalah

2. Untuk mengetahui Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah

3. Untuk mengetahui syarat-syarat Maslahah Mursalah

4. Untuk mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah

5. Untuk mengetahui Bagaimana pertentangan antara Maslahah Mursalah dan Nash

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut lughot terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫يصلح – صلح‬  menjadi atau  yang berarti
sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja
yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: Menjadi yang berarti diutus, dikirim
atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “Maslahah mursalah” yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum
Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan di


antaranya:

1.         Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut:


‫ع ْال َح ِك ْي ُم لِ ِعبَا ِد ِه فِى ِح ْف ِظ ِد ْينِ ِه ْم َونُفَوْ ِس ِه ْم َو ُعقُوْ لِ ِه ْم َونَس ْْل ِه ْم َواَ ْم َوالِ ِه ْمز‬ َ َ‫ارةٌ ع َِن ْال َم ْنفَ َع ِة الَّتِ ْي ق‬
ِ ‫ص َدهَا ال ّش‬
ُ ‫ار‬ َ َ‫بِاَنَّهَا ِعب‬
“ Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Masyrri’
(Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya,
keturunannya, dan harta bendanya “.
2.         Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut:
ِ ‫اال َمصْ لَ َحةُ فَ ِه َي ِعبَا َرةٌ فِى ااْل َصْ ِل ع َْن َج ْل‬
َ ‫ب َم ْنفَ َع ٍة اَوْ َد ْف ِع َم‬
‫ض َّر ٍة‬ ْ ‫اَ َّم‬
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madharat”.
3.         Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
‫ع بِ َد ْف ِع ْال ُمفَا ِسلِ ِم َع ِن ْال َخ ْلقِز‬ ِ ‫ْال ُم َحافَظَةُ َعلَى َم ْقصُوْ ِد ال َّش‬
ِ ‫ار‬
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan
makhluk”. 

Ketiga ta’rif di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya


tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madarat dan meraih maslahah. Secara mutlak maslahah
mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqih sebagai suatu kemaslahatan yang secara hukum
tidak disyariatkan oleh syari, serta tidak ada dalil yang menerangkan atau membatalkan.
5
Maslahah ini disebut mutlak, karena tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil
yang membatalkan.

2.2 Bagaimana Kehujjahan Maslahah Mursalah

Sebagai hujjah, maslahah mursalah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini
ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

 Menurut jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka
mengemukakan beberapa argument, yaitu:
a. Allah telah mensyariatkan untuk para hamba hukum-hukum yang memenuhi
tuntutan kemaslahatan mereka. Ia tidak melupakan dan tidak meninggalkan
satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangnya. Berpedoman pada maslahah
mursalah berarti menganggap Allah meninggalkan sebagian kemaslahatan
hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash.
b.     Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah
mulghoh, di mana menyamakannya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu
sesuai dari pada menyamakannya dengan maslahah mulghoh, karenanya tidak
pantas dijadikan hujjah.
c.   Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang tidak
berilmu untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan membela
kepentingan penguasa.

 Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini
juga diikuti oleh Imam Haramain. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
a.     Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan kemaslahatan
manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan
karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan
pensyariatannya.
b.         Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah
karena perbedaan pendapat tempat, keadaan dan zaman. Jika hanya berpegang
6
pada kemaslahatn yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka
berartimempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan
banyak kemaslahatan manusia, dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umat
syariat.
c.     Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan
ijtihad berdasarkan masalahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka.
Karenanya ia merupakan ijma’.
 Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dpat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah. Sedang maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat
dijadikan dalil

2.3 Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalag dalam pembentukan


hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi,
sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, keinginan yang
merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya
sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.

Syarat- syarat itu adalah sebagai berikut:


1)      Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqli dan mereka yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus
didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan
dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan,
sebagaimana yang dipandang sebagian syari’at, tidaklah diperlukan, seperti dalih
maslahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya,

7
dan memberikan hak talak tersebut terhadap hakim saja dalam semua keadaan.
Seungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut hal itu dapat
mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan
isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas
dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2)      Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu
dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Ghazali memberi
contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang
kafir tentang telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin.
Apabila kaum muslimin dilarang mereka demi memelihara kehidupan orang Islam
yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang., dan mereka akan
memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi
orang orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari
seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. demi memlihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan
musuh-musuh mereka.
3)      Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i.
Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syar’i.
Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak
sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut
maslahah.
4)      Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak
membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

2.4 macam-macam Maslahah Mursalah

Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:

1)   Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan
dijadikan dasar dalam penetapan hukum.

8
2)   Maslahah Mulghah yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah) dan syari’
menetapkan kemaslahatan lain selain itu.
3)   Maslahah mursalah yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash dan ijma’
serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan
mengambilnya.
Maslahah mursalah disebut juga istishlah, Munasib mursal mala’im, isti’dlal
mursal dan istidlal. Berdasarkan tingkatannya maslahah dapat dibagi kedalam tiga
tingkatan, yaitu:
a.    Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah
dharuriyah dapat berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan
dan turunnya azab di akhirat.
b.    Maslahah hajiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap
maslahah hajiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia,
tetapi akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
c.    Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan makarimul ahlak serta memlihara keutamaan dalam bidang
ibadah, adat, dan muamalat.
Ketiga maslahah di atas merupakan titik tolak penerapan prinsip maslahah
mursalah. Sebab, sudah jelas bahwa setiap pensyaria’atan hukum Islam seslalu
mengandung unsur kemaslahatan bagi manusia

2.5 Pertentangan Antara Maslahah Mursalah dan Nash

Yang dimaksud tentang pertentangan anatara maslahah dengan nash adalah


pertentangan antara kemaslahatan dengan nash yang zhanni, baik dari segi wurud
(periwayatan)nya, maupun dari segi dalalah (makana yang dikandung)nya. Jika
kemaslahatan tersebut bertentangan dengan nash yang qath’i, baik dari segi wurud,
maupun dalalahnya, maka tidak dapat dipandang sebagai pertentangan. Sebab,
9
pertentangan hanya terjadi antara dua dalil yang berada dalam tingkatan yang sama. Jika
kemaslahatan bertentangan dengan nash qath’i, secara otomatis nash yang harus diikuti.
Sebab, dalam kasusu seperti ini, sejatinya tidak ada pertentangan, sebab nash lebih tinggi
derajatnya dibanding kemaslahatan. Dalam hal ini, nash membatalkan. Demikian juga,
jika terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dengan qiyas, maka qiyas harus tunjuk
kepada nash, bukan sebaliknya.
Dalam menyikapi isu pertentangan antara maslahah dan nash, ulama terbagi kedalam
tiga kelompok, yaitu:
1)        Kelompok yang mendahulukan dari pada maslahah. Mereka memandang bahwa
hukum itu hanya dapat diambil dari nash, ijma’, atau qiyas. Jika suatu maslahah
bertentangan dengan nash, maka maslahah harus diabaikan demi nash.
2)        Kelompok yang mendahulukan maslahah daripada nash. Mereka adalah kelompok
Malikiyah dan Hanfiyah. Mereka meninggalkan hadits ahad jika bertentangan dengan
maslahah. Di antara pengikut mereka ada yang berlebihan dalam mengutamakan
maslahah, yaitu Najm al-Din al-Thufi. Jika ada nash yang qath’i sekalipun, apabila
bertentangan dengan maslahah, nash yang qath’i tersebut harus tunduk pada
kemaslahatan. Pendapat al-Thufi tentang kemaslahatan akan dibicarakan setelah ini.
3)        Menurut al-Ghazali dan al-Amidi kemaslahatan dapat didahulukan dari pada nash
apabila betul-betul dalam keadaan darurat.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Maslahah mursalah diartikan oleh ahli ushul fiqih sebagai suatu kemaslahatan yang
secara hukum tidak disyariatkan oleh syari, serta tidak ada dalil yang menerangkan atau
membatalkan.
      Sebagai hujjah, maslahah mursalah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini
ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Menurut jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah.
2.      Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini
juga diikuti oleh Imam Haramain.
3.      Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dpat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah. Sedang maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan
dalil.

Syarat- syarat maslahah mursalah yaitu: Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan,
Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan
tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit, Maslahah itu harus sejalan
dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i, Maslahah itu bukan maslahah yang
tidak benar. Berdasarkan tingkatannya maslahah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan,
yaitu: Maslahah dharuriyah, Maslahah hajiyah, Maslahah tahsiniyah.
Dalam menyikapi isu pertentangan antara maslahah dan nash, ulama terbagi kedalam
tiga kelompok yaitu:
1) Kelompok yang mendahulukan dari pada maslahah
2) Kelompok yang mendahulukan maslahah daripada nash

11
3) Menurut al-Ghazali dan al-Amidi kemaslahatan dapat didahulukan dari pada nash
apabila betul-betul dalam keadaan darurat.

DAFTAR PUSTAKA

Khoirul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 2000


Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Karya Toha Putra, 1994
Suwarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2012
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Khoirul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 135-136
Ibid, hlm. 137
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 1994), hlm.
139
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 140
Op. Cit, hlm. 137-138
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
122

12

Anda mungkin juga menyukai