menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan
tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat
dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash
resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah
pegunungan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang
sangat berpengaruh, yaitu:
(1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan,
(2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan
(3) strategi dan kebijakan pembangunan yang dikhususkan bagi
daerah pegunungan.
isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah
adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai
keunggulan komparatif bagi pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan
pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi
seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah
untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat
mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas
penggunaan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila
kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan
dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di
daerah pegunungan untuk berjuang mempertahankan kehidupannya biasanya
bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu
(1) Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani mengelola
sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi
tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan;
(2) Petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui
pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola
lahannya, dan
(3) Teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi
karena keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan
kapital (Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian
agroekologis lahan untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai
bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan.
Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk
kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih
bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya
masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan
agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan
hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek
agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan
tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan
yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya
penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987).
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa
material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses
untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan
ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat
berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi
pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi
dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990).
Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek
eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 8
Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti
bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi
semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan
tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas
tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh
karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan
eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu
tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu,
biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar
dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi
seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien
(1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk
mengendalikan efek eksternalitas, yaitu:
(i) larangan,
(ii) pengarahan,
(iii) kegiatan percontohan,
(iv) pajak atau subsidi,
(v) pengaturan (regulasi),
(vi) denda atau hukuman, dan
(vii) tindakan pengamanan.
Dalam sistem pasar bebas dapat dipahami bahwa aliran uang dari
konsumer ke pemilik sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai suatu sistem
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 10
"voting", dengan membeli barang dan jasa tertentu pada hakekatnya konsumen
menyatakan pola preferensinya untuk mengalokasikan penggunaan
sumberdayanya. Dalam fenomena ini peranan gaya-gaya pasar dalam
menentukan bagaimana sumberdaya lahan digunakan sangat besar.
Hal ini berarti bahwa sewa maksimum, yang merupakan total pener-
imaan dengan biaya produksi dan biaya transpor, akan menurun kalau jarak dari
pasar semakin jauh (Gambar 3.3). Serupa dengan itu, sewa maksimum untuk
produksi daging akan menurun dengan jarak dari pasar, pada tingkat penurunan
yang ditentukan oleh biaya transportasinya (Gambar 3.2). Sewa maksimum
untuk dua macam aktivitas penggunaan lahan ini, pada berbagai jarak dari
pasar, ditunjukkan di bagian atas Gambar 3.4.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 14
Gambar 3.4. Teori lokasi dan penggunaan lahan pertanian (Norton, 1984).
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 17
Gambar 3.5. Efek kualitas dan lokasi lahan terhadap ekstraksi barang tambang
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 19
(b). Lokasi
Kalau dipandang dari teori ekonomi tentang penggunaan lahan, kita
dapat melihat bahwa LSA (Land Suitability Assessment) hanya
memperhatikan aspek-aspek kualitas. Kalau sampai kepada
pemaduan kesesuaian atau kemampuan (kapabilitas) ini dengan
kebutuhan masyarakat, maka juga harus memperhitungkan lokasi.
Sebagaimana yang diuraikan di muka, biaya angkutan dapat
mempunyai pengaruh penting terhadap profitabilitas produk
pertanian, kayu, dan bahan tambang seperti halnya kesesuaian
inherent atau kualitas lahan. Demikian juga, untuk rekreasi alam
bebas, waktu atau perjalanan, biaya-biaya yang diperlukan dalam
mencapai lokasi-lokasi khusus dapat menutupi kesesuaiannya.
Memang, proksimitas dengan pusat pemukiman merupakan atribut
utama dari lokasi wisata yang bertumpu kepada pengguna jasa,
sedangkan kualitas yang tinggi dari sumberdaya yang bertumpu
lokasi, yang menarik pengunjuk dari jarak jauh, membuat lokasi
menjadi tidak penting.
Lokasi bahkan dapat menjadi penting untuk konservasi alam.
Walaupun lokasi konservasi di daerah urban mungkin mempunyai
kualitas yang jelek, ditinjau dari jenis/species atau habitat langka,
mereka tampaknya sangat penting untuk maksud-maksud
pendidikan, karena dekat dengan sekolahan dan kegiatan
pendidikan lainnya. Sebaliknya, lokasi-lokasi yang kualitasnya baik,
mengandung species dan habitat langka yang penting secara
nasional dan internasional, mungkin hanya cocok untuk maksud-
maksud konservasi kalau terletak jauh dari pusat-pusat
pemukiman.