Anda di halaman 1dari 29

MK.

EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 1

KONSEPSI SUMBERDAYA LAHAN


Oleh:
Prof Dr.Ir.Soemarno, M.S.

1. Sumberdaya LAHAN dan PENGELOLAANNYA

Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya


sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi,
terutama di wilayah pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat
beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana
sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering
(Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan
bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau
mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini
mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan
sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional.
Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan
lahan kering, adalah
(i) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat,
(ii) Ekonomis menguntungkan,
(iii) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi
petani,
(iv) Aman lingkungan, dan
(v) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan (Satari,
dkk., 1991).
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan
lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan
kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu.
Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian
yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya
insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pedesaan,
kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna
yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa
konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal
sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan
lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada
permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi
pengembangan kebijakan-kebijakan lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base
Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan
sumberdaya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik,
dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 2

hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat


daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-
kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan
pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan
pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan
(pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenagakerja), dan (3) pengembangan
kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau
di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan
rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi
keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu:
(1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem
bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan
peningkatan produksi,
(2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan
melibatkan kepentingan masyarakat petani,
(3) asistensi teknis melalui program jangka panjang,
(4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu
menunjukkan benefit jangka pendek, dan
(5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui
batas ambangnya.
Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan
yang penting adalah
(1) Para perencana program harus menguasai pengetahuan tentang
"sistem pertanian ber-kelanjutan" dan komponen-komponen
penggunaan lahan yang relevan,
(2) Para pelaksana program harus mampu "ber-komunikasi dengan
petani" dalam rangka untuk meng-akomodasikan pandangan,
persepsi dan kepentingan petani;
(3) Para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa
proses perubahan berlangsung secara lambat dan lama, sehingga
diperlukan "komitmen jangka panjang";
(4) Para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan
petani dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan
problem pengelolaan lahan, dan
(5) Para perencana harus mengetahui "sebab-sebab terjadinya
permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya.

Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebu-tuhan petani


merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan
pengelolaan lahan pertanian. Collison (1982) mengemukakan empat sasaran
prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahatani konservasi,
yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2)
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 3

menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan
tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat
dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash
resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah
pegunungan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang
sangat berpengaruh, yaitu:
(1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan,
(2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan
(3) strategi dan kebijakan pembangunan yang dikhususkan bagi
daerah pegunungan.

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di


daerah lahan pegunungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi
penting, yaitu :
(1) aksesibilitas,
(2) fragilitas,
(3) marjinalitas,
(4) heterogenitas dan diversitas,
(5) suitabilitas ekologis, dan
(6) sejarah mekanisme adaptasi manusia.

2. Konsepsi Umum tentang Lahan

Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta


segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi
perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah
lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan
bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau
bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut,
termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan
hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di
masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap
penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat
dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural
yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang
sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan
sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat
kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang
terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran
tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 4

dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan


hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan
yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis,
(iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks
pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan,
setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang
sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan.
Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau
karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).

3. Sistem Sumberdaya Lahan

Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempu- nyai


komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-
interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa
proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam tingkat
kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permukaan, proses produksi
tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan
tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting
adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-
faktor ini menentukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan
menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen
tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya
bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980).
Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses
serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah
penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land
utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak
(Hardjowigeno, 1985).
Upaya pemanfaatan lahan pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk
mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas pengelolaan
sumberdaya lahan dalam hal ini pada dasarnya merupakan upaya penyesuaian
antara kondisi lahan yang ada dengan persyaratan bagi ko- moditas pertanian
(Sitorus, 1985). Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi
kemampuan dan kesesuaian sumberdaya lahan terhadap persyaratan
penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional, konsepsi
tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam konsepsi kualitas lahan yang
dapat dievaluasi secara lebih kuantitatif dan lebih obyektif (Soemarno, 1990;
Janssen, 1991). Hubungan antara kondisi lahan dengan respon tanaman dalam
upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat produktivitas lahan (Wood
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 5

dan Dent, 1983). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memperkirakan


tingkat produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil evaluasi ini
penting dalam rangka perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan (Sys,
1985; Soemarno, 1990).
Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah
menggunakan lahan sebagai komponen sistem usahatani. Suatu sistem
usahatani komoditas pada kenyataannya sangatlah kompleks (subsistem
sumberdaya alam, dan subsistem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan
senantiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan sistemik
dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usahatani komoditas dalam
kerangka pewilayahannya (Dent dan Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan
Wright, 1971). Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struktur sistem
dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi
input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih
lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap sistem
usahatani komoditas di suatu wilayah pengembangan (Soemarno, 1988).

4. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat


kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985).
Dalam bidang pertanian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya
untuk usaha pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa
kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman.
Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya
menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah,
kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah
dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang
telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif
tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di
permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan,
erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat.
Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan
oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan mengandung makna
lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi.
Proses evaluasi lahan pada hakekatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sistem evaluasi lahan dengan
komputer (Land Evaluation Computer System, LECS) pada dasarnya
merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi lahan (Framework for Land
Evaluation, FAO, 1976) . Penggunaan fasilitas komputer dalam analisis
kesesuaian lahan sangat diperlukan karena:
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 6

(i) melibatkan banyak data yang meliputi berbagai unit lahan,


berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis tanaman pertanian dan
tanaman hutan;
(ii) penilaian dilakukan secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat
kesesuaian tanaman; dan
(iii) pemodelan diperlukan untuk lebih memahami interaksi yang rumit
dalam sistem pertanian (Wood dan Dent, 1983).

5. Pengelolaan Sumberdaya Lahan

Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia.


Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang
berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land
use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya
pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan
yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan
penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya
dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan,
yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi
dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan
semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin
dekat dengan pasar (Norton, 1984).
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem
pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi
oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan
ketersediaan air). Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok
dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari
persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga
akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas
sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti
lahan kering-kritis di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut dapat bersifat
internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedi-
mentasi di berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971). Soekardi dan Eswaran
(1991) mengemukakan beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam
ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau
penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri
ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3)
sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut
adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan
oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm,
temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 7

isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah
adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai
keunggulan komparatif bagi pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan
pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi
seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah
untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat
mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas
penggunaan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila
kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan
dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di
daerah pegunungan untuk berjuang mempertahankan kehidupannya biasanya
bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu
(1) Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani mengelola
sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi
tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan;
(2) Petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui
pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola
lahannya, dan
(3) Teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi
karena keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan
kapital (Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian
agroekologis lahan untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai
bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan.
Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk
kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih
bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya
masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan
agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan
hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek
agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan
tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan
yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya
penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987).
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa
material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses
untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan
ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat
berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi
pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi
dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990).
Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek
eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 8

Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti
bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi
semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan
tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas
tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh
karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan
eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu
tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu,
biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar
dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi
seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien
(1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk
mengendalikan efek eksternalitas, yaitu:
(i) larangan,
(ii) pengarahan,
(iii) kegiatan percontohan,
(iv) pajak atau subsidi,
(v) pengaturan (regulasi),
(vi) denda atau hukuman, dan
(vii) tindakan pengamanan.

Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan


degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses
produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut
biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada
kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988).
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim
yang berfluktuasi menjadi faktor pembatas yang menentukan tingkat efektivitas
implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Ispandi, 1990; dan
Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang
dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor
lereng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini
maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani
dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering
adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan
tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan
penanaman rumput/tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi,
1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani
lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam
introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung +
kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 9

memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam


tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan
kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa (Nuhardiyati, 1988; Djumali
dan Sasa, 1988). Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai
pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl
ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan.
Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju
erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan,
sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama
musiman (Thamrin, 1990; Soelaiman, 1990). Selain itu, penelitian-penelitian ini
masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara
terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi
dan limpasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah,
serta belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka
panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usahatani lahan kering
yang cukup baik untuk menunjang program intensifi- kasi adalah ternak
(Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990 b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan
pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan,
mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan
limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput
setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di
lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminan-
sia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik.
Usahatani domba ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga
yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan
faktor utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan
yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya
pengelolaan lahan kering - kritis dalam suatu sistem pertanian harus
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti
oleh tindakan konservasi tanah dan air secara memadai . Beberapa peneliti
telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering
secara lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990c; dan Rachman, 1990). Tampaknya
para peneliti ini menghadapi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat
karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian
juga informasi tentang kesesuaiannya.

6. PRINSIP EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN

Dalam sistem pasar bebas dapat dipahami bahwa aliran uang dari
konsumer ke pemilik sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai suatu sistem
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 10

"voting", dengan membeli barang dan jasa tertentu pada hakekatnya konsumen
menyatakan pola preferensinya untuk mengalokasikan penggunaan
sumberdayanya. Dalam fenomena ini peranan gaya-gaya pasar dalam
menentukan bagaimana sumberdaya lahan digunakan sangat besar.

6.1. Pasar dan Penggunaan Sumberdaya Lahan

Problematik yang akan dibahas dapat diabstraksikan secara ringkas


dalam bentuk pertanyaan "mengapa sebidang lahan tertentu digunakan dengan
cara yang tertentu?", atau lebih specifik lagi, "mengapa sebidang lahan
digunakan untuk produksi pertanian, dan sebidang lainnya untuk lokasi industri,
dan lainnya lagi untuk pusat perkantoran ?" Apa yang sedang kita cari adalah
teori umum yang akan menjelaskan perbedaan- perbedaan ini. Walaupun faktor
sejarah, pembatasan perencanaan, dan faktor non-ekonomi lainnya, serta
mungkin motif-motif dari pengambil keputusan yang terlibat, namun ini semua
untuk melandasi gaya-gaya ekonomi sehingga kita perlu memahami suatu teori
sederhana untuk menjelaskan pola umum penggunaan lahan. Didekati dari
sudut pandang ini ada dua sifat intrinsik dari sumberdaya lahan yang penting,
yaitu kualitasnya dan lokasi.

(1). Kualitas Lahan


Kualitas sebidang lahan hanya dapat didefinisikan secara bermakna
dalam hubungannya dengan suatu aktivitas penggunaan tertentu. Dengan
mengambil teladan penggunaan pertanian, kualitas lahan untuk menghasilkan
tanaman tergantung kepada faktor-faktor seperti iklim, topografi, tipe tanah, dan
kesuburan, semuanya ini mempegaruhi pertumbuhan tanaman dan biaya
produksi serta panen. Akan tetapi, lahan yang kualitasnya tinggi untuk suatu
jenis tanaman, seperti jagung, mungkin akan mempunyai kualitas rendah untuk
jenis tanaman lain, seperti padi.
Tiga area lahan A, B, dan C yang disajikan dalam Gambar 4.1 (a)
mempunyai kualitas yang berbeda untuk menanam jagung. Lahan B, yang
kualitasnya medium untuk menanam jagung, memberikan penerimaan neto yang
relatif rendah dibandingkan dengan lahan C yang kualitasnya tinggi. Ada dua
alasan untuk hal ini, keduanya berpangkal dari fakta bahwa lahan B kurang
sesuai daripada lahan C untuk produksi jagung.
Lahan B tidak mempunyai kapasitas 'bawaan' untuk menghasilkan
setinggi lahan C; dan kedua, biaya produksi dari lahan B lebih besar. Karena
biaya produksi jagung yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1(a) mencakup
penghasilan atas investasi dan pengelolaan tetapi tidak mencakup biaya sewa
lahan, ukuran penerimaan neto untuk sebidang lahan menyatakan jumlah
maksimum yang akan bersedia dibayar oleh petani untuk menyewa lahan guna
menanam jagung. Hal ini disebut tawaran harga sewa maksimum atau
"ceiling-rent". Ternyata untuk daerah C, harga sewa maksimum lebih tinggi
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 11

daripada lahan B, dan umumnya meningkat dengan peningkatan kualitas lahan


(Gambar 3.1(b)). Seperti yang pertamakali diungkapkan oleh Ricardson dalam
The Principles of Political Economy and Taxation 1817, teori ini menyatakan
bahwa lahan dengan kualitas tertinggi, dan dengan harga sewa tertinggi, akan
lebih dahulu digunakan dalam proses produksi.
Lahan yang kualitasnya lebih rendah akan dialokasikan untuk produksi
jagung kalau permintaan jagung meningkat. Lahan yang kualitasnya rendah
seperti A dalam Gambar 3.1(a), dengan dengan harga sewa nol, adalah marginal
untuk menanam jagung. Kita tidak akan mengharapkan lahan yang kualitasnya
lebih rendah dari lahan marjinal untuk dialokasikan guna produksi jagung.

(2). Lokasi lahan


Teori tentang penggunaan lahan semula dikembangkan oleh von
Thunen pada pertengahan abad 18, seorang Jerman. Ia mencatat hasil-hasil
dari berbagai jenis tanaman dan melengkapinya dengan upaya-upaya yang
terlibat dalam pengangkutan produks ini, oleh kuda dan kereta, ke pasar.
Dengan mengasumsikan sebuah kota yang terisolir, yang dikelilingi oleh lahan
yang kualitasnya sama, von Thunen berargumentasi bahwa pola-pola konsentris
penggunaan lahan akan terjadi. Lahan di dekat kota akan digunakan digunakan
untuk memproduksi tanaman yang hasilnya banyak dan voluminous, seperti
kayu dan kentang, sedangkan lahan yang jauh dari pasar akan digunakan untuk
memproduksi tanaman ekonomis-tinggi, volumenya kecil, seperti hasil-hasil
peternakan.
Untuk melukiskan penalaran penggunaan lahan tersebut, marilah kita
perhatikan dua bentuk penggunaan lahan, yaitu kentang dan rumput permanen
untuk produksi sapi potong (daging). Kalau tidak ada perbedaan kualitas lahan,
maka biaya untuk mengangkut produk ke pasar yang menyebabkan perbedaan
harga sewa maksimum bagi setiap aktivitas. Seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 3.2, biaya transpor akan tergantung pada volume atau berat produk dan
jarak angkut ke pasar. Bagaimana keduannya ini mempengaruhi harga sewa
maksimum untuk usahatani kentang ?. Penerimaan per hektar akan sama untuk
setiap bidang lahan, karena diasumsikan tidak ada perbedaan kualitas lahan.
Dengan alasan yang sama maka biaya produksi kentang juga tidak berubah.
Akan tetapi kalau kita memperhatikan lahan yang lokasinya semakin jauh dari
pasar, sehingga biaya untuk mengangkut produk satu hektar kentang ke pasar
akan meningkat (Gambar 3.2).
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 12

Gambar 3.1. Kualitas lahan untuk produksi jagung.


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 13

Gambar 3.2. Biaya-biaya transpor hasil pertanian

Hal ini berarti bahwa sewa maksimum, yang merupakan total pener-
imaan dengan biaya produksi dan biaya transpor, akan menurun kalau jarak dari
pasar semakin jauh (Gambar 3.3). Serupa dengan itu, sewa maksimum untuk
produksi daging akan menurun dengan jarak dari pasar, pada tingkat penurunan
yang ditentukan oleh biaya transportasinya (Gambar 3.2). Sewa maksimum
untuk dua macam aktivitas penggunaan lahan ini, pada berbagai jarak dari
pasar, ditunjukkan di bagian atas Gambar 3.4.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 14

Gambar 3.3. Lokasi dan ceiling-rent untuk komoditas kentang


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 15

Lahan di dekat pasar mempunyai harga sewa maksimum yang lebih


tinggi untuk kentang daripada untuk daging, yang menyatakan bahwa petani
kentang akan bersedia menawar sewa lebih tinggi untuk lahan-lahan dekat pasar
daripada produsen daging. Akibatnya, penanaman kentang akan menjadi
aktivitas penggunaan lahan. Kalau kita perhatikan lahan yang lebih jauh dari
pasar, sewa maksimum untuk kentang menurun dengan laju lebih cepat
daripada daging sehingga pada jarak OX, penawaran sewa maksimum untuk
kedua aktivitas akan sama. Di luar OX, produksi daging mempunyai sewa
maksimum tertinggi dan akan menjadi aktivitas dimana lahan dialokasikan. Pola
penggunaan lahan yang diturunkan dari model ini (bagian bawah Gambar 3.4)
menunjukkan zone penggunaan lahan yang konsentris dapat diharapkan terjadi.

(3). Interaksi Kualitas Lahan dan Lokasinya


Walaupun ada banyak bukti adanya pola penggunaan lahan yang
konsentris, namun kemudian ada beberapa alasan yang menyebabkan
lenyapnya pola ini. Misalnya karena kota- kota menjadi tidak terisolir, lingkaran
pengaruhnya dapat saling tumpang tindih dan mengganggu pola. Juga karena
biaya angkutan biasanya tergantung pada aksesibilitas lahan terhadap jalur
komunikasi yang baik, asumsi bahwa biaya angkutan meningkat linier dengan
jarak dari pasar (Gambar 3.2) tampaknya kurang tepat. Akan tetapi sumber
gangguan yang sangat penting berasal dari asumsi kualitas lahan yang
homogen, dan menginsafi bahwa perbedaan kualitas lahan dapat menutupi
posisi lokasional.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 16

Gambar 3.4. Teori lokasi dan penggunaan lahan pertanian (Norton, 1984).
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 17

Untuk menelaah interaksi antara kualitas lahan dan lokasi, marilah


memperhatikan aktivitas penggunaan lahan lainnya, yaitu ekstraksi kerikil.
Beberapa sifat menentukan kualitas dari lokasi kerikil yang potensial, termasuk
ukuran besarnya cadangan deposit, kedalaman dan kualitasnya. Karena sifat-
sifat ini menentukan upaya yang diperlukan untuk mengambil dan menyeleksi
kerikil (mineral tambang), mereka menentukan biaya ekstraksi per ton. Biaya
ekstraksi untuk dua lokai, M dan N, ditunjukkan dalam Gambar 3.5. Karena
lokasi N kualitasnya lebih tinggi untuk ekstraksi kerikil tambang daripada M,
maka ia mempunyai biaya ekstraksi lebih rendah.
Pada sisi lain, karena bijih merupakan komoditi yang volumious, dan
lokasi M lebih dekat dengan pasar dari pada lokasi N, maka biaya angkutan dari
lokasi M akan lebih rendah. Sekarang misalkan bahwa permintaan bijih tambang
sedemikian rupa sehingga tercapai harga P (Gambar 3.5). Karena ini
merupakan harga yang dibayarkan pada alamat akhir, maka garis PQ
menyatakan permintaan per ton dikurangi biaya angkutan, kalau bijih diekstraks
dari jarak yang berbeda-beda dari pasar. Karena biaya ekstraksi di lokasi N
berada di bawah garis ini, maka lokasi N lebih menguntungkan pada tingkat
harga P. Harga yang lebih tinggi diperlukan agar supaya ekstraksi bijih di lokasi
M dapat menguntungkan.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 18

Gambar 3.5. Efek kualitas dan lokasi lahan terhadap ekstraksi barang tambang
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 19

Karena ekonomi dari ekstraksi bijih ternyata tergantung pada kualitas


dan lokasi dari tempat-tempat (site) potensial, dan efeknya terhadap biaya
ekstraksi dan biaya transpor, maka kalau teknologi memodifikasi biaya ekstraksi
dan biaya transpor ini, kita dapat mengharapkan adanya perubahan secara
menyeluruh. Serupa dengan itu, alokasi yang berbeda atas lahan untuk
ekstraksi kerikil tampaknya akan terjadi kalau permintaan akan bentuk lain dari
aktivitas penggunaan lahan ikut diperhatikan. Misalnya, kalau kita sekarang
bercerita bahwa lokasi N mempunyai kualitas pertanian yang tinggi, sedangkan
lokasi M tidak cocok untuk pertanian, ekstraksi bijih hanya akan terjadi di lokasi
N kalau sewa maksimum untuk bijih melampaui untuk pertanian. Memang, sewa
maksimum untuk pertanian di lokasi N mungkin bisa cukup besar untuk lokasi M
digunakan bagi ekstraksi kerikil lebih dahulu, kalau permintaan meningkat.
Setelah membahas bagaimana kualiatas lahan dapat mengimbangi
kerugian yang diakibatkan oleh posisi lokasi, ini merupakan tahapan pendek dari
konsepsi normatif tentang keuntungan komparatif (comparative advantage).
Sebagai bagian dari filosofi perdagangan bebas, idea tentang keuntungan
komparatif ialah bahwa setiap bidang lahan dan sumberdaya yang berhubungan
dengannya harus digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang paling baik
memanfaatkannya. Persyaratan dari semua yang hidup di suatu area tertentu
akan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksinya sendiri dapat dipenuhi
dengan jalan perdagangan dengan pihak-pihak yang ada di area lain, yang juga
mengalokasikan sumberdayanya untuk aktivitas yang paling sesuai. Karena
potensial untuk keuntungan komperatif ternyata meningkat kalau biaya angkutan
menurun, maka tidak aneh kalau konsepsi cincin konsentris dari von Thunen
telah terbukti tidak berlaku sejak saat ini. Akan tetapi, untuk menyimpulkan dari
sini bahwa lokasi merupakan faktor yang relatif tidak penting dalam penggunaan
lahan secara modern akan keliru karena beberapa hal. Pertama, di banyak
negara di dunia, dimana ternak menyediakan sarana angkutan yang utama,
maka aksesibilitas dari desa masih tetap determinan utama dari penggunaan
lahan. Ke dua, walaupun lokasi tampaknya menjadi faktor yang relatif kurang
penting yang menentukan pengggunaan lahan pedesaan di negara-negara
industri maju, namun hal ini akan tetap menjadi khusus kalau biaya bahan bakar
terus naik.

6.2. Penggunaan Lahan Industri dan Urban

Dalam memilih lokasi bagi industri di kawasan tertentu, perusahaan


tentunya telah menolak kawasan-kawasan alternatif atas dasar beberapa kriteria,
termasuk dampak lingkungannya yang potensial. Dua parameter ekonomi yang
tampaknya penting dalam menilai alternatif kawasan adalah biaya pengangkutan
bahan mentah ke pabrik, dan biaya distribusi produk akhir ke pasar.
Industri berat, seperti besi dan baja, yang memerlukan banyak bahan
mentah, terutama batubara, cenderung berlokasi di dekat sumber bahan mentah
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 20

karena biaya pengangkutan bahan mentah relatif mahal (Gambar 3.6(A)).


Sebaliknya, bahan mentah yang volumenya besar (air) diperlukan untuk proses
'brewing' banyak dijumpai di berbagai tempat, biayanya relatif sama di lokasi
yang berbeda-beda. Dalam kasus ini, kalau biaya pendistribusian produk akhir
menjadi dominan, maka dapat diharapkan industri bir akan berlokasi di dekat
pusat pemukiman (Gambar 3.7 (b)). Kemiripan antara model-model lokasi
industri ini dengan model- model industri ekstraksi adalah jelas. Akan tetapi
kalau ia digunakan untuk menjelaskan pola-pola penggunaan lahan urban, tentu
model ekonomi hancur? Walaupun sudah barang tentu benar bahwa biaya
angkutan bahan mentah untuk bank, toko, dan pemukiman tampaknya kurang
berpengaruh terhadap penggunaan lahan urban, namun demikian lokasi sangat
penting bagi aktivitas-aktivitas ini dalam arti aksesibilitasnya. Untuk
melukiskannya, perhatikanlah dua toko A dan B, yang identik kecuali lokasinya.
Karena toko A dekat dengan pusat kota dan oleh karena lebih aksesibel bagi
banyak penduduk yang bekerja dan belanja di sana, maka ia secara potensial
mempunyai pasar yang lebih besar dari pada B. Ini berarti bahwa permintaan
sesuatu barang pada tingkat harga tertentu P, akan lebih tinggi pada toko A(Q A)
daripada di toko B(QB) (Gambar 3.7), dengan hasil bahwa penerimaan total di
toko A akan lebih besar.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 21

Gambar 3.6. Dua model lokasi kawasan industri


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 22

Gambar 3.7. Permintaan di dua lokasi : A dan B


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 23

Dengan mengasumsikan kedua toko mempunyai biaya pengoperasian


sama, harga sewa maksimum di A akan lebih tinggi daripada di B, dan pada
umumnya, sewa maksimum akan meningkat kalau lokasi toko makin dekat
dengan pusat kota (Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Ceiling-rent untuk dua lokasi: A dan B


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 24

Kalau kita memperhatikan aktivitas penggunaan lahan yang lain, seperti


kantor, pergudangan, dan industri manufakturing, maka juga dapat diharapkan
adanya peningkatan ceiling-rent semakin mendekati tusat kota, dan dengan
alasan yang serupa. Penggunaan lahan untuk pemukiman, yang ternyata
sangat berbeda dari penggunaan- penggunaan komersial ini, tampaknya juga
menunjukkan peningkatan ceiling-rent semakin mendekati pusat kota, lebih
mudah untuk mendapatkan pekerjaan, mudah ke toko, ke restauran dan tempat
hiburan, dan biaya perjalanannya rendah. Karena alasan-alasan seperti itu,
penduduk yang prospektif bersedia membayar lebih banyak agar dapat hidup di
dekat pusat kota.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 25

Gambar 3.9. Ceiling-rent dan penggunaan lahan urban

Kalau berbagai kurva sewa maksimum ini diperbandingkan, akan dapat


diturunkan model zonasi penggunaan lahan yang konsentris (Gambar 3.9).
Zone tengah (pusat, sentral) untuk perkantoran, pusat pertokoan, dan
penggunaan komersial, aktivitas yang paling memberi manfaat dan dapat
memberikan ceiling-rent tertinggi di pusat kota. Semakin menjauhi pusat kota,
kita dapat mengharapkan untuk mengamati zone-zone industri manufakturing
dan pergudangan, pemukiman, dan akhirnya pertanian.
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 26

Walaupun lebih mudah untuk memcisualisasikan pola-pola konsentris


dari penggunaan lahan urban dari pada pedesaan, gangguan- gangguan
terhadap pola masih jelas. Sampai batas-batas tertentu, hal ini mencerminkan
perbedaan kualitas lahan. Akan tetapi yang lebih penting ialah fakta bahwa
lahan tidak selalu dialokasikan untuk penggunaan yang mempunyai ceiling-rent
tertinggi. Ada dua alasan yang melandasi hal ini. Alasan pertama berhubungan
dengan ketidak-sempurnaan pasar, yang muncul sebagai akibat dari imobili-
tas lahan; yang berarti bahwa sumberdaya lahan tidak mudah ditransfer dari satu
penggunaan ke penggunaan lainnya. Untuk banyak aktivitas-aktivitas urban,
penggunaan lahan sebenarnya tetap dan tidak dapat balik. Alasan ke dua
adalah bahwa perintah ikut campur tangan, dengan menyediakan sumberdaya
lahan untuk aktivitas-aktivitas seperti taman nasional, dan membatasi area
dimana aktivitas- aktivitas tertentu dapat dilakukan; misalnya, dalam
menciptakan zone bebas populasi.
Imobilitas sumberdaya, distribusi pendapatan yang tidak merata, bentuk-
bentuk penggunaan lahan publik, non-market, dan pertimbangan biaya eksternal,
semuanya mendorong pemerintah untuk memodifikasi alokasi lahan yang
dicapai melalui pasar, dalam rangka untuk mencapai posisi yang secara sosial
lebih baik.

6.3. Perencanaan Penggunaan Lahan

Kalau pemerintah harus memodifikasi cara-cara dimana sumberdaya


lahan dialokasikan, atas dasar apa hal ini dilakukan ? Satu kemungkinan ialah
menggunakan analisis biaya-manfaat. Akan tetapi, kalau kita melihat kembali
bab-bab sebelumnya, perencanaan tahap-demi-tahap seperti itu tidak akan
memuaskan. Suatu pendekatan yang lebih baik tentunya adalah yang lebih
komprehensif, yaitu yang ditemukan dalam teknik analisis Kesesuaian Lahan
(LSA). Semula digunakan dalam perencanaan pertanian, tujuan dari LSA adalah
untuk menduga kapabilitas lahan 'inherent' guna melaksanakan benbagai
macam aktivitas, dan untuk menyatakan bagaimana kapabilitas ini dapat
digunakan dengan sebaik-baiknya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian proses-proses eva-luasi kesesuaian lahan melibatkan tiga fase
analisis : (i). Menduga persyaratan/kebutuhan aktivitas-aktivitas; (ii). Menentukan
kapabilitas sumberdaya lahan yang tersedia; (iii). Memadukan kapabilitas
sumberdaya lahan dengan kebutuhan masyarakat Untuk menelaah prinsip-
prinsip dan potensial LSA, kita mulai dengan suatu teladan pertanian, dan
kemudian mempertimbangkan pemakaiannya secara lebih luas dalam
perencanaan penggunaan lahan.

6.4. Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian


MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 27

Untuk melukiskan penggunaan LSA dalam perencanaan penggunaan


lahan pertanian marilah kita kaji hasil studi simulatif berikut ini. Dalam teladan
ini, enam penggunaan lahan yang potensial dibahas: pertanaman setahun,
pertanaman tahunan (perkebunan), ternak, hutan alam, hutan tanaman industri,
rekreasi dan wisata.

(1). Pendugaan Kebutuhan Aktivitas Potensial


Untuk menghimpun data tentang sumberdaya dasar, persyaratan dan
toleransi dari enam macam penggunaan yang akan dievaluasi harus ditentukan
lebih dahulu. Agar supaya berguna dalam praktek, persyaratan dan toleransi ini
harus dinyatakan secara kuantitatif seperti dalam kolom terakhir dari Tabel 1 ini.
Misalnya, kalau akan mengevaluasi bahaya erosi tanah, maka diperlukan dua
ukuran diagnostik, yaitu kemiringan lahan dan permeabilitas tanah. Hanya
lahan-lahan yang kemiringannya kurang dari sudut pembatas dan di atas
permeabilitas batas akan memenuhi kriteria bahaya erosi bagi tanaman setahun.
Dengan mengulangi pekerjaan ini untuk lima aktivitas lainnya, suatu daftar yang
lengkap tentang ukuran diagnostik untuk mengklasifikasikan lahan dapat
diperoleh.

(2). Menentukan Kapabilitas sumberdaya Lahan


Lazimnya proses pengklasifikasian dan evaluasi lahan dimulai dengan
penggunaan foto udara, untuk mengidentifikasikan area- area yang mempunyai
karakteristik fisik yang serupa, yang diikuti dengan analisis darat untuk
mengelaborasi klasifikasi dan menduga sifat-sifat diagnostik dari unit-unit lahan
yang diidentifikasikan tersebut. Bagaimana mengumpulkan data dalam praktek
lapangan sangat tergantung pada diagnostik yang harus di-duga, data yang ada,
waktu, tenaga, dana yang tersedia. Kalau pekerjaan survai telah diselesaikan,
maka dapat dilakukan pendugaan kapabilitas dan kesesuaian masing-masing
unit lahan bagi setiap aktivitas yang potensial.

(3). Pemaduan Kapabilitas Sumberdaya Lahan dan Kebutuhan


Masyarakat
Walaupun kita telah menggunakan istilah kesesuaian, secara riil ada
beberapa kemungkinan produksi dari perspektif ekonomi, tiga problem khusus
yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

(a). Kapabilitas aktual versus potensial


Lahan merupakan satu-satunya input bagi aktivitas penggunaan
lahan. Kemampuan potensial lahan untuk menghasilkan produk
pertanian atau produk lain bukan hanya diukur dengan kapabilitas
inherentnya saja tetapi juga oleh input lain baik dalam bentuk upaya
reklamasi maupun upaya pengelolaan. Pem-bangunan teras-teras
lahan sawah oleh para petani subsisten dan reklamasi lahan
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 28

industri yang telah rusak untuk keperluan pertanian, merupakan


dua teladan yang menyatakan sampai dimana potensial inherent
dapat ditransformasikan, sedangkan efek tenaga kerja dan pupuk
terhadap produksi pertanian. Cara untuk memperhitungkan input-
input reklamasi dan pengelolaan ialah menduga kapabilitas dari
paket reklamasi dan pengelolaan sebagai aktivitas yang terpisah.

(b). Lokasi
Kalau dipandang dari teori ekonomi tentang penggunaan lahan, kita
dapat melihat bahwa LSA (Land Suitability Assessment) hanya
memperhatikan aspek-aspek kualitas. Kalau sampai kepada
pemaduan kesesuaian atau kemampuan (kapabilitas) ini dengan
kebutuhan masyarakat, maka juga harus memperhitungkan lokasi.
Sebagaimana yang diuraikan di muka, biaya angkutan dapat
mempunyai pengaruh penting terhadap profitabilitas produk
pertanian, kayu, dan bahan tambang seperti halnya kesesuaian
inherent atau kualitas lahan. Demikian juga, untuk rekreasi alam
bebas, waktu atau perjalanan, biaya-biaya yang diperlukan dalam
mencapai lokasi-lokasi khusus dapat menutupi kesesuaiannya.
Memang, proksimitas dengan pusat pemukiman merupakan atribut
utama dari lokasi wisata yang bertumpu kepada pengguna jasa,
sedangkan kualitas yang tinggi dari sumberdaya yang bertumpu
lokasi, yang menarik pengunjuk dari jarak jauh, membuat lokasi
menjadi tidak penting.
Lokasi bahkan dapat menjadi penting untuk konservasi alam.
Walaupun lokasi konservasi di daerah urban mungkin mempunyai
kualitas yang jelek, ditinjau dari jenis/species atau habitat langka,
mereka tampaknya sangat penting untuk maksud-maksud
pendidikan, karena dekat dengan sekolahan dan kegiatan
pendidikan lainnya. Sebaliknya, lokasi-lokasi yang kualitasnya baik,
mengandung species dan habitat langka yang penting secara
nasional dan internasional, mungkin hanya cocok untuk maksud-
maksud konservasi kalau terletak jauh dari pusat-pusat
pemukiman.

(c). Efek Eksternalitas


Sifat ketiga yang perlu dipertimbangkan, dan yang seringkali
berhubungan dengan lokasi, adalah efek eksternal yang diakibatkan
oleh penggunaan lahan, terutama dalam menimbulkan polutan.
Kita telah membahas bahwa limpasan dari aktivitas pertanian dapat
menimbulkan biaya eksternal bagi industri air minum. Efek lain juga
dapat timbul kalau sifat-sifat estetika dari bentang-lahan juga
terpengaruh. Misalnya, penggunaan lahan yang tidak kompatibel,
MK. EVALUASI LAHAN & LANDUSE PLANNING 29

seperti pertambangan terbuka di Taman Nasional, dapat mereduksi


kesesuaian dan nilai keseluruhan dari area. Proses-proses ekologi
alami, terutama imigrasi, juga dapat menimbulkan biaya eksternal:
misalnya migrasi serangga hama dan gulma dari habitat alaminya
ke lahan pertanian, atau sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai