T
Nama : Ainul Mardiah
Nim : 60100121008
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai
2. Untuk Mengetahui proses perkembangan peradaban Islam di Persia
3. Untuk Mengetahui Dinasti Apa Sajakah Yang Berdiri Di Persia
D. Teori
Masuknya Agama Islam ke Indonesia Menurut Teori Persia
Setelah mengenal tentang agama islam, saatnya kami membahas mengenai salah satu
teori masuknya negara islam ke Indonesia, yaitu Teori Persia. Teori Persia merupakan salah satu
teori yang menjelaskan tentang bagaimana agama islam masuk ke Indonesia serta berkembang di
negara Indonesia.
Menurut beberapa sumber yang mengemukakan isi dari Teori Persia, agama islam masuk
ke Indonesia di antara rentang tahun 7 hingga 13 Masehi melalui pedagang yang berasal dari
Persia. Agama islam pertama kali masuk ke Nusantara di Pulau Sumatera. Dari salah satu
sumber yang kami dapatkan, sumber tersebut mengungkapkan bahwa Teori Persia memiliki
bukti pendukung berupa ditemukannya sejumlah manuskrip di perpustakaan yang berada di
negara Iran.
Teori Persia ini dicetuskan oleh dua orang Profesor bernama Prof. Hoesein Djajadiningrat
dan Prof. umar Amir Husen. Para sejarawan menyebutkan bahwa negara Indonesia yang dulunya
bernama kepulauan Nusantara dianggap sebagai negara yang sangat cocok untuk dijadikan
daerah pelaksanaan dakwah dan daerah untuk melakukan perdagangan Persia. Teori Persia
bukan hanya teori saja, teori masuknya agama islam menurut Teori Persia juga memiliki bukti
mutlak. Bukti masuknya agama islam ke Indonesia menurut Teori Persia, antara lain :
1. Pertama, ditemukannya beberapa peringatan adat seperti peringatan 10 Muharram, perayaan
upacara Tabuik di Bengkulu dan juga Sumatera Barat. Upacara-upacara tersebut adalah upacara
yang biasa dilakukan di Persia untuk mengingat serta mengenang cucu Nabi Muhammad SAW,
yaitu Husain bin Ali. Tak hanya itu saja, terdapat tradisi Maulid Lompoa yang digelar di
Cikoang, peringatan Hari Asyura yang bersumber dari Syi’ah atau Islam Persia.
2. Lalu yang kedua, adanya bukti kesamaan dalam ajaran sufi yang dipercaya serta dianut oleh
Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar sendiri merupakan salah satu ulama sufi Indonesia yang
berasal dari Kota Jepara, sufi Irannya memiliki aliran Al-Hajjaj.
3. Ketiga, adanya persamaan batu nisan milik makam Malik al Shahih dengan makam Maulana
Malik Ibrahim dikarenakan daerah sekitar Gujarat bercampur dengan pengaruh dari Persia.
4. Keempat, adanya kesamaan kosakata antara Bahasa Persia dengan Bahasa Melayu. Itu
membuktikan bahwa adanya penyerapan Bahasa Persia menjadi beberapa kosa kata untuk
Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia. Reta-rata kosa kata yang mengalami penyerapan serta
penambahan adalah kosa kata yang berhubungan dengan pelabuhan, seperti salah satu kosa kata
Syahbandar.
Tak hanya itu saja, menurut salah satu sumber yang kami dapatkan, Indonesia pernah
menerbitkan sebuah buku yang berisi kosa kata Bahasa Persia yang diserap dan dijadikan
sebagai kosa kata Bahasa Indonesia, baik kosakata resmi maupun kosa kata biasa.
Memang tak bisa ditentang mengenai masuknya agama islam ke Indonesia secara Teori Persia.
Pasalnya teori ini memiliki cukup bukti yang dapat membuktikan kebenaran dari teori tersebut.
untuk waktu kapan agama islam masuk ke Indonesia melalui Teori Persia sendiri betul-betul
masih menjadi perdebatan antar sejarawan.
E. Metode Penelitian
Proses penelitian dilakukan dengan mengambil studi pustaka dari literature,
buku-buku, maupun dari internet. Kemudian dilakukan telaah dan kajian yang
relevan dengan penelitian. Untuk membahas hasil penelitian dilakukan deskripsi
dengan mengaitkan dari literature, buku-buku maupun dari internet. Selanjutnya
membuat kesimpulan hasil penelitian yang telah diupayakan sesuai dengan tujuan
dari penelitian ini.
2. Dinasti Safawiyah
a. Sejarah Terbentuknya Kerajaan Safawiyah Di Persia
Awalnya Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah
kota di Azeraijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir
bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya,
Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi
gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Safi Al-din Berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya.
Ia keturunan dari Imam Syi’ah yg keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-
Din Ibrahim Zahidi (1216-1301) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani.Karena prestasi
dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya
tersebut. Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama.
Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian
memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bidah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din
ini semakin penting, teutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf
murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria,
dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil Safi Al -Din menempatkan seorang wakil yang
memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”[8]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan
dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa.Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat
Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratut, fanatic dalam kepercayaan, dan menantang
setiap orang yang bermahzab selain Syi’ah.
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa
kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambah
kegiatan polotik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara
Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang
berkuasa di wulayah itu.Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Di
tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba
putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai
sebagian Persia.
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi secara polotik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting
salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut
Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang
dipimpinnya terhadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan.Karena itu,
kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun
1470.Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah salah seorang putrid
Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan
Safawiyah di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Konyunlu, membuat gerakan militer
Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam
meraih kekuasaan selanjutnya.Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK
Koyunlu.AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi.Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, sehingga
pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu.Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat
menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars
selama empat setengah tahun (1489-1493 M).mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota
AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara
sepupu Rustam dapat dikalahkan.Ali bersaudara kembali ke Ardabil.Akan tetapi, tidak lama
kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam
serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia
tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan
kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan
Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan
AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan
menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota ini
Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.Ia disebut juga Ismail
I.[9]
3. Dinasti Samaniah
1. Sejarah Pendiriannya
Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan
kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan
bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah
Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan.[10]
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi
penganut Islam pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu
Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan
al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu Samankhudat
memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di
Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin Asad di
Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[11]
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai
merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad mempunyai
dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad
dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya
Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah seluruh
wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis perkembangan Dinasti
Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini.
4. Dinasti Buaihi
a. Sejarah Dinasti Buaihi
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi
yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari
tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari seorang
yang bernama Buwaihi.
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.Ia adalah
seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya
pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya.Walaupun mereka
berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya.Watak
keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang
berarti bapak pemberani.Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani
itu.Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan kecakapannya diangkat menjadi
komandan tentara.Ia membawa kedua adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah
Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini
mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah untuk melindungi
mereka dari bahaya yang mengancam.Berkat langkah maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu
Buwaihi akhirnya dapat masuk ke dalam pusat kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan
inilah ia berhasil mengangkat nama negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat. Pada gilirannya
mereka menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di dunia
Islam Timur dan Barat.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang
yaitu:
1. Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2. Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3. Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4. Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6. Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7. Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8. Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10. Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
2. Kondisi Dinasti Buwaihi
a. Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya Bani
Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’ di bawah
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’ mereka
berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’
(946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ). Meskipun
mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan secara defacto pada
dinasti Abbasiyah.Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-
Umara’ dan menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di pemerintahan
Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala kebijakan
berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah
diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah
pertama yang beliau lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang
berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat
reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah
Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’
sebagai khalifah, Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya.
Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang berarti.Ia
banyak disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan
Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah.‘Îzz al-Daulah berusaha
menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar.
Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari
sepupunya sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi
merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah
terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik menggantikannya.Ia memegang
kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa
dinasti Buwaihi memimpin.
Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah
berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1. Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil
beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2. Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.
G. Kesimpulan
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir
sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal
perwujudannya.Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan
peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.Demikian juga dengan
kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di
Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah
membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi,
ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat
perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat.Sebelum dikuasai
sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan
Perancis.Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur
(Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal
seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn
Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di
sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari
kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam
dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur
masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak
yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah
di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Adanya islam di Persia ditandai dengan adanya 4 dinasti yaitu dinasti Qajar, Buwaihi, Safawiyah
dan Samaniyah.
H. Saran
Demikian artikel ini kami buat, besar harapan agar kiranya dosen pengampuh dan rekan-rekan
mahasiswa sekalian untuk memberi saran yang membangun demi kemajuan artikel ini nantinya.
I. Daftar Pustaka
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.
Santanawi, Ahmad dkk, (Ed.) Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, (tanpa tahun).
Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. Keenam belas, 2004.
Zaidan, Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Ajid Thohir. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacah Akar-akar
Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2.Jakarta: Rajawali Pers.
Badri Yatim. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.
Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam. Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakankeempat.
Ira. M. Lapidus. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Musyrifah Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.
Jakarta: Kencana.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II,
2003.
Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam. Bandung : Mizan, 1980.
Ira M. Lapidus.Sejarah Sosial Ummat Islam III. Jakarta: Grafindo, 2000.
Hamka, Sejarah Umat Islam Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam .Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II,
2003.
Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV.
Wicaksana,2002.
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.