T
Nama : Ainul Mardiah
Nim : 60100121008
Qajar adalah Dinasti yang berkuasa di Persia dan berpusat di Iran selama kurang lebih
150 tahun (1779 – 1924).Nenek moyang Dinasti Qajar adalah bangsa Turki. Selama abad ke-14,
mereka bergerak memasuki kawasan Persia, Irak dan kawasan lain di Timur Tengah. Nama
Qajar sediri diambil dari nama salah seorang tokoh mereka, yaitu Qajar Noyan, putra Sertaq
Noyan, yang bekerja pada Dinasti Ilkhaniyah sebagai tutor Gazan Khan. Karir Qajar Noyan
berakhir dengan dengan kematiannya di tangan Raja Baidu (w. 1295), karena tuduhan
bersekongkol dengan penguasa sebelumnya yaitu Gaykatu (1291 – 1295).[7]
Pada awal abad ke-16, suku Qajar tampil memainkan peran dalam pejalanan sejarah
Islam ketika ia besama enam suku Turki lainnya bergabung dalam barisan tentara Qizilbash ikut
mendirikan Dinasti Safawi. Mengiringi kejatuhan Dinasti Safawi, Persia memasuki masa
panjang pergolakan politik dan sosial. Suku Bakhtiyari, Qasyqayi, Afsyari, Zand dan Qajar
saling betempur memperebutkan dominasi pusat kekuasaan. Pergolakan politik dan sosial
tersebut baru berakhir ketika Aga Muhammad Khan, dari suku Qajar berhasil menduduki
singgasana kerajaan. Kemudian ia menggalang aliansi militer dengan suku Bakhtiyari dan
Afsyari untuk menaklukkan wilayah tengah Persia. Dan dengan bantuan penguasa propinsi
Syiraz, Aga Muhammad Khan berhasil mengalahkan Dinasti Zand, sehingga daerah selatan
Persia jatuh ke tangannya. Pada tahun 1779 Aga Muhammad Khan menjadi penguasa de facto
atas hampir seluruh wilayah Persia.
2. Dinasti Safawiyah
a. Sejarah Terbentuknya Kerajaan Safawiyah Di Persia
Awalnya Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azeraijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang
hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama
pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat
ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil
mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Safi Al-din Berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yg keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama
Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-
Gilani.Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil
menantu oleh gurunya tersebut. Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia
menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini
sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan
memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli
bidah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, teutama setelah ia mengubah
bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan
yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil Safi Al -
Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar
“khalifah”[8]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan
dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa.Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat
Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratut, fanatic dalam kepercayaan, dan menantang
setiap orang yang bermahzab selain Syi’ah.
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa
kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambah
kegiatan polotik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara
Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang
berkuasa di wulayah itu.Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Di
tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba
putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai
sebagian Persia.
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi secara polotik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting
salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut
Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang
dipimpinnya terhadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan.Karena itu,
kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun
1470.Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah salah seorang putrid
Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan
Safawiyah di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Konyunlu, membuat gerakan militer
Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam
meraih kekuasaan selanjutnya.Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK
Koyunlu.AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi.Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, sehingga
pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu.Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat
menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars
selama empat setengah tahun (1489-1493 M).mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota
AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara
sepupu Rustam dapat dikalahkan.Ali bersaudara kembali ke Ardabil.Akan tetapi, tidak lama
kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam
serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia
tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan
kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan
Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan
AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan
menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota ini
Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.Ia disebut juga Ismail I
3. Dinasti Samaniah
a. Sejarah Pendiriannya
Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah
dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan
tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan.
Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan.[10]
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat
menjadi penganut Islam pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah),
sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa
kekuasaan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu
Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah
yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin
Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart,
Afghanistan.[11]
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya
mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad
mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr
I bin Ahmad dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara.
Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk
memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis
perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai pendiri
hakiki dinasti ini.
4. Dinasti Buaihi
1. Sejarah Dinasti Buaihi
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani
Buwaihi yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya
berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari
seorang yang bernama Buwaihi.
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.Ia
adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang
anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya.Walaupun
mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya.Watak
keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang
berarti bapak pemberani.Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani
itu.Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan kecakapannya diangkat
menjadi komandan tentara.Ia membawa kedua adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota
Daulah Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini
mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah untuk melindungi
mereka dari bahaya yang mengancam.Berkat langkah maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu
Buwaihi akhirnya dapat masuk ke dalam pusat kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan
inilah ia berhasil mengangkat nama negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat. Pada gilirannya
mereka menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di dunia
Islam Timur dan Barat.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang
yaitu:
1. Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2. Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3. Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4. Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6. Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7. Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8. Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10. Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
2. Kondisi Dinasti Buwaihi
a. Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya
Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’ di bawah
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’ mereka
berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’
(946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ). Meskipun
mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan secara defacto pada
dinasti Abbasiyah.Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-
Umara’ dan menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di
pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala
kebijakan berada di tangan Amîr. Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai
berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-
Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah berusaha
menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah.
Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti
khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya
al-Mutî’ sebagai khalifah, Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan
kekuasaannya. Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah
sesuka hatinya.Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan
yang berarti.Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda
paham dengan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah.‘Îzz al-Daulah berusaha
menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar.
Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari
sepupunya sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi
merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah
terbunuh pada tahun 367 H. Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik
menggantikannya.Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa inilah banyak
kemajuan yang tampak pada masa dinasti Buwaihi memimpin.
Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak
pernah berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1. Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil
beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2. Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.
G. Kesimpulan
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang
hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal
perwujudannya.Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan
peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.Demikian juga dengan
kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai
oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam
di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga
telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti
ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat
perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat.Sebelum dikuasai
sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan
Perancis.Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur
(Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan
handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir
Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di
sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari
kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban
Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur
masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak
yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah
di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Adanya islam di Persia ditandai dengan adanya 4 dinasti yaitu dinasti Qajar, Buwaihi,
Safawiyah dan Samaniyah.
H. Saran
Demikian artikel ini kami buat, besar harapan agar kiranya dosen pengampuh dan rekan-rekan
mahasiswa sekalian untuk memberi saran yang membangun demi kemajuan artikel ini nantinya.
I. Daftar Pustaka
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.
Santanawi, Ahmad dkk, (Ed.) Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, (tanpa tahun).
Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. Keenam belas, 2004.
Zaidan, Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Ajid Thohir. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacah Akar-akar
Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2.Jakarta: Rajawali Pers.
Badri Yatim. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.
Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam. Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakankeempat.
Ira. M. Lapidus. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Musyrifah Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.
Jakarta: Kencana.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II,
2003.
Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam. Bandung : Mizan, 1980.
Ira M. Lapidus.Sejarah Sosial Ummat Islam III. Jakarta: Grafindo, 2000.
Hamka, Sejarah Umat Islam Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam .Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II,
2003.
Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV.
Wicaksana,2002.
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.