Anda di halaman 1dari 59

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. N DENGAN


DIAGNOSA THALASEMIA
DI POLI ANAK RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh:
Kelompok C4 A

Retno Dewi Anggraini, S.Kep. (131813143034)


Retno Dwi Susanti, S.Kep. (131813143033)
Ria Restu Resmi Rahayu, S.Kep. (131813143095)
Ridha Cahya Prakhasita, S.Kep. (131813143064)
Rofita Wahyu Andriani, S.Kep. (131813143091)
Sacharisa Agape Sudiani, S.Kep. (131813143068)

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis


Thalasemia yang telah dilaksanakan pada tanggal mulai tanggal 17 Desember
2018 dalam rangka pelaksanaan Profesi Keperawatan Anak.
Telah disetujui untuk dilaksanakan seminar Profesi Keperawatan Anak.

Disahkan tanggal, 21 Desember 2018

Menyetujui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ilya Krisnana, S.Kep.Ns., M.Kep.) (Wiwik Andayani, S.Kep.Ns.)


NIP. 198109282012122002 NIP. 196504101993122001

Mengetahui,
Kepala Ruangan Poli Anak

(Wiwik Andayani, S.Kep.Ns.)


NIP. 196504101993122001

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................i
Lembar Pengesahan.............................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................3
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB 2 Resume Kasus
2.1 Definisi Trauma Mata..............................................................................4
2.2 Klasifikasi Trauma Mata.........................................................................4
2.3 Etiologi Trauma Mata..............................................................................7
2.4 Manifestasi Klinis Trauma Mata.............................................................8
2.5 Patofisiologi Patofisiologi Trauma Mata...............................................14
2.6 WOC (web of causation) Trauma Mata.................................................14
2.7 Pemeriksaan Diagnostik........................................................................14
2.8 Penatalaksanaan Trauma Mata..............................................................15
2.9 Komplikasi Trauma Mata......................................................................17
2.10Asuhan Keperawatan Dasar Henderson................................................18

BAB 3 Pembahasan.......................................................................................39

BAB 4 Penutup..............................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................43

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Darah merupakan cairan yang ada di dalam tubuh manusia yang berfungsi
sebagai alat transportasi yaitu mengangkut Oksigen dan karbondioksida, zat –
zat makanan serta sisa – sisa zat yang aka di buang oleh tubuh. Selain itu
darah jga berfungs sebagai alat pelindung tubuh, menjaga keseimbangan
asam basa menstabilkan suhu tubuh. Namun, apabiila darah dalam tubuh
manusia mengalami kelainan maka akan menyebabkan penyakit thalsemia.
Thalasemia merupakan penyakit gangguan darah yang diturunkan yang di
tandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi,
2010). Pegertian lain dari thalasemia suatu kelainan geetik yang ditandai
dengan penurunan sintesis rantai α atau rantai β dari globulin yang
membentuk hemoglobin (Bakta, 2006 dan Thomas, 2012). Dari pengertian
tersebut maka dapat di simulka thalasemia adalah penyakit kelainan darah
yang disebabkan oleh keturunan sehingga protein dalam darah tidak berfungsi
secara normal atau kurangnya hemoglobin dalam darah.
World Health Organization atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih
penduduk yang ada di dunia sebesar 7% mempunyai gen thalasemia dimana
prevalensi tertinggi terdapat di Asia sebesar 40%. Di Indonesia hasil skrining
pada masyaraat umum tahun 2008 – 2017 didapatkan pembawa sifat
sebanyak 699 orang (5,8%) dari 12.038 orang yang diperiksa, sedangkan
hasil skrining pada keluarga thalasemia tahun 2009 – 2017 sebanyak 1.184
orang (18,61%) dari 4.137 orang. Angka kejadian penderita thalasemia α di
Indonesia sekitar 2,6 – 11%, banyak ditemukan di Pulau Sulawesi.
Thalasemia β ditemukan sekitar 3 – 10% dengan pembawa sifat terbanyak di
temukan di Pulau Sumatra dan sekitar 10% di Palembang. Di pulau Jawa
angka pembawa sifat sebesar 5% (Lembaga Eijkman; IDAI, 2016).
Pembiayaan kesehatan untuk pengobatan thaasemia mengalami peningkatan
dari 217 miliar rupiah di tahun 2014 menjadi 444 miliar rupiah di tahun 2015
dan menjadi 485 miliar di tahun 2016 (YTI & POPTI, 2014). Hal ini
2

menunjukkan semakin meningkatnya angka kejadian penderita thalasemia di


Indonesia.
Thalasemia yang diakibatkan oleh faktor genetik yang di trunkan dari gen
pembawa orang tua yang di tandai penurunan sintesis rantai α atau rantai β.
Reduksi rantai β menyebabkan penurunan sintesis dari HbA serta
meningkatnya rantai globin α bebas. Hal inilah yang menyebabka eritrosit
hipokromik dan mikrositik (7,8). Presipitat yang terbentuk dari akumulasi
rantai α membentuk badan inklusi pada pada eritrosit, menyebabkan
kerusakan membran eritrosit serta destruksi dini eritoblast yang sedang
berkembang di sumsum tulang. Sel retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit
abnormal dari limpa, hati dan sumsum tulang sebelum masa hidupnya
berkhir, sehingga meyebabkan anemia hemolitik. Eritropoiesis yang tidak
efektif serta hemolisis merupakan tanda dari thalasemia β.
Prognosis yang buruk suatu penyakit dapat di cegah dengan pemebrian
penatalaksanaan yang tepat seperti pemberian transfusi darah untuk
penatalaksanaan anemia. Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan
kadar hemoglobin 9 – 10 g/dl (Rahayu, 2012). Selain itu terapi kelasi besi di
berikan pada pasien transfusi darah. Namun tidak hanya penatalaksanaan
secara medis saja tindakan keperawatan juga diperlukan untuk mencegah
komplikasi yang timbul atau masalah yang timbul kemudian hari. Pengkajian
dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, analisa data, penegakan diagnosa
utama yang tepat, rencana asuhan keperawatan serta implementasi yang tepat
dan evaluasi secara berkala sangat menolong pasien. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk melakukan asuhan keperawatan pada anak
dengan thalasemia.
1.1 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari thalasemia?
2. Apa sajakah klasifkasi dari thalasemia?
3. Apakah etiologi dari thalasemia?
4. Bagaimanakah patofisiologi thalasemia?
5. Bagaimanakah manifestasi klinis thalasemia?
6. Apa sajakah komplikasi thalasemia?
3

7. Apa sajakah pemeriksaan penujang thalasemia?


8. Bagaimanakah pencegahan thalasemia?
9. Bagaimanakah penatalaksanaan thalasemia?
10. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan thalasemia?
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui secara menyeluruh konsep teori dan konsep asuhan
keperawatan pada pasien thalasemia.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami kajian teoritis tentang thalasemia
2. Menganalisa pengkajian pada pasien dengan thalasemia
3. Menganalisa intervensi dan evaluasi keperawatan pada pasien dengan
thalasemia
4. Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan thalasemia
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan mampu menambah pengetahuan perawat terutama pada
pemberian asuhan keperawatan pada pasien thalasemia
1.3.2 Manfaat Praktis
Dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan pembelajaran pada
petugas kesehatan yang ada
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Thalasemia
Nama Thalasemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa
yang berarti lautan dan anaemia (“weak blood”). Perkataan Thalassa
digunakan karena gangguan darah ini pertama kali ditemui pada pasien yang
berasal dari Negara-negara sekitar Mediterranean (TIF, 2010).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi
sel darah merah yang mudah rusak atau umumnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalassemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, suka tidur, nafsu
makan hilang, dan infeksi berulang (Nucleus Precise, 2010).
Nama Thalasemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa
yang berarti lautan dan anaemia (“weak blood”). Perkataan Thalassa
digunakan karena gangguan darah ini pertama kali ditemui pada pasien yang
berasal dari Negara-negara sekitar Mediterranean (TIF, 2010).
Thalasemia adalah kelainan herediter berupa defisiensi salah satu rantai
globin pada hemoglobin sehingga dapat menyebabkan eritrosit imatur (cepat
lisis/rusak) dan menimbulkan anemia (Fatimah, 2009)

2.2 Klasifikasi Thalasemia


Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia
terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu
gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16
mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total empat gen α). Oleh karena
itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua subunit β. Secara
normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuantitas protein
yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein yang
seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi protein
globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan
menyebabkan defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai
5

globin β dapat menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit,


2007).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang
mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek
secara delesi dan nondelesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak, 2007).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada
kromosom 16, maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi
gen sering terjadi pada Thalassemia α maka terminologi untuk
Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah pada
satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat
lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis)
atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada
dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi
protein α sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal
dan perlu pemeriksaan laboratorium khusus untuk
mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan sebagai karier dan
bisa menurunkan kepada anaknya (Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik
mikrositik dan anemia ringan. Individu dengan tipe ini
biasanya kelihatan dan merasa normal dan mereka merupakan
karier yang bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit,
2007).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan
sering memerlukan transfusi darah untuk hidup.
Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α dan β
menyebabkan akumulasi rantai β di dalam eritrosit
6

menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H


(Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan
biasanya meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat
setelah dilahirkan, yang biasanya diakibatkan oleh hydrop
fetalis. Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan
rantai γ (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β
menghasilkan masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu
Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen
sangat tinggi) (Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil)
(Sachdeva, 2006).
b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada
kromosom 11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β
disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen,
2006). Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya
terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di daerah dengan
prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).
1. Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang
dihasilkan (Rodak, 2007). Satu pertiga penderita Thalassemia
mengalami tipe ini (Chen, 2006).
2.  Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai
globin β terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β
yang normal dihasilkan pada keadaan ini (Rodak, 2007).
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS
PRECISE, 2010):
a. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor
merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin
dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa
7

menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi


cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan
memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita
thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa
muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies
cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang
hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang
yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.
Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih
khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani
transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang
baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8
bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi
tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat
penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.
b. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia,
namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak
muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah
dengan thalasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25%
anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan
ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami
pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di
sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di
sepanjang hidupnya
Secara molekuler talasemia dibedakan atas: (Behrman et al, 2004)
a.   Talasemia a (gangguan pembentukan rantai a)
b.  Talasemia b (gangguan pembentukan rantai b)
c. Talasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen-
nya diduga berdekatan).
d.  Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d)
8

2.3 Etiologi Thalasemia


Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut
sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia
kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya
sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat
thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat,
sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan
pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom,
dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang
sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa
sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen
globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya
masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan
terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan
gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka
anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat
sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa
penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta
normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami
isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat
Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak
mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
9

dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan


menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang
diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang
dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka
dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada
yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang
normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor.

Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel

2.4 Patofisiologi Thalasemia


Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem
terdiri dari zat besi (atom Fe) sedangkan globin suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin manusia normal pada orang dewasa terdiri dari
2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yaitu HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi
HbA2 (α2δ2 = 2,5%) dan sisanya HbF (α2γ2) kira-kira 0,5%.
Sintesa globin ini telah dimulai pada awal kehidupan masa embrio di
dalam kandungan sampai dengan 8 minggu kehamilan dan hingga akhir
10

kehamilan. Organ yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati, limpa,
dan sumsum tulang.
Karena rantai globin merupakan suatu protein maka sintesisnya
dikendalikan oleh gen tertentu. Ada 2 kelompok gen yang bertanggung jawab
dalam proses pengaturannya, yaitu kluster gen globin-α yang terletak pada
lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3) dan kluster gen globin-β yang terletak
pada lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4). Kluster gen globin-α secara
berurutan mulai dari 5’ sampai 3’ yaitu gen 5’-ζ2-ψζ1-αψ2-αψ1-α2-α1-θ1-3’
(Evans et al., 1990). Sebaliknya kluster gen globin-β terdiri dari gen 5’-ε-Gγ-
Aγ-ψβ-δ-β-3’.
Hemoglobin normal adalah terdiri dari  dari Hb-A dengan dua polipeptida
rantai alpha dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau
kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin, sehingga  ada gangguan
kemampuan eritrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang
meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai beta memproduksi secara terus-
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektif.
Ketidakseimbangan  polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra
eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida
alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak
sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi
yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada
suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah
atau rapuh.
11

Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab


primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif
disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah
karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan
adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari
hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi
antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

2.5 Manifestasi Klinis Thalasemia


Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi,
dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi,
tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya
(mayor atau minor). Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan,
khususnya anemia hemolitik (Tamam, 2009)
Talasemia-β dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditentukan, yakni (1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik
mikrositik hipokrom. (2) Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang
bergantung pada transfusi darah. (3) Talasemia-β intermedia: gejala di antara
Talasemia β mayor dan minor. Terakhir merupakan pembawa sifat
tersembunyi Talasemia-β (silent carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung
pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang
diproduksi. Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi
Talasemia-α (silent carrier), Talasemia-α trait (Talasemia-α minor),
HbH diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma,
2009).
Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia-β mayor,
penderita dapat mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah,
12

pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat, perut
membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut, sakit kuning (jaundice),
luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat, lesu, sesak napas
karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal jantung
dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam
usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan
tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan
anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan
seringnya menjalani transfusi, maka kelebihanzat besi bisa terkumpul dan
mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal
jantung (Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya
tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan
pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Anak tidak
nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam
berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan
pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan mungkin
ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk
muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan
tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis.
Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai,
dan batu empedu.
Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor:
a) Pucat
b)  Lemah
c) Anoreksia
d) Sesak napas
e) Peka rangsang
f)  Tebalnya tulang kranial
13

g) Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali


h)  Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
i) Disritmia
j) Epistaksis
k) Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
l) Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
m)Kadar besi serum tinggi
n) Ikterik
o) Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar
dan datar.
2. Thalasemia Minor
a) Pucat
b) Hitung sel darah merah normal
c) Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah
kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang

2.6 Komplikasi Thalasemia


Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi
dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan
gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah
ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan
sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat
apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata,
2008)
14

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat
dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia
α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat
membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang
berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti
eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang
dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada
membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah
dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari
tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta
kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika
dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa
rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x
15

MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi


kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai
yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi
besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada
penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit
meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia
defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah
dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe
hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2%
(anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus
bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk
diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2
4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan
Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S
dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik
dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance
liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan
penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C
atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β
karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta
menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb
A2 (Wiwanitkit, 2007).
c.  Molecular diagnosis
16

Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis


Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat
menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan
mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

2.8 Pencegahan Thalasemia


WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan
dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.
Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan
yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek
hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita
kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah
dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan
ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β mayor)
maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
1.  Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau
gabungan heterozigot.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil
penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan
ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH
17

sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya


meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat
yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia
αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko
mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana
gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2
normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi
atau Talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan
sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb
elektroforase pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi
struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
2. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis
rantai globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat
kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah
banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel
villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu.
Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan
pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik
CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis
pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi.
Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR)
untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh
enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai
bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier
18

dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari


ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk
memperbesar region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi
dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat
dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2
jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis
prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation
system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,
oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini,
kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA
janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan
RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya,
maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding
pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi,
yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi
genetik (genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining
pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara
prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia langsung
dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah
menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita
Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi
dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu
program pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup
kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat
dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang,
karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar
itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara
berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan
19

lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program


prospektif.

2.9 Penatalaksanaan Thalasemia


Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun
untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara 
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen
dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan.         Pada bentuk yang sangat berat,
mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik
masih dalam tahap penelitian.

Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan


dan Alatas, 2002; Herdata, 2008)
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan
setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau
saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi
darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan
minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
20

b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi,


untuk meningkatkan efek kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah 
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
a. limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture
b. hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan
  

transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC)


melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru
bagi penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita
thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa
ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali.
Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah 15
tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan
cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk
melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
21

2.10 Pengkajian
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri,
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan
penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut
telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan
pada thalasemia minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak
baru datang berobat pada umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas
infeksi lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb
yang berfungsi sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan
terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya
pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi
terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah
kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak.
Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada
jenis thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan,
sehingga berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan
usianya.
22

6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak
tidur / istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah
merasa lelah.
7. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah
orang tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua
menderita thalassemia, maka anaknya berisiko menderita
thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah sebenarnya
perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya
penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)

Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam


adanya faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa
dirinya sehat. Apabila diduga faktor resiko, maka ibu perlu
diberitahukan mengenai risiko yang mungkin dialami oleh anaknya
nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu segera
dirujuk ke dokter.

9.      Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan


diantaranya adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah
aanak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada, pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat
adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
23

f. Perut, telihat membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa


dan hati ( hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari
normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya.
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi
akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

2.11 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya
komponen seluler yang menghantarkan oksigen/nutrisi
2. Intoleransi aktifitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
3. PK: Perdarahan
4. Ketidakseimbangan nitrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
5. Kelelahan b.d  malnutrisi, kondisi sakit
6. Nyeri b.d penyakit kronis
7. Kecemasan (orang tua) b.d kurang pengetahuan

2.12 Intervensi Keperawatan

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
1. Ketidakefektifan NOC NNIC
perfusi jaringan    Perfusi Jaringan :1.    Monitor Tanda Vital
b.d berkurangnya Perifer Definisi: Mengumpulkan dan
komponen    Status sirkulasi menganalisis sistem
seluler yang Kriteria Hasil: kardiovaskuler, pernafasan dan
menghantarkan    Klien menunjukkan suhu untuk menentukan  dan
oksigen/nutrisi perfusi jaringan yang mencegah komplikasi
adekuat yang Aktifitas:
ditunjukkan dengan 1. Monitor tekanan
24

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
terabanya nadi perifer, darah , nadi, suhu dan
kulit kering dan RR tiap 6 jam atau
hangat, keluaran urin sesuai indikasi
adekuat, dan tidak ada 2. Monitor
distres pernafasan. frekuensi dan irama
pernapasan
3. Monitor pola
pernapasan abnormal
4. Monitor suhu,
warna dan kelembaban
kulit
5. Monitor sianosis
perifer
2. Monitor status neurologi
Definisi: Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien untuk
meminimalkan dan mencegah
komplikasi neurologi
Aktifitas:
1. Monitor ukuran,
bentuk, simetrifitas, dan
reaktifitas pupil
2. Monitor tingkat
kesadaran klien
3. Monitor tingkat
orientasi
4. Monitor GCS
5. Monitor respon
pasien terhadap
pengobatan
6. Informasikan
pada dokter tentang
perubahan kondisi
pasien
3. Manajemen cairan
Definisi:    Mempertahankan
keseimbangan cairan dan
mencegah komplikasi akibat
kadar cairan yang abnormal.
Aktifitas:
1. Mencatat intake
dan output cairan
2. Kaji adanya
tanda-tanda dehidrasi
(turgor kulit jelek, mata
cekung, dll)
25

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
3. Monitor status
nutrisi
4. Persiapkan
pemberian transfusi
( seperti mengecek
darah dengan identitas
pasien, menyiapkan
terpasangnya alat
transfusi)
5. Awasi
pemberian komponen
darah/transfusi
6. Awasi respon
klien selama pemberian
komponen  darah
7. Monitor hasil
laboratorium (kadar Hb,
Besi serum, angka
trombosit)
2. Intoleransi NOC NIC
aktifitas b.d tidak
         Konservasi Energi 1.    Manajemen energi
seimbangnya          Perawatan Diri: ADL Definisi: Mengatur penggunaan
kebutuhan dan Kriteria Hasil: energi untuk mencegah
suplai oksigen          Klien dapat kelelahan dan mengoptimalkan
melakukan aktifitas fungsi
yang dianjurkan Aktifitas:
dengan tetap 1. Tentukan
mempertahankan keterbatasan aktifitas
tekanan darah, nadi, fisik pasien
dan frekuensi 2. Kaji persepsi
pernafasan dalam pasien tentang penyebab
rentang normal kelelahan yang
dialaminya
3. Dorong
pengungkapan peraaan
klien tentang adanya
kelemahan fisik
4. Monitor intake
nutrisi untuk
meyakinkan sumber
energi yang cukup
5. Konsultasi
dengan ahli gizi tentang
cara peningkatan energi
melalui makanan
6. Monitor respon
26

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
kardiopulmonari
terhadap aktifitas
(seperti takikardi,
dispnea, disritmia,
diaporesis, frekuensi
pernafasan, warna kulit,
tekanan darah)
7. Monitor pola dan
kuantitas tidur
8. Bantu pasien
menjadwalkan istirahat
dan aktifitas
9. Monitor respon
oksigenasi pasien
selama aktifitas
10. Ajari pasien
untuk mengenali  tanda
dan gejala kelelahan
sehingga dapat
mengurangi aktifitasnya.
2. Terapi Oksigen
Definisi: Mengelola pemberian
oksigen dan memonitor
keefektifannya
Aktifitas:
1. Bersihkan mulut,
hidung, trakea bila ada
secret
2. Pertahankan
kepatenan jalan nafas
3. Atur alat
oksigenasi termasuk
humidifier
4. Monitor aliran
oksigen sesuai program
5. Secara periodik,
monitor ketepatan
pemasangan alat
3. Ketidakseimbang NOC NIC
an nitrisi kurang
         Status Nutrisi 1.    Manajemen Nutrisi
dari kebutuhan          Status Nutrisi: Energi Definisi: Membantu dan atau
tubuh b.d
         Kontrol Berat Badan menyediakan asupan makanan
anoreksia Kriteria Hasil : Klien dan cairan yang seimbang
menunjukkan Aktifitas:
         Pencapaian berat Tanyakan pada pasien tentang
1.       

badan normal yang alergi terhadap makanan


27

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
diharapkan 2.      Tanyakan makanan kesukaan
         Berat badan sesuai pasien
dengan umur dan 3.      Kolaborasi dengan ahli gizi
tinggi badan tentang jumlah kalori dan tipe
         Bebas dari tanda nutrisi yang dibutuhkan (TKTP)
malnutrisi 4.      Anjurkan masukan kalori yang
tepat yang sesuai dengan
kebutuhan energi
5.      Sajikan diit dalam keadaan
hangat
2.    Monitor  Nutrisi
Definisi : Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien untuk
mencegah atau meminimalkan
malnutrisi
Aktifitas:
1. Monitor adanya
penurunan BB
2. Ciptakan 
lingkungan nyaman
selama klien makan.
3. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan, tidak selama
jam makan.
4. Monitor kulit
(kering) dan perubahan
pigmentasi
5. Monitor turgor
kulit
6. Monitor mual
dan muntah
7. Monitor kadar
albumin, total protein,
Hb, kadar hematokrit
8. Monitor kadar
limfosit dan elektrolit
9. Monitor
pertumbuhan dan
perkembangan.
4. Kelelahan b.d  NOC NIC
malnutrisi,          Konservasi Energi 1.  Manajemen energi
kondisi sakit Kriteria Hasil: Klien Definisi: Mengatur penggunaan
menunjukkan energi untuk mencegah
         Istirahat dan aktivitas kelelahan dan mengoptimalkan
seimbang fungsi
28

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
         Mengetahui Aktifitas:
keterbatasanan 1. Tentukan
energinya keterbatasan aktifitas
         Mengubah gaya hidup fisik klien
sesuai tingkat energi 2. Kaji persepsi
         Memelihara nutrisi pasien tentang penyebab
yang adekuat kelelahan
         Energi yang cukup 3. Dorong
untuk beraktifitas pengungkapan  perasaan
tentang kelemahan fisik
4. Monitor intake
nutrisi untuk
meyakinkan sumber
energi yang cukup
5. Konsultasi
dengan ahli gizi tentang
cara peningkatan energi
melalui makanan
6. Monitor respon
kardiopumonari
terhadap aktifitas
(seperti takikardi,
dispnea, disritmia,
diaporesis, frekuensi
pernafasan, wwarna
kulit, tekanan darah)
7. Monitor pola dan
kuantitas tidur
8. Bantu klien 
menjadwalkan istirahat
dan aktifitas
2. Terapi Oksigen
Definisi: Mengelola pemberian
oksigen dan memonitor
keefektifannya
Aktifitas:
1. Bersihkan mulut,
hidung, trakea bila ada
secret
2. Pertahankan
kepatenan jalan nafas
3. Atur alat
oksigenasi termasuk
humidifier
4. Monitor aliran
oksigen sesuai program
29

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
5. Secara periodik,
monitor ketepatan
pemasangan alat
3.  Manajemen cairan
Definisi:  Mempertahankan
keseimbangan cairan dan
mencegah komplikasi akibat
kadar cairan yang abnormal.
Aktifitas:
1. Persiapkan
pemberian transfusi
(seperti mengecek darah
dengan identitas pasien,
menyiapkan
terpasangnya alat
transfusi)
2. Awasi
pemberian komponen 
darah/transfusi
3. Awasi respon
klien selama pemberian
komponen  darah
4. Monitor hasil
laboratorium (kadar Hb,
Besi serum)
5. PK: Perdarahan Mencegah/ Aktifitas
meminimalkan  Monitor tanda-tanda perdarahan dan
terjadinya perdarahan perubahan tanda vital
2.    Monitor hasil laboratoium,
seperti Hb, angka trombosit,
hematokrit, angka eritrosit, dll
3. Gunakan alat-alat yang aman
untuk mencegah perdarahan  
(sikat  gigi yang lembut, dll)

6. Nyeri b.d NOC NIC


penyakit kronis          Mengontrol Nyeri Manajemen nyeri
         Menunjukkan tingkat Definisi : mengurangi nyeri dan
nyeri menurunkan tingkat nyeri yang
Kriteria Hasil: Klien dirasakan pasien.
dapat Aktfitas:
         Mengenali faktor 1. Lakukan
penyebab pengkajian nyeri secara
         Mengenali lamanya komprehensif termasuk
(onset ) sakit tingkat nyeri ( dengan
“face scale”), lokasi,
30

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
         Menggunakan cara karakteristik, durasi,
non analgetik untuk frekuensi, dan faktor
mengurangi nyeri presipitasi
         Menggunakan 2. Observasi reaksi
analgetik sesuai nonverbal
kebutuhan dari        ketidaknyaman
an pasien (misalnya
menangis, meringis,
memegangi bagian
tubuh yang nyeri, dll)
3. Gunakan teknik
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4. Jelaskan pada
pasien tentang nyeri
yang dialaminya, seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri mungkin
akan dirasakan, metode
sederhana untuk
mengalihkan rasa nyeri,
dll.
5. Evaluasi
bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang
pengalaman nyeri dan
ketidakefektifan kontrol
nyeri pada masa lampau
6. Atur lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
7. Kurangi faktor
pencetus nyeri pada
pasien
2. Pemberian analgetik
Definisi: Penggunaan agen
farmakologi untuk
menghentikan atau mengurangi
nyeri.

Aktifitas:
1. Tentukan lokasi,
31

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat.
2. Cek instruksi
dokter tentang jenis
obat, dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat
alergi pada pasien
4. Kolaborasi
pemilihan analgesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri, rute
pemberian, dan dosis
optimal
5. Monitor tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
6. Kolaborasi
pemberian analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
7. Monitor respon
klien terhadap
penggunaan analgetik
7. Kecemasan NOC : NIC
(orang tua) b.d
         Kontrol Kecemasan 1.    Menurunkan cemas
kurang Kriteria Hasil : Definisi: Meminimalkan rasa
pengetahuan          Klien mampu takut, cemas, merasa dalam
mengidentifikasi dan bahaya atau ketidaknyamanan
mengungkapkan gejala terhadap sumber yang tidak
cemas diketahui.
         Mengidentifikasi, Aktifitas:
mengungkapkan, dan Gunakan pendekatan dengan
1.       

menunjukkan teknik konsep atraumatik care


untuk 2.      Jangan memberikan jaminan
mengontrol
cemas tentang prognosis penyakit
         Vital sign (TD, nadi, Jelaskan semua prosedur dan
3.       

respirasi) dalam batas dengarkan keluhan klien


normal 4.      Pahami harapan pasien dalam
         Postur tubuh, ekspresi situasi stres
wajah, bahasa tubuh, 5.      Temani pasien untuk
dan tingkat aktivitas memberikan keamanan dan
mengurangi takut
32

N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


o TUJUAN INTERVENSI
menunjukkan 6.      Bersama tim kesehatan, berikan
berkurangnya informasi  mengenai diagnosis,
kecemasan. tindakan prognosis
         Menunjukkan 7.      Anjurkan keluarga untuk
peningkatan menemani anak dalam
konsentrasi dan pelaksanaan tindakan
akurasi dalam berpikir keperawatan
8.      Lakukan massage pada leher
dan punggung, bila perlu
9.      Bantu pasien mengenal
penyebab kecemasan
10.  Dorong pasien/keluarga  untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi tentang
penyakit
11.  Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
(sepert tarik napas
dalam, distraksi, dll)
12.  Kolaborasi pemberian obat
untuk mengurangi kecemasan
33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS THALASEMIA
DI POLI ANAK RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

TANGGAL PENGKAJIAN: 17 DESEMBER 2018

Pengkajian tanggal : 17 Desember 2018 Jam : 10.00 WIB


MRS tanggal :- No. RM : 16.54.xx.xx
Ruang/Kelas : Poli anak – hematologi Diagnosa Masuk : Thalasemia

PENGKAJIAN
A. Identitas
1. Identitas Anak
Nama : An. N
Tanggal lahir : 25 Agustus 2009
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 9 tahun
Diagnosa medis : Thalasemia
Alamat : Nganjuk
Sumber informasi : Orang tua
2. Identitas Orang Tua
Nama ayah : Tn. S
Nama ibu : Ny. I
Pekerjaan ayah/ibu : Pegawai swasta/ibu rumah tangga
Pendidikan ayah/ibu : SMA/SMA
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Nganjuk
B. Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. Keluhan utama : An. N mengeluh demam dan mual tetapi tidak muntah.
2. Riwayat penyakit sekarang : An. N datang ke poli anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada tanggal 17 Desember 2018 dengan keluhan demam sejak malam hari dan mual
sejak 2 hari yang lalu. An. N pernah dirawat di RSUD Nganjuk saat masih bayi dan
didiagnosa thalasemia saat usianya 1 tahun. Saat mengandung An. N, ibu mengatakan
34

tidak ada masalah. Ibu mengatakan An. N tidak pernah kejang demam. Pasien pernah
mempunyai riwayat transfusi darah 1 bulan yang lalu di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Saat dikaji pasien terlihat lemas, pucat, konjungtiva anemis, dan demam
38,3oC.
3. Riwayat kesehatan sebelumnya:
Riwayat kesehatan yang lalu :
Penyakit yang pernah diderita : demam dan batuk pilek. Pasien terdiagnosa penyakit
thalassemia sejak usia 1 bulan setelah dilahirkan. Awalnya pasien diperiksakan di
rumah sakit di Nganjuk dan dilakukan beberapa kali transfusi dara kemudian pasien
dirujuk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Kemudian dilakukan transfusi lagi dan
kontrol rutin setiap satu bulan sekali
Operasi : tidak pernah
Alergi : tidak ada
Imunisasi : BCG (umur: 1 bulan), Polio: 3 kali (umur: 0-4 bulan), DPT (umur: 4
bulan), Campak (umur: 1 tahun), Hepatitis (umur: 6 bulan)
4. Riwayat kesehatan keluarga:
Penyakit yang pernah diderita keluarga : ayah dan ibu pasien mengatakan tidak
memiliki penyakit yang serius. Ibu pasien mengatakan paman pasien memiliki
penyakit yang sama dengan pasien, yaitu thalasemia.
Lingkungan rumah dan komunitas : Ibu pasien mengatakan lingkungan rumah bersih
dan memiliki pencahayaan serta ventilasi yang cukup.
Persepsi keluarga terhadap penyakit anak : Ibu pasien mengatakan penyakit ini
merupakan ujian dari Tuhan.
5. Riwayat Nutrisi
a) Nafsu makan : mual
b) Pola makan : 3 kali sehari
c) Minum : air putih dan air es manis, jumlah: + 1000 cc/hari
d) Pantangan makanan : tidak ada
e) Menu makanan : nasi, sayur dan lauk (ayam, telur, nugget), An. N kurang makan
sayur.
6. Riwayat Pertumbuhan
a) BB saat ini : 31 kg, TB : 130 cm
b) BB lahir : 3100 gr, TB : 48 cm
7. Riwayat Perkembangan
35

a) Pengkajian perkembangan (DDST) : tidak dikaji


b) Tahap perkembangan psikososial : tidak dikaji
c) Tahap perkembangan psikoseksual : tidak dikaji

PEMERIKSAAN FISIK
A. Observasi dan Pemeriksaan Fisik (ROS: Review of System)
1. Keadaan umum : compos mentis, lemah dan pucat.
2. Tanda vital : Tekanan darah: 100/70 mmHg, nadi: 91 x/menit, suhu badan: 38,3 oC,
RR: 19 x/menit.
3. Pernafasan (B1: Breath)
a) Bentuk dada : normal
b) Pola napas : irama: reguler, teratur
c) Jenis : suara nafas vesikuler
d) Sesak nafas : tidak
e) Retraksi otot bantu nafas : tidak ada
f) Alat bantu nafas : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
4. Kardivaskular (B2: Blood)
a) Irama jantung : teratur
b) Nyeri dada : tidak
c) Bunyi jantung : normal, , S1/S2 tunggal
d) CRT : 1 detik
e) Akral : hangat, kering dan merah
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
5. Syaraf (B3: Brain)
a) GCS : Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6, Total:15
b) Reflek fisiologis : tidak dikaji
c) Reflek patologis : tidak dikaji
d) Istirahat/tidur : 9 jam/hari, tidak ada gangguan tidur
e) Kebiasaan sebekum tidur : menonton televisi
f) Penglihatan (mata) :
- Pupil : isokor
- Konjungtiva : anemis
- Gangguan penglihatan : tidak ada
36

g) Pendengaran (telinga)
- Gangguan pendengaran : tidak ada
h) Penciuman (hidung)
- Bentuk : normal
- Gangguan penciuman : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
6. Perkemihan (B4: Bladder)
a) Kebersihan : bersih
b) Urin : 800 cc/hari, warna: kuning, bau: pesing
c) Alat bantu : tidak ada
d) Kandung kemih : tidak ada pembesaran dan nyeri tekan
e) Bentuk alat kelamin : normal
f) Uretra : tidak dikaji
g) Gangguan : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
7. Pencernaan (B5: Bowel)
a) Nafsu makan : menurun, frekuensi 3 kali sehari
b) Porsi makan : tidak habis, An. N mau makan 3-5 sendok makan
c) Minum : + 1000 cc/hari, jenis: air putih dan air es manis
d) Mukosa : bersih
e) Tenggorokan : tidak ada nyeri telan
f) Abdomen
- Perut : tidak ada nyeri tekan dan pembesaran hepar/lien
- Peristaltik : 8 kali per menit
- Buang air besar : 1 kali sehari, tidak teratur
- Konsistensi : lunak, bau : bau BAB, warna : coklat
g) Lain-lain : An. N mengeluh mual sejak 2 hari yang lalu.
Masalah keperawatan : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan nausea.
8. Muskuloskeletal (B6: Bone dan Integumen)
a) Kemampuan pergerakan sendi : bebas

b) Kekuatan otot :

c) Kulit :
37

- Warna kulit : kuning langsat, pucat di bibir.


- Turgor : baik
- Odema : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.

9. Endokrin
a) Tiroid : tidak ada pembesaran
b) Hiper/hipoglikemi : tidak
c) Luka gangren : tidak
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
10. Personal Hygiene
a) Mandi : 2 kali sehari
b) Keramas : 3 hari sekali
c) Ganti pakaian : 2 kali sehari
d) Sikat gigi : 2 kali sehari
e) Memotong kuku : ketika panjang
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
11. Psiko-sosio-spiritual :
a) Ekspresi afek dan emosi : diam dan tenang
b) Hubungan dengan keluarga : baik
c) Dampak hospitalisasi bagi anak : anak tampak tenang
d) Dampak hospitalisasi bagi orang tua : ibu tampak tenang
Masalah keperawatan : tidak ada masalah.
B. DATA PENUNJANG
1. Darah lengkap
a) WBC : 7,89 10e3/uL
b) RBC : 3,26 10e6/uL
c) HGB : 7,35 g/dL
d) HCT 23,7 %
e) PLT 156,* 10e3/uL
C. TERAPI/TINDAKAN LAIN
1. Terapi transfusi PRC
38

ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS : Ibu mengatakan An. N Anemia Hipertermia
demam sejak malam hari. ↓
Suplai O2 menurun
DO : Badan pasien terasa ↓
hangat, suhu: 38,3oC, TD: Iskemia jaringan
100/70 mmHg, N: 91 x/menit ↓
Hb : 7,35 g/dL, bibir kering, Infark jaringan
mata berair. ↓
Rekasi peradangan sistemik

Demam

Hipertermia
DS : Pasien mengatakan Proses penyakit Perfusi perifer tidak efektif
badannya lemas ↓
Kurangnya Hb A
DO : Klien tampak pucat, ↓
lemas, Hb: 7,35 g/dL, CRT 1 Produksi rantai globin
detik, mata berair, berkurang
konjunctiva anemis, mukosa ↓
bibir pucat dan kering, turgor Produksi Hb berkurang
kulit menurun ↓
Sel darah merah rusak

Eritrosit menurun

Anemia

Perfusi perifer tidak efektif
DS : Ibu pasien mengatakan Anemia Nausea
39

An. N mual sejak 2 hari yang ↓


lalu. Porsi makan tidak habis. Suplai O2 menurun
Nafsu makan menurun. ↓
Kebutuhan O2 tidak
DO : Nadi: 91 x/menit terpenuhi
Hb : 7,35 g/dL, pasien ↓
tampak pucat, CRT 1 detik Hipoksia sel dan jaringan

Merangsang sistem saraf
simpatis

Aliran darah ke GIT
menurun

Peristaltik usus menurun
Regurgitasi

Peningkatan isi lambung

Mual

PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN


1. Hipertermi
2. Perfusi perifer tidak efektif
3. Nausea
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (thalassemia) ditandai dengan suhu
tubuh diatas normal dan kulit terasa hangat
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin
ditandai dengan klien tampak pucat, lemas, Hb: 7,35 g/dL, CRT 1 detik, mata berair,
konjunctiva anemis, mukosa bibir pucat dan kering, turgor kulit menurun
3. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimia (anemia) ditandai dengan pasien
mengeluh mual dan tampak pucat
40

RENCANA INTERVENSI ASUHAN KEPERAWATAN


DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
1. Hipertermia berhubungan Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor suhu dan warna kulit
dengan proses penyakit hipertermia teratasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor intake dan output
(thalassemia) ditandai dengan 1. Suhu tubuh normal (36,0 -37,5°C) 3. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi air yang
suhu tubuh diatas normal dan 2. Tidak ada kemerahan banyak
kulit terasa hangat 4. Kompres pasien pada lipatan paha dan ketiak
5. Anjurkan pasien untuk memakai pakaian yang
tipis dan menyerap keringat
6. Kolaborasi pemberian obat antipiretik
2. Perfusi perifer tidak efektif Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Monitor adanya tanda-tanda terjadinya anemia
berhubungan dengan diharapkan anemia dapat teratasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda-tanda vital
penurunan konsentrasi 1. Hb normal 3. Monitor adanya perubahan fungsi mental pasien
hemoglobin ditandai 2. Pasien tidak tampak pucat 4. Anjurkan pasien untuk istirahat
dengan klien tampak 3. Konjuctiva tidak anemis 5. Kolaborasi pemberian terapi intravena dan
pucat, lemas, Hb: 7,35 4. TTV dalam batas normal (TD: 120/80-100/60 transfuse darah
g/dL, CRT 1 detik, mata mmHg, N: 60-100 x/menit, RR: 16-20 x/menit,
41

berair, konjunctiva CRT <2 detik) 6. Kolaborasi tentang diit pasien


anemis, mukosa bibir
pucat dan kering, turgor
kulit menurun
3. Nausea berhubungan dengan Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Observasi tanda-tanda nonverbal dari
gangguan biokimia (anemia) diharapkan mual teratasi dengan kriteria hasil: ketidaknyamanan
ditandai dengan pasien 1. Pasien tidak mengeluh mual 2. Monitor status nutrisi
mengeluh mual dan tampak 2. Tidak ada penurunan nafsu makan 3. Anjurkan pasien untuk makan pelan-pelan
pucat (nutrisi adekuat) dengan porsi sedikit tapi sering
4. Anjurkan pasien untuk makan makanan yang
hangat
5. Jelaskan untuk menggunakan napas dalam
untuk menekan refleks mual
6. Kolaborasi pemberian obat anti-emetik
42

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


HARI/
DIAGNOSA JAM IMPLEMENTASI EVALUASI
TANGGAL
Senin, 17 Hipertermia 11.00 1. Mengompres pasien pada lipatan paha dan S : Ibu pasien mengatakan anaknya masih demam
Desember berhubungan ketiak O : Suhu 37,9oC, kulit teraba hangat
2018 dengan proses 2. Menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi A : Hipertermia belum teratasi
penyakit air yang banyak P : Intervensi nomer 1-4 dilanjutkan
(thalassemia) 3. Menganjurkan pasien untuk memakai
ditandai dengan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
suhu tubuh diatas 4. Mengkolaborasikan pemberian obat
normal dan kulit antipiretik (paracetamol)
terasa hangat 5. Memonitor suhu badan pasien
Perfusi perifer 11.15 1. Memonitor adanya tanda-tanda terjadinya S : An. N mengeluh badannya lemas
tidak efektif anemia O : Klien masih tampak pucat, lemas, Hb: 7,35
berhubungan 2. Memonitor tanda-tanda vital g/dL, CRT 1 detik, mata berair, konjunctiva
dengan 3. Memonitor adanya perubahan fungsi mental
43

penurunan pasien anemis, mukosa bibir pucat dan kering.


konsentrasi 4. Menganjurkan pasien untuk istirahat A : Anemia belum teratasi
hemoglobin 5. Mengkolaborasikan pemberian terapi P : Intervensi nomer 1-6 dilanjutkan
ditandai dengan intravena dan transfuse darah
klien tampak 6. Mengkolaborasikan tentang diit pasien
pucat, lemas, Hb:
7,35 g/dL, CRT 1
detik, mata berair,
konjunctiva
anemis, mukosa
bibir pucat dan
kering, turgor
kulit menurun
Nausea 11.15 1. Menganjurkan pasien untuk makan pelan- S : An. N masih mengeluh mual.
berhubungan pelan dengan porsi sedikit tapi sering O : Pasien masih tampak pucat dan tidak nafsu
dengan gangguan 2. Menganjurkan pasien untuk makan makan, CRT 1 detik
biokimia
44

(anemia) ditandai makanan yang hangat A : Mual belum teratasi


dengan pasien 3. Menjelaskan untuk menggunakan napas P : Intervensi nomer 1-3 dilanjutkan
mengeluh mual dalam untuk menekan refleks mual
dan tampak pucat 4. Mengkolaborasikan pemberian obat
antiemetik
5. Mengobservasi adanya ketidaknyamanan
45

RENCANA INTERVENSI ASUHAN KEPERAWATAN


DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
Hipertermia berhubungan dengan Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor suhu dan warna kulit
proses penyakit (thalassemia) hipertermia teratasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor intake dan output
ditandai dengan suhu tubuh diatas 1. Suhu tubuh normal (36,0 -37,5°C) 3. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi air
normal dan kulit terasa hangat 2. Tidak ada kemerahan yang banyak (±8 gelas sehari)
4. Kompres pasien pada lipatan paha dan ketiak
5. Anjurkan pasien untuk memakai pakaian yang
tipis dan menyerap keringat
6. Kolaborasi pemberian obat antipiretik
Perfusi perifer tidak efektif Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Monitor adanya tanda-tanda terjadinya anemia
berhubungan dengan penurunan diharapkan anemia dapat teratasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda-tanda vital
konsentrasi hemoglobin ditandai 1. Hb normal 3. Monitor adanya perubahan fungsi mental
dengan klien tampak pucat, lemas, 2. Pasien tidak tampak pucat pasien
Hb: 7,35 g/dL, CRT 1 detik, mata 3. Konjuctiva tidak anemis 4. Anjurkan pasien untuk istirahat
berair, konjunctiva anemis, 4. TTV dalam batas normal (TD: 120/80-100/60 5. Kolaborasi pemberian terapi intravena dan
46

mukosa bibir pucat dan kering, mmHg, N: 60-100 x/menit, RR: 16-20 x/menit, transfuse darah
turgor kulit menurun CRT <2 detik) 6. Kolaborasi tentang diit pasien
Nausea berhubungan dengan Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Observasi tanda-tanda nonverbal dari
gangguan biokimia (anemia) diharapkan mual teratasi dengan kriteria hasil: ketidaknyamanan
ditandai dengan pasien mengeluh 3. Pasien tidak mengeluh mual 2. Monitor status nutrisi
mual dan tampak pucat 4. Pasien tidak tampak pucat 3. Anjurkan pasien untuk makan pelan-pelan
5. Tidak ada penurunan nafsu makan dengan porsi sedikit tapi sering
(nutrisi adekuat) 4. Anjurkan pasien untuk makan makanan
yang hangat
5. Jelaskan untuk menggunakan napas dalam
untuk menekan refleks mual
6. Kolaborasi pemberian obat anti-emetik
47

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


HARI/
DIAGNOSA JAM IMPLEMENTASI EVALUASI
TANGGAL
Senin, 17 Hipertermia 11.00 1. Mengompres pasien pada lipatan paha dan S : Ibu pasien mengatakan anaknya masih demam
Desember berhubungan ketiak O : Suhu 37,9oC, kulit teraba hangat
2018\ dengan proses 2. Menganjurkan pasien untuk A : Hipertermia belum teratasi
penyakit mengkonsumsi air yang banyak P : Intervensi nomer 1-4 dilanjutkan
(thalassemia) 3. Menganjurkan pasien untuk memakai
ditandai dengan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
suhu tubuh diatas 4. Mengkolaborasikan pemberian obat
normal dan kulit antipiretik (paracetamol)
terasa hangat 5. Memonitor suhu badan pasien
Perfusi perifer 11.15 1. Memonitor adanya tanda-tanda terjadinya S : An. N mengeluh badannya lemas
tidak efektif anemia O : Klien masih tampak pucat, lemas, Hb: 7,35
berhubungan 2. Memonitor tanda-tanda vital g/dL, CRT 2 detik, mata berair, konjunctiva
dengan 3. Memonitor adanya perubahan fungsi
48

penurunan mental pasien anemis, mukosa bibir pucat dan kering.


konsentrasi 4. Menganjurkan pasien untuk istirahat A : perfusi perifer tidak efektif belum teratasi
hemoglobin 5. Mengkolaborasikan pemberian terapi P : Intervensi nomer 1-6 dilanjutkan
ditandai dengan intravena dan transfuse darah
klien tampak 6. Mengkolaborasikan tentang diit pasien
pucat, lemas, Hb:
7,35 g/dL, CRT 1
detik, mata berair,
konjunctiva
anemis, mukosa
bibir pucat dan
kering, turgor
kulit menurun
Nausea 11.30 1. Menganjurkan pasien untuk makan S : An. N masih mengeluh mual.
berhubungan pelan-pelan dengan porsi sedikit tapi O : Pasien masih tampak pucat dan tidak nafsu
dengan gangguan sering makan.
biokimia 2. Menganjurkan pasien untuk makan
49

(anemia) ditandai makanan yang hangat A : Mual belum teratasi


dengan pasien 3. Menjelaskan untuk menggunakan napas P : Intervensi nomer 1-3 dilanjutkan
mengeluh mual dalam untuk menekan refleks mual
dan tampak pucat 4. Mengkolaborasikan pemberian obat
antiemetik
5. Mengobservasi adanya
ketidaknyamanan
50

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian dimulai dari identitas pada klien yang bernama An. N
(perempuan) berusia 9 tahun tahun dengan diagnosa masuk Thalasemia. An.
N datang ke poli anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 17
Desember 2018 dengan keluhan demam sejak malam hari dan mual sejak 2
hari yang lalu. An. N pernah dirawat di RSUD Nganjuk saat masih bayi dan
didiagnosa thalasemia saat usianya 1 tahun. Saat dikaji pasien terlihat lemas,
pucat, konjungtiva anemis, dan demam 38,3oC
4.2 Intervensi
4.2.1 Hipertermi
Definisi: diagnosa keperawatan hipertermi menurut SDKI didefinisikan
merupakan suhu tubuh meningkat diatas rentang normal.
Etiologi: penyebab dari hipertermi adalah tidak adanya atau kurangnya
rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan
kemampuan eritrosit membawa oksigen. Adanya suatu kompensator yang
meningkat dalam rantai alfa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus-
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defective.
Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia. Anemia menyebabkan suplai O2 menurun,
sehingga menyebabkan iskemia jaringan. Jaringan menjadi infark sehingga
menyebabkan reaksi peradangan sistemik menyebabkan timbul demam.
Masalah Keperawatan Kasus: berdasarkan pengkajian, masalah
hipertermi muncul dikarenakan proses penyakit (thalassemia) yakni
ketidakstabilan hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit
membawa oksigen. Anemia menyebabkan suplai O2 menurun, sehingga
menyebabkan iskemia jaringan. Jaringan menjadi infark sehingga
51

menyebabkan reaksi peradangan sistemik menyebabkan timbul demam.


Hal ini didukung dengan DS Ibu klien mengatakan An. N demam sejak
malam hari. DO : suhu: 38,3oC, TD: 100/70 mmHg, N: 91 x/menit. Hb :
7,35 g/dL
Intervensi yang harus diimplementasikan pada An. N yaitu 1) Monitor
suhu dan warna kulit. 2) Monitor intake dan output. 3) Anjurkan pasien
untuk mengkonsumsi air yang banyak. Pada kasus hipertermi disarankan
untuk banyak meminum air putih (Purwanto, 2008) 4) Kompres pasien
dengan air hangat pada lipatan paha dan ketiak. Kompres hangat dapat
menurunkan suhu tubuh melalui proses evaporasi. Hasil penelitiaannya
menunjukkan adanya perbedan efektifitas kompres dingin dan kompres
hangat dalam menurunkan suhu tubuh. Kompress hangat telah diketahui
mempunyai manfaat yang baik dalam menurunkan suhu tubuh anak yang
mengalami panas tinggi di Rumah Sakit karena menderita berbagai
penyakit infeksi. Dengan kompres hangat menyebabkan suhu tubuh
diluaran akan terjadi hangat sehingga tubuh akan menginterpretasikan
bahwa suhu diluaran cukup panas, akhirnya tubuh akan menurunkan
kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan suhu pengatur
tubuh, dengan suhu diluaran hangat akan membuat pembuluh darah tepi
dikulit melebar dan mengalami vasodilatasi sehingga pori – pori kulit akan
membuka dan mempermudah pengeluaran panas. Sehingga akan terjadi
perubahan suhu tubuh. (Purwanti dan Ambarwati, 2010) 5) Anjurkan
pasien untuk memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat. 6)
Kolaborasi pemberian obat antipiretik. Berkolaborasikan dengan dokter
dalam pemberian terapi, diberikan terapi seperti obat paracetamol. Dimana
fungsi paracetamol sebagai analgesik, antipiretik (Sidipratomo et al, 2012)
di harapkan dengan penggunaan Paracetamol mampu menurunkan suhu
tubuh.
4.2.2 Mual
52

Definisi: diagnosa keperawatan Mual menurut Nanda 2018-2020


didefinisikan suatu fenomena subjektif tentang rasa tidak nyaman pada
bagian belakang tenggorokan atau lambung yang dapat atau tidak
menimbulkan muntah.
Etiologi: penyebab dari mual adalah dengan adanya anemia menyebabkan
suplai O2 menurun sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi, terjadi
hipoksia sel dan jaringan, merangsang sistem saraf simpatis sehingga
aliran darah ke GIT menurun menyebabkan peristaltik usus menurun,
terjadilah Regurgitasi dan peningkatan isi lambung dan terjadilah mual.
Masalah Keperawatan Kasus: berdasarkan pengkajian, masalah mual
muncul dikarenakan gangguan biokimia (anemia). anemia menyebabkan
suplai O2 menurun sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi, terjadi
hipoksia sel dan jaringan, merangsang sistem saraf simpatis sehingga
aliran darah ke GIT menurun menyebabkan peristaltik usus menurun
sehingga menyebabkan rasa mual. Hal ini didukung dengan DS Ibu pasien
mengatakan An. N mual sejak 2 hari yang lalu. Porsi makan tidak habis.
Nafsu makan menurun. DO : suhu: Nadi: 91 x/menit, Hb : 7,35 g/dL
Intervensi yang harus diimplementasikan pada An. N yaitu 1)
Observasi tanda-tanda nonverbal dari ketidaknyamanan 2) Monitor status
nutrisi 3) Anjurkan pasien untuk makan pelan-pelan dengan porsi sedikit
tapi sering. Menganjurkan keluarga untuk memberikan makanan hangat
dengan porsi sedikit tapi sering. Penulis menganjurkan pada Ibu pasien
untuk menghidangkan nasi, sayur sup dan lauk dalam kondisi hangat dan
memberikannya kepada pasien sedikit-sedikit sehingga pasien mampu
makan sedikit-sedikit dan meningkat dalam porsi makannya (Wulan
Agustina, 2017) 4) Anjurkan pasien untuk makan makanan yang hangat 5)
Jelaskan untuk menggunakan napas dalam untuk menekan refleks mual 6)
Kolaborasi pemberian obat anti-emetik
53

4.2.3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


Definisi: diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh menurut Nanda 2018-2020 didefinisikan asupan nutrisi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Etiologi: penyebab dari mual adalah dengan adanya anemia menyebabkan
suplai O2 menurun sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi, terjadi
hipoksia sel dan jaringan, merangsang sistem saraf simpatis sehingga
aliran darah ke GIT menurun menyebabkan peristaltik usus menurun,
terjadilah Regurgitasi dan peningkatan isi lambung dan terjadilah mual.
Rasa mual yang terus menerus menyebabkan anoreksia sehingga intake
nutrisi menurun berdampak pada berat badan menurun hal ini dikarenakan
ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh.
Masalah Keperawatan Kasus: berdasarkan pengkajian, masalah
ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh muncul
dikarenakan ketidakmampuan tubuh dalam mengabsorbsi nutrient. Hal ini
didukung dengan DS Ibu pasien mengatakan nafsu makan anaknya
menurun. An. N mengatakan rasa makanan tidak enak. DO : A : BB 31 kg,
TB 130 cm, IMT 18,3 (berat badan kurang) B : Hb : 7,35 g/dL. C : pucat,
membran mukosa pucat, lemas, bising usus 8 kali/menit. D : klien jarang
makan sayur dan buah, terakhir makan nasi dan nugget.
Intervensi yang harus diimplementasikan pada An. N yaitu 1) Kaji
status nutrisi dan makanan yang disuka. 2) Timbang berat badan setiap
hari 3) Pertahankan oral hygiene 4) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
penentuan diit 4) Edukasi keluarga untuk memberi makan porsi sedikit
tapi sering. Porsi makan sedikit-sedikit tapi sering dapat meningkat dalam
porsi makan (Wulan Agustina, 2017) 5) Edukasi keluarga tentang manfaat
asupan nutrisi. Memberikan edukasi pada keluarga pasien tentang
kebutuhan nutrisi yang sesuai untuk pasien, materi edukasi meliputi
pengertian nutrisi, komponen nutrisi, kebutuhan gizi pada anak, jadwal
54

makan anak (Wulan Agustina, 2017) 6) Edukasi keluarga untuk


menyajikan makanan dalam bentuk yang bervariasi dan dalam keadaan
yang hangat 7) Ciptakan lingkungan yang nyaman saat pasien makan
55

BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi


sel darah merah yang mudah rusak atau umumnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalassemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, suka tidur, nafsu
makan hilang, dan infeksi berulang. Thalasemia diklasifikasikan menjadi dua
thalasemia mayr dan thalasemia minor. Thalassemia bukan penyakit menular
melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Tanda dan gejala
thalasemia mayor pucat, lemah, anoreksia, sesak napas, peka rangsang, tebalnya
tulang kranial, pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali, menipisnya
tulang kartilago, nyeri tulang, disritmia, epistaksis, sel darah merah mikrositik
dan hipokromik, kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml, kadar besi serum tinggi,
ikterik, peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung
lebar dan datar. Sedangkan thalasemia minor : pucat, hitung sel darah merah
normal, kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di
bawah kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang.
Kompllikasi thalasemia antara lain gagal jantung, hemokromatosis, infeksi bahkan
kematian. pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan dan penapisan (screening)
penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.

55
56

DAFTAR PUSTAKA

Ganie, A, 2004. Kajian DNA Thalasemia Alpha di Medan. USU Press,


Medan
Hartoyo, Edi, dkk. 2006. ”Standar Pelayanan Medis. Fakultas
KedokteraanUnlam RSUD Ulin Banjarmasin.
Hoffband, A, dkk, 2005. Kapita selekta Hematologi. Penerbit buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions
Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth, EGC, Jakarta 
Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran  E d i s i k e - 3
J i l i d 2 . Media Aesculapius Fkul.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2001-2002,  NANDA.
McCloskey, J.C., 1996. Nursing Intervention Classification(NIC). 2nd Edition.
Mosby Year Book: USA
North American Nursing Diagnosis Association., 2001. Nursing Diagnoses :
Definition & Classification 2001-2002. Philadelphia.
Supardiman, I, 2002. Hematologi Klinik. Penerbit alumni bandung.
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi
I. PT Fajar Interpratama : Jakarta.
Purwanti, S. dan Ambarwati, W. N. (2010) “Pengaruh Kompres Hangat
Terhadap Perubahan Suhu Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia Di
Ruang Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Surakarta.,” hal. 81–86.
Purwanto, Y. (2008) “Seni Terapi Air,” (April), hal. 383–391.
Wulan Agustina (2017) Upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi pada anak
dengan gastritis. Universitas Muhammidiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai