Abstract: Reorientation of Contemporary Ijtihâd: an Analysis of Islamic law. Every thinker (Mujtahid)
is accused to explore Alquran texts and Sunnah and legal finding through ijtihâd. Since the reign of Abu
Bakr (the first caliph replacing the Prophet) discussions hade been done to discover the meaning or the right
way to implement the content of Alquran and Sunnah text or even how to find the new spirit of Alquran
and Sunnah that is appropriate to over come new problems. This study offers a new ijtihad in today’s
contemporary era in revitalizing, reactualization, and there construction of ijtihad thinking in order
to address contemporary issues of Islamic legal thought.
Keywords: ijtihâd, contemporary, Islamic law
Abstrak: Reorientasi Ijtihâd Kontemporer: Analisis Hukum Islam. Setiap pemikir (mujtahid)
digugat untuk melakukan penggalian teks-teks Alquran dan Sunnah dan penemuan hukum melalui
ijtihâd. Sejak pemerintahan Abu Bakar (khalifah pertama pengganti Rasulullah) dilakukan musyawarah
untuk mencari makna atau cara pelaksanaan yang tepat terhadap konten suatu teks Alquran dan
Sunnah, atau bahkan bagaimana menemukan semangat ruh Alquran dan Sunnah (rûh syarî’at) yang
tepat untuk sesuatu persoalan baru. Kajian ini menawarkan ijtihâd baru di masa kontemporer saat
ini dalam melakukan revitalisasi, reaktualisasi, dan rekonstruksi pemikiran ijtihâd dalam rangka
menyikapi isu-isu kontemporer pemikiran hukum Islam.
Kata Kunci: ijtihâd, kontemporer, Islamhukum
155
156| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
bagi pelaku nikah siri,5 pidana bagi pelaku generasi pertama (khairu ummatî qarnî)
poligami,6 skandal Bank Century.7 Secara bahwa untuk membina masyarakat yang
teknis seperti terlihat dalam sebuah dialog Islami, tidak cukup hanya melaksanakan apa
Rasulullah dengan Mu’âdz ibn Jabal ketika yang tersurat di dalam Alquran atau apa yang
ditunjuk dan diutus untuk berangkat ke telah diputuskan Rasulullah secara konkret.
Yaman menjadi gubenur (hakim) dan Tetapi perlu kepada pemikiran dan ijtihâd,
membangun daerah itu.8 mencari makna yang tepat dari teks-teks
Kuat dugaan, berdasarkan sunnah/hadis Alquran dan sunnah Rasulullah.
dialog Rasulullah ini telah membentuk Dalam catatan sejarah, kegiatan pe-
kesadaran yang tinggi kepada umat Islam renungan dan pemikiran ijtihâd efektif
untuk melakukan ijtihâd,9 terutama kepada dilakukan pada masa sahabat.10 Padahal masa
Umar, dan termasuk Imâm Syâfi’î sendiri
telah banyak memberikan contoh pemikiran
Jawa Timur menegaskan bahwa rebonding rambut dibolehkan
bagi wanita yang sudah menikah, tetapi bagi wanita yang belum ijtihâd secara kreatif dan inovatif, seperti
menikah dilarang karena dipandang lebih dekat pada sikap riya’. terlihat dalam qaul qadîm dan qaul jadîd-
5
Salah satu pasal dalam RUU Perkawinan yang diajukan
oleh Kementerian Agama kepada Presiden untuk diratifikasi,
nya.11 Mekipun teori-teori Syâfi’î yang lain
mengatur sanksi pidana bagi para pelaku nikah siri, dengan dikenai
hukuman kurungan maksimal tiga bulan, dan denda maksimal satu
juta rupiah. Lihat, Lampung Post, Selasa, 16 Pebruari 2010, h. 10. secara substansial adalah sama dan tidak berbeda. Terhadap
6
Dimaksudkan di sini adalah sanksi pidana bagi pelaku definisi inilah kajian ijtihâd dipedomani. Lihat Zakiyuddin
poligami tanpa adanya izin Dâri Pengadilan Agama. Sebab suatu Sya’ban, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1965), h.
pernikahan di Indonesia dianggap sah secara hukum apabila 407. Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al-
pernikahan itu dilaksanakan dengan mengacu pada aturan Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 379.
10
perundang-undangan yang berlaku (UU No. 1 Tahun 1974, Karena di masa Rasulullah kedudukan ijtihâd belum
atau Kompilasi Hukum Islam). bisa dikatakan sebagai alat penggali hukum, sebab para sahabat
7
Menarik bagi para pemikir (mujtahid) untuk melakuan ketika itu masih dalam taraf latihan ijtihâd, dan ijtihâd dilakukan
ijtihâd melihat kasus Century tersebut didekati Dâri sisi ushûl di saat para sahabat berjauhan dengan Rasulullah, situasi dan
fiqh dan fiqh jinâyat. kondisi memerlukan melakukan ijtihâd, kemudian mereka
8
Rasulullah bertanya, “apa yang engkau lakukan apabila melaporkan kepada Rasulullah untuk mendapatkan legalitas
kepadamu datang suatu kasus?” Mu’âdz, “Saya putuskan ber- formalnya (ketentuan nas). Misalnya kasus dua orang sahabat
dasarkan kitab Allah”, Rasul, “Bagaimana kalau tidak terdapat (Umar dan Mu’âdz) yang sedang berada dalam perjalanan
dalam kitab Allah?” Mu’âdz, “Saya putuskan berdasarkan sunnah yang perlu mandi wajib, mereka sementara tidak menemukan
Rasulullah”. Rasul, “Jika tidak terdapat dalam sunnah?” Mu’âdz, air, kemudian masing-masing melakukan ijtihâdnya bahwa
“Saya berijtihâd berdasarkan pendapatku dengan penuh optimis”. tanah (debu) dalam konteks thaharah itu sama halnya dengan
Mu’âdz berkata, “kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dadaku air. Mereka melumurkan/melulurkan tanah itu ke badannya
seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan masing-masing. Muadz kemudian melakukan salat, sedangkan
restu kepada delegasi Rasulullah terhadap sesuatu yang diridhai Umar menunda salatnya. Ketika mereka berdua bertemu dengan
olehnya.” Abû Dawûd, Sunan, jilid ke-3, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi Rasulullah, menceritakan kasus itu, dan beliau menegaskan
al-Halabi, 1952), h. 412. Lihat pula Ibn Mâjah, Sunan, jilid 1, bahwa ijtihâd mereka berdua tidak tepat karena kontradiksi
(Mesir: Isa al-bâbi al-Halabi, t.t.), h. 21. dengan semangat Q.s. al-Maidah [5]: 6, “Famsahû biwujûhikum
9
Ijtihâd, berasal Dâri akar kata jahada. Penambahan alif wa aidiyakum minh.” Contoh lain cara Rasulullah melatih para
dan ta (ijtahada) dalam istilah Arab menunjukkan arti “berlebih” sahabat berijtihâd bahwa pernah sahabat Umar berkata kepada
(mubalaghah). Kalau jahada bermakna “mencurahkan tenaga Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku telah berbuat sesuatu yang
dan kemampuan,” maka ijtahada berarti bermakna “sungguh- luar biasa, yaitu aku mencium isteriku sedangkan aku dalam
sungguh mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuan.” Jadi, keadaan berpuasa”. Rasul berkomentar, “Bagaimana jika engkau
arti literalnya ialah mencurahkan tenaga (badl al-wus’). Apabila berkumur-kumur dengan air sedangkan engkau dalam keadaan
kalimat itu mendapat kalimat pelengkap, maka berwujud men- berpuasa?”, Umar, “Tidak mengapa”, Rasulullah mengatakan,
jadi “mencurahkan kemampuan tenaga dengan maksimal dalam “Kalau begitu teruskan puasamu”. Lihat Ibn Qayyim al-
mencari suatu perkara” (badl al-wus’ fi thab al-amr). Seperti, Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn, jilid ke-1,
dia (seseorang) bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga (Bayrut: Dâr al-Jael, t.t), h. 199.
11
untuk mengangkat sebuah batu penggilingan itu (ijtahada fi Dalam konteks ini, ulama pada umumnya membagi
haml hajar al-rakha), bukan dia mencurahkan tenaga untuk pendapat Imâm Syâfi’î menjadi dua yakni qaul qadîm dan
mengangkat sebuah biji sawi (ijtahada fi haml khardalah). Lihat, qaul jadîd. Qaul qadîm adalah pendapat Imâm Syâfi’î yang
Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid III, (Bayrut: Dâr Fikr, 1955), dikemukakan dan ditulis ketika berada di Irak. Sedangkan
h. 135. Sedangkan ijtihâd menurut terminologi Ushûl iyyin, qaul jadîd adalah pendapat Imâm Syâfi’î yang dikemukakan
yaitu pencurahan tenaga dengan maksimal yang dilakukan dan ditulis ketika berada di Mesir. Sebagai contoh, mengenai
oleh fakih dalam menggali hukum-hukum syara’ amaliah dari seseorang yang tidak wajib melaksanakan salat Jumat karena
dalil-dalilnya yang terperinci. Definisi ini termasuk batasan tidak memenuhi syarat misalnya, boleh memilih, melaksanakan
yang cukup jâmi’-mâni’, karena sudah merangkum keseluruhan salat Zuhur, atau salat Jumat. Dalam qaul qâdim, Imâm Syâfi’î
definisi yang dideskripsikan oleh Ushûl iyyin dalam pelbagai mengatakan jika salat Zuhur yang dilakukan maka telah cukup
madzhab fikih, meskipun secara redaksional berbeda tetapi baginya sehingga ia tidak diwajibkan untuk melaksanakan
Maimun: Reorientasi Ijtihad Kontemporer: Analisis Hukum Islam |157
sudah banyak yang tidak memadai lagi untuk dalam literatur ushûl fiqh pada umumnya
dapat menyelesaikan pelbagai persoalan dibatasi pada hukum-hukum syara’ yang
kontemporer yang terus mengemuka. bersifat dzanniyat, tidak diperbolehkan pada
Misalnya mengenai teori qiyas dalam konteks hukum-hukum syara’ yang bersifat qath’iyyat.13
ijtihâd.12 Oleh karena demikian, dalam Mereka sepakat bahwa teks-teks Alquran dan
kajian ini berusaha melihat sekitar ruang sunnah Rasulullah yang tidak diragukan lagi
lingkup pemikiran ijtihâd, model ijtihâd validitasnya (qath’iyat) datang dari Allah
yang dibutuhkan, bentuk-bentuk ijtihâd yang dan Rasul-Nya, bukan menjadi lapangan
perlu dikembangkan, dan bentuk lembaga pemikiran ijtihâd. Karena itu, Wahbah Zuhailî
ijtihâd. Permasalahannya adalah Perlukah mengatakan bahwa kategori pemikiran hukum
bagi seorang pemikir (mujtahid) dibatasi Islam yang sudah diketahui oleh umum,
ruang lingkup kegiatan ijtihâdnya? Model diberlakukan secara umum, sudah sedemikian
pemikiran ijtihâd yang bagaimana yang jelas dan valid, aturan yang demikian disebut
dibutuhkan? Bentuk-bentuk ijtihâd yang dengan al-ahkâm al-ma’lûmat min al-dîn bi
bagaimana yang mesti dikembangkan? Dan al-dharûrah wa al-badahah.14Atau istilah lain
bentuk lembaga ijtihâd yang seperti apa yang dengan mujma’ ‘alaih wa ma’lûm min al-dîn
dibutuhkan di abad modern ini? Beberapa bi al-dharûrah. Dari pemikiran hukum ini
permasalahan ini akan dideskripsikan dalam muncul pertanyaan, Bolehkah seorang pemikir
pembahasan di bawah ini. (mujtahid) melakukan ijtihâd pada sesuatu
yang dalil-dalilnya sudah qath’î?
Ruang Gerak Pemikiran Ijtihâd Untuk menjawab pertanyaan ini, secara
Bertolak dari pernyataan Muhammad Iqbal metodologis dapat dideskripsikan bahwa
bahwa “ijtihâd sebagai prinsip gerak dalam sekiranya kita mau membuka pikiran
struktur Islam,” maka penggunaan pemikiran dengan jernih dan prospektif kemudian
secara maksimal (ra’y) untuk menggali, mencermati gagasan dan pola pikir secara
menemukan, memilih, memilah, menganalisis revolutif, dekonstruktif, reformulatif, dan
dan menetapkan suatu pemikiran hukum, rekonstruktif yang telah banyak ditawarkan
dalam terminologi para teoritisi hukum Islam oleh para cendikiawan Muslim abad modern
(ushûliyyin), itulah sesungguhnya dimaksudkan ini, sekaligus dengan mengacu pada hasil-
dengan ijtihâd. Ruang gerak pemikiran ijtihâd hasil pemikiran ijtihâd kreatif dan inovatif
Umar ibn Khattâb masa dulu, maka kita
salat Jumat. Karena yang fardlu adalah salat Zuhur. Sedangkan
akan menjawab dengan jujur adalah boleh
dalam qaul jadid-nya, Imâm Syâfi’î mengatakan bahwa salat berijtihâd pada dalil-dalil hukum (teks-teks
Zuhur yang dilakukan tidak membebaskan dia Dâri kewajiban Alquran dan Sunnah) yang berifat qath’î.
salat Jumat, karena salat Jumat tidak berkedudukan sebagai
pengganti Dâri salat Zuhur. Karena, apabila salat Jumat
Kasus-kasus ijtihâd Umar bila didekati
berkedudukan sebagai pengganti Dâri salat Zuhur, maka dengan teori qath’î-dzannî,15 akan terlihat
memindahkan kewajiban salat Jumat kepada salat Zuhur tidak
apa-apa (tidak berdosa). Lihat Ahmad Amîn, Dhuhâ al-Islâm,
13
jilid ke-2, (Qâhirah: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Lihat al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jilid ke-
1974), h. 231. Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi 2, juz ke-4, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1424 H/2003 M.), h. 212.
Tentang Qaul Qâdim dan Qaul Jadîd, cet ke -, (Jakarta: PT Raja Zakiyuddin Sya’ban, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, h. 417. Wahbah
Grafindo Persada, 2002), h. 162. al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, juz ke-2, cet ke-2, (Bayrut:
12
Kajian ijtihâd dalam pemikiran ushûl fiqh Syâfi’î dapat Dâr al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), h. 1080.
14
dibenarkan apabila dilakukan dalam konteks qiyâs, karena Syâfi’î Ali Yafie, “Posisi Ijtihâd dalam Ketuhanan Ajaran Islam”
mengatakan bahwa ijtihâd adalah qiyas (al-ijtihâd al-qiyâs). dalam Ijtihâd dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1988),
Konsekuensi Dâri penegasan ini berarti menundukkan semua h. 76.
15
realitas pada nas (Alquran dan Sunnah), atau dengan kata lain, Kelihatannya tidak ada catatan yang pasti sejak kapan
menetapkan suatu hukum atas masalah baru harus dicarikan teori qath’î-dzannî ini diformulasikan secara tegas. Imâm Syâfi’î
rujukannya terlebih dahulu terhadap nas, baru kemudian dicari dalam al-Risâlah-nya belum menggunakan kedua istilah ini.
persamaan ‘illat-nya. Metode istinbat seperti ini terlihat rumit Beliau menggunakan istilah al-bayân, sharîh, dhâhir, mafhûm dan
dan kaku, sehingga sulit diterobos kecuali dengan pendekatan beberapa istilah lainnya. Lihat Muhammad Idrîs al-Syâfi’î, al-
qiyas yang berbasis ‘illat. Muhammad Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, Risâlah, h. 21. Alyasa Abu Bakar, “Beberapa Teori Penalaran Fikih
(Tnp.: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 477. Marzuki Wahid dan Ruhadi, Fiqh dan Penerapannya” dalam Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran
Madzhab Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 132-135. dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 1991), h. 173.
158| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
bahwa teks-teks yang ditinggalkan Umar dan ghanîmah itu didistribusikan, maka akan
adalah yang dzannî dilâlah, tetapi justru terjadi tuan-tuan tanah dan akan menguras
Umar melakukan pemikiran ijtihâd pada sumber pembiayaan negara yang penting yang
masalah-masalah yang sudah jelas dan tegas diperlukan untuk membangun tentara guna
ditunjukkan oleh nas/teks yang qath’î dilâlah. mempertahankan stabilitas wilayah negara.
Dekonstruktif dari konteks ini, teori Keempat, Umar tidak melaksanakan hukum
qath’î-dzannî perlu dibongkar dari persepsi potong tangan terhadap seorang pencuri,
kemapanan yang selama ini banyak ter- seperti ketentuan dalam ayat 38 surat al-
dokumentasikan dalam umumnya literatur Mâidah, dengan argumentasi bahwa pencurian
ushûl fiqh dan fikih. Sebagai contoh dari ijtihâd itu terjadi di saat kondisi perekonomian negara
Umar, pertama mengenai pendistribusian memburuk, yang di dalamnya masyarakat
zakat, khalifah Umar tidak sepenuhnya sedang dilanda musibah kelaparan/paceklik
mengaplikasikan petunjuk ayat 60 surat al- (‘amm al-majâ’ah au ‘aam al-ramâdah).16
Taubah, dan meninggalkan praktik distribusi Mengkritisi beberapa hasil pemikiran
yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah. Umar ijtihâd Umar tersebut dapat ditegaskan
tidak lagi memberikan bagian zakat kepada bahwa Umar tidak bisa dikatakan seorang
al-muallafati qulûbuhum (mereka yang hati mujtahid yang menolak dan meninggalkan
dan kesetiaannya masih perlu perhatian dari teks-teks Alquran dan Sunnah yang jelas dan
kaum Muslimin) dengan argumentasi situasi terinci, tetapi justeru sesungguhnya Umar
dan kondisi sudah berubah. Kedua, Umar mengamalkan dan kembali kepada teks-
telah mengubah pemikiran hukum talak tiga teks Alquran dan Sunnah Rasul, dengan
yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap mengacu pada rûh Alquran wa al-sunnah,
isterinya sekaligus pada suatu tempat, jatuh rûh al-syarî‘ah, atau maqâshid al-syarî‘ah.
semuanya menjadi talak ba’in. Di masa Umar juga ternyata berijtihâd pada dalil-dalil
Rasulullah dan Abu Bakar, dan di masa awal yang bersifat qath’î (qath’î dilâlah) dengan
khalifah Umar sendiri (dua tahun pertama) pendekatan secara substansial makna dan
talak tiga seperti itu hanya dianggap jatuh satu rûh al-syarî‘ah atau maqâshid al-syarî‘ah,
talak saja. Keputusan Umar ini kontradiksi bukan pada tataran ketegasan makna
dengan teks Alquran (surat al-Baqarah [2]: suatu lafaz atau kata bernilai qath’î dan
229) dan sunnah Rasulluah yang sudah jelas tidaknya dalam suatu teks. Umar tampak
dan rinci, dengan argumentasi bahwa melihat membedakan makna ayat-ayat yang bersifat
realitas masyarakat telah terburu-buru dan kondisional-kontesktual, dan mana yang
main-main dalam menceraikan istri (thalâak berifat temporal. Oleh karena itu, ijtihâd
bi al-hazl) yang semestinya mereka dapat Umar yang dipandang kontradiksi dengan
melakukannya dengan secara bertahap. Hal ini Alquran dan Sunnah serta mengabaikan
jika dibiarkan merajalela terjadi di masyarakat kritikan banyak sahabat (ijma’) tidak bisa
berarti membiarkan mereka dalam kehancuran. dipisahkan dari reformulasi ushûl fiqh yang
Ketiga, penolakan Umar untuk membagikan sistematis-metodologis. Artinya, bahwa
tanah jarahan (di Syam, Khaibar dan Irak) sekalipun pemikiran ijtihâd itu menyalahi
dan rampasan perang (ghanîmah) setelah teks-teks Alquran, sunnah, dan ijma’,
penaklukan Syiria, Irak, Mesir dan Khurasan sepanjang hasil pemikiran ijtihâd itu sejalan
kepada tentara Muslim yang ikut berperang, dan relevan dengan substansi tujuan syariat
yang telah ditunjuk oleh teks Alquran surat (maqâshid al-syarî‘ah), maka nyaris dapat
al-Haysr ayat 6-10 (harta fai’) dan ayat 41 dilakukan.
surat al-Anfâl (harta ghanîmah). Kebijakan
Umar ini ditentang oleh banyak sahabat senior 16
Ali Hasbullah, Ushûl al-Tayrî’ al-Islâmi, cet. ke-7,
diantaranya Bilal (mu’adzin Rasulullah) dengan (Qâhirah: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1417 H/1997 M), h. 80-81.
menuduh Umar meninggalkan kitab Allah. Yûsuf al-Qaradlâwi, ‘Awâmil al-Sa’ah wa al-Murûnah fî al-
syarî‘ah al-Islâmiyah, cet. Ke-1, (Qâhirah: Dâr al-Sakhwah, 1406
Menurut pemikiran ijtihâd Umar, jika fai’ H/1985 M), h. 99-102.
Maimun: Reorientasi Ijtihad Kontemporer: Analisis Hukum Islam |159
manusia. Sebagai contoh, ketika partai dimaksud dengan cara menyeleksi pendapat-
PDIP memenangkan pemilu tahun 1999 pendapat mujtahid terdahulu yang dipandang
muncul pandangan di kalangan ulama lebih cocok dan lebih kuat, kemudian
(kyai) Indonesia, sebagian ulama me- menambahkan dalam pendapat itu unsur-
ngatakan bahwa seorang perempuan tidak unsur pemikiran ijtihâd baru, atau baru
boleh menjadi kepala negara (Presiden), sama sekali. Sebagai contoh, Q.s. al-Nisâ
dan sebagian ulama yang lain mengatakan [4]: 3, dalam perspektif mayoritas ulama
boleh perempuan menjadi kepala negara. dan ahli fikih sepakat bahwa boleh menikahi
Kedua pandangan ini sebenarnya sama- wanita lebih dari satu (2, 3, 4 orang wanita)
sama memahami teks hadis shahih yang dengan persyaratan tertentu, lebih dari itu
diriwayatkan oleh Bukhâri, Ahmad haram hukumnya. Kecuali ahli pemikiran
bin Hanbal, Nasâ’i dan Turmudzî dari “kontroversial” (Syi’ah Rafîdlah dan ahli
Abû Bakrah bahwa ketika Rasulullah Dhâhir) yang membolehkan menikahi wanita
mendengar informasi penduduk Persia sampai 9 orang wanita dengan di antara
mengangkat puteri Maharaja Kisra argumentasinya bahwa wâwu pada ayat itu
(Chursu) menjadi pemimpin tertinggi menunjukkan al-wâwu lil-jam’, yang berarti:
menggantikan ayahnya yang terbunuh 2+3+4= 9. Namun demikian, yang menjadi
di tangan para demonstran negeri itu, pemikiran bahwa batas sampai 4 itu apakah
beliau bersabda, “Suatu kaum tidak bersifat abadi ataukah kondisional/temporal?
akan sukses apabila urusannya dipimpin Jika ayat tentang hukum kewarisan saja (al-
oleh perempuan (lay yuflih qaumun Nisâ [4]: 11) perlu dipertimbangkan dalam
wallau amrahum imra’ah)”. Kasus ini tataran praksisnya agar rasa keadilan dapat
sesungguhnya menggugat para pemikir diwujudkan, sebagaimana yang digugat oleh
(mujtahid) untuk mampu melakukan Munawir Syadzali dalam reaktualisasinya,
ijtihâd secara intiqa’i atau tarjîhi, maka bagaimana dengan ayat 3 surat al-
pendapat yang mana yang dipandang Nisâ. Sementara di sisi lain dihadapkan pada
lebih kontekstual, lebih cocok dengan kondisi jumlah penduduk sebuah negara
tuntutan kondisi zaman saat ini. ternyata wanita lebih banyak dari pada pria,
b. Ijtihâd insyâ’i. Dimakudkan dengan misalnya 1: 10.
ijtihâd insyâ’i (ijtihâd kreatif-inovatif ) Di sisi lain pula fakta menunjukkan
ialah mengambil konklusi pemikiran bahwa KH. Basurat dari Sumenep Madura
hukum baru dalam suatu permasalahan, mempunyai 10 orang isteri sekaligus, di-
di mana permasalahan itu belum pernah tempatkan di satu rumah yang memiliki
dikemukakan oleh ulama (mujtahid) kamar 104 kamar, dan luas tanah 14 Ha.
terdahulu, baik masalah itu baru atau Selain dari pada itu, apa sebenarnya yang
lama. Dengan kata lain, pemikiran membedakan antara ketentuan-ketentuan
ijtihâd kreatif-inovatif ini bisa mencakup bidang ibâdah mahdlah dan bidang ibâdah
permasalahan lama (klasik) yang belum mu’amalah. Bila ditelusuri ternyata tidak
pernah didapatkan ketentuan hukum ditemukan satu ayat pun yang membedakan
dari para ulama dahulu (salaf ) kemudian antara keduanya. Bahkan hanya Allah
oleh mujtahid kontemporer ditetapkan memerintahkan kepada orang-orang beriman
ketentuan hukumnya dengan pendapat untuk berhukum kepada ketentuan-ketentuan
yang baru. Allah dan Rasul-Nya.21 Untuk itu, ayat-
Kedua ijtihâd di atas untuk lebih mem- ayat yang terkualifikasi bersifat kondisional/
pertajam lagi pelaksanaan pemikiran ijtihâd
secara maksimal, maka dapat dilakukan
21
penggabungan kedua ijtihâd tersebut. Muhammad ‘Alî al-Shabûni, Rawâi’al-Bayân Tafsîr Ayât
al-Ahkâm min Alquran, jilid ke-1, (Makkah: Dâr al-Fikr, t.t.), h.
Konvergensi ijtihâd intiqâ’i dan insyâ’i, 426-431. Muhammad al-Bâgir, “Otoritas dan Ruang Lingkup
yaitu menyatukan kedua pemikiran ijtihâd Ijtihâd” dalam Ijtihâd dalam Sorotan, h. 159.
Maimun: Reorientasi Ijtihad Kontemporer: Analisis Hukum Islam |161
temporal, maka sangat memungkinkan untuk 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
menjadi lapangan (mâziyah) pemikiran Islam di Indonesia, UU No. 7 Tahun 1989
ijtihâd dalam upaya menggali, menemukan, tentang Peradilan Agama, yang telah diubah
menetapkan dan mengembangkan pemikiran dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
hukum Islam di Indonesia. Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999
tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Bentuk-bentuk Pemikiran Ijtihâd UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Kontemporer Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Sebagai alternatif dan menjadi pemikiran Wakaf, dan UU N0. 21 Tahun 2008 tentang
para ilmuwan kini dan mendatang, tiga Perbankan Syariah.
bentuk pemikiran ijtihâd kontemporer Perundang-undangan tersebut apabila
ditawarkan pula oleh al-Qaradlâwi: dikritisi satu persatu, pasal demi pasal masih
ditemukan kelemahan-kelemahan yang
cukup mendasar. Misalnya dalam UU No.
a. Ijtihâd dalam bentuk perundang- 34 Tahun 1999, belum diatur sanksi bagi
undangan modern. para muzakki yang enggan mengeluarkan
Dalam perkembangannya, ijtihâd kon- zakatnya, hanya baru ada diatur sanksi
temporer pada mulanya terbatas pada bagi pengelola zakat yang lalai dalam
ijtihâd intiqâ’i saja, tetapi dengan semakin menjalankan tugasnya. Begitu juga undang-
menggunungnya isu-isu kontemporer undang yang lainnya. Kelemahan-kelemahan
pemikiran hukum Islam kemudian ber- itu merupakan lapangan pemikiran ijtihâd
kembang pula menjadi ijtihâd insyâ’i. Para bagi para mujtahid untuk mampu menggali
pemikir (mujtahid) semula terbatas pada dan menetapkan hasil ijtihâdnya sebagai
satu pemikiran dan pandangan mujtahid kontribusi bagi penyempurnaan perundang-
mazhab tertentu, kemudian berkembang undangan yang lebih baik dan kontekstual.
kepada semua pemikiran dan pandangan
empat mujtahid mazhab yang terkenal, b. Ijtihâd dalam bentuk fatwa
bahkan sekarang sudah banyak keluar dari
pemikiran dan pandangan empat dan lima Perkembangan faktual produk pemikiran
mujtahid mazhab, dan seterusnya. Namun hukum Islam berupa fatwa mufti atau ulama
demikian, pelaksanaan dari suatu perundang- terus dinamis sejalan dengan perkembangan
undangan dalam suatu negara membutuhkan dan perubahan sosial budaya masyarakat dari
keterlibatan penguasa (pemerintah). Karena masa ke masa. Hal ini ditengarai dengan
itu, ulama dan umara serta para pengambil semakin bermunculan isu-isu kontemporer
kebijakan yang berkompeten harus berjalan pemikiran hukum Islam dalam kehidupan
dan duduk berdampingan, sehingga apapun mayarakat Indonesia yang menggugat
perundang-undangan yang dicanangkannya para mufti atau ulama untuk memberikan
dapat terlaksana dengan baik. penjelasan fatwa keagamaan, seperti isu-
isu kontemporer pemikiran hukum Islam
Dalam konteks ini kaitan dengan tersebut di atas.
positivisasi hukum Islam di Indonesia
tampak semakin berjalan dengan baik. Hal Fatwa dan lembaga fatwa merupakan
ini terlihat dengan diundangkannya UU suatu institusi yang dibutuhkan masyarakat.
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Masyarakat senantiasa menanyakan ketentuan
yang sekarang sedang diajukan RUU proses hukum agama dari pelbagai permasalahan
perubahan yang tentunya disesuaikan hukum yang terjadi kepada para ahli agama
dengan kebutuhan zaman, di antara pasalnya (mufti/ulama) untuk mendapatkan kepastian
menyangkut sanksi bagi pelaku nikah siri, hukum dan tuntunan hidup sehari-hari.
pidana bagi pelaku poligami tanpa izin Di banyak negara di dunia Islam, fatwa
Pengadilan Agama, dan lain-lain, Inpres No. dan lembaga fatwa dijadikan pedoman
162| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
oleh Fathurrahman Jamil dengan tema “Ijtihâd lihatannya senada dengan Muhammad Iqbal
Muhammadiyah dalam Masalah-masalah yang mengatakan perlunya lembaga ijtihâd
Fikih Kontemporer: Studi tentang Penerapan yang independen, dan pelaksanaannya dalam
Teori Maqâshid al-Syarî‘ah” (IAIN Jakarta, bentuk ijtihâd kolektif di era modern. Hanya
1993), yang fokus masalah penelitiannya bedanya, Nasution lebih memberikan otoritas
pada penelusuran metode dan manhaj kewenangannya kepada para ilmuwan secara
Majelis Tarjîh dan Tajdîd Muhammadiyah interdisipliner, sedangkan Iqbal sebaliknya,
dalam mengeluarkan fatwa masalah-masalah tidak memutlakkan otoritas ilmuwan (ulama)
kontemporer dan kecenderungannya terhadap di dalam lembaga ini, ia mengharuskan
pemikiran mazhab tertentu. “Konsep Ijtihâd diikutsertakannya orang yang awam tentang
MUI dalam Pengembangan Hukum Islam.” hukum Islam tetapi mempunyai pandangan
Selain itu, Disertasi ditulis oleh Helmi Karim tajam terhadap permasalahan masyarakat.26
(IAIN Jakarta, 1993) yang memfokuskan Di Indonesia, keberadaan MUI tidak bisa
masalah penelitiannya pada pembahasan dilegalisir sebagai lembaga ijtihâd yang kita
sejauh mana ijtihâd MUI berpengaruh maksudkan, karena kemunculan berdirinya
terhadap perkembangan hukum Islam. MUI dan produk-produk pemikiran
fatwanya seperti disinyalir oleh M. Atho
Bentuk Lembaga Ijtihâd Mudzhar dalam tulisan hasil penelitiannya
Untuk mewadahi semua kegiatan ijtihâd adalah sangat politis. Karena itu fatwa-fatwa
tersebut di atas, perlu dibentuk sebuah yang dikeluarkannyapun nyaris sarat dengan
lembaga ijtihâd yang otoritatif, independen, kepentingan politik.27 Untuk itu, sekarang
terbuka, dan profesional. Gagasan dan dan di masa yang akan datang bagi bangsa
pemikiran pembentukan lembaga ijtihâd Indonesia masih sangat diperlukan berdirinya
ini sebenarnya telah diangkat ke publik pada sebuah lembaga ijtihâd yang representatif.
tahun 1980-an oleh Harun Nasution, tetapi
belum mendapat respon positif dan “gayung Penutup
bersambut” dari semua kalangan, sehingga Dalam penutup ini dapat ditegaskan
sampai saat ini Indonesia belum berdiri dan bahwa, reoreintasi kajian pemikiran ijtihâd
memiliki lembaga dimaksud. kontemporer yang bertolak dari “pintu ijtihâd
Menurut Nasution bahwa dewasa ini senantiasa terbuka dan tidak ada seorang
sebenarnya yang paling diperlukan di dunia pun yang berhak menutupnya,” tidak lain
Islam bukanlah lembaga ijtihâd kolektif merupakan refleksi dari dinamika pemikiran
yang bersifat internasional, tetapi lembaga hukum Islam yang direlevansikan dengan
ijtihâd kolektif yang bersifat nasional. Sebab, pergeseran, perubahan, perkembangan dan
masalah-masalah keagamaan yang muncul kebutuhan kehidupan mayarakat modern.
di zaman kemajuan ilmu pengetahuan Karena itu secara teknis, diperlukan akselerasi
dan teknologi ini tidak sama, di samping pemikiran ijtihâd, paradigma, pola pikir,
beragamnya penafsiran dan pengamalan metodologi dan strategi penyelesaian
agama di negara-negara Islam yang beraneka setiap masalah yang dihadapi, sehingga
ragam itu. Karena itu yang lebih berwenang permasalahan apapun yang mengemuka
untuk memahami dan mencari penyelesaian dapat dikontekstualisasikan dengan tepat
atas sesuatu masalah, yang sesuai dengan sasaran dan baik. Ijtihâd sebagai aktivitas dari
keadaan umat Islam bersangkutan, ialah
lembaga ijtihâd kolektif masing-masing ke-2, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 22.
negara.25 Gagasan dan pemikiran ini ke- 26
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Thought Religious
in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 173.
27
Atho Mudzhar, “Fatwa Majelis Ulama Indoneia:
25
Harun Nasution, “Ijtihâd Sumber Ketiga Ajaran Islam” Tinjauan Legalitas Syari dan Politik” dalam Pesantren, No. 2,
dalam Ijtihâd dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1988), Vol. VII, 1990, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren
h. 115. Lihat pula, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid dan Masyarakat (P3M), 1990, h.80.
164| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
pemikiran hukum Islam yang membawa misi Mimbar Hukum dan Peradilan, No.
“rahmatan li al-âlamîn” tentunya pemikiran- 68, Februari 2009, Jakarta: Pusat
pemikiran hukum itu dapat di-“bumi’-kan, Pengembangan Hukum Islam dan
senantiasa dinamis, fleksibel, relevan di segala Masyarakat Madani (PPHIMM), 2009.
zaman dan sekaligus mampu menjawab Mubarak, Jaih, Modifikasi Hukum Islam, Studi
tantangan dan perubahan zaman modern tentang Qaul Qadîm dan Qaul Jadîd,
hatta yaum al-qiyâmah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Majah, Ibn, Sunân ibn Mâjah, Mesir: Isa
al-Bâbi al-Halabi, t.t.
Pustaka Acuan Mandzûr, Ibn al-Afriqi al-Misri, Lisân al-‘Arab,
Amîn, Ahmad, Dhuhâ al-Islâm, Qâhirah: Bayrut: Lithibâ’ah wa al-Nasyr, 1955.
Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Mudzhar, Muẖammad Atho, “Fatwa Majelis
1974. Ulama Indonesia, Tinjauan Legalitas
Amidî, Saefuddin, al-Ihkâm fî Ushûl al- Syar’i dan Politik” dalam Pesantren,
Ahâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. No. 2, Vol. VII, Jakarta: Perhimpunan
Bakar, Alyasa Abû, “Beberapa Teori Penalaran Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
Hukum Islam dan Penerapannya” dalam (P3M), 1990.
Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
dan Praktik, Bandung: PT Remaja Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1984.
Rosdakarya, 1991. Rahmân, Fazlur, Islamic Methodology in
Bâqir, Muẖammad, “Otoritas dan Ruang History, terj. Ana Mahyuddin, 1983.
Lingkup Ijtihâd” dalam Pintu Ijtihâd Ruhadi, Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab
dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988. Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Dawûd, Abû, Sunân Abî Dawud, Mesir: Shâbuni, Muẖammad ‘Alî, Rawâi’ al-Bayân
Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1952. Tafsîr Ayât al-Ahkâm min Alquran,
Hasbullah, ‘Alî, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmi, Makkah: Dâr al-Fikr, t.t.
Qâhirah: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1997. Sya’ban, Zâkiyuddin, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi,
Hasan, Ahmad, The Early Development of Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1965.
Islamic Yurisprudence, terj. Agus Garnadi, Syâfi’î’, Muẖammad Idrîs, al-Risâlah, Tnp.:
Bandung: Penerbit Pustaka, 1984. Dâr al-Fikr, t.t.
Huda, Ni’matullah, Lembaga Negara dalam Qaradhâwi, Yûsuf, ‘Awâmil al-Sa’ah wa al-
Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Murûnah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, cet.
UII Press, 2007. Ke-1, Qâhirah: Dâar al-Sakhwah, 1985.
Husen, Ibrahim, “Beberapa Catatan tentang _______, al-Ijtihâd fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah
Reaktualisasi Hukum Islam” dalam ma’a Nadharat Tahlîliyyah fî al-Ijtihâd
Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun al-Mu’ashir, terj. Ahmad Syatori, Jakarta:
Munawir Syadzali, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang, 1987.
Wakaf Paramadina, 1995. Yafie, ‘Ali, “Posisi Ijtihâd dalam Ketuhanan
Iqbal, Muẖammad, The Reconstruction of Ajaran Islam” dalam Ijtihâd dalam
Thought Religious in Islam, New Delhi: Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.
Kitab Bhavan, 1981. Zahrah, Muẖammad Abû, Ushûl al-Fiqh,
Jauziyah, ibn Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în Mesir: Dâr al-Fikr, 1958.
‘an Rabb al-‘Alamîn, Bayrut: Dâr al- Zaid, Musthafâ, al-Mashlahah fî al-Tasyrî’
Jael, t.t. al-Islâmi wa Najmuddin al-Thûfî, cet.
Ka’bah, Rifyal, “Lembaga Fatwa di Indonesia ke-2, Qâhirah: Dâr al-Fikr al-‘Arabi,
dalam Kajian Politik Hukum” dalam 1964.