Anda di halaman 1dari 9

Urgensi Kriminalitas Contempt of Court Guna Mencapai Efektivitas Pelaksanaan Putusan

Peradilan Tata Usaha Negara

Essay ini di buat guna melengkapi tugas matkul Kapita Selektas HAN yang di ampu oleh ibu;

Dr. Ristina Yudhanti, S.H.,M.H.

Oleh

FEBRIANI AYU LESTARI

8111420557

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


MEMBUAT ESSAY TERKAIT:

Urgensi Kriminalitas Contempt of Court Guna Mencapai Efektivitas Pelaksanaan Putusan


Peradilan Tata Usaha Negara

Febriani Ayu Lestari

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstat) sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan pasal 1
ayat (3) UUD NRI tahun 1945. Hakikat negara hukum yakni mengedepankan sistem kepastian
hukum (Rechts Zekerheids) dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (Human Rights).
Dalam negara hukum sendiri juga harus menjamin kesetaraan bagi setiap individu
masyarakatnya, termasuk kebebasan individu untuk menggunakan hak-hak dasar mereka. Inilah
kondisi yang terjadi, kerena rule of law lahir dari perjuangan individu untuk membebaskan
dirinya dari tindakan tirani atau kesewenangan penguasa dalam artian di sini adalah pemerintah.
Atas dsar ini, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan
kekuasaannya harus di batasi. Karena tidak di benerakan apabila kesewenang-wenangan terjadi
atas nama kekuasaan negara dan tidak boleh merugikan hak-hak rakyat. Unsur negara hukum
(Rechsstat) menurut Friedrich Julius Sthal, selain perlindungan hak asasi manusia , pemisahan
atau pembagian hak untuk mengamankan hak-hak itu dan pemetintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan adalah adanya pengadilan tata usahan negara dalam menyelesaiakn
sengketa penguasa yang ada.

Secara umum kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) suatu negara sejalan dengan
sistem hukum yang dianutnya. Sistem hukum ini dapat dikelompokan menurut jenis hukum
induknya (parents legal system) atau sistem hukum uatamanya (major legal system) seperti
halnya sistem civil law juga di sebut juga dengan sisten hukum continental sistem terkodifikasi
atau dengan negara dengan istilah negara rechstaat dan hukum negara common law, juga di sebut
dengan sistem hukum anglo saxon sistem preseden atau istiah negara hukum rule of law. Adapun
negara-negara yang ciri-cirinya menedekati hukum induk secara sepintas dapat dikatan masuk
dalam sisten negara tersebut. Negara Indonesia sendiri telah menyatakan bahwa dirinya tersebut
adalah negara hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”
perlu di ketahui UUD ini telah di amandemen sebanyak tiga kali.

Banyak ahli hukum Indonesia percaya bahwa Indonesia mempunyai konsep negara hukum
tersendiri yaitu negara hukum pancasila yang berbeda dari civil law (rechstaat) maupun common
law (rule of law). Diskusi dan perdebatan ini terhadap bentuk negara huku Indonesia selama ini
tidak sampai menyoroti secara khusus masalah struktr orgenisasi kekuasaan terutama kedudukan
PTUN merupakan salah satu ciri dari negara hukum rechtsstaat.
Di Indonesia sendiri PTUN merupakan bagian dari peradilan yang terdiri dari struktur organisasi
di bawah Mahkamah Agung dan tidak berdiri sendiri seperti di negara-negara dengan sistem
hukum civil law pada umumnya. Karena di bawah naungan Mahkamah Agung maka pembinaan
teknis sistem peradilan, organisasi, administrasi dan keuangan mahkamah di lakukan oleh
Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usa Negara bukan pengadilan independen di luar yuridiksi
pengadilan, sehingga sistem penyelesaian sengketa tata usaha negara mengikuti mode
penyelesaian sengketa perdata yang mengakui dan mengikuti pola penyelesaian pengadilan
tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Sekilas peradilan di Indonesia
mengikuti sistem Unity Of Jurisdiction karena Peradilan Tata Usaha Negara di pimpin Oleh
Mahkamah Agung, artinya sengketa tata usaha negara di selesaikan oleh lembaga peradilan
murni (kekuasaa kehakiman), hanya saja di tingkat pertama dan tingkat banding di pisahkan
Seolah-olah merupakan lembaga independen yang terpisah. Di sisi lain, asas-asas PTUN lebih
cenderung memiliki kesamaan dengan dengan Civil Law terutama asas menempatkan pejabat
pemerintah khusus di hadapan pengadilan.

Peradilan administrasi atau PTUN ada untuk mengendalikan tindakan sewenang-wenang negara.
oleh karena itu, tujuan di bentuknya pengadilan Tata Usaha negara (PTUN) menurut Prajudi
Atmosudirjo adalah untuk melindungi masyarakat yang kepentingan sahnya sering di tekan atau
di paksa oleh campur tangan pemerintah yang lebih luas ke dalam kehidupan masyarkat. Melalui
PTUN, masyarakat dapat menggugat pemerintah dan meminta upaya hukum dari PTUN.
Sayangnya, implementasi keputusan PTUN memerintahkan tindakan korektif ini tidak
sepenuhnya di ikuti oleh kepatuhan pejabat TUN yang terhukum.

Kerena dalam prakteknya dalam pengadilan tata usaha negara dalam menindak pejabat negara
yang bersengketa masih ada pejabat negara atau pemerintah yang masih melakukan perbuatan
tercela atau contempt of court. Berdasarkan referensi Naskah Akademis Penelitian contempt of
court 2002 terbitan Puslitbang hukum dan peradilan Mahkamah Agung RI, adalah sebagai
berikut;

 Berperilaku tercela dan tidak pantas di depan pengadilan


 Tidak menaati perintah-perintah yang ada di pengadilan
 Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan
 Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan
 Perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang di lakukan dengan cara
pemberitahuan atau publikasi.

Kemudian pada tahun 2017 di perkirakan lebih dari 15.000 laporan di antara itu terkait dengan
tidak di eksekusianya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini dapat terjadi
karena di sebabkan Undang-undang no.5 tahun 1986 peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun)
yang menganut sistem self respect yakni suatu sistem dimana suatu putusan Peradilan Tata
Usaha Negara oleh pejabat TUN bergantung pada budaya hukum si pejabat. Proses pelaksanaan
putusan pengadilan TUN setelah undang-undang nomor 5 tahun 1986 diubah dengan undang-
undang nomor 51 tahun 2009, lebih menunjukan penggunaan sistem penegakan tetap, yaitu
tindakan penegakan yang dapat di paksakan oleh pengadilann dan jika tidak di laksanakan
pejabat yang terlibat akan di kenakan pembayaran paksa berupa pembayaran paksa sejumlah
uang dan atau di kenakan tindakan penegakan sanksi administrative (pasal 116 ayat (4). Jika
masih belum di terapkan, maka akan di umumkan pada pada media cetak local setempat oleh
panitera pada pasal 116 ayat 5. Selain publikasi di pers ketuan pengadilan juga harus
mengajukan hal tersebut kepada presdiden sebagai otoritas tertinggi dalam pemerintahan untuk
memerintah pelaksanaan putusan pengadilan pejabat yang di maksud. Kemudain kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk melaksanakan fungsi pengawasan (pasal 116 ayat 6).

Untuk menanggulangi kesewenangan yang di lakukan oleh pejabat pemerintah dalam peradialan
Tata Usaha Negara maka perlu di laksanakan kebijakan kriminalisasi Contemp of Court guna
untuk mencapai efektivitas pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara.

A. Faktor Apa saja yang menyebabkan kurangnya efektivitas pelaksanaan Putusan


Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi).

Peranan peradilan Tata Usaha Negara dalam praktik penyeleseain sengketa “Administrasi
pemerintahan” di Indonesia di sebabkan oleh tidak adanya lembaga eksekutif, serta landasan
hukum yang kokkoh yang membuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai
daya paksa. Undang-undang dalam PTUN tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai daya
paksa putusan PTUN, sehingga pelaksanaan putusan sangat bergantung pada itikad baik dari
badan tata usaha negara atau pejabat tata usaha negara tersebut dalam menaati hukum. Situasi
ini cukup mengkhwatirkan karena prinsip akan adanya peradilan Tata Usaha Negaea untuk
menempatkan kontrol hukum atas pemerintahan menajdi kehilangan makna dalam sistem
birokrasi ketatanegaraan Indonesia.

Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan kurang efektivnya terhadap pelaksanaan
putusan peradilan tata usaha negara adalah sebagai berikut;

1. Eksekusi hukuman dalam hal ini berada di tangan terdakwah sendiri, atau dengan
kata lain terdakwah harus bersikap lunak dalam melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Bahwa belum ada aturan yang mengatur soal hasil pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan putusan pengadilan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di lapangan.
Oleh karena itu, dengan kata lain, otoritas kehakiman Tata Usaha Negara tidak
mengetahui apakah putusan tersebut telah di laksanakan atau tidak, bahkan dari
kesimpulan pembuat laporan tersebut hanya mengandalkan laporan terdakwah
yang melalui telepon atau pada saat pelengkapan berkas untuk pelaksanaan
eksekusi putusan tersebut.
3. Minimnya kesadaran tergugat dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim
guna terciptanya keadilan dam keseimbangan hukum.
4. Tidak ada eksekutif khusus atau otoritas sanksi untuk menegakan keputusan
5. Contempt of court di perlukan dalam meningkatkan kewibawaan Peradilan Tata
Usaha Negaa.

Kemudian solusi yang dapat di gunakan untuk mengurangi dan menghilangkan tindakan
sewenang-wenang pejabat negara adalah dengan mengefektifkan upaya hukum tata negara,
upaya hukum administrasi, upaya perdata serta upaya hukum pidana. Di dalam hukum tata
negara sendiri selain upaya yang berkesinambungan dengan hubungan hirarki, yang utama
adalah uapaya yang melalui mekanisme kontrol yudisial. Dalam upaya hukum administrasi
terhadap pejabat yang sewenang-wenang dapat di lakukan sanksi yakni sanksi administrasi yang
mana terdapat dalam UU Peradilan Tata Usaha negara. Jenis sanksi yang dapat di lakukan adalah
pemberhentian dari jabatan. Namun bilamana putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
dapat di lakukan maka dapat di ganti menggunakan upaya hukum perdata yakni pembayan uang
paksa. Padahal dalam hukum pidana upaya paksa dapat meningkatkan efektivitasnya peradilan
Tata Usaha Negara dengan ketentuan pasal yang digunakan adalah pasal 216 KUHP. Namun
ketentuan pemidanaan tersebut tidak pernah di terapkan sebagai upaya paksa dalam putusan di
pengadilan Tata usaha negara. oleh karena itu, keberadaannya harus di tekankan dan di tegaskan
dengan melalui Kriminalisasi Contemp of Court.

Secara bahasa contempt of court dapat di pahami sebagai tindakan pelanggaran, delik, dan
penghinaan terhadap peradilan. Melansir dalam Black’s Law Dictionary di sebutkan bahwa
Contemp of Court adalah “Contempt of court is any act which is calculted to embarass,
hinder,or obstruct court in administration of justice or which is calculated to lesson its
authority or its dignity” . Dalam Contempt of Court ini dapat di uraikan sebagai berikut;

1. Suatu tindakan dianggap memalukan , menghalangi atau menghambat pengadilan


dalam mengelola penyelenggaran pengadilan sebagai bentuk mengurangi
martabatat serta kewibawaan.
2. Peraturan terkait Contempt of Court ini bertujuan untuk menegakan serta
menjamin proses pengadilan agar berjalan tanpa adanya rongrongan dari berbagai
pihak misalnya, pihak yang terlibat pada proses peradilan, media pers, maupun
pejabat pengadilan tersebut.
3. Mengenai Contemp of Court ini di atur dalam Undang-undang nomor 14 tahun
1985 tentang mahkamah agung butir (4) alinea ke-4 di sebutkan bahwa “
selanjutnya agar dapat menajmin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna untuk menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila, maka perlu di buat undang-undnag yang mengatur terkait,
perkataan, perbuatan, tingkah laku, sikap yang dapat merendahkahkan ataupun
merongrong kewibawaan, martabat, kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai contemp of court.
B. Urgensi Penyelesaian dari adanya Kebijakan Contemp of Court guna mendorong
efektivitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dari penjelasan sebelumnya terkait Contemp of Cout menurut Blac’k Law Dictionary mengenai
Contemp of Court ada juga pranata Contemp Of Court berdasarkan UU peraturannya tersendiri.
Yang mana telah tersirat dalam pasal 69 UU Peratun jo pasal 217 KUHP mengatur bahwa setiap
orang yang hadir di ruang sidang wajib menunjukan sikap, perilaku, tingkah laku, dan perkataan
yang menjungjung tinggi kekuasaan, martabat, kehormatan pengadilan dengan menaati tata tertib
persidangan. Jika mana seseorang tidak dapat menaati tata tertib atau peraturan persidangan
maka dapat berakibat pada penuntutan, apabila pelanggaran tersebut merupakan tindakan pidana.
Dengan demikian, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya berarti dapat dilakukan pada pejabat
TUN yang secara konkret dan dengan sikap buruk atau sewenang-wenang tidak bersedia
melaksanakan putusan Tata Usaha Negara untuk di kenakan pemidanaan, baik dalam bentuk
kurungan, penjara maupun denda. Namun ketentuan pasal 69 KUHP jo pasal 217 KUHP ini
masih sangat sumir jika di gunakan untuk menambah daya paksa untuk pelaksanaan putusan-
putusan peradilan pada umumnya dan untuk putusan-putusan Peradilan Tata Usaha Negara pada
khususnya.

Dalam kriminalisasi contemp of court kepada pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan
pengadilan tata usaha negara dapat di lakukan dengan tiga opsi yakni;

1. Dengan mengubah Undang-undang peradilan tata usaha negara dengan


menambahkan ayat tentang ancaman sanksi terhadap pejabat TUN yang lalai
melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara yang sudah inkracht.
2. Melakukan revisi KUHP dimana juga di masukan dalam kaitannnya dengan
putusan pengadilan yang lalai masuk dalam contemp of court.
3. Melalui undang-undang khusu terkait contemp of court.

Secara asumtif di perlukan undang-undang khusus mengingat sifat dan kekhususan perbutan
contemp of court serta jenis hukum yang lebih beragam dari pada pidana umum. Selain itu juga,
hukum acara dan lembaga penegak hukum yang menanganinya ( satuan polisi keamanan
peradilan sebgai penyidik layanan public) juga secara khusus di perlukan agar efektif dalam
menekan contemp of court. Dalam konteks ini, hukum contemp of court yang akan datang (ius
consuentum) memiliki legalitas untuk di daulat sebgai lex spesialis. Peraturan terkait
kriminalisasi yang tidak patuh terhadap putusan pengadilan ini berguna untuk mendorong
kembalinya martabat sistem peradilan di Indonesia pada khususnya, dan pada dasarnya untuk
menegakkan hak-hak supremasi hukum di Indonesia.

Urgensi kriminalisasi pejabat tata usaha negara yang tidak mau melaksanakan putusan
pengadilan TUN maka dapat masuk masuk dalam karakteristik contemp of court. Dalam
menentukan urgensi kriminalisasi contemp of court, perlu memperjatikan adanya kriteria umum
yang di tetapkan oleh Simposium Reformasi Hukum Pidana Nasional tahun 1980 di Semarang,
yakni; 1) apakah tindakan tersebut di benci atau tidk di sukai masyarakt karena merugikan atau
mungkin dapat menimbulkan korban jiwa, 2) bisa dapatkah biaya mengkriminalisasi sama
dengan hasil yang akan di capai, artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan
penegakan hukum, serta beban yang di tanggung oleh korban pelaku dan pelaku kejahatan
tersebut harus seimbang dengan situasi ketertiban umum yang perlu di penuhi, 3) apakah akan
dapat menambah beban aparat penegakak hukum yang tidak seimbang atau tidak dapat di
lakukan dengan kemampuan yang dimilikinya, 4) apakkah tindakan tersebut mengahalangi cita-
cita bangsa sehingga berbahaya bagi seluruh masyarakat. Hal inilah yang dapat menajdi upaya
dalam penanggulangan Contemp of Court.

Salah satu dampak dari bentuk kesewenang-wenangan atau tidak taat terhadap pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara adalah menurunya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga pemerintahan dan peradilan pada khususnya serta aparatur negara secara umum.
Apabila hal ini dalam artian kesewenang-wenang pejabat TUN maka kewibawaan peradilan akan
menurun. Padahal eksistensi pengadilan tata usaha negara dalam konteks negara hukum sangat
penting dalam melindungi hak-hak masyarakat dari kesewenang-wenangan yang di lakukan oleh
pejabat tata usaha negara. Maka dengan ini di perlukan kriminalisasi cotemp of court dalam
bentuk denda dwangsom dan pidana dalam pelaksanaan pengadilan Tata Usaha Negara.

Kesimpulan

Maraknya bentuk kesewenang-wenangan oleh pejabatan tata usaha negara di Indonesia dapat
menyebabkanlunturnya kepercayaan masyarakat akan bentuk tindakan yang di lakukan oleh
pejabat TUN. Kemudian adanya Peradilan administrasi atau PTUN ada guna untuk
mengendalikan tindakan sewenang-wenang negara. oleh karena itu, hal tersebutlah yang
menjadi tujuan di bentuknya pengadilan Tata Usaha negara. Namun kenyataannya banyak
pejabat negara yang bersengketa melakukan kesalahan atau perbutan tercela atau contemp of
cort, bentuk-bentuk contemp of court ini antara lain adalah; Berperilaku tercela dan tidak pantas
di depan pengadilan, Tidak menaati perintah-perintah yang ada di pengadilan, Menyerang
integritas dan impartialitas pengadilan, Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan,
Perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang di lakukan dengan cara pemberitahuan atau
publikasi. Maka dengan ini di perlukan kriminalisasi cotemp of court dalam bentuk denda
dwangsom dan pidana dalam pelaksanaan pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut di
lakukan, agar pejabat Tata Usaha Yang akan bersewenang-wenang akan berpikir ulang
melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Dani, Umar. “Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia: Sistem Unity of
Jurisdiction Atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi Tentang Struktur Dan Karakteristiknya /
Understanding Administrative Court in Indonesia: Unity of Jurisdiction or Duality of Jurisdiction
System? A Study of Hierarchy and Characteristic.” Jurnal Hukum Dan Peradilan 7, no. 3 (2018):
405. https://doi.org/10.25216/jhp.7.3.2018.405-424.

Hasana, Sovia. “Contempt of Court Dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.” Hukum online. com, 2017.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/icontempt-of-court-i-dan-pelaksanaan-putusan-pengadilan-
lt58a2c071e71a1.

Khairo, Fatria, Abstrak Pada, Pengadilan Tata, Usaha Negara, Pelaksanaan Putusan Pera-, Peradilan Tata,
Usaha Negara, et al. “Urgensi Contempt of Court Dalam Meningkatkan Wibawa” 4 (2017): 597–
604. http://lexlibrum.id/index.php/lexlibrum/article/download/96/pdf.

Soleh, Mohammad Afifudin. “Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang
Berkekuatan Hukum Tetap.” Mimbar Keadilan, 2018, 18–46.
https://doi.org/10.30996/mk.v0i0.1604.

Suhariyanto, Budi. “Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court Untuk Efektivitas Pelaksanaan Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 192.
https://doi.org/10.31078/jk16110.

Anda mungkin juga menyukai