Anda di halaman 1dari 9

Urgensi Kriminalitas Contempt of Court Guna Mencapai Efektivitas Pelaksanaan Putusan

Peradilan Tata Usaha Negara

Essay ini di buat guna melengkapi tugas matkul Kapita Selektas HAN yang di ampu oleh ibu;

Dr. Ristina Yudhanti, S.H.,M.H.

Oleh

JOAN MANUEL VISCHA

8111420557

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


MEMBUAT ESSAY TERKAIT:

Urgensi Kriminalitas Contempt of Court Guna Mencapai Efektivitas Pelaksanaan Putusan


Peradilan Tata Usaha Negara

Joan Manuel Vischa

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Indonesia adalah negara yang taat hukum yang ditandai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD
NRI 1945. Hakikat negara hukum memelihara ketertiban hukum yang menjamin keamanan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia (rechts zekerheids). Negara Konstitusi Harus
Menjamin Kesetaraan dari semua individu, termasuk kebebasan individu untuk menggunakan
hak-hak dasarnya. Ini merupakan prasyarat karena rule of law dari UU bermula dari perjuangan
pembebasan dari ikatan pribadi dan kesewenang-wenangan penguasa. Berdasarkan hal ini,
penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya harus
dibatasi. Selain itu penguasa dilarang melakukan kesewenang-wenangan atas nama kekuasaan
negara dengan mengorbankan hak-hak warga negara dan masyarakat.

Unsur-unsur negara hukum menurut Friedrich Julius Stahl melayani perlindungan hak asasi
manusia, pemisahan kekuasaan, jaminan hak-hak ini, dan pemerintahan di bawah hukum dan
peraturan. Ajakan tersebut adalah adanya pengadilan tata usaha negara untuk menyelesaikan
sengketa tersebut. Pengadilan tata usaha negara yang mengatur kesewenang-wenangan negara.
Oleh karena itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo, tujuan didirikannya Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) adalah untuk melindungi warga negara yang kepentingan hukumnya sering
tertindas atau tertindas oleh campur tangan penguasa yang lebih luas terhadap kehidupan
masyarakat. Melalui PTUN, masyarakat dapat menuntut pihak berwajib dan memperoleh
tindakan korektif dari PTUN. Sayangnya, penegakan putusan PTUN yang memerintahkan
tindakan korektif tidak selalu sejalan dengan terpidana petugas TUN.

Banyak ahli hukum Indonesia percaya bahwa Indonesia mempunyai konsep negara hukum
tersendiri yaitu negara hukum pancasila yang berbeda dari civil law (rechstaat) maupun common
law (rule of law). Diskusi dan perdebatan ini terhadap bentuk negara huku Indonesia selama ini
tidak sampai menyoroti secara khusus masalah struktr orgenisasi kekuasaan terutama kedudukan
PTUN merupakan salah satu ciri dari negara hukum rechtsstaat.

Masalah ketidakpatuhan terhadap putusan dan/atau akreditasi PTUN Tidak hanya terletak pada
tidak adanya Peraturan Penegakan Tentang peraturan atau tindakan penegakan yang tidak jelas,
tetapi juga pada lembaga mana yang harus memastikan pelaksanaan putusan tersebut. Jika jelas
dan pelaksana atau badan terkait yang bertanggung jawab untuk melaksanakan putusan
pengadilan, yaitu kejaksaan, ditetapkan berwenang. Korban yang menjadi korban akibat
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, baik perorangan, masyarakat maupun badan hukum, kini
memiliki Hak eksplisit di satu sisi dan pengadilan di kejaksaan di sisi lain, Anda punya hak
untuk mengarahkan. Putusan tersebut menggunakan pelaku yang mencegah atau tidak mematuhi
pelaksanaan putusan. Bertentangan dengan pelaksanaan putusan Pengadilan TUN, pengadilan
hanya dapat menerapkan beberapa tindakan pemaksaan, dan pada akhirnya, jika terpidana tidak
mengabaikannya, seperti ancaman penjara atau hukuman badan, tindakan di atas tidak dapat
dilakukan.

Penegakan hukum perkara TUN tidak diatur secara normatif dan tidak dapat ditegakkan dengan
ancaman hukuman. Mengingat bahwa hukum pidana adalah alat utama, itu segera dilihat sebagai
alat untuk meningkatkan efektivitas.

Pelaksanaan putusan pengadilan TUN. Mengingat ketidakpatuhan pejabat pemerintah negara


bagian dalam melaksanakan putusan pengadilan merupakan bagian dari upaya melawan
peradilan, maka peradilan adalah konsep negara hukum. Dengan kata lain, pembangkangan
sebenarnya mendistorsi otoritas negara dan juga mendistorsi hukum. Apalagi aparat pemerintah
yang seharusnya mencontoh rasa keadilan dalam masyarakatnya justru melanggar hukum dan
mengabaikan dampak keberadaan hak asasi manusia terhadap warga negara dan masyarakat.
Dalam konteks ini, hak konstitusional warga negara dibatasi.

Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU Peratun) sangat bertumpu pada budaya hukum pegawai negeri sipil yang telah
divonis bersalah atas putusan/putusan PTUN oleh Pejabat PTUN. Pelaksanaan putusan
Pengadilan TUN berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009, Penggunaan sistem penegakan tetap, yaitu penegakan yang
penegakannya dapat dilakukan oleh pengadilan , jika tidak ditegakkan, para pihak dikenakan
kewajiban pembayaran berupa denda dan/atau sanksi administratif. (Pasal 116 (4)). Jika belum
dilaksanakan, akan diumumkan oleh pencatat di media massa cetak lokal (Pasal 116 (5)).
Hakim ketua pengadilan menyampaikan hal ini kepada Presiden selaku Pemerintah Tertinggi,
memerintahkan penguasa untuk melaksanakan putusan pengadilan, dan menjalankan fungsi
pengawasan selain pemberitahuan media massa cetak. badan perwakilan rakyat (Pasal 116 (6)).

Dalam beberapa kasus kelalaian penyelenggara negara dalam melaksanakan putusan Kehakiman
TUN, kontroversi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmine, misalnya di Bogor, bersifat final
dan mengikat sampai putusan (In Kracht). PutusanMahkamah Agung 127/PK /TUN/2009 pada
tanggal 9 Desember 2010 sangat sulit dipahami. Kenyataannya, kegagalan untuk melaksanakan
keputusan administratif yang telah berkekuatan hukum tetap, menunjukkan arogansi kekuasaan
atas hukum. Harus ada banyak pertanyaan tentang "Taring" wajib dalam menegakkan keputusan
hukum TUN, yang kemudian mengarah pada Pomeo "Harimau Tak Bergigi". Jika ini dibiarkan
berlarut-larut, mulai mempertanyakan integritasnya dengan hukum negara yang ditujukan untuk
mengatasi kekuasaan yang sewenang-wenang. Kriminalisasi terhadap penentangan terhadap
pelaksanaan contempt of court dalam bentuk contempt of court Layak untuk dipertimbangkan.
Karena program legislatif nasional mencakup pengenalan contempt of court, maka sangat tepat
untuk mengatur wanprestasi keputusan pengadilan (termasuk TUN) dan mengancam tuntutan
pidana.

Untuk menanggulangi kesewenangan yang di lakukan oleh pejabat pemerintah dalam peradialan
Tata Usaha Negara maka perlu di laksanakan kebijakan kriminalisasi Contemp of Court guna
untuk mencapai efektivitas pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara.

A. Faktor Apa saja yang menyebabkan kurangnya efektivitas pelaksanaan Putusan


Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi).

Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu keseimbangan yang serasi
dan serasi antara perangkat di bidang hukum dan anggota masyarakat. Membentuk satu
kesatuan yang utuh dan manajemen negara. Koneksi. Dalam mewujudkan tatanan kehidupan
yang berdaya guna, berhasil guna, dan bersih melalui pembangunan lebih lanjut penyelenggaraan
pemerintahan, peralatan dan perlengkapan nasional, dan secara bertahap mencapai kemandirian
melalui pembangunan nasional. Karena semangat dan sikap mereka terhadap alat dan
pengabdian masyarakat yang saya inginkan, mereka selalu mengandalkan hukum untuk
memenuhi kewajibannya. Kuntoro Purbopranoto, anggota Komunitas, saya katakan umumnya
tergantung pada pemenuhan tugasnya. Instruksi dan keputusan dari pejabat negara. Tugas
mengurus kepentingan umum dapat berupa Pegawai negeri sipil (PNS) atau instansi pemerintah
yang berwenang menyatakan  Berdasarkan undang-undang (bestuurorgaan=
administratieforgan). Diimplementasikan Pemerintah / Kehendak Berdaulat (openbaar gezag).
Tugas mengurus kepentingan umum dapat berupa Pegawai negeri sipil (PNS) atau instansi
pemerintah yang berwenang menyatakan  Berdasarkan undang-undang(bestuurorgaan=
administratieforgan). Diimplementasikan Pemerintah / Kehendak Berdaulat (openbaar gezag).

Secara umum, badan atau badan TUN adalah badan atau badan yang menjalankan operasi
pemerintahan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dalam perkembangannya, wewenang
atau pejabat yang ditunjuk sebagai TUN tidak ditentukan oleh fungsi yang dijalankan, yaitu
penetapan hari atau kedudukan strukturalnya dalam lingkungan kekuasaan negara dalam rangka
pelaksanaan misi Pemerintahan. Dalam menjalankan misi untuk menjalankan fungsi
pemerintahan, dapat timbul konflik antara pegawai negeri sipil dengan lembaga TUN atau
pegawai negeri sipil, yang dapat merugikan atau menghambat kemajuan pembangunan nasional.
Esensi keberadaan PTUN adalah suatu bentuk yurisdiksi administratif yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa atau sengketa di bidang TUN, khususnya antara warga negara negara
dengan staf TUN. Pokok kontroversi PTUN adalah Keputusan Pengurus (KTUN) yang
dikeluarkan oleh pejabat TUN, yang pada umumnya dianggap merugikan atau ilegal bagi
masyarakat baik perorangan maupun badan usaha swasta. Dalam hal ini, Pengadilan TUN
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada orang terhadap tindakan pemerintah
yang dianggap sebagai pelanggaran hak-hak sipil.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan kurang efektivnya terhadap pelaksanaan
putusan peradilan tata usaha negara adalah sebagai berikut;

1. Eksekusi hukuman dalam hal ini berada di tangan terdakwah sendiri, atau dengan
kata lain terdakwah harus bersikap lunak dalam melaksanakan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara.
2. Bahwa belum ada aturan yang mengatur soal hasil pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan putusan pengadilan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di lapangan.
Oleh karena itu, dengan kata lain, otoritas kehakiman Tata Usaha Negara tidak
mengetahui apakah putusan tersebut telah di laksanakan atau tidak, bahkan dari
kesimpulan pembuat laporan tersebut hanya mengandalkan laporan terdakwah yang
melalui telepon atau pada saat pelengkapan berkas untuk pelaksanaan eksekusi
putusan tersebut.
3.      Minimnya kesadaran tergugat dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim
guna terciptanya keadilan dam keseimbangan hukum.
4. Tidak ada eksekutif khusus atau otoritas sanksi untuk menegakan keputusan
5.    Contempt of court di perlukan dalam meningkatkan kewibawaan Peradilan Tata
Usaha Negara.

Lalu solusi yang dapat di gunakan untuk mengurangi dan menghilangkan tindakan sewenang-
wenang pejabat negara adalah dengan mengefektifkan upaya hukum tata negara, upaya hukum
administrasi, upaya perdata serta upaya hukum pidana. Di dalam hukum tata negara sendiri
selain upaya yang berkesinambungan dengan hubungan hirarki, yang utama adalah uapaya yang
melalui mekanisme kontrol yudisial. Dalam upaya hukum administrasi terhadap pejabat yang
sewenang-wenang dapat di lakukan sanksi yakni sanksi administrasi yang mana terdapat dalam
UU Peradilan Tata Usaha negara. Jenis sanksi yang dapat di lakukan adalah pemberhentian dari
jabatan.  Namun bilamana putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat di lakukan
maka dapat di ganti menggunakan upaya hukum perdata yakni pembayan uang paksa. Padahal
dalam hukum pidana upaya paksa dapat meningkatkan efektivitasnya peradilan Tata Usaha
Negara dengan ketentuan pasal yang digunakan adalah pasal 216 KUHP. Namun ketentuan
pemidanaan tersebut tidak pernah di terapkan sebagai upaya paksa dalam putusan di pengadilan
Tata usaha negara. Oleh karena itu, keberadaannya harus di tekankan dan di tegaskan dengan
melalui Kriminalisasi Contemp of Court.

B. Urgensi Penyelesaian dari adanya Kebijakan Contemp of Court guna mendorong


efektivitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ada juga ketentuan isi pengadilan di bawah undang-undang pengaturannya sendiri, berdasarkan
pernyataan sebelumnya terkait cout dari Black Law Dictionary terkait pengadilan. Yang
dimaksud dengan Pasal 69 UU Peratun dan Pasal 217 KUHP adalah bahwa setiap orang di
pengadilan mempunyai sikap, tindakan, tindakan dan bahasa yang mendukung kekuasaan,
martabat, dan kehormatan pengadilan dengan menaatinya. Pengadilan yang menetapkan bahwa
Anda harus menunjukkan. Jika pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana, Anda dapat
dituntut jika Anda tidak mengikuti aturan atau peraturan pengadilan. Ini untuk pejabat TUN yang
seperti sudah dijelaskan, tidak ingin seenaknya menjalankan keputusan pemerintah negara yang
konkrit dan tidak senonoh atau harus dihukum dalam bentuk penjara, kurungan, atau denda. .
Akan tetapi, ketentuan Pasal 69 KUHP dan Pasal 217 KUHP masih sangat kabur ketika
membantu penegakan putusan peradilan umum, khususnya peradilan tata usaha negara setempat.

Penghinaan melalui kriminalisasi yudisial petugas TUN yang tidak mengikuti putusan
pengadilan melalui 3 opsi Yaitu, pertama dengan menambahkan Pasal Terkait ancaman hukuman
terhadap TUN. . Pegawai yang gagal melaksanakan putusan Pengadilan TUN yang sah. Kedua,
melalui amandemen KUHP, hal ini juga mencakup ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan
yang termuat dalam Contempt of court. Ketiga, berdasarkan peraturan atau undang-undang
khusus Contempt of court.

Secara asumtif di perlukan undang-undang khusus mengingat sifat dan kekhususan perbutan
contemp of court serta jenis hukum yang lebih beragam dari pada pidana umum. Selain itu juga,
hukum acara dan lembaga penegak hukum yang menanganinya ( satuan polisi keamanan
peradilan sebgai penyidik layanan public) juga secara khusus di perlukan agar efektif dalam
menekan contemp of court. Dalam konteks ini, hukum contemp of court yang akan datang (ius
consuentum) memiliki legalitas untuk di daulat sebgai lex spesialis. Peraturan terkait
kriminalisasi yang tidak patuh terhadap putusan pengadilan ini berguna untuk mendorong
kembalinya martabat sistem peradilan di Indonesia pada khususnya, dan pada dasarnya untuk
menegakkan hak-hak supremasi hukum di Indonesia.

Dengan mengklasifikasikannya sebagai contempt of court, sangat mendesak untuk


mengkriminalisasi pegawai TUN yang tidak mau menjalankan putusan pengadilan TUN. Untuk
menentukan urgensi kriminalisasi contempt of court, Perlu mempertimbangkan kriteria umum
yang ditetapkan oleh Simposium Reformasi Hukum Pidana Nasional 1980 Semarang. (1)
Apakah perbuatan itu ditolak atau tidak disukai oleh masyarakat karena merugikan, atau
mungkin merugikan, dikorbankan, atau mungkin dikorbankan. (2). Apakah biaya kriminalisasi
sebanding dengan hasil yang dicapai, Biaya legislasi, pengawasan dan penegakan hukum, dan
beban korban pidana dan pelaku kejahatan itu sendiri, Harus diimbangi dengan keadaan dalam
mewujudkan hukum dan ketertiban. (3). Apakah Meningkatkan ketidakseimbangan penegakan
hukum atau beban yang sebenarnya? Itu tidak bisa dilakukan dengan kemampuannya. Dan (4).
Apakah Bertindak sebagai penghalang atau penghalang cita-cita negara dan membahayakan
seluruh masyarakat?. Salah satu dampak dari kondisi ketidaktaatan terhadap pelaksanaan putusan
Pengadilan TUN adalah menurunnya kepercayaan masyarakat khususnya terhadap pemerintah
dan lembaga peradilan, serta lembaga negara pada umumnya. Di sisi lain, dalam konteks negara
hukum, keberadaan pengadilan memiliki peran dan tempat yang sangat penting.

Perannya begitu penting sehingga dalam situasi tertentu


Bahkan bisa dikatakan sebagai “semangat” negara hukum. Keberadaan Pengadilan TUN sebagai
wadah untuk melindungi hak-hak individu dan anggota masyarakat dari penyalahgunaan tugas
atau tindakan sewenang-wenang dalam pelaksanaan putusan Pengadilan TUN Membuatnya
benar-benar efisien. Selain itu, relevansi contempt of court terhadap pejabat tata usaha negara di
Negara bagian yang tidak mengikuti putusan Pengadilan TUN adalah asas pemulihan terakhir,
yaitu sarana hukum lain (saluran hukum administratif dan perdata). Tidak lagi digunakan untuk
menjalankan otoritas nasional di mata publik dan untuk menjamin perlindungan hukum yang
lebih besar

Kesimpulan

Meski pelaksanaan putusan MK tentang hukum positif itu diperkuat dengan sanksi administratif
dan tindakan penegakan berupa denda (dwangsom). Kenyataannya, pelaksanaan putusan
pengadilam TUN tidak mudah karena masih ada pegawai TUN yang tidak patuh. Selain
kurangnya kesadaran hukum staf TUN dan kurangnya lembaga penegak yang berdedikasi untuk
menegakkannya, Pengaturan mekanisme pelaksanaan keputusan Pengadilan TUN masih belum
jelas. Ketergantungan pada hukum administrasi dan perdata sebenarnya tidak terlalu efektif dan
membutuhkan upaya wajib hukum pidana sebagai penyelesaian akhir. Contempt of court telah
dikriminalisasi dan harus digunakan sebagai ancaman bagi penyelenggara negara yang menolak
melaksanakan putusan Pengadilan TUN. Kriminalisasi ini dianggap sebagai contempt of court
bill. Kriminalisasi ini mendorong keabsahan pelaksanaan putusan pengadila Yang merupakan
bagian integral dari pelayanan hukum Warga negara, dan menciptakan kepastian hukum
mengenai hak konstitusional Warga negara. Selain itu, maraknya bentuk kesewenang-wenangan
oleh pejabatan tata usaha negara di Indonesia dapat menyebabkan lunturnya kepercayaan
masyarakat akan bentuk tindakan yang di lakukan oleh pejabat TUN. Kemudian adanya
Peradilan administrasi atau PTUN ada guna untuk mengendalikan tindakan sewenang-wenang
negara. oleh karena itu, hal tersebutlah yang menjadi tujuan di bentuknya pengadilan Tata Usaha
negara. Namun kenyataannya banyak pejabat negara yang bersengketa melakukan kesalahan
atau perbutan tercela atau contemp of cort, bentuk-bentuk contemp of court ini antara lain
adalah; Berperilaku tercela dan tidak pantas di depan pengadilan, Tidak menaati perintah-
perintah yang ada di pengadilan, Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan,
Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan, Perbuatan penghinaan terhadap pengadilan
yang di lakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi. Maka dengan ini di perlukan
kriminalisasi cotemp of court dalam bentuk denda dwangsom dan pidana dalam pelaksanaan
pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut di lakukan, agar pejabat Tata Usaha Yang akan
bersewenang-wenang akan berpikir ulang melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Dani, Umar. “Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia: Sistem Unity of
Jurisdiction Atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi Tentang Struktur Dan Karakteristiknya /
Understanding Administrative Court in Indonesia: Unity of Jurisdiction or Duality of Jurisdiction
System? A Study of Hierarchy and Characteristic.” Jurnal Hukum Dan Peradilan 7, no. 3 (2018):
405. https://doi.org/10.25216/jhp.7.3.2018.405-424.

Hasana, Sovia. “Contempt of Court Dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.” Hukum online. com, 2017.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/icontempt-of-court-i-dan-pelaksanaan-putusan-pengadilan-
lt58a2c071e71a1.

Khairo, Fatria, Abstrak Pada, Pengadilan Tata, Usaha Negara, Pelaksanaan Putusan Pera-, Peradilan Tata,
Usaha Negara, et al. “Urgensi Contempt of Court Dalam Meningkatkan Wibawa” 4 (2017): 597–
604. http://lexlibrum.id/index.php/lexlibrum/article/download/96/pdf.

Soleh, Mohammad Afifudin. “Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang
Berkekuatan Hukum Tetap.” Mimbar Keadilan, 2018, 18–46.
https://doi.org/10.30996/mk.v0i0.1604.

Suhariyanto, Budi. “Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court Untuk Efektivitas Pelaksanaan Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 192.
https://doi.org/10.31078/jk16110.

Anda mungkin juga menyukai