Anda di halaman 1dari 8

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat, dimana seseorang tidak
mampu mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas atau memiliki
tilikan (insigth) yang buruk (Espinosa, 2016; Riskesdas, 2013). Menurut
Abdel, Hassan, Mohamed, Ezzat, dan Elnaser, (2011), skizofrenia merupakan
gangguan dalam fungsi alam fikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam
isi fikiran yang ditandai antara lain; gejala gangguan pemahaman (delusi,
waham), gangguan persepsi, dan daya realitas yang terganggu ditandai
dengan perilaku aneh. Sehingga skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat
yang menganggu fikiran yang ditandai dengan perilaku aneh, emosi, proses
berfikir dan persepsi yang terganggu terhadap orang lain.
Menurut World Health Organization (2018) pada umumnya gangguan
mental yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi, dan
3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih
dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan penyebab terbesar
kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang
yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2018).
Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Hasil
analisis dari WHO sekitar 450 juta orang menderita gangguan jiwa termasuk
skizofrenia. Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding
gangguan jiwa lainnya. Penderita gangguan jiwa sepertiga tinggal di negara
berkembang, 8 dari 10 orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan
penanganan medis. Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (Ashturkar &
Dixit, 2013). Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di indonesia.
Data Riskesdas 2013 menyebutkan jumlah seluruh rumah tangga yang
dianalisis gangguan jiwa adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 anggota rumah
tangga yang berasal dari semua umur. Rumah tangga yang menjawab
memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.655,
terdiri dari 1.588 rumah tangga dengan 1 orang anggota rumah tangga, 62
rumah tangga memiliki 2 orang anggota rumah tangga, 4 rumah tangga
memiliki 3 anggota rumah tangga dan 1 rumah tangga memiliki 4 orang
anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh
responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013
adalah sebanyak 1.728 orang.
Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi,
waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh,
misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan
sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat berupa sinderom
kompleks yang dapat menimbulkan efek merusak pada diri penderita dan
orang lain. Gangguan skizofrenia terdapat ciri khas yaitu disorganisasi pada
pembicaraan, pikiran, dan gerakan psikomotorik (Berzn,et al. Dalam Pieter
dkk, 2011). Gejala-gejala yang serius dan pola perjalanan penyakit yang
kronis berakibat disabilitas pada penderita skizofrenia. Hasil penelitian
menunjukkan 25% penderita skizofrenia membutuhkan bantuan dan 25%
penderita skizofrenia dengan kondisi berat (Keliat,2011).
Di Indonesia terdapat 6-19 orang per 1000 penduduk dunia mengalami
skizofrenia. Hasil survey di Indonesia memperlihatkan bahwa sekitar 1-2%
penduduk menderita skizofrenia, hal ini berarti sekitar 2-4 juta jiwa dari
jumlah tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 7 ratus ribu sampai
1,4 juta jiwa. Penderita yang dirawat di bagian psikiatri di Indonesia hampir
70% karena skizofrenia. Persoalan pada kasus ini adalah banyak keluarga
yang belum mengerti benar apa itu skizofrenia. Padahal penyakit ini bisa
kendalikan dengan kemauan diri yang keras dan dukungan keluarga,
penderitanya bisa hidup normal. Ada empat faktor penyebab pasien
skizofrenia kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa, antara lain: pasien,
keluarga, dokter dan casemanager. Keluarga merupakan sistem pendukung
utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan pasien baik
sehat maupun sakit. Status kesehatan dalam suatu keluarga dipengaruhi oleh
pengetahuan dan sikap keluarga.
Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien, harus mengetahui
prinsip lima benar dalam minum obat yaitu pasien yang benar, obat yang
benar, dosis yang benar, cara/rute pemberian yang benar, dan waktu
pemberian obat yang benar dimana kepatuhan terjadi bila aturan pakai dalam
obat yang diresepkan serta pemberiannya dirumah sakit di ikuti dengan benar.
Ini sangat penting terutama pada penyakit-penyakit menahun termasuk salah
satunya adalah penyakit gangguan jiwa. Faktor pendukung pada klien, adanya
keterlibatan keluarga sebagai pengawas minum obat pada keluarga dengan
klien dalam kepatuhan pengobatan. Menjelaskan sekitar 25% pasien
skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat gagal dalam mematuhi
program pengobatan. Kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia dapat
dipengaruhi oleh efikasi minum obat,dukungan terhadap pasien,efek samping
obat dan sikap pasien. Fakhruddin (2012).
Kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah timbulnya kembali gejala-
gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan. Tingginya angka
kekambuhan dan penurunan kualitas hidup pasien sehingga menghambat
pembentukan konsep diri termasuk harga diri, rasa penguasaan dan self-
efficacy (Vauth, 2007). Insiden kekambuhan pasien skizofrenia juga
merupakan insiden yang tinggi, berkisar 60-75% setelah suatu episode
psikotik jika tidak diberikan terapi.
Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan (adherence)
adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang
mengobatinya. Contoh dari kepatuahan adalah mematuhi perjanjian,
mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan, menggunakan medikasi
secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku atau diet. Perilaku
kepatuhan tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program
pengobatan (Kaplan & Sandock, 2010). Ketidak patuhan akan mengakibatkan
pengunaan suatu obat yang kurang. Dengan cara demikian, pasien kehilangan
manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi
yang diobati secara bertahap menjadi buruk (Kaplan & Sandock, 2010).
Dalam meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan cara antara tim
medis dan pasien dalam berbicara mengenai obat yang ditulis. Keefektifan
komunikasi akan menjadi penentuan utama kepatuhan pasien. Beberapa klien
menjadi kurang responsif terhadap dosis yang sama dari obat tertentu dari
waktu ke waktu, dikenali dengan istilah toleransi, sehingga membutuhkan
dosis yang lebih tinggi dari obat yang diberikan selama ini untuk
mendapatkan efek teraupetik yang sama seperti diawal pengobatan.
Pengembangan toleransi terhadap beberapa obat, seperti BZ dan opioid, juga
berhubungan dengan ketergantungan fisik terhadap obat, membutuhkan
penurunan dosis yang semakin kecil secara bertahap selama proses
penghentian untuk menghindari gejala-gejala putus obat yang tidak
nyaman.Menghentikan secara tiba-tiba obat-obat psikotropika termasuk
didalamnya antidepresan, BZ (Benzodiagopine) dan antipsikotik antipikal
dapat memicu sindrom putus obat, yang ditandai dengan gejala memperkuat
atau memperkambuh kembali gejala-gejala awal, gejala ketidaknyamanan
fisik dan psikologis, penarikan fisiologis, penurunan obat secara bertahap
dapat mencegah terjadinya sindrom ini (Prasetiawati, 2012). Penyebab
ketidakpatuhan terhadap terapi obat adalah sifat penyakit yang kronis
sehingga pasien merasa bosan minum obat, berkurangnya gejala, tidak pasti
tentang tujuan terapi, harga obat yang mahal, tidak mengerti tentang
insteruksi penggunaan obat, dosis yang tidak akurat dalam mengkonsumsi
obat, dan efek samping yang tidak menyenangkan (Saragih, 2011).
Sekitar 25% pasien skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat
gagal dalam mematuhi program pengobatan. Kepatuhan minum obat pada
pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh efikasi minum obat, dukungan
terhadap pasien, efek samping obat dan sikap pasien. Masalah yang dihadapi
adalah karena sebagian besar keluarga pasien skizofrenia kurang memahami
dan kurang mengetahui mengenai perawatan pasien. Padahal, faktor ini dapat
menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia rawat jalan. Secara umum
dapat diketahui bahwa keluarga masih kurang memiliki informasi-informasi
yang adekuat tentang skizofrenia, perjalanan penyakitnya dan bagaimana
tatalaksana untuk mengupayakan rehabilitasi bagi pasien.
Salah satu faktor untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien
skizofrenia yaitu dengan melaksanakan program pengobatan dengan rutin.
Pengobatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum
obat. Walaupun kepatuhan minum obat tidak menyembuhkan dan tidak
mengurangi terjadinya kekambuhan pasien 100%, tetapi dengan perilaku
patuh minum obat maka waktu remisi pasien setahun lebih lama dan gejala
psikosis tidak akan terlalu parah.
Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis ingin mengetahui apakah
ada hubungan tingkat pengetahuan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien skizofrenia rawat jalan di Wilayah Puskesmas…………….

B. Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat
disimpulkan rumusan masalah yaitu: “Apakah terdapat hubungan antara
pengetahuan keluarga pasien terhadap kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia yang berobat jalan di Wilayah Kerja Kecamatan Simpang Hilir
Kabupaten Kayong Utara?”
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan pengetahuan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien skizofrenia di Wilayah Kerja Kecamatan Simpang
Hilir Kabupaten Kayong Utara

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan keluarga pasien skizofrenia di
Wilayah Kerja Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong
Utara
b. Mengetahui tingkat kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di
Wilayah Kerja Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong
Utara
c. Mengetahui keeratan hubungan pengetahuan keluarga tentang
gangguan jiwa dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum
obat pasien skizofrenia di Wilayah Kerja Kecamatan Simpang
Hilir Kabupaten Kayong Utara

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada keluarga terhadap kepatuhan
minum obat pada pasien rawat jalan skizofrenia. Penelitian ini akan dilakukan
di Wilayah Kerja Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara

E. Manfaat penelitian
1. Bagi peneliti untuk menambah wawasan peneliti dalam bidang ilmu
kesehatan jiwa dan diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang
ada.
2. Bagi Prodi/institusi pendidikan untuk menambah literatur tentang
gangguan jiwa, dan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
rujukan bagi peneliti berikutnya dalam melakukan penelitian dalam
masalah yang sama.
3. Bagi keluarga dapat dijadikan sebagai masukan untuk membantu proses
pengobatan dan penyembuhan pasien skizofrenia.

F. Keaslian Penelitian

Table 1.1 Keaslian Penelitian


Nama
N Jenis Judul
dan Variabel Tempat
o Penelitian Penelitian
Tahun
1 Nur Deskriptif 1. Tingkat Hubungan Poli Jiwa
Hafiya analitik Pendidikan tingkat RSUD Kraton
ti dengan 2. Peran pendidikan, Kab.
(2015) pendekata keluarga peran keluarga Penkalongan
n cross 3. Kepatuhan terhadap
sectional berobat kepatuhan
berobat pasien
Skizofrenia

2 Rega Deskriptif 1. Pengetahuan Hubungan Poli Rawat


Saputr korelasion keluarga dukungan Jalan RSJD
a al dengan 2. Kepatuhan keluarga dengan Surakarta
(2012) pendekata mengkonsu kepatuhan
n cross msi obat mengkonsumsi
sectional obat antipsikotik
pada pasien
yang mengalami
gangguan jiwa

3 Natali Deskripti 1. Pengetahua Hubungan Poliklinik


a f korelatif n keluarga pengetahuan Rumah Sakit
(2013) dengan tentang keluarga Prof. dr. V.L.
rancanga pengobatan dengan Ratumbuysa
n pasien kepatuhanminu ng Manado
penelitian skizofrenia m obat pasien
Cross 2. Kepatuhan skizofrenia
Sectional minum obat
pasien
skizofrenia
dengan
menggunak
an skala
guttman

Anda mungkin juga menyukai