Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MAQAMAT DAN AKHWAL

Dosen Pengampu: Dedy Mardiansyah M.Pd

Disusun Oleh:

Bayu Kelana Putra (2187203070)

PRODI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NURUL HUDA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Maqamat dan
Ahwal”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah akhlakul
kharimah yang nantinya akan diserahkan kepada dosen pengampu bapak Dedy Mardiansyah,
M.Pd.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terbilang jauh dari kata
sempurna baik ditinjau dari susunan kalimat maupun isi, karena tidak sedikit kesulitan dan
hambatan yang penulis temui dalam proses penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati demi perbikan
makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami
umumnya bagi pembaca sekalian.

Sukaraja, 6 maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .............................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................4

A. Latar Belakang ...................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ..............................................................................................4

C. Tujuan ................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5

A. Pengertian Maqamat dan Macam-macamnya.....................................................5

B. Pengertian Ahwal dan Macam-macamnya........................................................8

BAB III PENUTUP.................................................................................................12

A. Kesimpulan ........................................................................................................12

B. Saran...................................................................................................................12

DAFTAR ISI...........................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang yang


menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan yang di kehendaki. Yang pertama berupa
keadaan, sedangkan yang kedua berupa tahapan perjalanan. Keduanya dapat dibedakan
namun sering pula disamakan, bahkan dipertukarkan.

Pernyataan para sufi tentang kedua tema tersebut sangat beragam. Keragaman itu
terdapat dalam pengertian yang dirumuskan, jumlahnya, pembagian urutannya, dan isyarat-
isyarat yang diberikan tentang keduanya. Dibalik keragaman ini, tentu terdapat jumlah segi-
segi yang mempertemukannya.

Keragaman pernyataan para sufi tentang maqamat dan ahwal dapat dimengerti.


Mereka memperkatakan dengan keduanya menurut kata hati mereka, dengan berdasarkan
pengalaman yang bersifat individual. Pembicaraan tentang maqamat dan ahwal dalam
tasawuf menjadi berkembang dengan bertambahnya jumlah para sufi dari waktu ke waktu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Maqamat dan Tingkatanya?

2. Bagaimana Pengertian Ahwal dan Tingkatanya?

C. Tujuan

1. Mendeskripsikan Pengertian  Maqamat dan Tingkatanya.

2. Mendeskripsikan Pengertian Ahwal dan Tingkatanya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat dan Tingkatanya

Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti "tempat orang berdiri"
atau "pangkal mulial ". Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai "jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekat kepada Allah. Dalam bahasa Inggris, maqamat
dikenal dengan istilah stages yang berarti "tangga".1 Sedangkan dalam ilmu
Tasawuf, Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.2 Disamping itu,
Maqamat berarti jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. 3
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak
akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

Di antara tingkatan Maqamat adalah: Taubat, Zuhud, Wara’, Faqir, Sabar, Tawakkal,
dan Ridho. Secara umum pemahamannya sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan


“penyelesalan”. Taubat dapat diartikan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan, disertai janji-jani yang sunggu-sungguh untuk tidak mengulangi
dosa-dosa atau kesalahan serupa, kemudian disertai dengan amal sholeh. Di kalangan sufi
taubat juga dimaknai keharusan untuk memohon ampunan dari rasa dengki, riya, kelalaian
mengingat Allah SWT dan penyakit hati lainnya.4

Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai
maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah
tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar. Cara taubat
sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. Sedang
tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua
perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada
Allah SWT, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati
amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan
bertaubat kepada-Nya.

1
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.119
2
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.119
3
Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), h.107
4
Jamaludin, Akhlak Tasawuf Jalan Lurus Mensucikan Diri (Yogyakarta, 2018), h. 87

5
2. Zuhud

Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian.5 Zuhud dapat di artikan meninggalkan kehidupan dunia (dalam
halkemaksiatan) dan mengutamakan kebahagiaan di akhirat.6

Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan, Pertama (tingkatan
terendah), ialah mcnjauhkan din i dan i dunia agar terhindari dani hukuman akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan mcnirnbang imbalan di akhirat. Dan Ketiga (tertinggi), mengucilkan
dunia semata-mata bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah
belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali
Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.7

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan maqam yang sangat menentukan Zuhud
merupakan suatu maqam yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi. Pentingnya posisi zuhud
dalam tasawuf, menurut Amin Syukur ialah karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan
dapat rnembawa dirinya pada kondisi pengosongan. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama
yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang
zuhud lebih rnengutamakan kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari pada
mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.

3. Wara’

Secara harfiah al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya rnengandung arti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Atau juga dapat
diartikan meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halalharamnya). 8 Dicontohkan dalam
sebuah kitab Al-Hikam yakni menyia-nyiakan waktu untuk ngobrol dan bergadang sarnpai
larut malarn, yang tidak ada manfaatnya untuk kemaslahatan din i sendiri maupun orang lain
padahal ada kewajiban yang banyak sekali manfaatnya harus diselesaikan seperti belajar,
rnengaji, dan lain-lain.

Seorang sufi yang wara' akan senantiasa menjaga kcsucian, baik jasmani maupun
rohaninya dengan mengendalik an segala perilakunya dan aktifitas kesehariannya. la hanya
akan melakukan sesuatu yang bermanfaat clan tidak akan menggunakm sesuatu yang belum
jelas statusnya. Dengan demikian, maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang
tidak diridhoi Allah Swt.

4. Faqir

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
9

5
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.122
6
Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), h.108
7
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.123
8
Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), h.108
9
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.129

6
telah ada pada din i kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada dril kita, kalau diberi
diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.

Sebagian para sufi, memaknai faqr secara berbeda yakni ekstrim dan moderat.
Pemaknaan faqr yang ekstrim antara lain dikemukakan oleh Yahya bin Mu'adh, yang
menyatakan bahwa kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda
kefakiran adalah tidak adanya harta benda. Sedangkan, pemaknaan . faqr yang moderat
adalah butuh kepada Allah. Faqr yang dimaksud di sini adalah kefakiran spiritual. Sehingga
ia tidak merniliki apa-apa termasuk dirinya sendiri.

5. Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri darii hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika
mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam
tkefakiran dalam bidang ekonomi24. Menurut al-Ghozali, sabar adalah suatu tegaknya
dorongan agarna (hidayah Allah) yang telah berhadapan dengan dorongan hawa nafsu
(syahwat).10

Selanjutnya Ibnu Atma mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi
cobaan dengan sikap yang baik. Ibnu Usman al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang
mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang lcurang menyenangkan. Pendapat Join
mengatakan sabar adalah menghilangkan ia mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa
kcsal.11

6. Tawakal

Secara bahasa kata tawakal berarti menyerahkan diri, Tawakkal pada dasarnya adalah
merupakan konsekuensi logis dan i maqam shabr. Oleh karenanya, maka seseorang yang
mencapai dcrajat shabr dengan sendirinya adalah seorang yang mencapai derajat tawakkal. 12

Menurut prof Dr. Hamka, tawakal adalah menyerahkan segala keputusan dan segala
perkara setelah berikhtiar hanya kepada Allah Swt, karena Dia yang Maha Kuasa sedangkan kita
hanyalah sebagai manusia (hamba) yang dhoif. Menurut Imam al- Ghozali, hakikat tawakal
adalah merupakan keadaan jiwa yang tclah lahir dan i tauhid dan terdapatnya pengaruh tauhid
dalarn perbuatanya. Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakal letaknya didalam hati,
dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang tcrdapat dalam hati. Hal ini
terjadi setelah scorang hamba meyakini bahwa segala sesuatu hanya didasarkan pada ketentuan
Allah. Mereka menganggap bahwa semua kesulitan itu merupakan takdir Dalam risalah
Qusyairiyah disebutkan bawa Sahl bin Abdullah mengatakan: "Permulaan dan i maqam tawakal
itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Allah Yang Maha Kuasa laksana mayat di depan
orang yang memandikan, dibolak-balikkan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiyar.” Dalam

10
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.131
11
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.131
12
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.133

7
risalah ini juga disebutkan bahwa Hamdun mengatakan: Tawakal itu berserah diri
(mcmpercayakan din) pada jaminan pemeliharaan Allah sepenulinya. 13

7. Ridho

Kata ridha secara terminologi berarti rela, suka dan senang. Harun Nasution
mengatakan ridha berarti tidak menentang qadho ' dan qodar Allah Swt, dan sebaliknya ia
akan menerima qadla dan qadar Allah itu dengan senang hati. Dia mampu menghilangkan
kebencian hati, sehingga yang ada dalam hatinya hanyalah kesenangan dan kegembiraan saja.
Menerima nikrnat dan cobaan dengan senang tanpa merasa terbebani.14 Ridho, yaitu tidak
berusaha menentang qada Allah.15

Ridha adalah ajaran untuk mcnanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa
baik itu kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan dan kekusahan menjadi
kegembiraan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT,
Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam al- Ghazali, rela menerima apa saja, segala yang
telah dan sedang dialaminya itulah yang terbaik baginya, tak ada yang lebih baik selain apa
yang telah dan sedang dialarninya. Ibnu Khaff mengatakan tentang ridla: "Kerelaan hati
menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya".
An-Nuni mengatakan: "Ridla itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan".
Robi’ah al-Adawiyah mengatakan: "Jika dia telah gembira mcnerima musibah seperti
kegembiraannya menerima nikmat." Seorang sufi akan selalu bahagia bersama Tuhannya,
karena bagi sufi segala keadaan hidup baik itu nikmat atau cobaan adalah dalam rangka
beribadah semata mengharap ridha Allah Swt.

B. Pengertian Ahwal dan Tingkatanya

Ahwal dalah bentuk jamak dari kata hal, yang dari segi bahasa berarti suasana atau
keadaan jiwa. Secara tenninologis ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental scperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang
diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha atau perjalanan
tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja.16

Hal dimaknai sebagai sebagai tingkat derajat spiritual yang semata-mata anugerah
Allah SWT. Itulah sebabnya, ahwal lebih memiliki makna dan fungsi tentang keadaan-
kondisi kerohanian yang bersifat temporer, tanpa ikhtiar diri, dan lebih merupakan anugerah
khusus dari Allah SWT, meskipun ia tidak bisa dilepaskan dari upaya yang sungguh-sungguh
untuk menjalani kehidupan kerohanian. Keadaan inilah yang merupakan bonus dari Sang
Maha Kuasa untuk kebaikan hamba-Nya yang sholih.17

Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal
merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya.
13
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.133
14
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.135
15
Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), h.108
16
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.136
17
Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015), h.111

8
Oleh karena itu ada istilah-istilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu al-muraqabat wa
alqurb, al-khouf wa al-roja (takut dan penuh harap), at-tuma’ninah (perasaan tenang dan
tentram), al-musyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin), al-yaqin (penuh dengan
keyakinan yang mantap), aluns (rasa berteman), at-tawadlu’ (rendah hati dan rendah diri), at-
taqwa (patuh), al-wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas.

1. Muraqabah

Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada
dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju
pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara
Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. Muraqabah merupakan bentuk hal yang
sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka
muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan kata lain muraqabah juga dapat
diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran
Allah Swt, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah Swt selalu mengawasi segenap perilaku
hambanya.18

2. Qurb

Menurut ulama sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau- kalau Allah tidak senang
padanya sikap al- khauf ini merangsang seseorang melakukan hal- hal yang baik dan
mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat, perasaan khauf timbul karena pengenalan
dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau- kalau Allah
melupakannya atau takut akan azab Allah.

3. Mahabbah

Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang


dicintainya karena ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau
nalurinya anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala
kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam.

Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam
kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang
diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan adalah ”La Yatashowwaru Mahabbata Illa
Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin". Jadi, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu
ada tiga perkara:

1. Mengenal dan bertemu.


2. Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.
18
https://www.bacaanmadani.com/2020/04/pengertian-al-ahwal-dan-tingkatan-al.html

9
3. Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.19

4. Khauf

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua
bagian:

1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang
mendorong manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada
tempatnya.
2. Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah
yang mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang
diperintah.

5. Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan
bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf
adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu
karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang
harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan
terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa rindu, rasa rindu untuk selalu
bersam Allah.

Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam


bukunya Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan
melalui penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai
pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi
dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak
dirindukan lagi.20

6. Thuma’ninah

19
http://khfikri96.blogspot.com/2016/12/konsep-ahwal-dalam-tasawuf.html

20
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.140

10
Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah
mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta
bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat
berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:

1. Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba
berdzikir.
2. Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang
karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas
dan taqwa.
3. Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka
dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak
sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena
kewibawaan dan keagungan-Nya.

7. Musyahadah

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara


terminology persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang
dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi
telah mencapai Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah
ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya
tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini seseorang mencapai
tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui persaksiannya
tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.21

8. Yaqin

Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta
serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara
langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam
ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan
yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan
secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.22

BAB III

21
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.142
22
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020), h.143

11
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah membahas dan memahami uraian di atas, dapat dibuat beberapa point dalam
sebuah kesimpulan sebagai berikut:

1.Maqam adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai pada
titik akhir tujuan.
2.Pada dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi
berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa
tingkatan tersebut terdiri dari  taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Adapula
yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal –
mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
3.Maqam sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik sendiri.
4.Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan
spiritualnya. Hal sifatnya  lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang timbulnya
secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
5.Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah,
khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.

DAFTAR ISI

12
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2020)

Badrudin, Akhlak Tasawuf (Serang: IAIB Press, 2015)

http://khfikri96.blogspot.com/2016/12/konsep-ahwal-dalam-tasawuf.html

https://www.bacaanmadani.com/2020/04/pengertian-al-ahwal-dan-tingkatan-al.html

13

Anda mungkin juga menyukai