Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH STUDI ISLAM

( Ijtihaad )

Dosen Pembimbing:
Ibu Emzinetri M.Ag

Disusun Oleh :

1. Ahmmad Rohiman
2. Annisa Rahma Nabila
3. Muhanmmad Zafran
4. Permata Puncak Siregar

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KOTBENGKULU
2020
KATA PENGANTAR
Assalammualikum warohmatuallhi wabarokatuh.

Alhamdulillah, Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana berkat
rahmat, nikmat dan pertolongan-Nya kami bisa menyelesaikan makalah Fiqih kami yang
berjudul Sejarah dan Mazhab-Mazhab Ahli Sunnah Dalam Fiqih.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Beliau telah berhasil membawa kita dari kehidupan yang anarkis menuju kehidupan yang
harmonis. Semoga kita selalu mendapatkan syafaat dan pertolongan beliau, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Amin.

Makalah ini kami susun untuk  memenuhi  tugas kelompok, mata kuliah Studi Islam
semester 1 tahun akademik 2020/2021 Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Sekolah tinggi
agama islam IAIN Bengkulu. Oleh karena itu, kami haturkan terima kasih banyak kepada Dosen
pembimbingIbu Emzinetri M.Ag sebagai Dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam Semester
1 dalam membimbing mata kuliah ini.

Wallahu’alambish-shawab.

Waalaikumsalam warohmatuallhi wabarokatuh.

Bengkulu, 17 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………..…........i

KATA PENGANTAR……………………………………………………….…………………..ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….………iii

BAB I. PENDAHULUAN

1. LatarBelakang………………………………………………………...……………….…. 1
2. RumusanMasalah…….…………………………………………………………………... 1
3. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….………….1

BAB II. PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad……………………………………………………..………………….. 2
2. Dasar Hukum Ijtihad………………...…………………………………………………… 3
3. Objek Ijtihad……………………………………………………………….…………….. 5
4. Mujtahid dan Persyaratannya……………………………………………………………. 6

BAB III. PENUTUP

1. Kesimpulan……………………………………………………………………….……… 8
2. Kritik Dan Saran………………………………………………………………...……….. 8

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………… ………………...…………… 9

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-
dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan
menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya
ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului
oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti
mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang
belakangan.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis; bidang kajian usul
fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang tauhid/iktiqad, Ushul Fiqh
merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam menjalankan istinbat hukum. Metode
yang digunakan fuqaha merupakan aplikasi

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa saja dasar hokum ijtihad?
3. Apa objek ijtihad?
4. Apa itu mujtahid dan syaratnya?

3. Tujuan Penulisan
1. Supaya bisa memahami tentang pembahasan diatas.
2. Untuk menambah ilmu pengatahuan dan wawasan.
3. Supay bisa diamalkan dalam kehidupan sehari – hari.

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu,
ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitasaktivitas yang berat dan sukar”.

Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi mendefinisikan ijtihad
sebagai: “Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya dalam upaya menemukan
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalil-nya.” Pada definisi
ini kita dapat melihat penggunaan istilah ahli fiqh, maksudnya adalah pihak yang melakukan
ijtihad yaitu mujtahid. Pada definisi lain yang diungkapkan al-Baidhawi (w. 685 H) istilah
tersebut tidak digunakanan karena sudah dianggap maklum bahwa orang yang melakukan
ijtihad pastinya seorang ahli fiqh atau mujtahid. Beliau mendefinisikannya sebagai:
“Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”

Kemudian di kalangan para ulama, ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha
yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-Faqih) dalam mencari tahu tentang
hukum syari’at.5 Adapun definisi lain dari ijtihad menurut Wahbah al-Zuhaili ialah
perbuatan-perbuatan istinbath hukum syari’at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam
syari’at.

Namun ada pula yang mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas, tetapi pendapat itu
tidak disetujui oleh al-Ghazali di dalam al-Mustashfa. Menurutnya, itu adalah keliru, sebab
ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, terkadang ijtihad memandang di dalam keumuman dan
lafadh-lafadh yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i
sendiri menyebutkan bahw arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.

Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga
(memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’,
dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut,
maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah
barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad.

2
Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad ialah: “Usaha yang
dilakukan oleh seorang ahli fiqh dengan sungguh-sungguh untuk menggali suatu hukum
syara’ atau yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang rinci.” Dan menurut saya, ijtihad lebih
luas dibanding dengan qiyas karena qiyas sendiri adalah salah satu metode dalam berijtihad.

Dalam sejarah perkembangan hukum islam ijtihad menjadi istilah hokum tertentu, yang
berarti suatu jalan pengambilan hukum dengan Al-Qur’an, AsSunnah dan akal. Adapun
adanya ijtihad secara tegas dan jelas menurut sejarah hukum islam adalah tentang Tanya
jawab Nabi SAW dengan sahabat Mu’az bin Jabal R.a sewaktu ditunjuk oleh Nabi dengan
gubernur atau hakim di Yaman.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Secara Umum, Hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib
melakukan ijtihad untuk menggalii dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’
sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk
berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Hasyr (59): 2 :
Artinya : “...Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan..” – (Q.S. Al Hasyr : 2).

Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk
mengambil iktibar atau pertimbangan dalam berfikir. Perintah untuk mengambil iktibar ini
sesudahh allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh
tingkah mereka yang tidak baik. Dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil iktibar berarti
Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.

a. Dari Hadits / as-Sunnah

Adapun keterangan dari sunnah,yang menjadi dasar berijtihad diantaranya hadits


‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda : ”apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”

3
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini :

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw.
Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan
kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya
akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu
temukan dalam AlQur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan
Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:,
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap
jalan yang diridloiNya.”(HR.Abu Dawud).

Dari dialog antara Mu’adz ibnu Jabal dengan Nabi Muhammad SAW,dapat
diambil kesimpulan bahwa selama masih ada nash-nash yang mengatur sesuatu itu dalam
al-qur’an,maka dapat menggunakan alqur’an,apabila tidak ada dalam al-qur’an
menggunakan hadits nabi,dan bilamana dari hadis Rasulullah SAW tidak terdapat
aturannya atau apabila tidak ada nash (dalil) tertulis,barulah diperlukan ijtihad.

b. Dari Ijma’

Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya ijtihad, dan
sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah
hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang.

Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian besar
dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni yang menerima beberapa
interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya
yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya
menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan menggunakan
salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan semua hukum
perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad.

4
C. Objek Ijtihad

Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik sudah ada nashnya yang bersifat zanni
maupun belum ada nash-nya sama sekali. Dalam pada itu ijtihad adalah dogma yang penting
sekali bagi pembinaan dan perkembangan hokum islam. Terbuka bebasnya ijtihad dalam
hukum islam, tidak berarti bahwa setiap orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya
orang-orang yang telah memiliki syarat-syarat tertentu pula, baik yang berhubungan dengan
sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan.

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil
yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek
ijtihad.

Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek ijtihad adalah masalah
masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya dari rosul, atau dari pengertiannya

Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian :

1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukumhukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan dalil-dalil yang qathi,seperti
kewajiban melaksanakan shalat,zakat,puasa,haji,atau haramnya melakukan
zina,mencui,dan lainlain.Semua itu telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
AsSunnah.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-
dalil yang bersifat dzanni, baik maksudnya,petunjuknya,serta hukum-hukum yang belum
ada nash-nya dan ijma’ para ulama’. Apabila ada nash yang keberadaannya masih zanni,
hadits ahad misalnya,maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaraya adalah meneliti
bagaimana sanadnya,derajat para perawinya,dan lain-lain. Sedangkan terhadap
permasalahan yang tidak ada nash-nya,maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah
dengan cara menggunakan kaidah - kaidah yang bersumber dari akal,seperti
qiyas,istihsan,maslahahmursalah,dan lain-lain.

5
D. Mujtahid dan Persyaratannya

1. Pengertian Mujtahid

Mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari
Al-Qur’an dan Sunnah”.13 Dengan kata lain, Mujtahid adalah orang-orang yang
melakukan ijtihad.

2. Syarat Menjadi Mujtahid

Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian menyangkut dua hal :

a. Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telahbalig dan berakal.

Seorang mujtahid itu harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah
dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Kemudian, seorang mujtahid itu harus
berakal atau sempurna akalnya, karena pada orang yang berakal ditemukan adanya
kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah.

b. Syarat kepribadian khusus.

Pada seorang mujtahid, dituntut adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu


keimanan. Ia harus beriman kepada Allah secara sempurna.

 Syarat-Syarat seorang Mujtahid, Menurut Wahbah az-Zuhaili :

a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Mengetahui makna ayat secara
bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan
maknanya dalam susunan suatu redaksi. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat
secara syara’ ialah dengan mengetahui berbagai segi penunjukan lafal terhadap hokum
b. b. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian
syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertama.

c. Mengetahui tentang makna ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya) , dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau
sebagai penggantinya.
d. Mengetahui pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang
hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.

6
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukunrukunnya, tentang
‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syari’at
islam.
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al-qur’an dan Sunnah adalah berbahasa arab .
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqih, seperti tentang hukum dan macammacamnya, tentang
sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara meng-istinbat-
kan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini
diperlukan karena Ushul Fiqih merupakan pedoman yang harus dipegang dalam
melakukan ijtihad.
h. Mampu mengungkapkan tujuan syari’at dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan
ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada
berbagai peritiwa, ketepatannya sangat tergantung kepda pengetahuan tentang bidang ini.

Persyaratan yang cukup pelik bagi seorang mujtahid, menurut penulis, tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Namun,
sebenarnya yang menjadi tujuan utama dengan disyaratkan seorang mujtahid harus memiliki
kapasitas-kapasitas keilmuan tertentu adalah dalam rangka menjaga otentisitas dan validitas
aspek-aspek ajaran islam itu sendiri. Apabila ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kapasitas yang dapat dipercaya, tentu hasil ijtihadnya pun dapat dipertanggungjawabkan baik
secara keilmuan maupun secara moral. Berbeda ketika sembarang orang dapat melakukan
aktivitas ijtihad, tentu hasilnyapun tidak akan memenuhi standar keilmuan.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari
itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitasaktivitas yang berat dan sukar”.\

B. Kritik dan Saran


Dalam pembuatan makalah ini kami sebagai penulis menyadari bahwa masih
banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang mendidik dari
dosen pembimbing dan pembaca sangat kami butuhkan demi kemajuan pembuatan
makalah kedepannya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan

Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Alkaf. Idrus H. 1988. Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman, (CV Ramadhani:

Solo.

Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih , (Jakarta : Kencana Prenada Media

Group.

Effendi, Satria. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Muchtar, Kamal. Ushul Fiqh, Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Rahmat, Jalaluddin. Dasar Hukum Islam.

Rifa’i, Moh. 1979. Ushul Fiqih. Bandung : PT. Alma’arif.

Rusli, Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad Al-Shaukani. Jakarta: PT. Logos Wacana

Ilmu.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul

Fiqh. Vol. 1. No. 1.

Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih, Cet IV, (Bandung: CV: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih, Jilid I. Jakarta : Kencana.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana.

Uman, Khairul. Aminudin, Achyar. 1989. Ushul Fiqih II, Cet I. Bandung: CV

Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai