Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS TERHADAP PENDAPAT PRO DAN KONTRA

MENGENAI KEBIJAKAN BANK TANAH

Diajukan Sebagai Tugas Mandiri I


Mata Kuliah Hukum Agraria
Dosen Pengampu : Dr. Emilia Kontesa, S.H.,M.Hum

OLEH :
NAMA : VIDYADHARA PRAWIRATAMA NUGRAHA
NPM : B2A020071
SEMESTER : 3 (TIGA)
JURUSAN : S-2 MAGISTER FAKULTAS HUKUM

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
BENGKULU
2022
TUGAS : MENCARI DAN MENGANALISA PENDAPAT PRO DAN KONTRA
TERHADAP KEBIJAKAN BANK TANAH.

I. Pendapat Pro Terhadap Kebijakan Bank Tanah, sebagai berikut :

A. Sofyan Abdul Djalil, Menteri ATR/BPN


Menurut Menteri ATR/BPN Sofyan Abdul Djalil, pembentukan badan bank tanah
merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kelembagaan pertanahan di
Indonesia dan berdasarkan peraturan yang ada selama ini Kementerian ATR/BPN menjadi
land regulator dan dengan bank tanah ini diharapkan bisa menjalankan fungsi sebagai land
manager negara. “Bank tanah ini harusnya melengkapi lembaga Kementerian ATR/BPN
dan ditambah kewenangannya. Untuk itu dibutuhkan bank tanah untuk menjadi land
keeper dan land manager yang semuanya ditata dan dikelola untuk kepentingan
masyarakat, sosial, reforma agraria, dan sebagainya,” katanya.
Fungsi yang besar dan strategis dari bank tanah ini harus bisa memberikan
kemakmuran kepada masyarakat. Negara sendiri melalui bank tanah, jelas Sofyan, bukan
untuk memiliki tanah itu tapi untuk membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
sebagaimana amanat konstitusi.
Dengan adanya bank tanah, negara bisa mengatur berbagai kebutuhan pembangunan
yang tujuannya untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat. Di dalam UUCK
tentang bank tanah juga telah diatur fungsi maupun peran yang sangat jelas dengan tujuan
akhir memberikan kemakmuran kepada masyarakat.
Karena itu percepatan Raperpres ini dilakukan dengan komitmen supaya badan bank
tanah ini bisa segera terbentuk dan efektif bekerja pada tahun depan. Untuk mendapatkan
modal awal bank tanah ini nantinya akan ditetapkan oleh presiden dan berbagai
permasalahan tanah selama ini salah satunya bisa diselesaikan dengan mekanisme bank
tanah.1

B. Hairani Mochtar, Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.


1
RumahCom, Dengan Bank Tanah Negara Berfungsi Sebagai Land Regulator Dan Land Manager,
https://www.rumah.com/berita-properti/2021/10/201764/dengan-bank-tanah-negara-berfungsi-sebagai-land-
regulator-dan-land-manager, Diakses Pada Tanggal 27 Februari 2022
Salah satu terobosan untuk mengatasi kompleksitas masalah pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan adalah penerapan bank tanah yang berfungsi sebagai
penghimpun tanah, sebagai pengaman tanah guna mengamankan penyediaan dan
peruntukan serta pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang yang sudah disahkan. Selain
itu fungsi bank tanah sebagai pengendali tanah, sebagai penilai tanah yang dapat menekan
munculnya spekulan tanah dan sebagai pendistribusian tanah yang disesuaikan dengan
program pembangunan serta rencana tata ruang yang juga berfungsi untuk mengarahkan
pemanfaatan tanah dalam pengembangan perkotaan dan suatu wilayah tertentu. Konsep
bank tanah sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia dalam bentuk bank tanah publik
mengingat ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD NKRI Tahun 1945 dan pasal 2 UUPA, bahwa
negara mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan bank tanah.2

C. Fatimah Al-Zahra, Fakultas Hukum, Universitas Nurul Jadid, Probolinggo.


Kebutuhan masyarakat akan terciptanya bank tanah sangatlah mendesak mengingat
kompleksitas masalah pertanahan yang saat ini terjadi di Indonesia, khususnya masalah
krisis ketersediaan lahan dan liberalisasi tanah yang menyebabkan harga tanah melonjak
sangat tinggi dan berimplikasi pada ketidakmampuan masyarakat berpenghasilan rendah
untuk memiliki tanah. Manfaat bank tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak
dapat dipungkiri, telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa bank tanah
memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di beberapa negara
maju, khususnya di Belanda dan Amerika Serikat. Dengan dukungan perangkat hukum
berupa undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bank tanah, maka praktik
bank tanah di Indonesia akan berjalan sesuai fungsinya dengan efektif dan memiliki daya
guna yang besar. Kondisi ini secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan tiap
individu dan melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.3
II. Analisis Saya Terhadap Pendapat Pro Kebijakan Bank Tanah

2
Hairani Mochtar, Keberadaan Bank Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan,
https://jurnal.hukumonline.com/a/605478e8a4416bd26f27b315/keberadaan-bank-tanah-dalam-pengadaan-
tanah-untuk-pembangunan, Jurnal Cakrawala Hukum Issue No.2 vol.18, Diakses Pada Tanggal 27 Februari 2022
3
Fatimah Al-Zahra, Konstruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara
Berkeadilan, https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/keadaban/article/download/913/490, Diakses Pada Tanggal 27
Februari 2022
Menurut saya, berdasarkan berbagai pendapat pro yang mendukung kebijakan Bank
Tanah yang telah dijabarkan diatas, eksistensi Bank Tanah sebagai salah satu kebijakan
untuk membantu pemerintah melestarikan ruang terbuka serta menstabilkan nilai tanah di
suatu negara memang memiliki tujuan dan manfaat yang baik. Seperti Penghimpun tanah
atau pencadangan tanah (land keeper), Pengamanan tanah (land warrantee), Pengendali
tanah (land purchaser), dan Pendistribusian tanah (land distributor). Manfaat-manfaat
tersebut jika dilihat secara kasat mata tanpa mendalami substansinya memang terlihat sangat
efektif dan sangat bagus bila diterapkan. Namun jika diselami lebih dalam, manfaat dan
tujuan dari kebijakan Bank Tanah memiliki banyak kekurangannya daripada kelebihannya.
Itu semua dikarenakan adanya Bank Tanah justru malah berpotensi menimbulkan
masalah daripada maslahat. Salah satunya yaitu dapat memperparah ketimpangan, konflik
agraria, dan perampasan tanah masyarakat. Bank Tanah memperkuat pengadaan tanah bagi
kelompok bisnis dan pemodal, termasuk praktik monopoli dan negaraisasi tanah. Hal
tersebut melebarkan ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dengan badan usaha
dan negara. Dengan menggunakan asas domein verklaring, sistem hak pengelolaan akan
menambah parah konflik agraria.
Kemudian Bank Tanah berpotensi menjadi lahan subur praktik korupsi dan kolusi. Hal
ini bisa terjadi karena Bank Tanah punya kewenangan dan fungsi yang luas. Bank Tanah
bisa melegalkan kesalahan dalam penggunaan kewenangan dengan alasan penanganan
masalah pertanahan. Misalnya, Menteri ATR/BPN dapat memutihkan HGU terlantar atau
yang berkonflik dengan petani dan masyarakat hukum adat dengan cara memberikan
kemudahan proses pengakuan hukum kepada perusahaan yang membutuhkan tanah tersebut.
Masih banyak masalah-masalah lain yang dapat ditimbulkan dari adanya Kebijakan
Bank Tanah ini. Sehingga saya sangat tidak setuju dengan pendapat-pendapat diatas yang
mendukung kebijakan Bank Tanah. Menurut saya pendapat tersebut terkesan terlalu sempit
dan hanya menilai kebijakan Bank Tanah dari luarnya saja sehingga berbagai potensi
masalah-masalah yang timbul dari penerapan kebijakan Bank Tanah menjadi tersamarkan.
Padahal justru yang harus kita soroti adalah berbagai potensi masalah yang bisa timbul dari
kebijakan tersebut agar berbagai kerugian yang mengancam di masa depan bisa dicegah.

III. Pendapat Kontra Terhadap Kebijakan Bank Tanah, sebagai berikut :


A. Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM),
Yogyakarta.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Maria SW
Sumardjono menilai pengaturan bank tanah dalam UU Cipta Kerja sangat bermasalah.
Penyebabnya antara lain muatan materinya juga menuai kontra. Pertama, bertabrakan
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dia menilai substansi kepentingan tanah hanya
bagi kepentingan sekelompok rakyat kecil. Bukan sebaliknya dipergunakan bagi
kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Kedua, menabrak putusan Mahkamah Konstitusi
No. 21-22/PUU-V/2007 ketika membahas jangka waktu hak atas tanah. Ketiga,
melanggar prinsip dalam Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA dan PSDA).
Lebih lanjut Maria berpendapat, keberaaan bank tanah malah penguatan hak
pengelolaan (HPL). Seperti warga asing dapat membeli apartemen di atas tanah berdiri.
Maria menemukan skenario dengan keberadaan bank tanah untuk memberikan karpet
merah bagi kelompok tertentu, yakni investor. Dia menilai bank tanah dalam UU Cipta
Kerja tak jelas filosofi, landasan hukum, asas atau prinsipnya, konsepsi, hingga
konstruksi hukumnya. Alibi, tujuan adanya bank tanah sebagai bagian reforma agraria
yang jatah tanahnya sebesar 30 persen dari tanah negara. Maria menilai gagasan tersebut
amat dipaksakan. Bank tanah yang merupakan badan khusus yang kewenangannya
sedemikian besar serta tujuannya memasukan semua hal dalam satu keranjang. Mulai
kepentingan umum sampai reforma agraria. “Tapi itu tidak dijelaskan sama sekali dalam
naskah akademik, tapi dituliskan cukup jelas,” ujarnya.
Peruntukan tanah reforma agraria diberikan kepada redistribusi tanah pertanian.
Menurutnya bila asal tanah bank tanah merupakan tanah negara eks HGU dan tanah
terlantar, bakal menjadi soal. Sebab tanag eks HGU dan tanah terlantar masuk dalam
kelompok tanah objek reformma agraria (TORA) yang diatur dalam Peraturan Presiden
No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. “Saya bingung, bank tanah mau
melaksanakan pekerjaan gugus tugas reforma agraria (GTRA), atau diam-diam biar saja
reforma agaria dan GTRA mati suri. Kemungkinannya seperti itu, karena tumpang
tindih,” katanya.
Dia menilai, tanpa UU Cipta Kerja di sektor pertanahan pun masih dapat
mendukung investasi. Sekalipun melakukan penyederhanaa, itu pun tanpa menyajikan
substansi bermasalah. Menggunakan UU Pokok-Pokok Agraria pun dapat mendukung
investasi. “Yang dituntut investor bukan untuk membuat substansi bermasalah. Tetapi
clean and clear. Jadi kalaupun ditunda khusus substansi tanah tidak berarti investasi
berhenti,” katanya.4

B. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)


Berikut adalah sejumlah catatan kritis dan pandangan Konsorium Pembaruan
Agraria (KPA) atas PP Bank Tanah:
1. Bank Tanah mengadopsi azas domein verklaring (negaraisasi tanah) dan
menyelewengkan hak menguasai dari negara
2. Liberalisasi pasar tanah dan kemudahan badan usaha asing menguasai tanah
3. Memperparah ketimpangan, konflik agraria dan perampasan tanah masyarakat
4. Mempermudah perampasan tanah atas nama pengadaan tanah untuk kepentingan
investor
5. Tujuan Bank Tanah bertentangan dengan orientasi ideologi kerakyatan dan tujuan
reforma agraria
6. Bank Tanah menimbulkan dualisme, overlapped, dan conflict of interest dengan
Kementerian ATR/BPN dalam pengaturan pertanahan dan pengadaan tanah
7. Bank Tanah, lahan subur praktik koruptif dan kolutif agraria
8. Bank Tanah tidak memiliki cantolan hukum dalam UU Cipta Kerja5

C. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan
Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences,
IPB, Bogor.

4
Hukum Online, Ahli Hukum Pertanahan UGM: Pengaturan Bank Tanah Bermasalah,
https://www.hukumonline.com/berita/a/ahli-hukum-pertanahan-ugm--pengaturan-bank-tanah-bermasalah-
lt5fa87162dec93/?page=2, Diakses Pada Tanggal 27 Februari 2022
5
Dewi Kartika, Hentikan Pembentukan Bank Tanah,
http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/230/Hentikan_Pembentukan_Bank_Tanah/, Diakses Pada Tanggal 27
Februari 2022
Berkaca pada pelaksanaan Bank Tanah di Amerika dan Cina, isi Undang-Undang
(UU) Cipta Kerja dan peraturan pemerintah mengenai Badan Bank Tanah, kita bisa
melihatnya ada beberapa potensi permasalahan yang mungkin terjadi.
Pertama, berbagai alokasi obyek dan subyek yang menjadi klien Bank Tanah, akan
mendorong kontestasi kuasa ataupun konflik kepentingan. Alokasi hak pengelolaan tanah
bisa dilakukan kepada instansi pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, Bank Tanah,
badan hukum negara/daerah, serta badan hukum yang ditunjuk pemerintah (pasal 138,
UU Cipta Kerja). Demikian halnya dengan alokasi obyek tanah dari Bank Tanah untuk
kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan
ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria (pasal 126, UU Cipta Kerja dan pasal 2
PP 64/2021).
Kedua, Bank Tanah di Indonesia tidak memenuhi syarat independensi O'Brien, dkk
di atas. Badan ini akan dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden dengan para Menteri
sebagai komite tertinggi, serta Badan Pengawas yang sebagian anggotanya harus
mendapat persetujuan DPR. Modal awal pembentukannya juga disediakan oleh
pemerintah sebesar Rp 2,5 triliun (pasal 130-135 UU Cipta Kerja dan pasal 43 PP
64/2021).
Ketiga, Bank Tanah tidak didesentralisasikan seperti di Amerika Serikat maupun
RRT. Bank Tanah di Indonesia sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah, kecuali dalam bentuk kerja sama (pasal 36 PP 64/2021). Transaksi
antara kebutuhan Bank Tanah dan kebutuhan daerah ini berpotensi melahirkan kontestasi
kepentingan, sebagaimana banyaknya korupsi alokasi anggaran yang selama ini terjadi.
Keempat, Bank Tanah mempunyai tujuan spesifik alokasi tanah, seperti untuk
reforma agraria dengan jumlah luas yang ditetapkan paling sedikit 30% dari luas tanah
yang dikelola Bank Tanah (pasal 22 PP 64/2021).
Meski begitu, distribusi tanah oleh Bank Tanah untuk kementerian/lembaga,
pemerintah daerah, organisasi sosial/keagamaan, dan masyarakat ditetapkan oleh
pemerintah pusat (pasal 15 PP 64/2021). Ini berarti reforma agraria tidak akan
partisipatif, dan melemahkan pelaksanaannya secara keseluruhan. Selain itu tidak ada
definisi mengenai “tanah” yang semestinya sudah dibebaskan dari berbagai hak
masyarakat lokal maupun adat yang mungkin masih ada di dalamnya.
Beberapa potensi kelemahan operasional Bank Tanah di atas, apabila benar-benar
terjadi, sudah cukup melahirkan korupsi institusional. Untuk itu sejalan dengan persiapan
pendiriannya, sangat perlu ada mitigasi risiko. Apabila tidak, korupsi institusional akan
terjadi dan modal awal yang disediakan pemerintah untuk pendiriannya akan sia-sia.6

IV. Analisis Saya Terhadap Pendapat Kontra Kebijakan Bank Tanah


Menurut saya, berdasarkan berbagai pendapat kontra yang telah dijabarkan diatas,
saya menyetujui bahwa memang keberadaan Bank Tanah dapat merugikan masyarakat.
Keberadaan Bank Tanah dinilai tidak perlu karena tugas dan fungsinya dapat dilaksanakan
oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Penjelasan-penjelasan yang ada juga menimbulkan opini bahwa Bank Tanah justru
berpeluang besar menjadi alat negara untuk dapat menguasai dan mengambil tanah
masyarakat, semacam menghidupkan kembali domein verklaring seperti zaman penjajahan
Kolonial Belanda. Bank Tanah juga dianggap hanya ditujukan untuk mempermudah
masuknya investasi dan mengesampingkan kepentingan rakyat Indonesia. Mungkin hal
tersebut sekilas memang terkesan memiliki tujuan yang baik, karena masuknya investasi
berarti pembukaan lapangan kerja yang berlimpah. Akan tetapi, keberadaan Bank Tanah
dalam UU Cipta Kerja menimbulkan dugaan bahwa pemerintah akan mengupayakan segala
cara demi investasi, termasuk mengorbankan kepentingan dan keadilan masyarakat.
Masyarakat dirugikan karena tanahnya dapat diambil alih oleh pemerintah dengan embel-
embel kepentingan umum dan investasi, tanpa ada kejelasan mengenai adanya atau tidaknya
ganti kerugian. Ketidakadilan ini berpotensi tercipta dengan adanya Bank Tanah sebagai
bagian dari pemerintah. Maka dari itu tidak heran jika berbagai kalangan menentang
keberadaan Bank Tanah di Indonesia. Sehingga saya menyimpulkan bahwa sebenarnya
Bank Tanah tidak diperlukan dan sebaiknya dihapuskan.

6
Hariadi Kartodihardjo, Potensi Korupsi Institusional Bank Tanah, https://www.forestdigest.com/detail/1180/apa-
itu-bank-tanah, Diakses Pada Tanggal 27 Februari 2022

Anda mungkin juga menyukai