Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

WAKAF
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqih Ibadah

Dosen Pengampu : Nurul Maisyal, M.H.I

Disusun Oleh :

M. Syafi’ul Anam (4120172)

Khofifatul Alivia (4120173)

M. Bagus Aminudin (4120174)

Nurhasmi Fenetiruma (4120207)

KELAS E

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PEKALONGAN

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji syukur kami panjatkan


kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah kami dari mata kuliah Fiqih Ibadah dengan tema “Wakaf”
ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Nurul Maisyal, M.H.I. selaku dosen
pembimbing dalam mata kuliah Fiqih Ibadah di IAIN Pekalongan yang telah memberikan tugas
ini kepada kami, serta kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan yang bersifat
membangun demi memperbaiki makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Demikian makalah ini kami susun, kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat
baik bagi diri kami sendiri maupun bagi orang yang membacanya guna menambah wawasan
serta pengetahuan kita Wakaf.Serta semoga makalah ini tercatat menjadi motivator bagi penulis
untuk penulisan makalah yang lebih baik dan bermanfaat. Aamiin.Barakallahu fiikum.

Pekalongan, November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf......................................................................................3

1. Pengertian Wakaf.................................................................................................................3
2. Dasar Hukum Wakaf............................................................................................................5
B. Rukun dan Syarat-Syarat Wakaf.............................................................................................6

1. Rukun Wakaf........................................................................................................................6
2. Syarat-Syarat Wakaf...........................................................................................................12
C. Macam – Macam Wakaf.......................................................................................................13

1. Wakaf Ahli.........................................................................................................................13
2. Wakah Khairi.....................................................................................................................14
D. Prosedur Pelaksanaan Wakaf................................................................................................14

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................16

A. Kesimpulan...........................................................................................................................16

B. Saran......................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu dari bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang
berkaitan dengan harta benda adalah wakaf. Wakaf telah disyari’atkan dan telah
dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang termasuk oleh masyarakat Islam di Indonesia. Amalan wakaf sangat besar
artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu,
Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang amat
digembirakan. Namun pada penerapannya masih banyak sekali orang yang belum
memahami tentang konsep dan bagaimana prosedur berwakaf dengan baik dan tepat
Secara teks, wakaf tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun makna
dan kandungan wakaf terdapat dalam dua sumber hukum Islam tersebut. Di dalam Al-
Qur’an sering menyatakan konsep wakaf dengan ungkapan yang menyatakan tentang
derma harta (infaq) demi kepentingan umum. Sedangkan dalam hadits sering kita temui
ungkapan wakaf dengan ungkapan habs (tahan).
Wakaf yang disyari’atkan dalam agama Islam mempunyai dua dimensi sekaligus,
ialah dimensi religi dan dimensi sosial ekonomi. Dimensi religi karena wakaf merupakan
anjuran agama Allah yang perlu diperaktekkan dalam kehidupan masyarakat muslim,
sehingga mereka yang memberi wakaf mendapat pahala dari Allah SWT karena mentaati
perintahnya.Wakaf juga dapat membantu mereka yang membutuhkan, berkontribusi
untuk masyarakat, serta memperoleh pahala yang terus mengalir.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa pengertian dan dasar hukum wakaf?
2. Apa rukun dan syarat wakaf?
3. Apa macam-macam wakaf?
4. Bagaimana prosedur pelaksanaan wakaf?
C. Tujuan Penulisan
1
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Mampu memahami pengertian dan dasar hukum wakaf
2. Mampu memahami rukun dan syarat wakaf
3. Mampu memahami macam-macam wakaf
4. Mampu memahami prosedur pelaksanaan wakaf

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Al-Waqf dalam bahasa Arab berarti Al-Habs, yaitu “menahan”.1 Istilah Waqf
(jamaknya: Auqâf) digunakan dalam Hukum Islam sebagai suatu pemilikan dan
pemilihan kekayaan tertentu dengan tujuan sosial.2 Di Indonesia, istilah al-Waqf atau
wakaf dipakai sesuai dengan istilah yang digunakan dalam Fikih dan lebih dikenal
dibanding istilah yang lainnya. Istilah Hubus atau Habous adalah istilah wakaf yang
digunakan di negeri-negeri muslim lainnya seperti Tunisia, Aljazair dan Maroko.3

Secara terminologi, wakaf didefinisikan “Menahan materi benda orang yang


berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebajikan”. Mazhab Hanafi
berpandangan bahwa status hukum wakaf ghair iltizam yaitu tidak mengikat, artinya
wakif dapat saja menarik kembali harta wakafnya. 4 Akan tetapi, mazhab fiqh selain
hanafiah berpendapat bahwa status hukum wakaf itu mengikat (iltizam), artinya harta
wakaf tidak dapat ditarik kembali oleh wakif, karena harta wakaf telah menjadi milik
umat dan sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan sosial. Argument ini berdasarkan

1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994), hlm. 148.
2
Monzer Kahf, “Wakaf”, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid VI, terj. Eva
YN, dkk, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 145.
3
M. TH. Haoutsma, dkk., First Encyclopaedia of Islam, Vol. VIII, (Leiden: E.J. Brill, 1987), hlm. 1096. lihat juga
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1961), hlm. 624
4
Abdul Aziz Dahlan, dkk., “Wakaf”, dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), hlm. 1905.
3
hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibn Al-Khattab, yang mana ia telah mewakafkan
sebidang tanah di daerah Khaibar untuk kepentingan fakir miskin, kaum kerabat,
memerdekakan budak, tamu dan orang terlantar, kemudian disyaratkan pula bahwa wakaf
itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.5

Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna


wakaf adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya
dan menyedekahkan manfaatnya.6 Adapun perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam
mendefinisikan wakaf diakibatkan cara penafsiran dalam memandang hakikat wakaf.
Perbedaan pendangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:7

Menurut Abu Hanifah “Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum,
tetap miliki si wakaf dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan”.
Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia
dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta
tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafiyah mendefinisikah “wakaf
adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak
milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik
sekarang maupun akan datang”.

Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan
tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan
wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik hartanya
untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu
berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan
uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai
5
Ibid.
6
Abu Zahrah (1971). Muhadharat fi al-Waqf. (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm. 41
7
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum Wakaf:
Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas
Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN),
hlm. 38-60

4
dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari
penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebajikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap milik si
wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh
disyaratkan sebagai wakaf kekal.

Madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan sebagian Hanafiyah. Madzhab ini berpendapat


bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil manfaatnya dengan
mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif untuk mendayagunakan
harta tersebut. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan.8Berubahnya status kepemilikan dari milik seseorang, kemudian diwakafkan
menjadi milik Allah. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat
diwarisi oleh ahli waris. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada
mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif
tidak dapat melarang menyalurkan sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya,
maka qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu
madzhab ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan (sosial).

2. Dasar Hukum Wakaf


Dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum wakaf dalam Agama Islam
adalah :9

۟ ُ‫وا ِم َّما ت ُِحبُّونَ ۚ َو َما تُنفِق‬


‫وا ِمن ش َْى ٍء فَِإنَّ ٱهَّلل َ بِ ِهۦ َعلِي ٌم‬ ۟ ُ‫وا ٱ ْلبِ َّر َحتَّ ٰى تُنفِق‬
۟ ُ‫لَن تَنَال‬

8
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th, hlm.153
9
Adijani Al-Alabij, 32
5
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamunafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali-Imran : 92)10

Kata birr (kebaikan) terkait erat dengan kata infaq (memberi). Kata birr ini
terletak antara huruf lan (mengandung makna tidak untuk selamanya) dan hatta
(hingga atau sampai yang berhubungan dengan tindakan). Sehingga ada 3 kata kunci
pada ayat ini sehingga sering kali dijadikan dalil utama dalam wakaf yang bersumber
dari alquran, (1) kebaikan, (2) tindakan infak, dan (3) harta yang dimiliki adalah
paling dicintai. Psikoanalisis mengatakan tidak mungkin orang memberikan harta
yang paling dicintai kepada orang lain demi kebaikan. Salah satu analisis itulah
sehingga kebaikan dalam konteks kata birr sulit untuk dilakukan. Oleh para penafsir
model infak seperti ini, digolongkan sebagai wakaf, bukan bentuk pemberian yang
lain

ِ ‫س ْبتُ ْم َو ِم َّمٓا َأ ْخ َر ْجنَا لَ ُكم ِّمنَ ٱَأْل ْر‬


‫ض‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا َأنفِق‬
ِ َ‫وا ِمن طَيِّ ٰب‬
َ ‫ت َما َك‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dariapa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu, ”. (QS. Al-Baqarah: 267).11

۟ ُ‫وا َعلَى ٱِإْل ْث ِم َوٱ ْل ُع ْد ٰ َو ِن ۚ َوٱتَّق‬


َ ‫وا ٱهَّلل َ ۖ ِإنَّ ٱهَّلل‬ ۟ ُ‫اون‬ ۟ ُ‫اون‬
َ ‫وا َعلَى ٱ ْلبِ ِّر َوٱلتَّ ْق َو ٰى ۖ َواَل تَ َع‬ َ ‫َوتَ َع‬
ِ ‫ش ِدي ُد ٱ ْل ِعقَا‬
‫ب‬ َ

Artinya: “………Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan

10
Mujamma’ Khadim al-Haramainasy-Syarifain al-Malik Fahd li-Thiba’at al-Mushhafasy-Syarif, AlQur’an
danTerjemahnya, Madinah, tt, 91
11
Ibid, 67
6
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS.
Al-Maidah: 2).12
B. Rukun dan Syarat – Syarat Wakaf
1. Rukun Wakaf
Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur
pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa Arab
“ruknun” yang berarti tiang, penopang atau sandaran.13 Dengan kata lain, sesuatu
yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaannya tidak akan ada
hukum.14Atau dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu perbuatan.
Dengan demikian, wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Rukun wakaf menurut fiqh ada 4 (empat) macam, yaitu (1) waqif (orang
yang mewakafkan), (2) Mauquf‘alaih (pihak yang diserahi wakaf), (3) Mauquf (harta
yang diwakafkan), (4) Shighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan).15
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
Waqif adalah pihak yang mewakafkan. Wakif harus mempunyai
kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam
membelanjakan hartanya (tasharruf al-mal).
Adapun syarat-syarat wakif yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1) Cakap berbuat tabarru. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia
bukan muslim.16
Kecakapan tersebut meliputi 4 kriteria, yaitu:
a) Merdeka;
b) Berakal sehat,
c) Dewasa (baligh),
d) Tidak dibawah pengampuan.17
12
Ibid, 157
13
Anton M. Moelyono, (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 757.
14
Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991, hlm. 15.
15
Asy-Syarbini (t.t.). Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Mushthafa Halabi), Juz II, hlm. 376.
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007, hlm. 341.
17
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hlm.153.
7
2) Kehendak sendiri tidak sah bila dipaksa.
3) Sehat akalnya dan dalam keadaan sadar.
4) Telah mencapai umur (balig) dan cakap.
5) Pemilik sah dari barang (benda) wakaf.18
Berkenaan dengan pelepasan benda wakaf oleh wakif muncul perbedaan
pendapat tentang status kepemilikan benda yang sudah diwakafkan.
Kepemilikan, hanya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa harta yang
diwakafkan adalah tetap milik si wakif. Pendapat ini berimplikasi pada
kewenangan wakif untuk men-tasharuf-kan harta wakaf sesuai dengan
keinginannya, termasuk menghibahkan, menjual dan mewariskan. Ia
memandang bahwa wakaf itu seperti ariyah (pinjam meminjam), di mana
benda di tangan peminjam sebagai pihak yang mengambil manfaat benda
tersebut.
Menurutnya wakaf mempunyai kepastian hukum hanya dalam tiga hal:
1) Wakaf masjid,
2) Wakaf bila diputuskan oleh hakim,
3) Bila benda wakaf dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu
wakaf wasiat.19
Selain Abu Hanifah, Imam Malik juga berpendapat sama bahwa harta
wakaf masih milik si wakif. Pendapat inilah yang mempengaruhinya hingga
ada pembedaan antara wakaf muabbad dan wakaf muaqqat. Bila muabbad
kepemilikan putus, maka muaqat kepemilikan masih pada wakif.20
Berdasarkan hadis Umar, Imam Malik memandang bahwa
tidak ada indikasi dari hadis tersebut yang menyuruh wakaf untuk selamanya,
sehingga Imam Malik memunculkan pembagian tersebut. Selain dua pendapat
tersebut hampir semua sepakat terhadap putusnya kepemilikan antara harta
wakaf dengan wakif dan berpindahnya kepemilikan menjadi milik Allah.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hlm. 493.
19
Pandangan ini yang dijadikan dasar dalam UU No. 41 Tahun 2004 yang membolehkan wakaf untuk jangka waktu
tertentu atau muaqqat
20
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 7599-7502; Al-Kabisi. Hukum Wakaf, hlm. 38-60; Abu Zahrah.
Muhadharat fi al-Waqf, hlm. 34; Ali Fikri (1938). Al-Mu’amalat al-Maliyah wa alAdabiyah. (Mesir: Mushthafa al
Babi al-Halabi), hlm. 311.
8
Syafi’i menyamakan wakaf dengan al-‘itq (pemerdekaan budak). Budak
adalah milik tuannya, tetapi bila ia sudah merdeka, ia menjadi milik Allah21.
b. Mauquf ‘alaih (orang yang diberi amanat wakaf)
Mauquf ‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang diserahi
mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga diartikan
peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf ‘alaih sebagai nadzir, dalam
literatur fiqh kurang mendapat porsi pembahasan yang detail oleh para ahli
fiqh yang terpenting adalah keberadaan mauquf ‘alaih mampu mewujudkan
peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauquf ‘alaih). Hal ini terpengaruh
oleh unsur tabarru’ (kebaikan) yang meliputi peruntukan ibadah dan sosial
(umum) kecuali yang bertentangan dengan Islam (ideologi) dan maksiat.
Pengaruh lain adalah karena pemahaman bahwa wakaf termasuk akad sepihak
yang tidak membutuhkan adanya qabul dan salah satu pendapat boleh
hukumnya wakaf kepada diri sendiri. Berkenaan dengan keyakinan nadzir,
menurut Nawawi.22 Sah hukumnya wakaf kepada kafir dzimmi dengan 2
syarat, (1) peruntukan objek wakaf yang diamanatkan kepada nadzir tidak
berupa ibadah bagi muslim, seperti wakaf Qur’an kepada nadzir kafir dzimmi,
dan (2) manfaat benda wakaf oleh nadzir tidak untuk kepentingan keyakinan
si kafir dzimmi seperti wakaf untuk pembangunan gereja yang difasilitasi oleh
nadzir kafir dzimmi.
c. Mauquf (Harta Benda Wakaf)
Perbincangan fiqh mengenai benda wakaf, bertolak pada, pertama, jenis
harta, apakah benda bergerak atau tidak bergerak, atau bisa keduanya.
Madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah tergolong konservatif dengan hanya
membolehkan harta tak bergerak sebagai objek wakaf. Sementara Hanafiyah
dan Malikiyah cenderung membolehkan wakaf harta bergerak. Perbedaan ini
muncul dari perbedaan menafsirkan apakah yang diwakafkan adalah dzat
benda atau manfaat benda. Bila dzat benda maka cenderung benda

21
Nawawi (t.t.). al-Raudhah. (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiah), Juz IV, hlm. 379
22
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang
Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia. (Jakarta: CRCS UIN Syahid), hlm. 39.
9
tidak bergerak yang ternyata jumlah jenisnya sedikit, sedangkan bila manfaat
benda cenderung benda bergerak yang jumlah jenisnya sangat banyak.
Keterkaitan antara status kepemilikan wakif terhadap benda wakaf setelah
diwakafkan berimplikasi pada kewenangan atas perlakuan wakif terhadap
benda wakaf tersebut yang oleh hadis riwayat umar memuat tiga tindakan
yaitu dijual, dihibahkan dan diwariskan. Terhadap hal tersebut Abu Hanifah
menyatakan bahwa harta wakaf masih milik wakif, maka wakif
boleh memperlakukan apa saja terhadap harta wakaf seperti menjual,
menghibakan, dan mewariskan termasukmengagunkanharta benda wakaf.
Berbeda dengan Hanafi,Maliki sekalipun menyatakan bahwa harta wakaf
milik wakif, tetapi wakif tidak punya hak untuk mendaya gunakan harta wakaf
secara pribadi dalam bentuk apapun. Sedangkan Syafi’I dan Hanbali
menyatakan putusnya kepemilikan harta wakaf dengan wakif sehingga wakif
terputus haknya terhadap harta wakaf. Kedua, kelanggengan atau keabadian
objek wakaf yang terkait erat dengan objek wakaf yang bergerak. Oleh karena
itu mewakafkan harta bergerak harus melekat dengan harta tak bergerak
seperti wakaf alat pertanian terkait dengan sawah, dan sebagainya.23
Hal yang menarik lagi adalah perubahan peruntukan. Jika suatu ketika
benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau sudah berkurang
manfaatnya, kecuali ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti
menjual, merubah bentuk asal, memindahkan ke tempat lain, atau menukar
dengan benda lain, bolehkan perubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf
tersebut? Ternyata dalam hal tersebut para ulama fiqh berbeda pendapat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kalau benda wakaf sudah tidak
berfungsi (tidak dapat dipergunaka) atau kurang berfungsi, maka benda
tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diganti/ tukar, tidak boleh dipindahkan,
tapi benda tersebut dibiarkan tetap dalam keadaannya. Pendapat ini adalah
pendapat yang dikemukakan oleh Syafi’I dan Malik. Alasannya adalah hadis
riwayat Ibn Umar, yang tersurat bahwa bendawakaftidak boleh dijual,
dihibahkan, dan diwariskan.
23
Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI Press), hlm. 93
10
Perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat
pengaturannya dalam madzhab Syafi’i. namun demikian, berdasarkan keadan
darurat dan prinsip mashlahah, dikalangan para ulama fiqh perubahan itu
dalam dilakukan. Ini disandarkan pada pandangan agar manfaat wakaf itu
tetap terus berlangsung sebagai sadaqah jariyah, tidak mubadzir karena rusak,
tidak berfungsi lagi dan sebagainya.24
Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menjual benda wakaf atau
menukarnya, menggantinya, memindahkannya, dan menggunakan hasil
[

penjualan tersebut untuk kemudian digunakan lagi bagi kepentingan wakaf.


Abu Yusuf, murid Hanafi, berpendapat bahwa benda wakaf tersebubt boleh
dijual dan menggunakan hasil penjualantersebut. Sedangkan Muhammad,
murid Hanafi juga, berpendapat bahwa kalau benda wakaf tersebut sudah
tidak berfungsi lagi atau rusak, maka benda tersebut kembali kepada pemilik
pertama atau wakif.25
Adapun syarat-syarat maukuf adalah sebagai berikut:
a) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak
sekali pakai
b) Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hokum
c) Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda
wakaf merupakan benda yang bebas dari segala pembebanan,
ikatan, sitaan dan sengketa
d) Benda wakaf itu tidak dapat dimiliki dan dilimpahkan
kepemilikannya
e) Benda wakaf dapat dialihkan jika hanya jelas-jelas untuk maslahat
yang lebih besar
f) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau
diwariskan.26
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif)

24
Sayyid Sabiq (1977). Fiqhu as-Sunnah. (Lebanon: Dar al-‘Arabi), hlm. 387; Abil Mawahib bin Ahmad Abdul
Wahab (t.t.). Mizan al-Kubro. (Mesir: Dar Ahya al-Kutub al-‘Arabiyyah), hlm. 228.
25
Abu Zahrah. Muhadharat fi al-Waqf, hlm. 51-52
26
Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 493.
11
Shighat atau ikrar adalah pernyataan penyerahan harta benda wakaf oleh
wakif. Dalam hal ini perbedaan yangmuncul adalah bentuk pernyataan
apakah lisan, kinayah atau tindakan.Sementara dalam hal akad wakaf,semua
madzhab menyatakan bahwawakaf adalah akad tabarru’ yaitutransaksi
sepihak yang sah sebagaisuatu akad yang tidak memerlukankabul dari pihak
penerima dandicukupkan dengan ijab si wakif. Akad tidaklah menjadi syarat
dalam akad wakaf. Definisi akad disini adalah suatu bentuk perbuatan hokum
(tasharruf) yang mengakibatkan adanya kemestian penataan kepada apayang
dinyatakan dari kehendak perbuatan hukum itu oleh pihak yang
berkepentingan, kendatipun pernyataan itu dari sepihak saja. Akad dalam
pengertian kesepakatan dari dua belah pihak yang berkehendak melakukan
suatu perikatan digambarkan dengan ijab dan qabul seperti yang terjadi dalam
jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya, sehingga tidaklah berlaku dalam
pengertian akad wakaf.27
Di samping penjelasan tersebut di atas, al-Kabisi lebih dahulu
mempertanyakan apakah wakaf termasuk akad yang menimbulkan tasharruf
(perbuatan hukum) yang menimbulkan prestasi akibat hukum yang telah
disetujui atau al-iqa’ (pelimpahan) yangtidak menimbulkan akibat hukum,
hanya pelimpahan atau penyerahan yang instrinsik di dalamnya adalah amanat
dan tanggung jawab untuk menjalankannya. Ia cenderung berpendapat bahwa
wakaf merupakan akad al-‘iqa’ (pelimpahan)karena fokus wakaf adalah
pendayagunaan yang sifatnya sosial dengan perspektif kebutuhan sosial juga,
bukan kontraktual.28
2. Syarat – Syarat Wakaf
Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Wakaf harus secara tunai
Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf berakibat
lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf.29
27
Al-Kabisi. Hukum Wakaf, hlm. 95
28
Ibid
29
Ibid., hlm. 30
12
b) Tujuan wakaf harus jelas
Oleh karena itu bila seseorang mewakafkan hartanya tanpa menyebutkan
tujuannya sama sekali, maka di pandang tidak sah. Meskipun demikian, jika
wakif mengesahkan wakafnya itu kepada suatu badan hukum, maka ia di
pandang sah. Sebab penggunaan harta wakaf menjadi tanggung jawab badan
hukum.30
c) Wakaf yang sah harus dilaksanakan
Wakaf yang sah itu wajib dilaksanakan, dengan syarat tidak boleh ada
khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan)
sebab pernyataan wakaf berlangsung seketika dan untuk selamanya.31
Dalam hubungannya dengan syarat-syarat wakaf di atas, apabila wakif mengajukan
syarat mengenai harta wakaf, maka syarat itu harus dihormati sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
C. Macam – macam Wakaf
1. Wakaf ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus, yang dimaksud
dengan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orangorang tertentu, seorang atau
terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Wakaf ahli juga sering disebut wakaf
dzurri atau wakaf ‘alal aulad yakni wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan
jaminan sosial dalam lingkungan keluarga atau lingkungankerabat sendiri.32
Dalam satu segi, wakaf ahli ini mempunyai dua aspek kebaikan, yaitu (1)kebaikan
sebagai amal ibadah wakaf, (2) kebaikan silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan
harta wakaf.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu
ialah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Masalah yang mungkin akan
timbul dalam wakaf ini apabila turunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi
yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau
ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bagaimana nasib harta

30
Ibid.
31
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988, hlm.
32
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1).
13
wakaf itu? Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum, yaitu wakaf
tidak boleh dibatasi dengan waktu.33
Dengan demikian meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan
benda-benda wakaf telah punah, buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda
wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau tidak ada lagi digunakan oleh
umum. Berdasarkan pengalaman, wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sesuai dengan tujuan wakaf yang
sesungguhnya, terlebih bila turunannya dimaksud telah berkembang dengan sedemikian
rupa. Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf ahli dihapuskan dengan Undang-undang No.
180 tahun 1952.34
2. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum
dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Seperti wakaf untuk pembangunan
masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, dan lain sebagainya.
Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf
ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis
wakaf inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.
Dengan demikian, benda benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk
kepentingan umum, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat saja.35
Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat
digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir
hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.36
D. Prosedur Pelaksanaan Wakaf
Fiqih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf
secara rinci. Tetapi PP No. 28 Tahun 1977 dan Peraturan MenteriAgama No. 1 Tahun
1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut Pasal 9 ayat 1 PP No. 28 Tahun
1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Dalam ketentuan

33
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 219
34
Depag Rl, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, 1986), h. 216
35
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc-cit. hlm.16
36
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa. (Kairo . Oar al-Syuruq, tt), h. 115
14
undang-undang wakaf yang baru yaitu Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 17
juga menyatakan bahwa :
1. “Ikrar wakafdilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2. Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau
tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.” Yang dimaksud
PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dalam hal ini adalah Kepala KUA
Kecamatan.
Dalam praktek pelaksanaan wakaf sering dilakukan di hadapan orang yang
dipercayai oleh masyarakat seperti kyai, ustadz, pemuka masyarakat atau imam masjid.
Pada dasarnya keberadaan PPAIW dalam praktek perwakafan tanah adalahsebagai tindak
lanjut dan memenuhi ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa:23 “Setiapperjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baruatas tanah, menggadaikan tanah
atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagaitanggungan, harus dibuktikan dengan
suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapanpejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.”
Dalam hal ini, wakaf merupakan suatu peralihan hak atas tanah dimana wakif sebagai
pemilik asal menyerahkan tanahnya kepada masyarakat yang diwakili oleh nadzir. Oleh
karena wakaf merupakan peralihan hak atas tanah maka dalam pelaksanaannya harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Waqf dalam bahasa Arab berarti Al-Habs, yaitu “menahan”. Istilah Waqf
(jamaknya:Auqâf) digunakan dalam Hukum Islam sebagai suatu pemilikan dan pemilihan
kekayaan tertentu dengan tujuan sosial Secara terminologi, wakaf didefinisikan
“Menahan materi benda orang yang berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk
kebajikan”.
Dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum wakaf dalam Agama Islam
adalah :
 (QS. Ali-Imran : 92)
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
 (QS. Al-Baqarah: 267)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dariapa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu
 (QS. Al-Maidah: 2)
Artinya : ...... “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
.Rukun wakaf menurut fiqh ada 4 (empat) macam, yaitu (1) waqif (orang yang
mewakafkan), (2) Mauquf‘alaih (pihakyangdiserahi wakaf), (3) Mauquf (harta yang
diwakafkan), (4) Shighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak
untuk mewakafkan).
16
Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf berakibat
lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf.
b) Tujuan wakaf harus jelas, Seseorang mewakafkan hartanya tanpa
menyebutkan tujuannya sama sekali, maka di pandang tidak sah

c) Wakaf yang sah harus dilaksanakan, Tidak khiyar (membatalkan atau


melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab wakaf berlangsung
seketika dan untuk selamanya

Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu,
maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 macam :

1. Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus, yang dimaksud
dengan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang orang tertentu,
seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. wakaf ahli ini
baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari
amal ibadah wakafnya juga kebaikan silaturahmi dengan keluarga yang
diberikan harta wakaf.

2. Wakaf Khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan
umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Seperti wakaf untuk
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, dan lain sebagainya.
Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis
wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil
manfaat.

Fiqih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tatacara pelaksanaan wakaf
secara rinci. Tetapi PP No. 28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun
1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut Pasal 9 ayat 1 PP No. 28 Tahun
1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Dalam ketentuan

17
undang-undang wakaf yang baru yaitu Undang undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 17
juga menyatakan bahwa :

1) “Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.

2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan
serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.” (Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf) dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan.

B. Saran
Semoga kita dapat memahami dari apa yang kita bahas bersama mengenai wakaf.
Agar senantiasa kita semua bisa mempraktikkan dengan baik dan sesuai agama islam dan
menjadi insan yang selalu beramal dengan berwakaf. Sesuai anjuran dalam al – quran dan
as-sunnah.

18
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid . 1994.Fiqh al-Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Kahf ,Monzer,2001, “Wakaf”, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern, Jilid VI, terj. Eva YN, dkk, Bandung: Mizan.
Haoutsma ,M. TH., dkk., 1987, First Encyclopaedia of Islam, Vol. VIII, Leiden: E.J.
Brill.
Gibb ,H.A.R. dan J.H. Kramers, 1961,Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J.
Brill.
Dahlan, Abdul Aziz dkk., 1996, “Wakaf”, dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Zahrah ,Abu ,1971,Muhadharat fi al-Waqf,Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi
Al-Kabisi ,Muhammad Abid Abdullah ,2004, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer
Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas
Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP,Jakarta: Dompet Dhuafa
Republika & IIMaN.
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr,
Mujamma’ Khadim al-Haramainasy-Syarifain al-Malik Fahd li-Thiba’at al-Mushhafasy-
Syarif, AlQur’an danTerjemahnya, Madinah,
Anton M. Moelyono, 1989,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka
Rifa’i, Muhammad, 1991,Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana.
Asy-Syarbini (t.t.). Mughni al-Muhtaj, Kairo: Mushthafa Halabi, Juz II.
Rasjid, Sulaiman, 2007, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo.
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy,
Rofiq, Ahmad ,2003 ,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo..

19
Ali Fikri 1938 Al-Mu’amalat al-Maliyah wa alAdabiyah. Mesir: Mushthafa al Babi al-
Halabi.
Nawawi (t.t.). al-Raudhah. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiah
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary ,2006, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan:
Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia.,Jakarta: CRCS UIN Syahid.
Ali ,Mohammad Daud ,1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf,Jakarta: UI Press
Sabiq ,Sayyid,1977. Fiqhu as-Sunnah. Lebanon: Dar al-‘Arabi
Abil Mawahib bin Ahmad Abdul Wahab (t.t.). Mizan al-Kubro. Mesir: Dar Ahya al-
Kutub al-‘Arabiyyah.
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1).
Depag Rl, 1986, Ilmu Fiqih, Jakarta : Ditjen Binbaga Islam.

20

Anda mungkin juga menyukai