Anda di halaman 1dari 4

RAMADHAN

Minggu, 05 Mei 2019 24:00 WIB

10 Amalan Sunnah dalam Berpuasa


M. Tatam Wijaya

Walau tak sampai merusak keabsahan ibadah bila dilewatkan, amalan-amalan sunnah dalam ibadah apa
pun tidak boleh diabaikan, demi keutamaan dan kesempurnaan ibadah tersebut. Demikian halnya dengan
amalan-amalan sunnah dalam ibadah puasa. Kaitan dengan ini, Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-
Bantani (w. 1316) telah merincinya kepada kita semua. 
 

Dalam kitab Nihâyah al-Zain fî Irsyâd al-Mubtadi’in (Darul Fikr, Beirut, Cetakan I, h. 194), ia menulis ada
10 amalan sunnah yang harus kita pelihara saat berpuasa.
 

Pertama, makan sahur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
 

  ‫َت َس َّح ُر وا َف ِإ َّن ِف ي الَّس ُح وِر َبَر َكًة‬

Artinya, “Bersantap sahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada keberkahan,” (HR al-Bukhari). 
 

Aktivitas sahur sendiri tercapai dengan menyantap sesuatu walaupun hanya sedikit atau hanya seteguk air.
Waktunya adalah selepas tengah malam. Utamanya, ia diakhirkan selama tidak sampai masuk waktu yang
diragukan: apakah masih malam atau sudah terbit fajar. Dalam hadis lain, Rasulullah menandaskan: 
 

‫اَل َتَز اُل ُأ َّم ِت ي ِب َخ ْي ٍر َم ا َأ َّخ ُر وا الَّس ُح وَر َو َع َّج ُلوا اْلِف ْط َر‬ 

Artinya, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan
menyegerakan berbuka,” (HR Ahmad). 
 

Kedua, menyegerakan berbuka sebelum shalat maghrib. Namun, itu tentu dilakukan setelah yakin masuk
waktu maghrib, berdasarkan hadis di atas. Saat pertama berbuka, sunnahnya dilakukan dengan kurma. Jika
tidak ada, hendaknya dengan air, berdasarkan sabda Rasulullah:

‫ َف َع َلى اْلَم اِء َف ِإ َّن اْلَم اَء َط ُه وٌر‬، ‫ َف ِإ ْن َلْم َي ِج ِد الَّت ْم َر‬، ‫ َف ْلُي ْف ِط ْر َع َلى الَّت ْم ِر‬،‫ِإ َذ ا َكاَن َأ َح ُد ُكْم َص اِئًم ا‬

Artinya, “Jika salah seorang berpuasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma. Jika tidak ada kurma, maka
dengan air. Sebab, air itu menyucikan,” (HR Abu Dawud).  
 

Urutan sebaiknya, pertama dengan kurma basah (ruthab) jika ada. Jika tidak, maka dengan kurma kering
(tamar). Jika tidak, maka dengan air. Sebab, sebuah riwayat menyebutkan, sebelum shalat maghrib,
Rasulullah saw. selalu berbuka dengan kurma basah. Jika tidak ada, beliau berbuka dengan kurma kering.
Jika tidak ada, beliau berbuka dengan air putih. Bagaimana seandainya tidak ada kurma dan air, yang ada
misalnya madu dan susu, maka dihulukanlah madu walaupun sama-sama manis. 
 

Ketiga, membaca doa yang ma‘tsur sebelum atau setelah berbuka, antara lain dengan doa berikut: 
 

‫ َو َث َب َت اَأْلْج ُر ِإ ْن َش اَء اُهَّلل َي ا َو اِس َع اْلَف ْض ِل ِا ْغ ِف ْر‬، ‫ َو اْبَت َّلِت اْلُع ُر وُق‬، ‫الَّلُه َّم َلَك ُص ْم ُت َو ِب ك آَم ْنُت َو َع َلى ِرْز ِق َك َأْف َط ْر ُت َو َع َلْي َك َت َو َّكَلُت َذ َه َب الَّظ َم ُأ‬
‫ِل ي َاْلَح ْم ُد ِهلل اَّلِذ ي َهَد اِن ي َف ُص ْم ُت َو َر َز َق ِن ي َف َأْف َط ْر ُت‬

Artinya, “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka,
hanya kepada-Mu aku bertawakal. Sungguh, rasa haus sudah sirna, urat-urat sudah basah, dan balasan
sudah tetap, insya Allah. Wahai Dzat yang maha luas karunia-Nya, ampunilah aku. Segala puji hanya milik
Allah Dzat yang telah memberiku petunjuk, hingga aku kuat berpuasa. Lalu Dia memberiku rezeki, hingga
aku bisa berbuka.”  
 

Atau dengan doa yang lebih pendek dan masyhur: 


 
‫الَّلُه َّم َلَك ُص ْم ُت َو ِب ك آَم ْنُت َو َع َلى ِرْز ِق َك َأْف َط ْر ُت ِب َر ْح َم ِت َك َي ا َأ ْر َح َم الَّر اِح ِم ْي َن‬ 

Artinya, “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka,
berkat rahmat-Mu, wahai Dzat yang maha penyayang di antara para penyayang.”
 

Keempat, mandi besar dari junub, haid, atau nifas sebelum terbit fajar agar bisa menuanikan ibadah dalam
keadaan suci, di samping khawatir masuk air ke mulut, telinga, anus, dan sebagainya jika mandi setelah
fajar. Kendati tidak bersedia mandi seluruh tubuh sebelum fajar, hendaknya mencuci bagian-bagian
tersebut (yang sekiranya rawan masuk air) disertai dengan niat mandi besar.  
 

Kelima, menahan lisan dari perkara-perkara yang tak berguna, apalagi perkara haram, seperti berbohong
dan mengumpat. Sebab, semuanya akan menggugurkan pahala puasa. 
 

Keenam, menahan diri dari segala hal yang tak sejalan dengan hikmah puasa, meskipun itu tidak sampai
membatalkan, seperti berlebihan dalam mengadakan makanan atau minuman, bersenang-senang dengan
perkara-perkara yang sejalan dengan keinginan dan kepuasan nafsu, baik yang didengar (seperti musik),
ditonton, disentuh, diraba, dicium, dan sebagainya. Sebab semua itu tak seiring dengan hikmah dari ibadah
puasa.  
 

Ketujuh, memperbanyak sedekah, baik kepada keluarga, kaum kerabat, maupun tetangga. Berilah mereka
makanan secukupnya. Kendati tidak ada, jangan sampai luput walau hanya seteguk air atau sebiji kurma,
berdasarkan sabda Rasulullah saw:
 

‫ ِإ اَّل َأ َّن ُه اَل َي ْن ُق ُص ِم ْن َأ ْج ِر الَّص اِئ ِم َش ْي ٌء‬، ‫ ُكِت َب َلُه ِم ْث ُل َأ ْج ِر ِه‬،‫َم ْن َف َّط َر َص اِئًم ا‬

Artinya, “Siapa saja yang memberi makanan berbuka kepada seorang yang berpuasa, maka dicatat baginya
pahala seperti orang puasa itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut,” (HR
Ahmad).  
 

Selain itu, juga sebaiknya memperbanyak baca Al-Quran, belajar Al-Quran, menuntut ilmu, berdzikir,
berbuat baik di mana pun, walaupun saat berada di jalan. Dasarnya adalah Rasulullah saw. selalu
memeriksa hapalan Al-Quran-nya kepada malaikat Jibril setiap malam di bulan Ramadhan.

Kedelapan, memperbanyak i'tikaf di masjid. Sebaiknya dilakukan sebulan penuh. Jika tidak, sepuluh malam
terakhir diutamakan. Sebab, jika memasuki sepuluh malam terakhir, Rasulullah saw. selalu menghidupkan
malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggang sebagai bentuk kesiapan
menjalankan ibadah. 
 

Kesembilan, mengkhatamkan Al-Quran setidaknya sekali selama bulan Ramadan. Maksimalnya tentu
sebanyak-banyaknya, seperti para ulama terdahulu. Bahkan, setiap bulan Ramadhan, Imam al-Syafi‘i
mengkhatamkannya hingga 60 kali. 
 

Kesepuluh, istiqamah dalam menjalankan amaliah Ramadhan dan melanjutkan amaliah-amaliah tersebut di
bulan-bulan berikutnya.

Wallahu ‘alam.

(Ustadz M. Tatam Wijaya) 

Ramadhan Kultum Ramadhan

Anda mungkin juga menyukai