Anda di halaman 1dari 11

A.

Latar Belakang
Pelayanan jasa Notaris sebagai bagian pelayanan terhadap masyarakat, harus
berjalan sejajar dengan perkembangan masyarakat dimasa sekarang. Kecermatan,
kejujuran, dan kecakapan Notaris, tidak hanya semata-mata berlandaskan pada sikap
pandang yang bersifat formalistik, akan tetapi harus berlandaskan pada sikap pandang
yang bersifat profesionalisme, sehingga usaha untuk meningkatkan mutu pelayanan
Notaris membawa hasil positif bagi masyarakat.
Kedudukan Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik disebutkan dalam
Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan: “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akte otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang
lainnya”. Tugas-tugas yang dilakukan oleh Notaris diantaranya membuat akta otentik,
akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, selalu harus
diikuti dengan pembuatan akta-akta yang diperlukan, sebagaimana telah diatur secara
khusus mengenai hal tersebut. Akta-akta mana yang harus dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana diatur
dalam Pasal 37 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1994 perubahan atas PP Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah, dimana dalam hal tertentu dibuat akta oleh Notaris.
Dengan demikian maka pemerintah dalam peraturannya yang dikeluarkannya itu telah
menugaskan kepada pejabat yang membuat aktanya untuk turut mengawasi
pelaksanaan pembayaran pajak-pajak yang terhutang atas transaksi tanah dan/atau
bangunan yang dimaksud.1
Dalam melaksanakan pembuatan akta jual beli dan peralihan hak atas tanah,
seorang Notaris dalam kedudukan selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus
meminta kliennya untuk menyelesaikan pembayaran pajak-pajaknya terlebih dahulu
yang diwajibkan yang timbul dari adanya transaksi peralihan hak atas tanah tersebut.
Salah satu pelayanan Notaris yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai PPAT adalah
pelayanan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam
hal jual beli dan peralihan hak atas tanah.

1
Yuliana Zamrotul Khusna, Lathifah Hanim, Peran Notaris dan PPAT Dalam Mencegah Terjadinya
Penyalahgunaan Kuasa Jual Untuk Penghindaran Pajak, Jurnal Akta : Vol. 4 No. 3 September 2017, Hal. 396
Setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, mewajibkan pihak yang
menerima untuk membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 2
Untuk perolehan hak yang terjadi melalui jual beli, maka pajak dikenakan kepada kedua
belah pihak baik penjual maupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan
(PPh) dan kepada pembeli dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP). Dalam bahasa sehari-hari, NPOP bisa juga diartikan sebagai nilai
transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Terdapat faktor lain
yang menjadi dasar penghitungan BPHTB yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
merupakan nilai yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi
dan Bangunan (SPPT PBB) atau dalam bahasa sehari-hari disebut NJOP saja. Jika nilai
NPOP lebih besar dari nilai NJOP maka yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh
dan BPHTB adalah NPOP. Jika nilai NPOP lebih kecil dari NJOP maka yang dijadikan
dasar untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP.3
Pajak BPHTB merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar daerah. Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. 4 pajak-pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan atau Bangunan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau
Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 selanjutnya perubahan terakhir yaitu Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi aerah (UU PDRD).
Dalam pasal 1 UU PDRD ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan BPHTB adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang 13 selanjutnya
disebut pajak. Subjek pajak menurut UU PDRD adalah orang dan atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Objek pajak menurut UU PDRD ini adalah
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Pajak BPHTB timbul karena adanya suatu proses transaksi peralihan hak atas
tanah maupun bangunan yang dilakukan oleh orang ataupun badan yang kemudian
dibuatkan akta dihadapat Notaris/PPAT yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan kemudian didaftarkan pada Badan Pertanahan Setempat. Berdasarkan ketentuan

2
Arifuddin, Hanif Nur Widhiyanti, Hariyanto Susilo, Implikasi Yuridis Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah
Penerima Kuasa Menyetor Uang Pajak Penghasilan/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dari Wajib
Pajak, Jurnal : JIPPK, Volume 2, Nomor 1, Hal. 18
3
Ibid. Hal. 19.
4
Wirawan B.Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, 2004, Salemba Empat, Jakarta, Hal. 90
dalam pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan
untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud
UUJN. Notaris dalam menjalankan tugas nya harus memberikan penjelasan kepada
klien mengenai akta yang akan dibuat oleh para pihak atau misalnya dalam
pembayaran pajak BPHTB dan proses dan syarat-syarat yang harus dipersiapkan.
Pembayaran pajak BPHTB tersebut merupakan kewenangan bagi para wajib pajak,
bukan Notaris. Namun kondisi dilapangan banyak klien yang menitipkan pembayaran
BPHTB dan Notaris menerima penitipan tersebut atas nama diri pribadi. Notaris sebagai
pejabat secara tidak langsung memberikan kemudahan bagi para wajib pajak untuk
dapat menyetorkan pajaknya dengan mudah.
Ada sebuah kasus Penyalahgunaan wewenang oleh notaris yang bertindak diluar
dari wewenang yang telah ditentukan hal ini terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri
Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn dalam posisi kasus sebagai berikut LK salah
seorang pemegang saham PT. Sumatera Match Factory selaku pemegang saham
berencana akan menjual sebidang tanah berikut bangunan dengan sertifikat HGB
No.120/TG.Mulia. Demikian menghadap ke Kantor Notaris MG bersama dengan CS dan
HK yang merupakan calon pembeli. Setelah bertemu maka pihak penjual dan pihak
pembeli sepakat dengan harga tanah dan bangunan tersebut, akta jual beli belum
dibuat karena masih menunggu peninjauan objek tanah, sehingga pihak penjual dan
pihak pembeli meminta Notaris MG untuk pengurus proses jual beli /peralihan dan
mengurus pembayaran mengenai biaya-biaya pajak BPHTB dan PPH. Atas permintaan
tersebut, Notaris MG menyanggupi dengan biaya pengurusan yang telah diperincikan
dan disetujui para pihak. Namun sebaliknya, notaris MG tidak segera membayarkan
uang tersebut untuk keperluan pajak melainkanmengurus penerbitan SPPT PBB
Th.2002 dan mengurus peralihan dan balik nama sertifikat HGB No.120/TG.Mulia
kepada FH dengan mengecilkan/menurunkan nilai BPHTB dan PPH.
Setelah beberapa waktu kemudian, pembeli CS dan HK mendapat surat dari BPN
Kota Medan yang isinya memberitahukan bahwa bukti setoran pajak BPHTB dan SSP
Final yang dilakukan untuk transaksi jual beli tersebut adalah palsu. Hal ini mebuat
pihak pembeli datang ke BPN dan membayar kekurangan pajak yang ditimbulkan.
Setelah peristiwa tersebut pihak pembeli datang kepada notaris MG untuk meminta
Kembali uang yang telah mereka berikan namun uang tersebut telah habis
dipergunakan oleh notaris MG. sehingga akibat perbuatan Notaris MG tersebut
menderita kerugian.
Berpangkal dari uraian tersebut, maka Penulis tertarik untuk melakukan
pengkajian terhadap inisiasi Notaris yang menerima penitipan pajak BPHTB dari wajib
pajak dan untuk menganalisis legalitas perbuatan menerima kuasa menyetor pajak oleh
Notaris selaku pejabat umum.

B. LANDASAN TEORI
1. Teori Kepentingan
Pada teori kepentingan, dasar pemungutan pajak adalah adanya
kepentingan dari masing-masing masyarakat, termasuk kepentingan dalam
perlindungan jiwa dan harta agar kepentingan tersebut dapat terlaksana dengan
baik. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula
pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat (wajib pajak). Dalam hal peralihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli
memiliki kepentingan dalam pemenuhan pajak yang timbul terhadap perbuatan
hukum tersebut. Adanya pajak penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan melalui jual beli terlihat bahwa kepentingan para pihak
timbul dalam pemenuhan pajak tersebut. Penjual dalam hal ini dibebankan dengan
kewajiban untuk pemenuhan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan yang
dilakukan karena menerima pembayaran dari pembeli dan timbul kepentingan
untuk pemenuhan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi sebelum
dilakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. sedangkan disisi
lain pembeli memiliki kepentingan untuk membayarkan pajak yang timbul atas
perbuatan hukum tersebut yaitu Pemenuhan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan (BPHTB) serta pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas objek pajak
tersebut.
2. Teori Kewenangan
Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik
kekuasaan. Namun kewenangan juga diartikan yaitu: Untuk menerapkan dan
menegakkan hukum; Ketaatan yang pasti; Perintah; Memutuskan; Pengawasan;
Yurisdiksi; atau kekuasaan. Wewenang merupakan bagian yang sangat penting
dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru
dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.
Dalam hal pemenuhan pajak atas peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui jual beli wajib pajak memiliki kewenangan untuk menghitung
dan membayarkan pajaknya secara sendiri dan mandiri ( self assessment). Adapun
dasar hukum self assessment diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan yang menyebutkan “ Setiap wajib pajak wajib
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.” Sehingga berkaitan dengan Notaris/PPAT disebutkan bahwa
Notaris/PPAT tidak memiliki kewenangan dalam pemenuhan pajak yang timbul dari
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Kewenangan Notaris hanya sebatas membuat akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang sedangkan
kewenangan PPAT hanya sebatas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

C. PEMBAHASAN
Jika dilihat dari pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan
atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, yang menjadi subjek pajak adalah
orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Kewajiban untuk pembayaran BPHTB sendiri merupakan kewajiban wajib pajak itu
sendiri, bukan termasuk dalam kewajiban dari PPAT/Notaris. Terkait isu hukum yang
tengah kami bahas, tindakan Notaris disini adalah hanya sebagai pihak yang
memudahkan klien untuk menyetorkan pajak BPHTB sebagai bentuk pelayan jasa yang
diberikannya sebagai pejabat publik. Berdasarkan pasal 24 ayat (1) UU Nomor 20
Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB,
disebutkan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak
atas dan/atau bangunan pada saat setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak BPHTB nya.5 Undang-undang tidak mengatur secara spesifik tentang aturan
bahwa PPAT/Notaris mempunyai kewenangan untuk mengetahui kebenaran
pembayaran BPHTB. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah
melalui proses verifikasi dan pencocokan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.
Sebagaimana kasus yang kami angkat dari Putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn. Dijelaskan bahwa LK merupakan pemegang saham PT
X yang datang ke kantor Notaris MG dengan agenda ingin menjual sebidang tanah
berikut bangunan dengan sertipikat HGB No. 120/TG. Mulia. Sebidang tanah berikut
banguna tersebut akan dijual kepada CS dan HK dengan kesepakatan harga jual beli
sebesar Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar rupiah). saat kan melakukan proses jual beli,
para pihak diarahkan oleh notaris MG untuk membayar biata BPHTB dan PPH sebesar
Rp. 660.000.000,- serta jasa untuk notaris MG sebesar Rp. 60.000.000,-. Di hari yang
sama, pembeli menitipkan 1 lembar cek dengan nominal Rp. 660.000.000,- untuk
keperluan pembayran BPHTB yang pada keesokan harinya langsung dilakukan
pencairan dana oleh notaris MG. Namun setelah ditinjau lebih lanjut, rupanya notaris
MG tidak segera membayarkan uang tersebut untuk keperluan pajak melainkan
menyuruh karyawannya untuk melakukan pengurusan berkas dengan modifikasi harga
dan diperoleh kesepakatan bahwa MG dapat membayarkan pajak dengan nominal
hanya Rp. 300.000.000,- serta uang Rp. 100.000.000,- sebagai uang tutup mulut untuk
penerbitan SPPT PBB.
Setelah peristiwa tersebut, notaris MG menugaskan karyawannya untuk
membuat akta jual beli dengan melampirkan fotokopi SPPT PBB senilai Rp.
12.636.144.000 yang MG peroleh dengan uang tutup mulut tersebut dengan Surat
setoran BPHTB Rp. 600.307.200,- serta SSP Final atas nama PT X sebesar Rp.
601.807.200,-. Setelah hal tersebt dilakukan MG memanggil para pihak dan proses
penandatangan akta dilakukan. Dikarenakan MG belum menjabat sebagi PPAT, maka
Jual beli tersebut ditangani oleh rekan MG yaitu ppat/notaris MA dengan honorarium
Rp. 10.000.000,-. PPAT/Notaris MA mengurus berkas tersebut hingga proses
dikeluarkannya Sertipikat HGB yang telah beralih menjadi atas nama pembeli.
Selanjutnya, beberapa bulan kemudian, pembeli mendapat surat dari BPN Kota Medan
yang isinya memberitahukan bahwa bukti setoran pajak BPHTB dan SSP Final yang
dilakukan untuk transaksi jual beli tersebut adalah palsu. Hal ini mebuat pihak pembeli
datang ke BPN dan membayar kekurangan pajak yang ditimbulkan. Setelah peristiwa
5
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988.
tersebut pihak pembeli datang kepada notaris MG untuk meminta Kembali uang yang
telah mereka berikan namun uang tersebut telah habis dipergunakan oleh notaris MG
untuk keperluan pribadi.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam isu hukum yang kami bahas terkait
Notaris yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari klien untuk selanjutnya
disetorkan oleh PPAT/Notaris, dapat kita kaitkan dengan pasal 24 ayat (1) UU Nomor 20
Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, UUJN,
dan juga Kode Etik Notaris. Kewajiban tersebut sejatinya merupakan kewajiban wajib
pajak secara pribadi dan bukan merupakan kewajiban dari PPAT/Notaris. Akan tetapi
apabila PPAT/Notaris telah menerima biaya yang kemudian digunakan untuk
membayarkan pajak BPHTB dari kliennya, maka PPAT/Notaris tersebut memiliki
tanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak BPHTB atas nama
kliennya tersebut sebagai bentuk pelayanan maksimal yang diberikan oleh PPAT/Notaris
tersebut. Demi menjaga kepercayaan antara klien dan juga PPAT/Notaris sebagai
penyedia jasa, segala bentuk keterbukaan dalam hal ini kejujuran dan ketepatan waktu
merupakan bentuk kewajiban PPAT/Notaris dalam menjalankan jabatannya dengan
tetap menjunjung tinggi kode etik profesi dan menghargai sumpah jabatannya sebagai
PPAT/Notaris.
PPAT/Notaris merupakan profesi yang cukup beresiko karena harus
memposisikan pelayana yang terbaik kepada masyarakat. Oleh karena ketaatan
terhadap moral dan norma-norma hukum yang tunduk pada kode etik profesi, sehingga
dapat memperkuat norma hukum positif yang telah ada. Notaris tidak boleh berpihak
kepada salah satu pihak dan juga harus memiliki kecerdasan dan emosional yang stabil
sehingga mampu meposisikan diri ketika berhadapan dengan klien. Notaris harus
menjunjung tingga profesinya sebagai pejabat umum yang mana dalam
pelaksanaannya dengan cepat dan jujur namun sesuai dengan kode etik profesinya.
Notaris akan bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat artinya negara telah
memberi kepercayaan untuk menjalankan sebagian tugas negara dan harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang BPHTB telah dirumuskan sebagai
berikut:
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan yang selanjutnya disebut pajak. BPHTB
merupakan salah satu bentuk pajak objektif atau pajak yang terutang dan harus
dibayar oleh pihak yang melakukan transaksi atas tanah dan bangunan. Pengaturan
pembayaran pajak BPHTB telah diatur dalam Undang-Undang dan yang mempunyai
kewajiban untuk membayarnya yaitu wajib pajak yang bersangkutan.6
Subyek pajak merupakan orang atau badan namun dalam pajak ini orang/
badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Hal ini telah diatur dalam pasal
4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, yaitu:
1. Subyek pajak yaitu orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dikenakan kewajiban
bayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-Undang ini. Obyek pajak
dalam Undang-Undang BPHTB yaitu:
 Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemindahan hak. yang
mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan
obyek pajak BPHTB meliputi:
a. Perolehan hak karena jual beli,.
b. Perolehan hak karena tukar menukar.
c. Perolehan hak karena hibah
d. Perolehan hak karena hibah wasiat.
e. Perolehan karena waris.
f. Perolehan karena pemasukan dalam perseroan atau inbreng
g. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
h. Perolehan hak karena pembeli dalam lelang
i. Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
j. Perolehan hak karena penggabungan usaha.
k. Perolehan hak karena peleburan usaha.
l. Perolehan hak karena pemekaran usaha.
m. Perolehan hak karena adanya hibah.
 Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemberian hak baru.
Pemberian hak baru yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang merupakan obyek BPHTB yaitu:
a. Perolehan hak karena adanya pemberian hak baru sebagai kelanjutan
pelepasan hak.

6
I Gusti Agung Putra Wiryawan, 2018, Pengaturan Tentang Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
Dan Bangunan (BPHTB) Atas Hibah Wasiat . Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Udayana Bali. Acta Comitas
b. Perolehan hak karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak yaitu
pemberian hak baru dari negara kepada orang pribadi atau badan
hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembayaran pajak BPHTB merupakan kewajiban bagi wajib pajak untuk
menyelesaikan transaksinya sesuai peraturan perundang-undangan. Kewajiban
pembayaran BPHTB adalah kewajiban wajib pajak bukan kewajiban PPAT/Notaris.
Notaris disini hanya membantu kliennya untuk menyetor kan pajaknya. Dalam hal ini
Notaris hanya membantu untuk memberi pelayanan terbaik bagi kliennya. Undang-
Undang BPHTB memberikan ketentuan yang harus diikuti oleh pejabat umum yang
berwenang dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan yaitu:
1. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan
bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB.
2. Kepala Kantor Lelang hanya dapat menadatangani risalah lelang perolehan hak
atas tanah dan banguna setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah dan bangunan setelah memberikan bukti setoran
pembayaran BPHTB.
4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karna waris atau hibah wasiat
hanya dapat dilakukan oleh pejabat pertanahan kabupatern/kota dengan
menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU BPHTB mengatur bahwa kewajiban
pembayaran pajak BPHTB merupakan kewajiban wajib pajak bukan Notaris/PPAT.
Dalam pasal tersebut hanya menegaskan bahwa Notaris/PPAT bisa menandantangani
akta apabila wajib pajak telah membayar pajak BPHTB. Oleh karena itu, Notaris disini
hanya berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-
Undang juga tidak ada mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui
kebenaran pembayaran BPHTB dan yang berhak memeriksa adalah Dinas Pendapatan
Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran
dengan data yang ada.
Dengan demikian PPAT/Notaris yang telah menerima penitipan pembayaran
pajak BPHTB dari kliennya maka berdasarkan atas pasal 24 UU BPHTB bahwa yang
menyetorkan BPHTB adalah wajib pajak bukan Notaris. Apabila Notaris telah menerima
titipan tersebut maka Notaris harus segera menyetorkan uang tersebut dan jika tejadi
permaslahan dalam hal pembayaran tersebut maka PPAT/Notaris ikut bertanggung
jawab atas permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu maka Notaris dalam
menjalankan tugas dan jabatannya dalam memberi pelayanan kepada klien harus lebih
berhati-hati dan tetap menjunjung UUJN dan kode etik profsesi sehingga dalam
menjalankan jabatannya bisa dengan aman dan lancar.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan jabatannya peran Notaris selaku PPAT
terhadap pembayaran pajak adalah memberitahukan kepada wajib pajak agar segera
melakukan pembayaran pajak supaya akta jual belinya dapat dilakukan, dan sebagai
seorang PPAT/Notaris juga dapat membantu para klien untuk membayarkan pajaknya
apabila para klien tidak mengetahui tata cara pembayaran pajak tersebut atau awam
mengenai perpajakan. Pembayaran Pajak tersebut sebenarnya memang kewajiban dari
masing-masing wajib pajak tapi pada kenyataannya para PPAT yang membantu
melakukan pembayaran pajak tanpa ada pungutan lain dalam hal membantu
pembayaran pajak itu, tetapi ada juga yang para wajib pajak yang hanya tidak bisa
mengisi formulir pembayaran pajak tersebut, dan PPAT hanya membantu melakukan
pengisian formulir tetapi pembayaran dilakukan oleh wajib pajak tersebut.
Berdasarkan pasal 24 ayat 1 Undang-Undang BPHTB maka kewajiban
pembayaran BPHTB adalah kewajiban wajib pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris
namun karena Notaris tersebut telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari
kliennya maka Notaris tersebut harus sbertanggung jawab dalam jabatannya untuk
menyetorkan pajak BPHTB tersebut walaupun dalam Undang-Undang BPHTB tidak ada
diatur tentang kewajiban PPAT/Notaris untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB atau
penitipan pembayaran pajak BPHTB, penitipan ini dilakukan karena telah dipercaya oleh
kliennya. Sehingga apabila terjadi keterlambatan atau tidak dibayarnya pajak BPHTB
yang dititipkan wajib pajak kepada PPAT/Notaris maka Notaris bertanggung jawab
berdasarkan jabatan dan personalnya karena terkait dengan fungsinya sebagai seorang
Notaris selaku PPAT dalam memberikan pelayanan yang baik terhadap klien.
Dengan demikian saran yang dapar diberikan kepada Pemerintah atau Ikatan
Notaris Indonesia (INI) untuk membuat suatu aturan yang tegas terkait kewenangan
Notaris dalam menerima segala bentuk titipan uang maupun barang, karena Notaris
bukan merupakan Lembaga penitipan melainkan Pejabat Umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik, serta selalu untuk memberi sosialisasi terhadap klien yang
kurang memahami tentang prosedur pembayaran pajak ataupun hal lain yang berkaitan
dengan profesi Notaris.
Jika dilihat dari kedudukan hukumnya, PPAT sebagai Pejabat Administrasi Pemerintahan
sebagaimana tunduk kepada Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (untuk selanjutnya disebut UU AP) yang dalam menjalankan kewenangannya
memiliki hal untuk mengambil Keputusan dan/atau Tindakan. Tindakan sebagaimana
termaksud adalah untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Jo. Pasal 1 angka 8 UU AP. Sekalipun dalam
pengaturannya, PPAT dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan
ketentuan peraturan perundang – undangan Jis. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU AP,
meliputi:
1. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan

2. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan


Keputusan dan/atau Tindakan.

Juga, PPAT diberikan kemungkinan untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan


dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan Asas –
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), demi terwujudnya asas pelayanan yang baik

Anda mungkin juga menyukai