Anda di halaman 1dari 68

BAB 35

KESEHATAN
.
BAB 35

KESEHATAN

I. PENDAHULAN

Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari


pembangunan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II), yaitu mewujudkan
bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin. Salah
satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat
kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya harus
mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya, di samping aspek
spiritual, kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, pembangunan
kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat,
cerdas, dan produktif.

Pembangunan manusia sebagai insan harus dilakukan dalam


keseluruhan proses kehidupannya, mulai dari dalam kandungan,
bahkan jauh sebelumnya, yaitu dengan memperhatikan tingkat
kesejahteraan para calon ibu, kemudian sebagai bayi, balita, usia
sekolah, remaja, pemuda, usia produktif, sampai kepada usia

251
lanjut. Untuk itu, pembangunan kesehatan memegang peran yang
amat penting dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dalam
setiap tahap kehidupan tersebut, sesuai dengan permasalahan
kesehatan yang dihadapi. Selain berperan dalam membangun
manusia sebagai insan, pembangunan kesehatan juga berperan
penting membangun manusia sebagai sumber daya pembangunan.
Derajat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas
tenaga kerja. Peningkatan produktivitas ini akan mempertajam
kemampuan daya saing bangsa dalam dunia yang makin ketat
persaingannya.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). 1993


mengamanatkan bahwa dalam PJP II pembangunan kesehatan
diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta
meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang
harus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta
meningkatkan keadaan gizi dan membudayakan sikap hidup bersih
dan sehat, didukung dengan pembangunan perumahan dan
permukiman yang layak.

Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita


VI), yang merupakan tahapan pertama PJP II, pembangunan
kesehatan diarahkan untuk makin meningkatkan kualitas dan
pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan, termasuk perbaikan
gizi terutama melalui percepatan penurunan angka kematian ibu
dan bayi, mendorong peran serta aktif masyarakat termasuk dunia
usaha dalam pembangunan kesehatan, meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat dan bersih serta peduli terhadap
lingkungannya, yang semuanya didukung oleh sumber daya
kesehatan yang cukup memadai dan andal termasuk industri
farmasi dan peralatan kesehatan yang berkembang.

Pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan


pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata sehingga dapat
menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan
kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat,

252
dan memperpanjang usia harapan hidup rata-rata penduduk. Namun
peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan, dan
perbaikan gizi masyarakat masih memerlukan perhatian lebih
besar lagi. GBHN 1993 juga mengamanatkan bahwa dalam
Repelita VI pembangunan kesehatan masih perlu terus ditingkatkan
dengan lebih mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) kedokteran secara saksama dan bertanggung
jawab.

Pembangunan kesehatan dalam PJP II dan Repelita VI disusun


dan diselenggarakan dengan berlandaskan pada pengarahan GBHN
1993 seperti tersebut di atas.

H. PEMBANGUNAN KESEHATAN DALAM PJP I

Pembangunan kesehatan dalam PJP I dapat dikelompokkan


atas peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta perkembangan
cakupan dan mutu upaya pelayanan kesehatan.

1. Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat

Program pembangunan kesehatan selama PJP I telah berhasil


meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu hasil
terpenting yang menimbulkan kepercayaan dunia akan keberhasilan
pembangunan kesehatan di Indonesia adalah kondisi yang dicapai
tahun 1974, yang dalam hal ini World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang telah
bebas dari penyakit cacar.

Berbagai indikator lain juga menunjukkan keberhasilan


pembangunan kesehatan. Angka kematian bayi (AKB) dapat
diturunkan dengan laju penurunan rata-rata 3,4 persen setiap
tahunnya. Jika pada tahun 1967 AKB di Indonesia masih berkisar
sekitar 145 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 1976 telah dapat
ditekan menjadi 109 per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun

253
1993 ditekan lagi menjadi sekitar 58 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu juga menunjukkan adanya penurunan, dari 450
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992.

Dampak makin menurunnya AKB di atas, antara lain tercermin


pada angka harapan hidup. Angka harapan hidup waktu
lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata 45,7 tahun
pada tahun 1967 menjadi rata-rata 52,2 tahun pada tahun 1976, dan
meningkat lagi menjadi 62,7 tahun pada tahun 1993.

Melalui program perbaikan gizi, penurunan AKB dan


peningkatan rata-rata angka harapan hidup tersebut diikuti oleh
perbaikan mutu anak balita dan masyarakat pada umumnya.
Perbaikan mutu tersebut antara lain dapat terlihat dengan makin
baiknya keadaan gizi rata-rata anak balita. Angka prevalensi
kurang energi protein (KEP) sedang dan berat anak balita menurun
dari 18,9 persen tahun 1978 menjadi 11,8 persen pada tahun 1992;
atau menurun dengan 37,5 persen dalam satu setengah dasawarsa.
Adapun prevalensi KEP total (ringan, sedang, dan berat) selama
itu juga turun dari 48,2 persen menjadi 40 persen. Demikian pula
dalam hal masalah gizi lainnya, seperti kebutaan akibat kurang
vitamin A, anemia gizi besi, dan kurang zat iodium. Dari
penelitian gizi tahun 1991/92, masalah kebutaan akibat kurang
vitamin A di daerah-daerah rawan gizi di Indonesia ternyata
hampir hilang. Artinya, pada masa yang akan datang hampir tidak
ada lagi anak yang harus menderita buta karena kurang vitamin A.
Demikian juga prevalensi gangguan akibat kurang iodium (GAKI)
menunjukkan angka yang menurun. Pada tahun 1982 Total Goitre
Rate (TGR) sebesar 37,2 persen, sedangkan pada tahun 1990
menurun menjadi 27,7 persen. Perbaikan gizi dampaknya tidak saja
pada pertumbuhan fisik anak-anak yang menjadi makin baik, tetapi
juga tingkat perkembangan intelektual anak menjadi makin
meningkat pula. Secara keseluruhan perbaikan gizi masyarakat juga
meningkatkan produktivitas kerja yang diperlukan untuk
pertumbuhan ekonomi.

254
2. Perkembangan Cakupan dan Mutu Upaya Pelayanan
Kesehatan

Sebelum Repelita I di seluruh Indonesia baru terdapat 1.227


buah puskesmas dan pada akhir Repelita I menjadi 2.343 buah
puskesmas. Melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan yang dimulai
sejak Repelita II selain puskesmas juga dibangun puskesmas
pembantu. Pembangunan tersebut terus dilanjutkan sehingga pada
tahun 1992/93 jumlah puskesmas dan puskesmas pembantu yang
ada dan berfungsi masing-masing mencapai 6.277 buah dan
18.946 buah. Dengan jumlah puskesmas tersebut berarti satu
puskesmas rata-rata melayani 28.000 penduduk, sedangkan pada
tahun 1968 rasio puskesmas terhadap penduduk adalah satu
puskesmas melayani sekitar 96.000 penduduk.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya, sejak


Repelita III sejumlah puskesmas ditingkatkan fungsinya menjadi
puskesmas perawatan, yaitu puskesmas dengan tempat tidur.
Puskesmas perawatan ini terutama dibangun di lokasi-lokasi yang
jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan raya yang rawan
kecelakaan dan di tempat-tempat atau pulau-pulau terpencil.
Sampai dengan akhir Repelita IV jumlah puskesmas perawatan
tercatat sebanyak 1.038 buah, dan sampai tahun keempat Repelita
V jumlah tersebut seluruhnya menjadi 1.438 buah.

Untuk lebih meningkatkan cakupan pelayanan dan agar


petugas puskesmas dapat aktif melakukan pelayanan di luar gedung
puskesmas sambil melakukan penyuluhan kesehatan, sebagian
besar puskesmas dilengkapi dengan puskesmas keliling roda-4 atau
khusus untuk daerah sungai dan kepulauan dengan perahu
bermotor. Puskesmas perahu bermotor sangat penting untuk
pelayanan di daerah-daerah kepulauan dan desa pedalaman. Sampai
dengan tahun 1992/93 telah dilaksanakan pengadaan 5.306 unit
puskesmas keliling.

255
Selain itu, untuk daerah kepulauan, daerah terpencil, dan
daerah perbatasan, sejak tahun 1985 pelayanan kesehatan juga
ditingkatkan melalui pelayanan dokter terbang. Sejak tahun ketiga
Repelita V paket pelayanan kesehatan masyarakat diorganisasi
sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu, di Propinsi Irian
Jaya paket pelayanan ini diberikan dalam bentuk puskesmas keliling
jalan kaki dan di Propinsi Maluku dilaksanakan melalui paket
pelayanan gugus pulau. Dengan paket-paket pelayanan tersebut,
pemerataan pelayanan kesehatan makin meningkat, terutama
dilihat dari kepentingan penduduk daerah-daerah terpencil yang pada
waktu-waktu lalu sulit terjangkau.

Untuk menjamin tersedianya tenaga medis di daerah-daerah


terpencil tersebut, sejak tahun 1991/92 dilakukan penempatan 924
tenaga dokter sebagai pegawai tidak tetap, yaitu tenaga dokter yang
ditugaskan dalam waktu tertentu tanpa harus menjadi pegawai
negeri dan diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat
keterpencilan lokasi penempatannya. Pada tahun 1992/93 telah
ditempatkan lagi 2.604 dokter sebagai pegawai tidak tetap.

Peranan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui


puskesmas dan puskesmas pembantu makin efektif setelah
didukung oleh peran serta masyarakat dalam bentuk pos pelayanan
terpadu yang dikenal dengan posyandu. Posyandu merupakan
bentuk peran serta masyarakat yang nyata khususnya oleh
pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK) dan organisasi wanita
lainnya. Peningkatan peran serta PKK tersebut memungkinkan
posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat berkembang dengan
pesat. Apabila pada akhir Repelita III baru tercatat sebanyak
25.000 posyandu, pada akhir Repelita IV menjadi lebih dari
213.000 buah, dan pada tahun 1992/93 bertambah lagi menjadi
241.236 posyandu.

Dalam terus meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di


perdesaan, dalam Repelita V telah ditetapkan kebijaksanaan untuk
menempatkan bidan di desa-desa. Tujuannya adalah agar kelak di

256
setiap desa setidak-tidaknya terdapat seorang bidan yang dapat
memberikan pelayanan KIA, baik sebagai perseorangan maupun
sebagai tenaga kesehatan puskesmas. Selama lima tahun terakhir
sampai dengan tahun 1992/93 telah dididik dan ditempatkan di desa
sebanyak 19.400 bidan yang dilengkapi dengan peralatan bidan.
Selain itu, sejak Repelita I kegiatan pembinaan bagi dukun bayi
dengan memberikan pelatihan dan peralatan dukun terus
dilanjutkan dan ditingkatkan sehingga sampai tahun 1992/93
telah mencakup lebih dari 124 ribu orang.

Untuk meningkatkan mute pelayanan kesehatan jumlah dokter


dan dokter gigi terus ditambah. Jumlah tenaga dokter pada awal
Repelita I sebanyak 5.000 orang selanjutnya meningkat menjadi
24.070 orang pada akhir Repelita IV, sedangkan selama Repelita V
bertambah lagi dengan 6.256 dokter baru. Sampai akhir Repelita
IV jumlah dokter gigi yang ditempatkan di puskesmas dan rumah
sakit berjumlah 749 orang. Sampai tahun 1992/93 jumlah dokter
gigi yang telah ditempatkan di puskesmas dan rumah sakit
meningkat menjadi 2.184 orang sehingga pada tahun tersebut
seorang dokter gigi rata-rata melayani 3 puskesmas.

Pada Repelita I jumlah rumah sakit tercatat 1.116 buah, terdiri


atas rumah sakit pusat 45 buah, rumah sakit propinsi/kabupaten/
kotamadya 347 buah, rumah sakit ABRI dan departemen lainnya
221 buah, dan rumah sakit swasta 503 buah. Dari repelita ke
repelita jumlah rumah sakit dan tempat tidur terus bertambah,
sedangkan pertambahan terbesar berbagai jenis rumah sakit
tersebut terjadi selama Repelita IV, yaitu 225 buah rumah sakit dan
11.949 tempat tidur. Penambahan jumlah terbanyak terjadi pada
rumah sakit swasta yaitu bertambah sebesar 31 persen dibanding
jumlah rumah sakit swasta pada repelita sebelumnya. Keadaan ini
menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelayanan
kesehatan rujukan makin meningkat. Jumlah rumah sakit dan
tempat tidur terus meningkat pula sehingga pada tahun keempat
Repelita V jumlah rumah sakit dan tempat tidur masing-masing
bertambah menjadi 1.638 buah dan 123.441 buah.

257
Dalam Repelita V, kebijaksanaan pelayanan rumah sakit
ditingkatkan terutama untuk meningkatkan jenis dan mutu
pelayanan. Untuk itu, sejumlah rumah sakit kabupaten ditingkatkan
kelasnya dari kelas D menjadi kelas C, yang berarti memiliki
pelayanan spesialisasi paling tidak untuk empat keahlian dasar,
yaitu spesialis kebidanan dan kandungan, anak, bedah, dan
penyakit dalam. Di samping itu, rumah sakit kelas A dibangun
baru di Medan dan Ujung Pandang, serta rumah sakit kelas B dan
C di bangun di beberapa kota, yaitu Manado, Cirebon,
Banjarmasin, Mataram, Balikpapan, Ambon, Jambi, dan
Palangkaraya.

Untuk menunjang pelayanan kesehatan masyarakat dan


pelayanan di rumah sakit dikembangkan Balai Laboratorium
Kesehatan (BLK). Selama Repelita I baru dibangun 11 BLK,
sedangkan pada Repelita II dibangun lagi sebanyak 7 buah BLK.
Sampai dengan tahun 1992/93, jumlah BLK yang telah dibangun
mencapai 25 buah. Pelayanan laboratorium kesehatan oleh swasta
juga mengalami kemajuan. Bila pada akhir Repelita IV baru
terdapat 421 laboratorium klinik swasta di 25 propinsi, maka pada
pertengahan tahun keempat Repelita V telah mencapai 517
laboratorium klinik swasta di 27 propinsi.

Kemampuan pemeriksaan BLK selalu meningkat dari tahun ke


tahun. Selama Repelita III, baru 6 BLK yang mampu melakukan
pemeriksaan terhadap hepatitis B. Pada Repelita IV dan V, seluruh
BLK sudah mampu menangani pemeriksaan hepatitis B. Untuk
pemeriksaan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS),
dalam Repelita IV hanya 6 BLK yang mampu melakukan
pemeriksaan, kemudian bertambah menjadi 8 buah BLK pada
tahun pertama Repelita V. Dengan makin lengkapnya peralatan
dan makin banyak tenaga BLK yang dilatih secara khusus, maka
pada tahun keempat Repelita V, seluruh BLK sudah mampu
melakukan pemeriksaan AIDS. Selain itu, sejumlah 34
laboratorium rumah sakit dan 129 laboratorium PMI di seluruh
Indonesia juga telah mampu melakukan pemeriksaan AIDS.

258
Upaya pemberantasan penyakit menular dimulai jauh sebelum
Repelita I. Pada awal Repelita I kegiatan pemberantasan penyakit
menular diprioritaskan pada peningkatan pemberantasan penyakit
malaria, cacar, tuberkulosa paru, diare, frambusia, dan kusta, serta
penyakit kelamin. Berhubung dengan masih terbatasnya upaya
penyediaan vaksin dan belum terbentuknya lembaga pelayanan
kesehatan masyarakat secara merata di semua lapisan masyarakat,
kegiatan vaksinasi waktu itu diprioritaskan untuk pembasmian
penyakit cacar dan pemberantasan tuberkulosa paru. Kegiatan
tersebut telah membawa hasil yang sangat penting dalam Repelita
II, yaitu pada tahun 1974 WHO menyatakan bahwa Indonesia
"bebas cacar" . Selain itu, sebagai hasil dari berbagai upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyakit frambusia atau
patek yang sebelumnya dinyatakan endemis di Indonesia, mulai
Repelita III dianggap tidak membahayakan lagi, kecuali untuk
beberapa lokasi di luar Jawa dan Bali.

Sejak Repelita II jenis dan cakupan pemberian vaksinasi terus


ditingkatkan sehingga pada Repelita III mulai dilaksanakan
pemberian imunisasi lengkap yang mencakup vaksinasi BCG,
DPT, polio, dan campak. Di samping itu, digalakkan vaksinasi
tetanus pada calon pengantin, ibu hamil, serta tetanus dan DT
pada anak SD. Angka pencapaian imunisasi tersebut ditingkatkan
sehingga pada tahun 1992/93 secara nasional Indonesia telah
melampaui sasaran Universal Child Immunization (UCI) dengan
cakupan sebesar 89,9 persen. Artinya, sebanyak 89,9 persen dari
jumlah bayi yang ada telah mendapat imunisasi lengkap. Sasaran
UCI yang ditetapkan WHO secara internasional adalah 80,0
persen. Pada tahun keempat Repelita V, sasaran UCI tersebut
tidak saja dicapai ditingkat nasional, tetapi juga oleh 25 propinsi di
Indonesia. Pencapaian sasaran UCI tersebut amat penting artinya
karena menunjukkan bahwa kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
selama ini telah mencapai sebagian besar sasaran penduduk yang
harus memperoleh perlindungan kekebalan dengan imunisasi.

259
Pada awal Repelita I jumlah penduduk perkotaan dan
perdesaan yang menikmati air bersih masih sangat kecil. Oleh
karena itu sejak Repelita I diadakan berbagai upaya untuk
memperbesar kapasitas produksi air bersih di perkotaan dan
memperluas jaringan distribusinya ke rumah-rumah di daerah
perkotaan. Sejak Repelita I sampai Repelita IV untuk daerah
perdesaan melalui Inpres Bantuan Sarana Air Bersih telah dibangun
ratusan ribu buah sarana air bersih dalam bentuk penampungan
mata air dengan perpipaan, penampungan air hujan, perlindungan
mata air, sumur artesis, sumur pompa tangan, dan sumur gali,
yang tersebar hampir di semua desa.

Dalam Repelita V untuk penyediaan air bersih perdesaan


perhatian lebih besar diberikan kepada peran serta masyarakat
dalam pencarian sumber air bersih, perencanaan dan pembangunan
sarana serta pemanfaatan dan pemeliharaannya. Dengan
kebijaksanaan baru ini pembangunan sarana dalam lima tahun
terakhir ini sangat dikurangi. Apabila dalam Repelita IV dibangun
sekitar 250.000 buah sarana air bersih dari berbagai jenis, dalam
Repelita V hanya kurang lebih 32.000 buah untuk berbagai jenis
sarana air bersih yang sama. Sarana baru yang mulai dibangun
pada tahun 1988/89 adalah sarana hidran umum yang dilengkapi
dengan terminal air dan untuk daerah-daerah tertentu dilengkapi
juga dengan mobil tangki air. Selama Repelita V telah dibangun
9.703 buah hidran umum. Sarana ini terutama dibangun di
kampung-kampung kumuh perkotaan, di desa-desa terpencil, dan
di daerah perdesaan yang sulit air bersih.

Program penyehatan lingkungan permukiman terutama


ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan, pengawasan mutu
lingkungan, pembangunan sarana jamban keluarga dan saluran
pembuangan air limbah terutama untuk penduduk perdesaan.
Untuk mendukung kegiatan penyuluhan tersebut, di sejumlah desa
contoh dibangun sarana jamban keluarga dan saluran pembuangan
air limbah. Sejak Repelita I sampai Repelita IV telah dibangun
lebih dari 1,8 juta buah jamban keluarga dan sekitar 90.000 buah

260
saluran pembuangan air limbah. Dalam Repelita V telah dibangun
60.581 buah jamban keluarga, dan 7.077 buah saluran pembuangan
air limbah.

Pada awal Repelita I, pada umumnya kebutuhan obat-obatan


masih harus didatangkan dari luar negeri. Secara berangsur-angsur
kebijaksanaan tersebut diarahkan pada pembelian bahan obat-
obatan untuk pembuatan obat jadi di dalam negeri. Selanjutnya,
industri obat terus berkembang. Bila pada akhir Repelita I industri
obat baru berjumlah 157 buah, pada tahun keempat Repelita V
jumlahnya telah mencapai 256 buah.

Prioritas program pada Repelita V terutama diarahkan pada


pemanfaatan obat generik yang dapat menjangkau rakyat banyak.
Untuk itu, dalam rangka menjamin kesinambungan penyediaan
obat, produksi dan distribusi serta pelayanan obat generik makin
ditingkatkan. Pada saat ini di setiap dati II telah ditunjuk sekurang-
kurangnya satu apotek yang menyediakan obat generik berlogo
secara lengkap.

Upaya untuk meningkatkan kelancaran distribusi dan


penyediaan obat sektor pemerintah khususnya untuk puskesmas,
dilakukan dengan pembangunan gudang farmasi kabupaten/
kotamadya disertai upaya peningkatan pengelolaannya. Sampai
dengan tahun keempat Repelita V, telah dibangun sebanyak 294
gudang farmasi, atau penambahan sebesar 56 persen dari jumlah
yang ada pada akhir Repelita IV. Di samping pembangunan gudang
farmasi, jumlah apotek yang dibangun swasta juga meningkat dari
tahun ke tahun. Sampai tahun keempat Repelita V, jumlah apotek
yang telah dibangun adalah sebanyak 3.301 buah; meningkat
sebanyak 42 persen dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV,
yaitu 2.332 buah.

Pada Repelita V pengawasan sediaan farmasi, alat kesehatan


dan makanan telah makin ditingkatkan melalui kegiatan, antara lain
penilaian mutu dan keamanan produk, pengawasan produksi dan

261
peredaran, pengujian laboratorium, standardisasi mutu dan
pembinaan produksi dan distribusi. Demikian pula prasarana dan
sarana pengawasan, termasuk laboratorium pengujian obat dan
makanan di 27 propinsi dan di tingkat pusat telah makin
ditingkatkan.

Pada awal Repelita I, jumlah lembaga dan jenis program


.
pendidikan tenaga kesehatan yang tersedia masih sangat terbatas.
Untuk mempercepat penyediaan tenaga kesehatan dasar secara
merata di seluruh propinsi diupayakan agar daya tampung lembaga
pendidikan dan jumlah lembaga pendidikan tenaga kesehatan dapat
ditingkatkan. Sampai akhir Repelita III jumlah lembaga pendidikan
tenaga kesehatan adalah sebanyak 248 buah. Jumlah itu bertambah
menjadi 394 buah pada akhir Repelita IV. Pada tahun 1992/93
jumlah itu bertambah lagi sehingga menjadi 474 buah. Jumlah
lulusan selama Repelita III sebanyak 26.680 orang, meningkat
dalam Repelita IV menjadi 70.640 orang dan sampai tahun
keempat Repelita V menjadi 88.418 orang. Khusus untuk
pendidikan bidan di desa, selama lima tahun yang lalu sampai
dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil dididik sebanyak
19.400 orang.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah lembaga pendidikan,


jumlah dan mutu guru terus ditingkatkan. Bila dalam Repelita I
jumlah tenaga akademis bidang kesehatan baru berjumlah 2.269
orang, maka pada tahun keempat Repelita V meningkat menjadi
13.170 orang. Selain itu, selama empat tahun Repelita V juga
telah dilaksanakan pendidikan program akta bagi 1.159 orang
guru/instruktur dan pelatihan untuk pendalaman berbagai bidang
studi bagi 3.194 orang guru.

262
III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG
PEMBANGUNAN

Pembangunan Nasional dalam bidang kesehatan selama PJP I


telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta
meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan. Namun,
masih banyak permasalahan yang belum dapat dipecahkan sampai
akhir PJP I, dan dalam PJP II diperkirakan masih akan dihadapi
berbagai permasalahan baru. Untuk itu, perlu dikenali tantangan dan
kendala yang akan dihadapi serta peluang-peluang yang dapat
dimanfaatkan.

1. Tantangan
Angka kematian bayi (AKB), sebagai salah satu indikator
utama yang menggambarkan derajat kesehatan masyarakat, telah
menurun dari 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967
menjadi 63 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Walaupun
penurunan AKB secara nasional cukup tajam, dibandingkan dengan
negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN),
AKB di Indonesia masih cukup tinggi karena pada tahun yang sama
AKB di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura masing-
masing adalah 15, 34, 28, dan 8. Selain itu, perbedaan AKB
antarpropinsi serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan
masih cukup besar. Hasil sensus penduduk tahun 1990
menunjukkan bahwa propinsi yang mempunyai AKB, paling rendah
adalah DKI Jakarta, yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan
paling tinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu 123 per
1.000 kelahiran hidup. Di samping itu, rata-rata AKB di daerah
perkotaan adalah 52 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di
daerah perdesaan sekitar 78 per 1.000 kelahiran hidup.

Tingginya AKB, selain disebabkan oleh berbagai penyakit


infeksi, juga disebabkan keadaan kesehatan dan gizi ibu yang
rendah selama masa hamil serta rendahnya derajat kesehatan dan
gizi wanita pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari masih

263
tingginya angka kematian ibu (AKI) pada waktu melahirkan. Pada
tahun 1986 diperkirakan rata-rata AKI nasional adalah sebesar 450
per 100.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada AKI di
negara-negara ASEAN. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 1992, AKI diperkirakan menurun menjadi 425 per
100.000 kelahiran hidup. Artinya, sekitar 4 orang ibu meninggal
dari setiap 1.000 orang ibu yang melahirkan oleh sebab yang
.
berhubungan dengan persalinan. Seperti halnya dengan AKB,
variasi AKI antarpropinsi cukup besar. Mengingat bahwa masalah
yang timbul akibat tingginya AKI ini berkaitan erat dengan fungsi
reproduksi wanita yang mempengaruhi kualitas generasi penerus
yang dilahirkannya, upaya untuk mempercepat penurunan AKI dan
peningkatan derajat kesehatan wanita amat penting dalam rangka
meningkatkan sumber daya manusia.

Angka harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia


meningkat cukup berarti. Jika pada tahun 1967 umur harapan
hidup baru sebesar 4 5 , 7 tahun, pada tahun 1990 meningkat
menjadi 6 1 , 5 tahun. Walaupun demikian, jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN, angka harapan hidup rata-rata
penduduk Indonesia masih lebih rendah.

Berdasarkan berbagai kenyataan di atas, tantangan


pembangunan kesehatan dalam Repelita VI dan PJP II adalah
meningkatkan derajat kesehatan setiap orang, keluarga, dan
masyarakat di Indonesia sehingga sejajar dengan negara tetangga
atau dengan negara yang perkembangan sosial ekonominya
sebanding.

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 menunjukkan


indikasi adanya beban ganda di bidang kesehatan masyarakat yang
harus dihadapi. Di satu pihak tingginya penyakit infeksi masih
merupakan masalah, di lain pihak mulai terlihat kecenderungan
peningkatan penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular yang
penyebabnya berhubungan dengan perubahan gaya bidup karena
perbaikan kondisi sosial ekonomi .

264
Di Jawa wabah penyakit malaria masih ditemukan di
beberapa daerah di pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Timur, sedangkan di daerah luar Jawa - Bali,
penyakit ini masih belum dapat dikendalikan. Penyebaran penyakit
ini terutama tersebar di propinsi-propinsi di kawasan timur
Indonesia dan di daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Selain
itu, penyakit demam berdarah dengue yang semula hanya tersebar
di daerah perkotaan, dalam perkembangan selanjutnya mulai
menyebar ke daerah perdesaan sejalan dengan meningkatnya
mobilitas penduduk antara kota dan desa.

Pada akhir Repelita V prevalensi penyakit tuberkulosa paru


diperkirakan sebesar 2,4 per 1.000. Berarti sekitar 500.000
penduduk terutama yang berusia produktif dan dari kelompok
berpenghasilan rendah mengidap penyakit ini. Angka kesakitan
penyakit diare juga mengalami peningkatan sehingga pada tahun
1990 menjadi 103,6 per 1.000 balita. Masih tingginya angka
kesakitan penyakit diare berkaitan erat dengan keadaan lingkungan
yang belum baik dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung
hidup sehat. Di samping itu, penyakit AIDS juga menunjukkan
kecenderungan meningkat dengan cepat. Jika pada tahun 1987 baru
dilaporkan 2 kasus AIDS dan 4 kasus HIV positif, pada tahun 1993
meningkat menjadi 42 kasus AIDS dan 130 kasus HIV positif.

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986 dan tahun 1992


menunjukkan bahwa terjadi perubahan kecenderungan sebab
kematian dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular
(degeneratif). Penyakit tidak menular yang cenderung meningkat
antara lain penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, penyakit
gigi, dan penyakit gangguan jiwa. Selain itu, terlihat pula
kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan akibat dari
kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, maupun
kecelakaan di rumah tangga. Hal tersebut menjadi tantangan pula
dalam pembangunan kesehatan dalam mengatasi beban ganda di
bidang kesehatan masyarakat, yaitu di satu pihak penyakit menular

265
masih merupakan masalah, terutama pada penduduk miskin, di
pihak lain berbagai penyakit degeneratif harus diatasi, padahal
sumber daya yang dimiliki masih sangat terbatas.

Indikator lainnya yang memberi gambaran keadaan kesehatan


masyarakat adalah keadaan gizi. Walaupun selama PJP I
persediaan pangan dalam bentuk energi sudah melebihi kebutuhan
rata-rata penduduk, distribusinya belum merata sehingga
sebahagian penduduk masih mengonsumsi energi di bawah
kebutuhan rata-rata, yaitu 2.100 kilokalori per orang setiap hari.
Mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan yang dalam tahun 1990 masih berjumlah 27 juta atau
15 persen dari jumlah penduduk. Di samping itu, masih banyak
rumah tangga yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya sesuai
dengan mutu yang dianjurkan. Hal ini tercermin dari masih
tingginya angka penderita berbagai bentuk kekurangan gizi.

Penyakit kekurangan gizi berupa kurang energi protein (KEP),


yang dapat menghambat pertumbuhan fisik dan tingkat kecerdasan
masih menjangkiti 4 dari 10 anak balita. Di samping itu, lebih dari
setengah ibu hamil dan anak balita menderita kekurangan zat besi,
sekitar 750.000 anak menderita kretin ("cebol"), dan lebih dari 25
persen murid sekolah dasar menderita pembesaran kelenjar
gondok karena gangguan akibat kurang iodium. Hasil pemeriksaan
darah menunjukkan kadar vitamin A dalam serum darah anak
balita masih rendah. Keadaan ini berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh anak sehingga lebih mudah dijangkiti penyakit infeksi yang
sering menyebabkan kematian.

Adanya kecenderungan masalah gizi-salah mulai terlihat pada


masyarakat perkotaan yang disebabkan oleh perubahan pola makan
dan gaya hidup. Makanan mereka cenderung mempunyai
kandungan lemak yang tinggi, kadar serat rendah, dan sering tidak
seimbang mutu gizinya. Akibat perubahan pola makan dan gaya
hidup serta meningkatnya berat badan akan meningkatkan risiko
menderita penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung dan

266
pembuluh darah, penyakit kencing manis, dan kanker. Adanya
masalah gizi kurang yang belum terselesaikan dan munculnya
masalah gizi-salah sejalan dengan perubahan pola makan dan
perbaikan ekonomi, melahirkan tantangan berikutnya, yaitu
mendorong keluarga dan masyarakat agar makin sadar dan mandiri
dalam upaya peningkatan status gizi mereka dan mencapai status
gizi optimal sebanding dengan peningkatan sosial ekonomi.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang besar


pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat. Faktor
lingkungan yang penting terutama menyangkut ketersediaan air
bersih, fasilitas sanitasi, dan keadaan perumahan. Walaupun telah
terjadi peningkatan sarana air bersih selama PJP I, akses terhadap
air bersih masih rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap
penyebaran penyakit menular yang disebabkan oleh terbatasnya
ketersediaan dan kualitas air bersih. Rumah tangga yang
mempunyai sumber air yang memenuhi syarat, masih jauh dari
ideal. Akibat meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi,
peningkatan pencemaran air dan kelangkaan sumber air akan
menjadi masalah di masa datang.

Ketersediaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat, baik di


daerah perdesaan maupun perkotaan, masih rendah. Pada tahun
1993 fasilitas sanitasi di daerah perdesaan baru mencapai 33
persen, dan di daerah perkotaan sekitar 69 persen. Selain itu,
keadaan fisik perumahan akan mempengaruhi kesehatan
penghuninya. Sekitar 9 persen perumahan di daerah perkotaan dan
34 persen di daerah perdesaan masih berlantai tanah, sedangkan
rumah yang tidak mempunyai jendela dan tidak ada ventilasi adalah
sekitar 3 persen di daerah perkotaan dan 8 persen di daerah
perdesaan. Terdapatnya gangguan lingkungan berupa asap, bau
limbah pabrik, bau sampah dan air tergenang juga dikeluhkan oleh
masyarakat. Hasil pengawasan keadaan kesehatan lingkungan di
perkotaan menunjukkan tingginya kontaminasi kuman pada
makanan, baik pada pedagang kaki lima, restoran, maupun pada
industri makanan rakyat. Pencemaran udara terutama di kota-kota

267
besar dan daerah industri sudah mulai terjadi dan akan cenderung
meningkat di masa datang. Penggunaan pestisida juga makin
meningkat dan akibat sampingnya dapat merugikan kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan lingkungan seperti yang diuraikan
di atas melahirkan tantangan, yaitu melindungi keluarga dan
masyarakat dari gangguan atau bahaya kesehatan karena kualitas
lingkungan yang tidak sehat.

Perkembangan dan kemajuan produksi obat di Indonesia telah


meningkat dengan pesat. Sekitar 98 persen dari nilai kebutuhan
obat nasional telah dapat diproduksi di dalam negeri. Walaupun
demikian, sebagian besar kebutuhan bahan bakunya masih harus
diimpor. Konsumsi obat perkapita di Indonesia relatif masih
rendah, pada tahun 1980 ditaksir sebesar US$ 3.27 per kapita, dan
pada tahun 1990 meningkat menjadi sekitar US$ 5.0. Hal ini
berkaitan dengan rendahnya kesadaran dan tingkat daya beli
masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pemakaian obat secara
rasional dan optimalisasi penggunaan anggaran obat telah
diterapkan penggunaan daftar obat esensial nasional (DOEN)
terutama pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Di masa
datang masalah pengawasan akan makin penting meliputi
pengawasan obat, obat tradisional, makanan, minuman dan alat
kesehatan. Penyalahgunaan obat, narkotika, dan zat adiktif lainnya
diperkirakan akan cenderung meningkat.

Tingkat pertumbuhan industri farmasi yang diukur oleh


volume produksi terus meningkat, rata-rata 14 persen per tahun.
Walaupun demikian, industri farmasi di Indonesia masih
menghadapi beberapa masalah, yaitu sebagian besar bahan baku
(sekitar 95 persen) masih tergantung pada impor; kapasitas
produksi obat yang tersedia relatif lebih tinggi dari daya serap
pasar domestik dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk
pengembangan ekspor; pemanfaatan obat generik yang bermutu
tinggi dan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat belum
optimal; serta penggunaan obat oleh tenaga kesehatan belum
sepenuhnya rasional. Oleh karena itu, tantangan selanjutnya

268
adalah menjamin tersedianya obat dan alat kesehatan secara merata
diseluruh tanah air, terjangkau oleh daya beli masyarakat serta
didukung oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan
mandiri.

Kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan pengobatan makin


meningkat. Dari data survei sosial ekonomi nasional (susenas)
tahun 1987 terlihat bahwa pola berobat masyarakat adalah 64
persen menggunakan fasilitas modern, 27,4 persen diobati sendiri,
4,4 persen tidak diobati dan 4,2 persen menggunakan pengobatan
tradisional. Masalah pengobatan yang dijumpai adalah tidak semua
masyarakat mampu melaksanakan pengobatan sendiri dengan
benar. Pengambilan keputusan untuk berobat banyak dipengaruhi
oleh budaya setempat. Di samping itu, masalah lain yang
berpengaruh adalah para pengobat tradisional masih banyak yang
belum memiliki pengetahuan kesehatan secara benar, penyebaran
obat yang belum merata, biaya pengobatan yang masih tinggi serta
belum meratanya jangkauan pelayanan kesehatan rujukan. Karena
cakupan pelayanan obat modern masih terbatas, pengembangan
obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan perlu terus
ditingkatkan. Mengingat potensi yang besar dari obat tradisional
dan pengobatan tradisional bagi peningkatan kesehatan
masyarakat, maka menjadi tantangan untuk meningkatkan
pendayagunaan obat tradisional dan cara pengobatan tradisional,
baik secara tersendiri maupun terpadu dalam pelayanan kesehatan
paripurna sehingga meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
mengatasi masalah kesehatan.

Pembiayaan kesehatan di Indonesia secara garis besar


dikelompokkan menjadi dua sumber, yaitu pemerintah dan
masyarakat atau swasta. Sekitar 70 persen pembiayaan kesehatan
berasal dari masyarakat, termasuk swasta. Cakupan berbagai
bentuk asuransi kesehatan masih terbatas, yaitu sekitar 12 persen
dari total penduduk. Walaupun anggaran kesehatan terus
meningkat, jumlahnya masih belum memadai dibandingkan dengan
kebutuhan. Peranan masyarakat dan swasta dalam pembiayaan

269
kesehatan masih perlu terus digali dan diarahkan, terutama untuk
mendukung upaya kesehatan preventif dan promotif. Meningkatnya
pertumbuhan ekonomi dan berkembangnya industri serta
meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu
akan merangsang pelayanan kesehatan oleh pihak swasta, terutama
untuk pelayanan pengobatan (kuratif), yang mungkin lebih
berorientasi kepada pertimbangan komersial. Oleh karena itu,
merupakan tantangan pula meningkatkan peran serta masyarakat,
termasuk dunia usaha, dalam pembiayaan pemeliharaan kesehatan
paripurna dengan titik berat pada upaya pelayanan kesehatan
pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif) serta
dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Berbagai perubahan dalam kependudukan, pendidikan dan


sosial budaya, akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan
keadaan kesehatan dalam PJP II dan Repelita VI. Meningkatnya
jumlah kelompok usia remaja wanita akan membawa implikasi
terhadap masalah kesehatan yang mereka hadapi, terutama bagi
remaja wanita sebagai calon ibu, di samping masalah kesehatan
yang diakibatkan oleh arus globalisasi seperti penyalahgunaan obat
dan narkotika serta penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Selain itu, meningkatnya jumlah kelompok lanjut usia,
selain memberikan potensi untuk mendapatkan manfaat dari
keahlian dan pengalaman mereka, juga membawa implikasi
munculnya masalah kesehatan yang akan membutuhkan teknologi
dan biaya tinggi. Untuk mengatasi semua permasalahan tersebut di
atas diperlukan pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat setiap
penduduk sehingga dapat memanfaatkan semua sumber daya yang
tersedia di sekitar mereka.

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi


perilaku masyarakat dalam kesehatan yang selanjutnya akan
berdampak terhadap derajat kesehatan. Untuk dapat menerima dan
memanfaatkan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dalam
bidang kesehatan dan gizi tingkat pendidikan minimal adalah tamat
sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah. Tingkat pendidikan
270
wanita terutama di daerah perdesaan berdampak besar terhadap
perilaku hidup sehat masyarakat. Dengan memperhitungkan
tingkat pendidikan masyarakat terutama di perdesaan masih
rendah, KIE kesehatan yang akan disampaikan harus direncanakan
dengan baik, yang meliputi isi, metode, maupun saluran yang akan
digunakan dalam KIE tersebut.

Faktor sosial budaya akan turut mempengaruhi derajat


kesehatan masyarakat. Beberapa perilaku konsumsi masyarakat
yang kurang menunjang kesehatan antara lain kebiasaan
mengonsumsi tembakau dan minum alkohol. Kebiasaan lain yang
kurang menunjang kesehatan adalah kecenderungan mengonsumsi
makanan yang mengandung lemak tinggi, pemakaian obat
terlarang, dan meningkatnya stress akibat tekanan kehidupan.
Berbagai perkembangan di atas akan mempengaruhi jenis masalah
kesehatan yang akan dihadapi, bentuk pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu,
mengembangkan setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat agar
dapat berperilaku hidup sehat dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal merupakan tantangan pula bagi
pembangunan kesehatan.

2. Kendala

Untuk menghadapi tantangan seperti diuraikan di atas, dalam


Repelita VI akan dijumpai beberapa kendala. Persebaran tenaga
kesehatan pada berbagai unit pelayanan kesehatan belum merata,
mulai dari puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit dati II,
terutama di kawasan timur Indonesia. Selain itu, pelaksanaan
sistem rujukan pelayanan kesehatan belum mantap mulai dari
masyarakat ke posyandu, puskesmas pembantu, puskesmas
perawatan, dan rumah sakit serta kurangnya dukungan sarana
penunjang seperti laboratorium, sarana transportasi dan
komunikasi. Kendala lainnya menyangkut kemampuan pemerintah
dan masyarakat dalam membiayai upaya pelayanan kesehatan
masih terbatas, serta kemampuan ekonomi masyarakat masih

271
rendah. Selain itu, upaya penggerakkan dana dari masyarakat
terutama untuk upaya pelayanan kesehatan promotif, preventif dan
pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu, belum berkembang.

Dalam hal penyediaan obat dan alat kesehatan kendalanya


adalah sebagian besar bahan baku obat untuk keperluan industri
farmasi dan peralatan kesehatan masih tergantung dari impor.
Kendala lain adalah kurang efektifnya pemasyarakatan peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, sehingga pengetahuan
dan kepatuhan masyarakat dan petugas kesehatan tentang
prosedur, persyaratan dan standar pelayanan kesehatan masih
terbatas. Bagi daerah yang kondisi geografisnya sulit dijumpai
kendala berupa terbatasnya sarana transportasi dan fasilitas
komunikasi. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga
kemampuan untuk menyerap informasi penyuluhan kesehatan
rendah, penerimaan terhadap konsep pengobatan modern lambat,
dan kemampuan untuk menerapkan perilaku hidup sehat terbatas,
merupakan kendala umum yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan kesehatan dalam PJP II.

3. Peluang

Peluang pembangunan kesehatan pada dasarnya merupakan


keseluruhan sumber yang dimiliki oleh sektor kesehatan dan sektor
lain yang berkaitan selama PJP I, baik yang efektif maupun
potensial, dan akan didayagunakan pada PIP II. Peluang tersebut,
antara lain, makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
pola hidup sehat serta pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan
berkembangnya kewaspadaan dini terhadap bahan berbahaya akan
sangat menunjang pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang
optimal.

Peluang lainnya adalah berupa perluasan jangkauan pelayanan


kesehatan yang makin mantap karena tersebarnya pembangunan
sarana kesehatan secara merata dan penambahan tenaga kesehatan
termasuk bidan di desa di seluruh pelosok tanah air. Ini terlihat

272
dari membaiknya rasio puskesmas dengan penduduk, rasio tenaga
dokter yang bekerja di puskesmas, rasio dokter gigi dengan
puskesmas, dan rasio tenaga paramedis perawatan dan bidan
dengan puskesmas. Jumlah rumah sakit pada akhir Repelita I
sebanyak 1.116 buah meningkat menjadi 1.638 buah pada tahun
1992/93, sedangkan jumlah tempat tidur meningkat dari 81.753
buah menjadi 123.441 buah. Perluasan jangkauan tersebut
tercermin dari cakupan pelayanan kesehatan yang makin tinggi.

Peluang selanjutnya yang mendukung pembangunan kesehatan


adalah perubahan kependudukan menunjukkan hal-hal yang
menggembirakan, karena laju pertumbuhan penduduk sudah
dibawah 1,7 persen per tahun, jumlah anggota rumah tangga rata-
rata adalah 4,5 orang (1990) dan golongan balita jumlah dan
persentasenya cenderung menurun. Di samping itu, pendidikan
masyarakat makin meningkat, terlihat dari tingginya angka melek
huruf, partisipasi murni sekolah anak-anak berusia 7-12 tahun
serta makin meningkatnya anak-anak yang dapat menamatkan
pendidikan tingkat SD, sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP),
sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan akademi/universitas.
Peluang berikutnya adalah makin meningkatnya pendapatan per
kapita diikuti oleh penurunan jumlah dan persentase penduduk
miskin secara bermakna.

Komunikasi, informasi, dan transportasi yang makin membaik


juga memberi peluang untuk mempercepat pencapaian pemerataan
pelayanan kesehatan. Kemajuan di bidang teknologi pertanian
berupa penerapan bioteknologi pertanian ditunjang dengan
peningkatan upaya pertanian lainnya diharapkan dapat
mempertahankan swasembada pangan, meningkatkan kuantitas
dan kualitas bahan makanan sehingga dapat meningkatkan status
gizi masyarakat. Peluang lainnya adalah hasil berbagai upaya
deregulasi, debirokratisasi dan desentralisasi di bidang kesehatan
sehingga lebih memantapkan pengelolaan upaya kesehatan. Dengan
demikian, penanggulangan masalah akan lebih spesifik untuk setiap
propinsi atau wilayah tertentu sehingga akan lebih sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi daerah setempat.

273
Meningkatnya peran serta masyarakat, seperti lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, termasuk swasta
dalam hal pengorganisasian, penggerakan dan pendanaan kegiatan
kesehatan merupakan peluang yang terus dimantapkan. Begitu
pula halnya dengan berbagai upaya kesehatan yang diselenggara-
kan oleh sektor di luar kesehatan, baik oleh Departemen Tenaga
Kerja (kesehatan dan keselamatan kerja), Departemen Pertanian
(pelayanan kesehatan di perkebunan), Departemen Dalam Negeri
(rumah sakit dan puskesmas), Departemen Pekerjaan Umum
(penyediaan air bersih dan sanitasi), termasuk pelayanan kesehatan
di daerah permukiman baru (Departemen Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan), maupun oleh sektor-sektor lainnya.
Selain itu, kegiatan lintas sektor dalam upaya perbaikan gizi dan
penyehatan lingkungan, dan pencegahan serta penanggulangan
penyakit amat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan.

IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN


PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

Pembangunan kesehatan diarahkan pada peningkatan kualitas


sumber daya manusia serta kualitas kehidupan dan usia harapan
hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat, serta untuk mempertinggi kesadaran masyarakat akan
pentingnya hidup sehat. Perhatian khusus diberikan kepada
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, daerah kumuh
perkotaan, daerah perdesaan, daerah terpencil dan kelompok
masyarakat yang hidupnya terasing, daerah transmigrasi, serta
daerah permukiman baru.

Pengelolaan kesehatan yang terpadu perlu lebih dikembangkan


agar dapat lebih mendorong peran serta masyarakat, termasuk
dunia usaha, dalam pembangunan kesehatan. Kualitas pelayanan
kesehatan ditingkatkan dan jangkauan serta kemampuannya

2.74
diperluas agar masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah,
dapat menikmati pelayanan yang berkualitas dengan terus
memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran secara serasi dan bertanggung jawab.

Pengadaan dan peningkatan sarana kesehatan perlu terus


dikembangkan. Tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan
lainnya ditingkatkan kualitas dan kemampuannya serta
persebarannya terus diupayakan agar merata dan menjangkau
masyarakat di daerah terpencil. Penyediaan obat dan alat kesehatan
yang makin merata dengan harga yang terjangkau oleh rakyat
banyak ditingkatkan melalui pengembangan industri peralatan
kesehatan dan industri farmasi yang makin maju dan mandiri, yang
didukung oleh industri bahan baku obat yang andal melalui
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkan


antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular, penyehatan lingkungan permukiman, perbaikan gizi,
penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan, serta pelayanan
kesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya
penyalahgunaan obat, zat adiktif, dan narkotika, terutama bagi
generasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikan
perhatian khusus, juga pengawasan ketat terhadap obat, makanan
dan minuman. Penelitian dan pengembangan kesehatan perlu terus
dilanjutkan antara lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.

Pelayanan kesehatan baik oleh Pemerintah maupun dengan


peran serta masyarakat harus mengindahkan prinsip kemanusiaan
dan kepatutan dengan memberikan perhatian khusus kepada fakir
miskin, anak-anak dan penduduk usia lanjut yang terlantar. Semua
usaha untuk mewujudkan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat perlu dikembangkan dengan upaya memasyarakatkan
pembiayaan kesehatan oleh masyarakat berdasarkan prinsip
gotong-royong.

275
Pengobatan tradisional yang secara medis dapat dipertanggung-
jawabkan terus dibina dalam rangka perluasan dan pemerataan
pelayanan kesehatan. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan
tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan
didorong usaha pengembangannya melalui penggalian, penelitian,
pengujian, dan pengembangan serta penemuan obat-obatan,
termasuk budi daya tanaman obat tradisional yang secara medis
dapat dipertanggungjawabkan.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan kesehatan dalam PJP II sesuai amanat


GBHN 1993 adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
makin bermutu dan merata yang mampu mewujudkan manusia
yang tangguh, sehat, cerdas, dan produktif.

Dalam rangka itu, pada akhir PJP.II dalam upaya meningkat-


kan derajat kesehatan masyarakat sasaran yang akan dicapai adalah
angka harapan hidup waktu lahir meningkat menjadi 70,6 tahun,
angka kematian kasar menurun menjadi 7,4 per 1.000 penduduk,
angka kematian bayi menurun menjadi 26 per 1.000 kelahiran
hidup, angka kematian balita (04 tahun) menurun menjadi 40 per
1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu melahirkan
menurun menjadi 80 per 100.000 kelahiran hidup.

Sasaran lainnya menyangkut keadaan gizi masyarakat. Di-


harapkan bahwa persentase anak balita yang menderita KEP total
dengan menggunakan parameter berat badan dibandingkan dengan
umur (BB/U) menurun menjadi 5 persen, dan persentase bayi
dengan berat badan lahir rendah menurun menjadi 6 persen (Tabel
35-1). Di samping itu, persentase anemia gizi besi diturunkan men-
jadi 9 persen pada ibu hamil dan 10 persen pada tenaga kerja,
sedangkan untuk gangguan akibat kurang iodium (GAKI)
diturunkan menjadi 9 persen, serta anak balita terbebas dari kurang
vitamin A.

276
TABEL 35—1
SASARAN PEMBANGUNAN KESEHATAN
DALAM PJP II

Akhir PJP II
Jenis Sasaran Satuan Repelita V 1) Akhir Akhir Akhir Akhir Akhir
Repelita VI Repelita VII Repelita VIII Repelita IX . Repelita X

1. Angka harapan hidup tahun 62.7 64.6 66.3 67.8 69.3 70.6
waktu lahir
7.9 7.5 72 7.1 7.1 7.4 2)
2. Angka kematian kasar per 1.000
penduduk

3. Angka kematian bayi per 1.000 58 50 43 37 31 26


kelahiran hidup

4. Angka kematian ibu per 100.000 425 225 189 143 108 .80
melahirkan kelahiran hidup

5. Penderita kurang energi % 40.0 30.0 21.0 16.0 12.0 5.0


protein (KEP) total
pada anak balita

6. Berat badan bayi Iahir % 15.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0
rendah

Catatan : 1) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)


2) Angka kematian kasar meningkat lagi karena
pengaruh susunan umur penduduk yang makin tua
b. Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI sesuai


dengan amanat GBHN 1993 adalah meningkatnya derajat kesehatan
melalui peningkatan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan
yang makin menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Sasaran tersebut dijabarkan lebih lanjut pencapaiannya dalam


berbagai sasaran sebagai berikut: angka harapan hidup waktu lahir
meningkat menjadi 64,6 tahun, angka kematian kasar menurun
menjadi 7,5 per 1.000 penduduk, angka kematian bayi menurun
menjadi 50 per 1.000 kelahiran hidup. Khusus untuk bayi muda
(neonatus), kematian karena tetanus neonatorum dalam Repelita VI
dapat ditiadakan sama sekali. Sasaran lainnya adalah angka
kematian balita (0-4 tahun) diturunkan menjadi 66 per 1.000
kelahiran hidup, dan angka kematian ibu melahirkan diturunkan
menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup.

Sasaran keadaan gizi masyarakat yang dicapai pada akhir


Repelita VI adalah persentase anak balita yang menderita KEP
total menurun menjadi 30 persen, persentase bayi dengan berat
badan lahir rendah menurun menjadi 10 persen (Tabel 35-2).
Anemia gizi besi diturunkan menjadi 40 persen pada ibu hamil dan
20 persen pada tenaga kerja, dan anak balita menurun menjadi 40
persen. Prevalensi GAKI menurun menjadi 18 persen, dan bebas
dari masalah kretin baru. Selain itu, kurang vitamin A pada anak
balita turun menjadi 0,1 persen.

3. Kebijaksanaan

Sebagai penjabaran dari arah yang ditetapkan GBHN 1993


maka ditetapkan tujuan-tujuan pokok pembangunan kesehatan
dalam Repelita VI. Pertama, peningkatan kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk mengembangkan perilaku kemandirian dan hidup
sehat serta melaksanakan norma keluarga kecil bahagia dan
sejahtera; kedua, perbaikan mutu lingkungan hidup/permukiman

278
TABEL 35-2
SASARAN INDIKATOR PEMBANGUNAN KESEHATAN
1994/95 - 1998/99

Janis Sasaran Satuan Akhir Repelita VI


R e p e l i t a V *) 1994/95 1995/96 1998/97 1997/98 1998/99

1. Angka harapan hidup tahun 82.7 83.1 83.5 63.9 64.3 64.6
waktu lahir

2. Angka kematian kasar per 1.000 7.9 7.8 7.7 7.8 7.5 7.5
penduduk

3. Angka kematian bayi per 1.000 58 57 55 54 52 50


kelahiran hidup

4. Angka kematian Ibu per 100.000 425 385 335 285 280 225
melahirkan kelahiran hidup

5. Penderita kurang energi % 40 40 : 38 35 32 30


protein (KEP) total pada
anak balita

6. Berat badan bayi lahir rendah % 15 1. 12 11 10.5 10

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)


yang dapat menjamin hidup sehat; ketiga, perbaikan status gizi
yang diarahkan pada peningkatan kemampuan fisik dan intelegensia
serta produktivitas kerja; keempat, pengurangan angka kesakitan,
kecacatan dan angka kematian; kelima, peningkatan dan
pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau
dan dapat diterima oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan pokok
tersebut maka disusun kebijaksanaan pembangunan kesehatan
dalam Repelita VI, yaitu sebagai berikut.

a. Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan


Kesehatan

Pelayanan kesehatan ditingkatkan pemerataan dan mutunya.


Titik berat diletakkan pada pelayanan kesehatan dasar, sebagai
upaya terpadu, yang diselenggarakan melalui puskesmas,
puskesmas pembantu, bidan di desa dan balai pengobatan lainnya
serta pelayanan rujukan melalui rumah sakit kabupaten. Melalui
peningkatan pelayanan kesehatan diharapkan terjadi penurunan
angka kematian bayi, balita, dan anak serta angka kematian ibu
(AKI), dan perbaikan status gizi anak dan keluarga. Mengingat
penyebab utama rendahnya derajat kesehatan ialah penyakit
menular, prioritas utama diberikan pada upaya penanggulangan
penyakit menular. Perhatian khusus diberikan pada penyakit
degeneratif yang cenderung meningkat.

Dalam pengentasan penduduk dari kemiskinan, prioritas


tinggi diberikan kepada peningkatan kualitas program-program
yang telah ada, terutama yang ditujukan bagi penduduk dan desa-
desa yang miskin, yaitu kegiatan pelayanan kesehatan dasar
melalui puskesmas pembantu dan bidan di desa. Perhatian khusus
diberikan kepada fakir miskin, anak, dan penduduk usia lanjut
yang terlantar. Peningkatan kualitas yang dimaksud termasuk
penempatan bidan di desa, pembangunan puskesmas pembantu
lengkap dengan sarananya, penyediaan air bersih, pemberian
makanan tambahan bagi balita dan anak SD yang kekurangan gizi
dan penyehatan lingkungan. Lebih penting lagi, pendekatan

280
penyelenggaraannya berorientasi kepada desa dengan peningkatan
peranan masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dalam
pembinaan dan penyuluhan secara optimal.

Dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja dan berlanjutnya


industrialisasi dan pembangunan ekonomi, yang berkaitan erat
dengan urbanisasi, maka perhatian yang lebih besar diberikan
untuk mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi, antara lain
melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan kerja termasuk
perbaikan gizi dan kebugaran jasmani tenaga kerja serta upaya
kesehatan lain yang menyangkut kesehatan lingkungan kerja dan
lingkungan permukiman, terutama bagi penduduk yang tinggal di
daerah kumuh.

Pengembangan iptek di bidang kesehatan didorong untuk


meningkatkan pelayanan kesehatan dan gizi, produksi dan
pendayagunaan obat, pengobatan tradisional termasuk bahan
bakunya, agar lebih bermutu dan berguna bagi kepentingan
masyarakat banyak, dan dilaksanakan dengan memperhatikan etika
penelitian yang berlaku dalam masyarakat. Pemahaman,
penerimaan dan penggunaan obat dan pengobatan tradisional oleh
tenaga kesehatan dan masyarakat ditingkatkan sehingga merupakan
bagian terpadu dari pelayanan kesehatan. Penelitian yang berkaitan
dengan ekonomi kesehatan dikembangkan untuk mengoptimalkan
pembiayaan kesehatan yang masih terbatas serta pada penelitian
bidang sosial budaya yang berkaitan dengan masalah kesehatan
masyarakat.

b. Peningkatan Status Gizi Masyarakat

Status gizi masyarakat ditingkatkan melalui upaya perbaikan


gizi. Upaya diarahkan pada kelompok masyarakat dengan resiko
tinggi seperti anak balita, wanita usia produktif, wanita hamil, dan
ibu menyusui serta golongan usia lanjut. Perhatian lebih besar
diberikan pada upaya meningkatkan pemanfaatan aneka ragam
bahan pangan, terutama ikan, sayuran, dan buah-buahan untuk
peningkatan status gizi serta pencegahan dan penanggulangan
penyakit gangguan gizi.

281
c. Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Swasta dan
Organisasi Profesi

Penyuluhan kesehatan diarahkan untuk membudayakan


perilaku hidup sehat dan menciptakan lingkungan hidup yang
bersih bagi pribadi, keluarga dan masyarakat agar mampu
mengatasi berbagai masalah kesehatan melalui upaya pencegahan
penyakit (preventif) dan peningkatan derajat kesehatan (promotif).
Melalui upaya ini ditingkatkan pula kemampuan pencegahan
terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh perubahan gaya
hidup dan perilaku, seperti AIDS, kanker, penyakit jantung, dan
pembuluh darah, alkoholisme, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit
lain sebagai akibat pencemaran lingkungan. Upaya pencegahan
antara lain dilakukan dengan menyampaikan informasi melalui
berbagai media elektronik dan cetak serta forum pertemuan dengan
melibatkan masyarakat dan dunia usaha. Persepsi masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan modern diperbaiki sehingga sarana
pelayanan kesehatan yang telah disediakan lebih dimanfaatkan.

Peranan dunia usaha dalam pencegahan penyakit dan


peningkatan derajat kesehatan ditingkatkan melalui upaya-upaya
seperti imunisasi, penyediaan sarana air bersih, penyehatan
lingkungan permukiman serta sarana kebugaran jasmani, selain
upaya kuratif melalui pendirian rumah sakit. Di pihak lain peran
serta masyarakat baik yang melalui posyandu maupun yang melalui
program pelayanan kesehatan lainnya, tetap mendapatkan perhatian
bahkan makin dikembangkan untuk menjamin kesinambungannya.

Mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan dikembangkan


agar lebih seimbang dan serasi antara subsidi yang diberikan oleh
pemerintah dengan biaya yang dibebankan kepada masyarakat.
Upaya ini terutama menyangkut mobilisasi dana potensial untuk
pemeliharaan kesehatan dengan cara penyelenggaraan berdasarkan
jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), dan
penyesuaian tarif pelayanan, tanpa merugikan penduduk miskin.
Pendapatan yang diperoleh oleh Pemerintah dari institusi pelayan

282
kesehatan dikembalikan sepenuhnya untuk membiayai usaha
meningkatkan mutu pelayanan dan menolong penduduk miskin.
Untuk memacu peran masyarakat dalam pelayanan kesehatan,
kepada pihak swasta, terutama yang melaksanakan kegiatan nirlaba
diberikan kemudahan dalam hal perizinan, bantuan tenaga, dan
kemudahan lainnya.

Peranan organisasi profesi dalam upaya peningkatan mutu


pelayanan kesehatan ditingkatkan terutama yang menyangkut
penyusunan dan penggunaan standar profesi serta penerapan kode
etik untuk mencapai hasil guna dan daya guna yang optimal.
Organisasi profesi didorong berperan lebih aktif membantu
pemerintah dalam perumusan kebijaksanaan dan pengelolaan
pembangunan kesehatan. Organisasi profesi berfungsi pula dalam
memberikan pendapat dan masukan melalui Badan Pertimbangan
Kesehatan Nasional dan memberikan pertimbangan terhadap tenaga
dan penggunaan sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran
ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
melalui Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

d. Peningkatan Manajemen Upaya Kesehatan

Pengelolaan upaya kesehatan mulai dari perencanaan,


pelaksanaan, pemantauan sampai ke penilaian, diselenggarakan
secara terpadu, menyeluruh, dinamis dan didukung oleh sistem
informasi kesehatan yang mantap sehingga lebih mencerminkan
pemerataan yang dapat menjangkau kebutuhan pelayanan kesehatan
sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.

Desentralisasi atas dasar prinsip otonomi yang nyata, dinamis,


serasi dart bertanggung jawab dipercepat melalui pelimpahan
tanggung jawab pengelolaan pelayanan kesehatan kepada dati II.
Dengan demikian, pemerintah daerah makin bertanggung jawab
dalam perencanaan dan pembiayaan upaya pelayanan kesehatan
serta lebih bermotivasi untuk secara bertahap mencukupi kebutuhan
investasi, biaya operasional dan pemeliharaan pelayan kesehatan di

283
daerahnya, termasuk dengan dana yang berasal dari penerimaan
melalui fasilitas kesehatan.

Penyediaan, pengelolaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan


yang bermutu dioptimasikan, khususnya untuk tenaga yang
berkaitan langsung dengan penanggulangan kematian ibu dan bayi
seperti bidan di desa, dokter puskesmas dan tenaga spesialis
kebidanan dan kandungan serta spesialis anak di rumah sakit
kabupaten sebagai sarana rujukan pertama. Selain itu, dilakukan
pula optimasi penyediaan, pengelolaan dan penggunaan sarana
kesehatan termasuk obat dan slat kesehatan sesuai dengan
kebutuhan nyata.

V. PROGRAM PEMBANGUNAN

Untuk mencapai tujuan dan sasaran serta didasarkan pada


kebijaksanaan pembangunan kesehatan tersebut di atas, dalam
Repelita VI program pembangunan kesehatan yang akan
dilaksanakan secara terkoordinasi dengan pembangunan bidang
lainnya serta mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha adalah
sebagai berikut.

1. Program Pokok

a. Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

Tujuan program ini adalah meningkatnya pengetahuan,


kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup
bersih dan sehat serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat
termasuk dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal.

Sasaran program ini adalah (1) membudayanya perilaku hidup


sehat dan hidup bersih bagi pribadi, keluarga dan masyarakat
umum sehingga dapat memberikan dampak yang bermakna

284
terhadap derajat kesehatan; (2) meningkatnya pengertian tentang
pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit yang
disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan perilaku seperti AIDS,
kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, ketergantungan obat
dan minuman keras, dan lain-lain sehingga angka kesakitan untuk
penyakit tersebut minimal dapat dipertahankan sama dengan
keadaan pada akhir Repelita V; (3) meningkatnya peranan
swasta/dunia usaha dalam berbagai upaya pembangunan kesehatan
terutama pelayanan kesehatan pencegahan dan peningkatan derajat
kesehatan, yang selama ini masih lebih banyak dibiayai
Pemerintah, seperti balai imunisasi, penyemprotan rumah untuk
pemberantasan malaria, pengasapan (fogging) untuk
penanggulangan demam berdarah, penyediaan air bersih dan
penyehatan lingkungan permukiman, serta peningkatan kebugaran
jasmani; (4) meningkatnya kreativitas, produktivitas, dan peran
generasi muda dalam mengatasi masalah kesehatan diri,
lingkungan, dan masyarakatnya dengan memfungsikan remaja
husada, taruna husada, dan sebagainya sebagai promotor dan
pelaku upaya kesehatan di 50 persen dati II; (5) meningkatnya dan
lebih rasionalnya pengeluaran pembiayaan kesehatan yang berasal
dari masyarakat termasuk swasta, terutama melalui
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang dibiayai secara
praupaya dan dikelola berdasarkan JPKM.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, kegiatan


program ini sebagai berikut.

1) Penyebarluasan Informasi Kesehatan

Kegiatan ini meliputi pengkajian keadaan sosial budaya


kesehatan, sistem komunikasi, dan teknologi yang tepat dalam
pengembangan masyarakat; pengembangan, penciptaan, dan
penyebarluasan bahan penyuluhan kesehatan melalui media massa,
penyuluhan individu dan kelompok; peningkatan kerja sama
dengan berbagai pihak, termasuk dengan media massa agar pesan
kesehatan menjadi bagian terpadu dari pesan pembangunan

285
nasional; pengintensifan penyuluhan kesehatan terutama kepada
keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat dengan
memanfaatkan lembaga swadaya masyarakat, serta pemberian
dorongan kepada masyarakat dalam menyebarluaskan cara
memecahkan masalah kesehatan, terutama dalam keadaan darurat,
seperti pada saat terjadinya wabah dan bencana alam.

2) Pengembangan Potensi Swadaya Masyarakat


di Bidang Kesehatan

Kegiatan ini meliputi pengembangan sikap, kemampuan, dan


motivasi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam pembudayaan hidup sehat;
pengembangan, penciptaan dan penyebarluasan metodologi
pengembangan masyarakat melalui Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), organisasi kemasyarakatan dan
kelompok potensial lainnya; pembinaan iklim yang kondusif untuk
membangkitkan prakarsa yang berasal dari masyarakat;
pengembangan kerja sama yang saling menguntungkan antara
pemerintah dan masyarakat berpenghasilan tinggi guna
pengembangan derajat kesehatan kelompok masyarakat miskin;
serta pengembangan kelompok-kelompok keluarga mandiri sebagai
teladan bagi masyarakat lain dilingkungannya.

3) Pengembangan Penyelenggaraan Penyuluhan

Kegiatan ini dilaksanakan melalui pengembangan sikap,


kemampuan, dan motivasi petugas kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dalam bidang penyuluhan; pembinaan dan
pengembangan tenaga penyuluh kesehatan, baik tenaga struktural
maupun fungsional; pembentukan jaringan kerja sama yang
dinamis antara unit penyuluhan dan institusi pendidikan serta
dengan unit penelitian dan pengembangan; serta pembentukan
kemitraan antara pemerintah, kelompok profesi dan masyarakat
termasuk dunia usaha dalam penyelenggaraan penyuluhan.

286
b. Program. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Program ini merupakan suatu program pelayanan dasar


terpadu yang ditujukan untuk lebih memperluas cakupan dan
sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar serta
menumbuh kembangkan sikap dan kemandirian dalam
pemeliharaan kesehatan di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pendekatan pelayanan kesehatan dasar lebih bersifat pencegahan
dan peningkatan kesehatan yang diselenggarakan secara serasi
dengan kegiatan pengobatan dan pemulihan.

Sasaran program ini adalah menurunnya angka kesakitan pada


kelompok berisiko tinggi, yaitu ibu, bayi, dan anak balita, anak
usia sekolah pendidikan dasar dan kelompok usia lanjut serta
penduduk di desa miskin dan terpencil secara keseluruhan;
meningkatnya kemampuan puskesmas dalam membina dan
menggerakkan masyarakat untuk membangun lingkungan dan
perilaku hidup sehat; serta meningkatnya jumlah tenaga dan sarana
pelayanan kesehatan masyarakat sehingga terpenuhi standar yang
memadai.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas,


dilaksanakan kegiatan sebagai berikut.

1) Pelayanan Kesehatan Keluarga

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mewujudkan hidup sehat di


lingkungan keluarga dalam rangka meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Prioritas pelayanan kesehatan keluarga diarahkan
untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan
kontrasepsi, pemeliharaan anak dan ibu sesudah persalinan,
perbaikan gizi dan pemberian imunisasi, serta pelayanan
kesehatan bagi kelompok usia lanjut. Sasaran kesehatan keluarga
adalah meningkatnya kesehatan kelompok usia subur melalui
peningkatan cakupan pelayanan kontrasepsi dengan metode efektif
terpilih (kontap, IUD, implant dan suntikan) pada akseptor baru

287
menjadi 70 persen dan deteksi dini untuk mengurangi efek
samping pada pasangan usia subur (PUS). Di samping itu, akan
ditingkatkan status gizi wanita usia produktif; meningkatnya
cakupan pemeriksaan ibu hamil menjadi 90 persen dan sekaligus
peningkatan cakupan imunisasi TT2 menjadi 85 persen. Selain itu,
ditingkatkan pula pemberian tablet besi pada ibu hamil sehingga
mencakup 85 persen ibu hamil. Khusus di daerah gondok endemis
semua ibu hamil tercakup distribusi kapsul iodium. Sasaran
selanjutnya adalah meningkatnya pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan menjadi 55 persen dan oleh tenaga terlatih
menjadi 75 persen, dan cakupan pemeliharaan pascapersalinan bagi
ibu menyusui termasuk pemberian vitamin A dosis tinggi dan tablet
besi menjadi 80 persen; meningkatnya cakupan pelayanan
kesehatan usia lanjut pada puskesmas, secara paripurna sesuai
dengan standar minimal mencapai sekitar 50 persen; mening -
katnya kegiatan rujukan ibu hamil yang melahirkan dengan risiko
tinggi dari puskesmas ke rumah sakit kabupaten menjadi sekitar 50
persen (Tabel 35-3). Untuk mencapai sasaran tersebut di atas,
pelayanan kesehatan keluarga meliputi pelayanan kesehatan bagi
usia subur, pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan balita
dan anak prasekolah serta pelayanan kesehatan bagi usia lanjut.

2) Pelayanan Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya


manusia melalui peningkatan kehidupan dan lingkungan hidup,
baik di dalam maupun di luar sekolah, dan mempertinggi
kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat.

Sasaran kegiatan pelayanan kesehatan usia sekolah adalah


tercakupnya semua sekolah oleh kegiatan usaha kesehatan sekolah
(UKS); tercakupnya pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa dan
anak putus sekolah sebesar 80 persen; meningkatnya jumlah kader
kesehatan sekolah dan kader kesehatan remaja pada 75 persen
sekolah yang ada. Kegiatannya meliputi kegiatan di lingkungan
sekolah dan di luar lingkungan sekolah.

288
TABEL 35—3
SASARAN PEMBANGUNAN KESEHATAN 1984/95—1998/99

Jenis Sasaran Satuan Akhlr Repelita VI


Repelita V *) 1994/95 1998/99
(1) (4)
(2) (3) (5)

1. Pelayanan Kesehatan Masyyarakat


a. Peningkatan cakupan pelayanan kontrasepsi dengan metode efektif % 88 87 70
b. Cakupan pemeriksaan ibu hamil frekwensi minimum 4 kali % 81 83 90
c. Cakupan imunisasi TT2 ibu hamil % 84 87 85
d. Pemberian tablet besi kepada ibu hamil % 83 85 85
e. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan % 50 50 55
f. Pertolongan persalinan oleh tenaga terlaith % 85 85 75
g. Cakupan pemeliharaan pasca persalinan bagi ibu menyusui % 70 70 80
h. Pelayanan kesehatan usia lanjut pada puskesmas % 35 38 50
i. Kegiatan rujukan ibu hamil yang melahirkan dengan risiko tinggi % 20 20 50

2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyaklt


a. Cakupan imunisasl untuk semua jenis antigen % 75 78 80
terhadap bayi pada setiap kecamatan.
% 83.6 70 90.0
b. Penurunan angka kesakitan penyakit polio
c. Penurunan angka kesakitan tetanus neonatorum % 41 48 90.0
d. Penurunan angka kesaktan difteri % 38.8 48 80.0
e. Penurunan angka kesakitan penyakit pertusis % 42 50 80.0
f. Penurunan angka kesakitan campak % 80.7 88.7 90.0
g. Angka kesakitan penyakit tuberkulosa peru per 1.000 penduduk 2.4 2.35 2.2
h. Angka kesakitan penyakit malaria di Jawa dan Bali per 1.000 penduduk 1.0 0.8 0.1
i. Angka kesakitan penyakit malaria di luar Jawa dan Bali per 1.000 penduduk 40.0 38.0 30
j. Angka kesakitan penyakit demam berdarah di kecamatan endemik per 1.000 penduduk 0.5 0.5 0.3
k. Angka kesakitan diare pada semua umur per 1.000 penduduk 330 320 280
I. Demam keong daerah endemic % 1.4 1.4 1

3. Pembinaan Pengobatan Tradisional


a Pembentukan sentra pengembangan dan penerapan sentra — 1 12
pengobatan tradisional
b. Pemantapan organisasl dan pola pengobatan traditional dati II — 30 300

4. Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih


a. Cakupan penggunaan air bersih di perkotaan % 80 80 90
b. Cakupan penggunaan air bersih di perdesaan % 50 50 80

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)


Di lingkungan sekolah, kegiatan peningkatan pelayanan
kesehatan usia sekolah dilaksanakan melalui pendidikan kesehatan,
pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah yang
sehat. Pendidikan kesehatan dilaksanakan secara intra dan
ekstrakurikuler termasuk pelatihan kader UKS. Kegiatan pelayanan
kesehatan meliputi penjaringan masalah kesehatan; pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi seluruh peserta didik dan guru;
perbaikan gizi peserta didik terutama bagi murid SD di desa
tertinggal termasuk pembinaan warung sekolah; pencegahan
penyakit berupa imunisasi bagi murid kelas I dan murid wanita
kelas VI SD; dan pengobatan serta rujukan. Pembinaan lingkungan
sekolah yang sehat, meliputi pembinaan lingkungan sekolah, baik
fisik maupun sosial yang dilaksanakan secara lintas sektor.
Pelaksanaan kegiatan tersebut didukung oleh pembinaan
manajemen bagi petugas, antara lain berupa pelatihan petugas di
setiap jenjang administrasi. Di luar lingkungan sekolah,
kegiatannya meliputi deteksi dini dan pelayanan kesehatan terhadap
anak luar biasa, anak putus sekolah, dan anak usia sekolah di
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

3) Pelayanan Kesehatan Kerja

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pelayanan


kesehatan kerja paripurna bagi masyarakat pekerja dari berbagai
sektor dan meningkatkan kemampuan tenaga kerja untuk menolong
dirinya sendiri terhadap ancaman, gangguan, dan risiko akibat
kerja.

Sasaran pelayanan kesehatan kerja meliputi meningkatnya


jumlah institusi kerja yang memenuhi persyaratan kesehatan kerja;
berkembangnya upaya pelayanan kesehatan kerja di setiap
institusi kerja termasuk pengintegrasian kesehatan kerja dalam
pelayanan puskesmas; meningkatnya status kesehatan dan status
gizi pekerja; dan terbinanya dunia usaha untuk melaksanakan
proses dan menghasilkan produk yang bebas dari risiko kesehatan
yang disebabkan oleh pekerjaan.

290
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja
sesuai dengan jenis pekerjaan; pembinaan petugas pelaksana dan
pengelola unit kerja dalam penyelenggaraan upaya kesehatan kerja;
dan peningkatan kerja sama lintas sektor dan lintas program dalam
upaya pelayanan kesehatan kerja.

4) Pelayanan Penyembuhan dan Pemulihan.

Kegiatan ini, yang dilakukan melalui puskesmas, bertujuan


menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penduduk,
terutama yang disebabkan oleh penyakit menular. Sasaran
kegiatan itu adalah meningkatnya cakupan pengobatan dan
menurunnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk.

Kegiatan pelayanan tersebut antara lain mencakup penemuan


dan pengobatan penderita penyakit infeksi paru (pneumonia) dan
diare, terutama pada bayi dan balita sedini mungkin dengan
melibatkan peran serta masyarakat; pengobatan TB paru terutama
di daerah kumuh perkotaan serta kantung kemiskinan lainnya.
Peningkatan cakupan pengobatan infeksi penyakit saluran
pernafasan tersebut termasuk yang dilakukan melalui Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP 4); pengobatan malaria
terutama di luar Jawa-Bali, yakni di daerah transmigrasi dan
perbatasan serta daerah dengan tingkat endemisitas tinggi;
penemuan dan pengobatan penyakit tidak menular; peningkatan
upaya penemuan dan pengobatan penyakit demam berdarah, kusta,
antraks, rabies, dan lain-lain; penyediaan dan penggunaan obat
secara rasional sesuai dengan standar yang berlaku; perluasan
pelayanan penyakit mata, termasuk yang dilaksanakan melalui
Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM); perluasan,pelayanan
kuratif kesehatan gigi dan pencegahan karies pada kelompok anak
SD; perluasan cakupan pelayanan kesehatan jiwa pada puskesmas;
serta berfungsinya semua puskesmas dengan tempat tidur untuk
menangani cedera/kecelakaan.

291
5) Kesehatan Olahraga

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan tingkat


kesegaran jasmani masyarakat terutama golongan usia sekolah,
usia produktif, atlet, dan golongan usia lanjut.

Sasarannya adalah terlaksananya penyuluhan kesehatan


olahraga oleh puskesmas; pembinaan perkumpulan olahraga oleh
puskesmas; tersusunnya peta tingkat kesegaran jasmani pada
kelompok usia produktif; dan pembentukan pusat kesehatan
olahraga propinsi; serta pemberian pelayanan kesehatan dan gizi
terhadap atlet di daerah melalui pusat kesehatan olahraga propinsi.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan


kesehatan olahraga meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan olahraga;
peningkatan kemampuan tenaga melalui kegiatan pendidikan dan
pelatihan; pengembangan sarana dan prasarana kesehatan olahraga;
dan peningkatan kegiatan bimbingan dan penyuluhan melalui
berbagai media penyuluhan; serta peningkatan kerja sama dengan
berbagai sektor yang berkaitan.

6) Kesehatan Matra

Tujuan kegiatan ini adalah terselenggaranya upaya pelayanan


kesehatan khusus dalam lingkungan matra yang serba berubah
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan matra
meliputi kesehatan lapangan (kesehatan haji, kesehatan
transmigrasi, kesehatan dalam bencana alam, kesehatan di bumi
perkemahan), kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan
dirgantara.

Sasaran yang akan dicapai adalah tersusunnya pola pelayanan


kesehatan matra; tersedianya sarana termasuk tenaga yang
memadai untuk mendukung kegiatan operasional kesehatan matra;

292
dan terbinanya kerja sama lintas sektor dan lintas program yang
didukung oleh peran serta masyarakat termasuk dunia usaha.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan yang


akan dilaksanakan meliputi penyusunan dan pengembangan pola
pelayanan kesehatan matra yang terpadu dengan program dan
sektor lain dan didukung oleh peraturan perundang-undangan,
peningkatan upaya pelayanan, pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan kesehatan matra yang telah ada dan penelitian yang
berkaitan dengan kesehatan matra.

7) Pelayanan Laboratorium

Kegiatan ini, yang dilakukan di puskesmas, bertujuan


menunjang upaya pelayanan kesehatan masyarakat, terutama dalam
menegakkan diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut terhadap
kasus yang dirujuk ke puskesmas dan puskesmas perawatan.
Sasaran kegiatan yang ingin dicapai adalah setiap puskesmas
mampu melakukan pemeriksaan, terutama dalam menunjang
kesehatan ibu dan anak di daerah terpencil. Kegiatan yang
dilakukan meliputi, antara lain pemeriksaan laboratorium kesehatan
di semua puskesmas; pelayanan laboratorium sederhana yang dapat
dilakukan oleh bidan desa terhadap beberapa jenis pemeriksaan;
dan penyediaan bahan, reagen, serta peralatan laboratorium yang
memadai.

8) Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dan Pembinaan


Peran Serta Masyarakat

Tujuan kegiatan ini, yang dilakukan melalui puskesmas/


puskesmas pembantu/bidan desa, adalah meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan
sehat serta menumbuhkembangkan berbagai bentuk upaya
pelayanan kesehatan bersumber daya masyarakat. Sasaran kegiatan
itu adalah kesadaran akan hidup sehat meningkat melalui
peningkatan kemampuan dalam menolong diri sendiri, terutama
dalam upaya pencegahan penyakit dan pemanfaatan fasilitas

293
pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain
penyebarluasan informasi kesehatan; pengembangan potensi
swadaya masyarakat di bidang kesehatan; dan penyelenggaraan,
penyuluhan kepada masyarakat serta pembinaan lembaga swadaya
masyarakat dan organisasi profesi.

c. Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit


Program ini, bertujuan meningkatkan mutu, cakupan, dan
efisiensi pelayanan rumah sakit serta memantapkan sistem rujukan
antara puskesmas dengan rumah sakit kabupaten, rumah sakit
propinsi dan rumah sakit di tingkat pusat melalui peningkatan dan
pengembangan manajemen rumah sakit, terutama dalam bidang
sumber daya tenaga, pembiayaan dan informasi menuju
kemandirian rumah sakit dengan tetap memperhatikan fungsi sosial
rumah sakit.

Sasaran program ini dalam Repelita VI mencakup, antara lain,


berkembang dan terlaksananya sistem rujukan antara puskesmas
dan rumah sakit kabupaten dan rumah sakit propinsi; meningkatnya
jumlah puskesmas yang sudah dapat melaksanakan kegiatan
rujukan ke rumah sakit dan yang sudah dibina oleh rumah sakit
kabupaten maupun di propinsi menjadi sekitar 75 persen;
meningkatnya mutu pelayanan rumah sakit terutama rumah sakit
kelas D, dilakukan secara bertahap melalui penambahan pelayanan
spesialis minimal dalam bidang keahlian kebidanan dan anak; dan
meningkatnya status rumah sakit dari kelas D menjadi kelas C
sehingga pada akhir Repelita VI semua dati II telah memiliki
rumah sakit kabupaten yang minimal memiliki empat keahlian
dasar; meningkatnya partisipasi dunia usaha dalam pelayanan
rumah sakit agar dapat mempercepat peningkatan jumlah tempat
tidur di rumah sakit termasuk peningkatan persentase tempat tidur
yang dapat digunakan oleh golongan masyarakat yang tidak
mampu; peningkatan pola pelayanan rumah sakit di kawasan
industri; mantapnya kemampuan manajemen rumah sakit melalui
unit swadana; meningkatnya utilisasi rumah sakit umum dalam hal
penggunaan tempat tidur lebih besar dari 60 persen, dan
meningkatnya cakupan pelayanan rumah sakit jiwa .

294
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan pokok
program kesehatan rujukan dan rumah sakit yang akan
dilaksanakan adalah (1) pelayanan kesehatan rumah sakit; (2)
pelayanan rujukan; (3) penunjang pelayanan rumah sakit; (4)
pelayanan kesehatan jiwa; (5) pelayanan kesehatan gigi, dan (6)
pelayanan laboratorium kesehatan.

1) Pelayanan Rumah Sakit

Kegiatan ini terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu dan


cakupan pelayanan rumah sakit dan meningkatkan peran serta
masyarakat. Kegiatannya meliputi (a) penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dan rehabilitasi medis di seluruh rumah sakit kabupaten
termasuk pelayanan spesialistik terutama di rumah sakit kabupaten
sebagai unit pelaksana pelayanan rujukan dengan perhatian khusus
kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah; (b)
penyediaan peralatan medis dan nonmedis sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan; (c) pelatihan tenaga medis dan
paramedis mengenai teknis pelayanan medis di seluruh rumah
sakit; (d) pembinaan pelayanan teknis medis bagi tenaga medis dan
paramedis di puskesmas; (e) pembinaan praktek bersama spesialis
di semua rumah Sakit; (f) pelaksanaan pengujian kesehatan bagi
pegawai negeri sipil (PNS); (g) pemberian pelayanan medis bagi
peserta asuransi kesehatan di semua rumah sakit; (h)
penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit kawasan industri
dalam rangka menanggulangi penyakit akibat kerja.

2) Pelayanan Rujukan

Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kegiatan


operasional pola rujukan kesehatan dan rujukan medik antarunit
pelayanan kesehatan dimulai dari puskesmas, rumah sakit
kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit pusat, baik milik
pemerintah maupun milik swasta. Kegiatan yang dilaksanakan
untuk mencapai tujuan tersebut berupa (a) pembinaan puskesmas
oleh rumah sakit kelas D dan C terutama di bidang pelayanan
295
kebidanan dan anak dengan prioritas diberikan kepada propinsi-
propinsi yang angka kematian ibu dan anaknya tinggi; (b)
pengembangan, pelaksanaan dan pembinaan sistem pelayanan
rujukan, baik dari puskesmas ke rumah sakit maupun antar rumah
sakit dimulai dari kelas D ke C, B dan A; (c) penyelenggaraan
pelayanan rujukan dengan menggunakan sarana transportasi dan
komunikasi, terutama untuk daerah-daerah terpencil dan bagi
kepentingan unit gawat darurat (UGD) serta evakuasi di seluruh
rumah sakit kelas C, rumah sakit swadana dan puskesmas; (d)
pengembangan dan pelaksanaan sistem rujukan pemeliharaan
peralatan rumah sakit melalui Balai Pemeliharaan Fasilitas
Kesehatan (BPFK).

3) Penunjang Pelayanan Rumah Sakit

Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan


manajemen rumah sakit terutama di bidang sumber daya manusia,
sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) dan sistem
pembiayaan dalam upaya menuju kemandirian rumah sakit. Selain
itu, ditujukan pula untuk peningkatan dan pengamanan sarana,
prasarana, dan alat serta pengawasan kesehatan lingkungan rumah
sakit. Kegiatan yang dilaksanakan, antara lain (a) penyusunan dan
penerapan standar untuk berbagai pelayanan, yang belum
memiliki; (b) peningkatan sumber daya tenaga melalui penambahan
tenaga dan pelatihan-pelatihan; (c) penerapan etika rumah sakit di
seluruh rumah sakit; (d) penataan perizinan radiologi dan
kedokteran nuklir di seluruh rumah sakit; (e) pelaksanaan pelatihan
dalam rangka meningkatkan kemampuan rekam medik,
manajemen, penyusunan pembiayaan, penerapan akreditasi,
pengamanan, dan pemeliharaan di semua rumah sakit; (f)
pengembangan dan pelaksanaan sistem informasi manajemen
rumah sakit di seluruh rumah sakit; (g) pembinaan pola tarif
pelayanan terutama untuk kelas III di seluruh rumah sakit, baik
milik pemerintah maupun milik swasta; (h) penyelenggaraan
pelayanan lintas program dan lintas sektor, seperti kegiatan
penyuluhan kesehatan masyarakat, pelayanan keluarga berencana,

296
dan pelayanan gizi di seluruh rumah sakit; (i) pembangunan rumah
sakit, baik baru maupun bangunan tambahan pada rumah sakit
yang sudah ada disesuaikan dengan fungsi pelayanannya; (j)
perbaikan dan pemeliharaan gedung dan peralatan termasuk
penggantian peralatan yang sudah tidak berfungsi lagi.

4) Kesehatan Jiwa

Kegiatan pokok ini ditujukan untuk menekan angka kesakitan


gangguan jiwa, memperluas upaya pelayanan kesehatan jiwa,
meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan jiwa.
Sasaran yang akan dicapai oleh kegiatan ini adalah angka penderita
kelainan jiwa (psikosa) yang cenderung meningkat, pada akhir
Repelita VI dapat dipertahankan pada tingkat 1-3 orang per 1.000
penduduk, angka penderita gangguan jiwa yang ringan (neurosa)
dan gangguan perilaku ditekan pada tingkat 20 - 60 orang per
1.000 penduduk. Untuk itu, kegiatan yang akan dilaksanakan
meliputi (a) pengembangan pelayanan kesehatan jiwa di propinsi
yang belum mempunyai rumah sakit jiwa; (b) perluasan cakupan
pelayanan kesehatan jiwa di seluruh rumah sakit jiwa; (c)
pengembangan fasilitas pelayanan penyalahgunaan narkotika dan
laboratorium khusus narkotika di 7 rumah sakit jiwa; (d)
pembinaan melalui pelatihan teknis pelayanan bagi seluruh rumah
sakit jiwa, baik milik pemerintah maupun swasta serta bagi sekitar
20 persen dari jumlah puskesmas yang ada; (e) pengembangan
pelayanan kesehatan jiwa di seluruh rumah sakit kelas C di Jawa;
(f) penyediaan tenaga medis dan paramedic secara bertahap di
seluruh rumah sakit jiwa sesuai dengan prioritas.

5) Kesehatan Gigi

Kegiatan ini meliputi perluasan cakupan dan peningkatan mutu


serta efisiensi pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kegiatannya
meliputi (a) pemberian pelayanan kuratif kesehatan gigi dan
pengobatan karies pada anak SD di 9 propinsi yang tinggi
prevalensi penyakit giginya (Kalimantan Barat, Sumatera Selatan,

297
Maluku, Kalimantan Selatan, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan); (b) peningkatan cakupan
pelayanan kesehatan gigi dengan cara menambah peralatan dan
dokter gigi; (c) peningkatan pelayanan spesialistik kedokteran gigi
dalam bidang bedah mulut, orthodentik dan prosthetik di seluruh
rumah sakit swadana kelas C; (d) pemberian pelayanan kesehatan
gigi di rumah sakit jiwa secara bertahap sesuai dengan prioritas;
(e) peningkatan pembinaan dokter gigi dan perawat gigi di
puskesmas; (f) pengkajian penggunaan bahan tradisional untuk
pencegahan penyakit gigi.

6) Laboratorium Kesehatan

Kegiatan ini ditujukan untuk mendukung upaya pemerataan


dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Untuk itu, kegiatan
yang akan dilaksanakan adalah (a) pengembangan jaringan rujukan
laboratorium di bidang kesehatan yang meliputi laboratorium
klinik, laboratorium kesehatan masyarakat, laboratorium unit
transfusi darah, laboratorium pengujian mutu obat dan makanan
serta laboratorium penelitian; (b) pelayanan laboratorium kesehatan
sederhana di desa oleh bidan desa untuk mendukung upaya
kesehatan ibu dan anak; (c) pengembangan laboratorium di
puskesmas sejalan dengan kebutuhan program; (d) peningkatan
laboratorium rumah sakit agar dapat berfungsi sebagai
laboratorium rujukan; (e) peningkatan kemampuan Balai
Laboratorium Kesehatan di tingkat propinsi; (f) membangun
Laboratorium Kesehatan Nasional.

d. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit

Program ini bertujuan mencegah berjangkitnya penyakit,


menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta mengurangi
akibat buruk penyakit, baik yang menular maupun tidak menular.
Untuk penyakit menular, prioritas diberikan pada bayi, anak balita
dan ibu serta kelompok usia kerja, sedangkan untuk
penanggulangan penyakit tidak menular, prioritas diberikan pada

298
kegiatan penyuluhan kesehatan dan peningkatan peran serta
masyarakat termasuk ikatan profesi, lembaga swadaya masyarakat,
dan dunia usaha baik dalam pencegahan maupun dalam
penanggulangan penyakit tersebut.

Sasaran program ini adalah meningkatnya cakupan imunisasi


untuk semua jenis antigen minimal 80 persen secara merata di
setiap kecamatan. Dengan demikian, angka kematian dan angka
kesakitan penyakit menular yang dapat dicegah oleh imunisasi akan
menurun. Angka kesakitan penyakit polio menurun sebesar 90
persen sehingga seluruh Indonesia akan bebas polio. Angka
kesakitan tetanus neonatorum menurun lebih dari 90 persen
sehingga di Jawa dan Bali bebas dari penyakit tersebut.
Selanjutnya, angka kesakitan penyakit difteria, pertusis dan
campak menurun masing-masing sebesar 80, 80 dan 90 persen
sehingga angka kematian dari ketiga penyakit tersebut akan
menurun secara bermakna. Selain itu, angka kesakitan penyakit
hepatitis B menurun sehingga tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Jawa-Bali dan Sumatera.

Sasaran lain yang akan dicapai pada akhir Repelita VI,


beberapa penyakit menular akan dihilangkan atau diturunkan.
Angka kesakitan penyakit tuberkulosa pant menurun menjadi 2,2
per 1.000 penduduk, sedangkan untuk penyakit malaria di luar
Jawa-Bali, menurun menjadi 30 per 1.000 penduduk. Penyakit
malaria di Jawa-Bali dapat dipertahankan pada tingkat 0,1 per
1.000 penduduk. Angka kesakitan penyakit demam berdarah
ditekan menjadi di bawah 0,3 per 1.000 penduduk di kecamatan -
kecamatan endemik, dengan angka kematian kasus lebih kecil dari
2,5 persen per tahun.

Angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak balita yang
disebabkan oleh diare dan infeksi saluran, pernafasan akut (ISPA)
akan diturunkan. Angka kematian diare pada balita menurun dari 4
menjadi 3 per 1.000 balita per tahun, dan angka kesakitannya
menurun dari 2 menjadi 1,5 episode per tahun, sedangkan angka

299
kesakitan diare pada semua umur menurun dari 330 menjadi 280
per 1.000 penduduk. Angka kematian balita karena penyakit
pneumonia menurun sebanyak 33 persen dari keadaan tahun 1993
(Tabel 35-3).

Prevalensi penyakit frambusia ditekan sehingga semua


propinsi bebas frambusia. Demam keong di daerah endemik angka
kesakitannya ditekan menjadi kurang dari 1 persen, penyakit pes
pada manusia dipertahankan tetap nol. Angka kesakitan penyakit-
penyakit lain seperti gila anjing, kaki gajah, fasiolopsis buski,
antraks, dan hepatitis B akan diturunkan secara bermakna. Sasaran
lain yang akan dicapai adalah meningkatnya peranan berbagai
sektor dalam pencegahan dan penanggulangan AIDS serta
penyakit menular seksual lainnya sehingga penyakit tersebut tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Selain itu, pengamatan
penyakit akan ditingkatkan sehingga penanggulangannya dapat
lebih efisien dan efektif. Angka kesakitan penyakit degeneratif
diupayakan tidak lebih tinggi daripada keadaan tahun 1993, yaitu
5,3 per 1.000 penduduk untuk penyakit jantung dan pembuluh
darah; 1,6 per 1.000 penduduk untuk diabetes melitus dan 0,5 per
1.000 penduduk untuk neoplasma. Meningkatnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan masalah penyakit sehingga peran serta
dalam penanggulangan penyakit akan meningkat, juga merupakan
sasaran yang akan dicapai dalam Repelita VI.

Atas dasar tujuan dan sasaran tersebut di atas, kegiatan pokok


program ini adalah pertama, pengamatan penyakit yang mencakup
pengamatan penyakit menular tertentu di pelabuhan laut dan udara
terutama yang berstatus internasional, pengamatan terpadu untuk
pemantauan program dan dampak program melalui pemantauan
wilayah setempat, pengamatan berbagai vektor penyakit,
pengamatan laboratorium dan pengamatan penyakit tidak menular
serta pengamatan kesehatan matra. Kedua, pengobatan penderita,
baik yang bersifat pencegahan maupun penyembuhan dalam rangka
pemutusan rantai penularan. Ketiga, pemberantasan vektor
penyakit secara mekanis seperti penggunaan kelambu untuk

300
menghindari gigitan nyamuk malaria, secara kimiawi misalnya
penyemprotan rumah dengan insektisida dan secara biologis
misalnya dengan penggunaan ikan pemakan jentik nyamuk.
Keempat, imunisasi untuk mencegah penyakit-penyakit menular
yang bisa dicegah dengan imunisasi seperti tuberkulosa paru,
difteria, pertusis, tetanus, polio, campak, hepatitis B dan penyakit
yang khusus seperti demam kuning dan meningitis bagi mereka
yang akan pergi ke negara-negara tertentu. Kelima,
penanggulangan kejadian luar biasa dan wabah penyakit seperti
diare, malaria, demam berdarah, rabies, dan penyakit yang dapat
menimbulkan wabah lainnya.

e. Program Perbaikan Gizi

Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi


konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan keadaan atau
status gizi masyarakat. Peningkatan status gizi diarahkan pada
peningkatan intelektualitas, produktivitas, dan prestasi kerja serta
penurunan angka gizi-salah terutama gizi-kurang. Sasaran program
ini selain untuk menanggulangi berbagai masalah gizi seperti yang
sudah dijelaskan pada bagian IV.2., juga untuk mewujudkan
perubahan pola konsumsi pangan keluarga yang makin beragam
sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (PUGS), terjadinya
perbaikan pertumbuhan fisik anak balita dan anak sekolah, dan
meningkatnya penggunaan air susu ibu (ASI) bagi bayi.

Kegiatan utama program perbaikan gizi adalah sebagai


berikut:

1) Penyuluhan Gizi Masyarakat

Tujuan kegiatan ini adalah untuk memasyarakatkan


pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku
yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan makanan yang
bermutu gizi seimbang bagi masyarakat. Kegiatannya berupa
penyampaian pesan-pesan mengenai pengetahuan gizi dan

301
manfaatnya untuk mencegah berbagai penyakit dan meningkatkan
kesehatan. Sasaran penyuluhan ini tidak saja masyarakat di
perkotaan, tetapi juga dan terutama di perdesaan. Pesan
penyuluhan tidak saja mengenai pencegahan dan penanggulangan
masalah gizi-kurang, tetapi juga menekankan pentingnya pola
makanan seimbang untuk mencegah timbulnya penyakit akibat gizi-
lebih, seperti: penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker dan
sebagainya. Untuk itu, disusun pedoman umum gizi seimbang
(PUGS) sebagai pedoman utama dalam melaksanakan penyuluhan
gizi.

2) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Kegiatan ini adalah suatu gerakan sadar gizi masyarakat


perdesaan dengan tujuan untuk memacu upaya masyarakat agar
mampu memenuhi kebutuhan gizinya melalui pemanfaatan aneka
ragam pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga dan
lingkungan masyarakat setempat. Kegiatan pokok UPGK adalah
(a) penyuluhan gizi masyarakat perdesaan; (b) pelayanan gizi di
posyandu; dan (c) peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan.
Kegiatan tersebut ditekankan pada upaya penanggulangan masalah
gizi-kurang, yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia
gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA) dan kurang energi
protein (KEP).

Kegiatan penanggulangan GAKI meliputi peningkatan


program iodisasi garam, peningkatan KIE untuk meningkatkan
konsumsi garam beriodium, dan iodisasi air minum. Kegiatan
suplementasi kapsul iodium hanya diberikan kepada penduduk yang
tinggal di daerah endemik berat. Untuk penanggulangan anemia
gizi besi dilaksanakan peningkatan pemberian tablet besi pada ibu
hamil, anak balita, anak sekolah, remaja putri dan wanita pekerja
terutama yang tinggal di daerah miskin. Di daerah lain, pemberian
tablet besi berlandaskan kepada kemandirian masyarakat yang
didukung dengan kegiatan kampanye peningkatan konsumsi zat
besi. Dalam rangka penanggulangan KVA, penyuluhan gizi terus

302
dilakukan untuk meningkatkan konsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan terutama bagi anak balita. Selain itu, secara lebih selektif
pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dilanjutkan terutama
untuk daerah yang masih rawan KVA. Demikian pula diupayakan
fortifikasi vitamin A pada bahan pangan tertentu dengan peran
serta masyarakat dan dunia usaha. Perhatian khusus akan diberikan
untuk mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai dalam
menanggulangi masalah KVA di berbagai daerah selama PJP I agar
situasi yang telah membaik dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

Penanggulangan KEP diprioritaskan pada daerah miskin,


dengan sasaran utama kelompok wanita hamil, bayi, balita dan
anak-anak sekolah dasar. Keterpaduan kegiatan penyuluhan gizi,
peningkatan pendapatan, peningkatan pelayanan kesehatan dasar
dan keluarga berencana serta peningkatan peran serta masyarakat
ditingkatkan. Kegiatannya meliputi peningkatan upaya pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan balita melalui keluarga,
dasawisma dan posyandu, penanganan secara khusus KEP berat,
pengembangan sistem rujukan pelayanan gizi di posyandu,
peningkatan gerakan sadar pangan dan gizi dan peningkatan
pemberian air susu ibu secara eksklusif.

3) Upaya Perbaikan Gizi Institusi

Kegiatan ini adalah upaya untuk meningkatkan keadaan gizi


kelompok masyarakat tertentu yang berada disuatu lembaga atau
institusi seperti, sekolah, pusat-pusat pelatihan olahraga, rumah
sakit, pabrik, perusahaan, lembaga pemasyarakatan, dan panti
perawatan. Kegiatannya terdiri atas pelatihan tenaga
penyelenggaraan makanan, bimbingan dan pengawasan. Kegiatan
ini dilaksanakan bersama antara tenaga kesehatan, ketenagakerjaan,
pendidikan dan pengurus serta penyelenggara lembaga yang
bersangkutan.

303
4) Peningkatan Penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi (SKPG)

Kegiatan ini adalah suatu pemantauan perkembangan keadaan


gizi masyarakat yang bertujuan untuk memberi isyarat dini tentang
kemungkinan timbulnya kekurangan pangan yang terjadi di suatu
daerah tertentu; menyediakan informasi tentang perkembangan
penyediaan dan konsumsi pangan serta keadaan gizi masyarakat
yang berguna bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program
pangan dan gizi di tingkat daerah; meningkatkan kemampuan
daerah dalam memecahkan masalah pangan dan gizi berdasarkan
keadaan setempat.

Kegiatan SKPG meliputi pemantauan keadaan pangan dan gizi


di wilayah tertentu di tingkat kabupaten; pemantauan keadaan gizi
balita tingkat kabupaten, kecamatan dan desa; mengembangkan
jaringan informasi pangan dan gizi di tingkat propinsi, dan
nasional.

f. Program Pengawasan Obat dan Makanan

Tujuan program ini adalah pertama, tersedianya obat dan alat


kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang
didukung oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan
mandiri; kedua, terlindungnya masyarakat dari penggunaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi
ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya; ketiga,
terlindungnya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan
kesalahgunaan obat, narkotik, dan zat adiktif, serta bahan
berbahaya lainnya; dan keempat meningkatnya penggunaan obat
tradisional yang terbukti bermanfaat untuk pelayanan kesehatan
sejalan dengan program pengembangan pengobatan tradisional.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan sasaran program


yaitu meningkatnya pertumbuhan industri farmasi 10 persen dan
kenaikan ekspor 10 persen per tahun serta produksi bahan baku

304
pada akhir Repelita VI mencapai 15 persen dari nilai bahan baku
yang digunakan. Selain itu, penggunaan obat generik berlogo
meningkat per tahun minimal 15 persen dari nilai total konsumsi
obat nasional.

Meningkatnya budi daya bahan baku obat tradisional menjadi


25 persen dari kebutuhan dan meningkatnya ekspor obat tradisional
mencapai 10 persen dari nilai peredaran dalam negeri, merupakan
sasaran lain yang akan dicapai.

Untuk meningkatkan pengawasan, sasaran yang akan dicapai


adalah berkembangnya kemampuan pengujian dan peningkatan
pembangunan fisik laboratorium balai POM di 27 ibu kota propinsi
serta laboratorium rujukan nasional atau pusat pemeriksaan obat
dan makanan (PPOM) dan berkembangnya kemampuan poison
center dengan jaringan yang mencakup di 5 rumah sakit propinsi.
Selain itu, pelatihan petugas akan dilaksanakan dan mencakup
300 penyidik pegawai negeri sipil, 500 pengawas obat dan
makanan, 500 tenaga laboratorium, 300 tenaga pengelola obat di
dati II, 6.700 pengelola obat di puskesmas, dan 2.000 penilik jasa
boga dan restoran.

Kegiatan pokok yang dilaksanakan mencakup, antara lain (1)


pembinaan industri farmasi untuk pengembangan ekspor
dengan membentuk sentra pelayanan informasi industri; (2)
peningkatan produksi dan pemerataan penyediaan obat terutama
obat generik berlogo (OGB) serta peningkatan pengelolaan obat
sektor pemerintah terutama di dati II dan puskesmas; (3) penilaian
mutu, keamanan, khasiat/kemanfaatan obat, obat tradisional,
makanan, kosmetik dan alat kesehatan; (4) penyusunan standar
obat, obat tradisional, makanan, kosmetik dan alat kesehatan; (5)
pembinaan dan pengawasan penerapan cara pembuatan obat yang
baik (CPOB) bagi industri farmasi, serta cara produksi yang baik
untuk obat tradisional, makanan dan kosmetik; (6) pemeriksaan
sarana produksi dan distribusi serta penyidikan terhadap kasus
pemalsuan, peredaran gelap dan pelanggaran di bidang produksi

305
dan distribusi; (7) pengambilan contoh dan pengujian laboratorium
terhadap produk-produk obat, makanan, peralatan kesehatan dan
kosmetika yang beredar di 27 propinsi; (8) pembinaan dan
penyebaran informasi obat terutama OGB, obat tradisional,
makanan dan kosmetik, serta alat kesehatan kepada masyarakat
luas; (9) penanggulangan penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat
narkotik, zat adiktif dan bahan berbahaya; (10) pengembangan
kemampuan laboratorium pengujian di pusat dan daerah termasuk
pelatihan personel dan pengadaan perlengkapan/peralatan
laboratorium; (11) surveilan penggunaan bahan makanan tambahan
pada produk makanan; (12) akreditasi laboratorium pengujian obat
dan makanan; (13) pengembangan metode pengujian dan
pengadaan bahan baku standar serta hewan percobaan; dan (14)
pelatihan petugas dalam bidang penyidikan, pemeriksaan sarana
produksi dan distribusi pengelolaan obat di dati II dan puskesmas
serta penilik jasa boga.

g. Program Pembinaan Pengobatan Tradisional

Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan


pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, baik secara
tersendiri atau terpadu dalam pelayanan kesehatan paripurna,
dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Dengan demikian, di sate pihak kemandirian masyarakat
dalam mengatasi kesehatan dengan upaya pengobatan tradisional
dapat ditingkatkan namun di lain pihak masyarakat tetap
terlindungi dari efek negatif pengobatan tradisional. Sasaran
program yang akan dicapai antara lain pertama, terwujudnya upaya
pengobatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan dimulai
dengan pembinaan ditingkat rumah tangga, puskesmas sampai
tingkat rujukannya/rumah sakit; kedua, terbentuknya 12 sentra
pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional di seluruh
Indonesia; ketiga, berkembangnya jaringan informasi dan
dokumentasi pengobatan tradisional, yang melibatkan semua
sentra, organisasi profesi, organisasi pengobatan tradisional,
swasta, lembaga swadaya masyarakat, unit pengobatan tradisional

306
diluar sentra-sentra tersebut dan pemerintah; keempat,
mantapnya organisasi dan pola pembinaan pengobatan tradisional
di 27 propinsi dan 300 dati II; dan terbinanya tenaga pengobatan
tradisional dalam pelayanan kesehatan (Tabel 35-3).

Kegiatan program yang akan dilaksanakan meliputi (1)


pembentukan 12 sentra pengembangan dan penerapan pengobatan
tradisional dan obat tradisional; (2) pengembangan dan pembinaan
obat tradisional melalui inventarisasi, penapisan, pemanfaatan dan
evaluasi obat tradisional dan pemanfaatan tanaman obat keluarga
(toga); (3) pengembangan dan pembinaan metode pengobatan
tradisional, termasuk didalamnya adalah seleksi, pengujian,
sertifikasi, pemanfaatan akupunktur, akupresure, patah tulang,
sunat, pangur gigi, dan lain-lain; (4) pengembangan dan
pembinaan tenaga pengobatan tradisional melalui seleksi,
pengujian, sertifikasi, perizinan pengobatan tradisional (battra),
etika battra, tarif, forum komunikasi organisasi battra dan
pengelola program, sarasehan dan KIE-kultural battra; (5)
pengembangan dan pembinaan sarana pengobatan tradisional
mencakup standar dan izin tempat praktek swasta, dan pengawasan
perawatan; (6) penggalian dan komunikasi pusaka nusantara
melalui telaahan dokumentasi pengobatan tradisional warisan
pusaka nusantara di berbagai daerah di Indonesia; (7) peningkatan
sarana penunjang program yang meliputi: penyiapan peraturan,
penyusunan sistem pengobatan tradisional, penyiapan petugas
kesehatan dan petugas lain yang berkaitan, inventarisasi sarana
pengobatan tradisional, penyediaan jaringan informasi dan
dokumentasi, pembentukan tim penguji dan sebagainya; dan (8)
peningkatan pembinaan dan pengembangan pemanfaatan obat
tradisional melalui kegiatan, pembudidayaan tanaman obat,
pembinaan produksi termasuk pengembangan ekspor,
pengembangan fito farmaka dan pengembangan pemanfaatan obat
tradisional sejalan dengan pengobatan tradisional pada sektor
pelayanan kesehatan.

307
2. Program Penunjang

a. Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih

Program ini diarahkan untuk meningkatkan pengamanan


kualitas air bagi berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia untuk
seluruh penduduk, baik yang berada di perdesaan maupun di
perkotaan.

Sasaran yang akan dicapai antara lain meningkatnya kualitas


air bersih sehingga memenuhi syarat kesehatan dan menurunnya
risiko pencemaran sarana air bersih perpipaan, nonperpipaan dan
badan air serta kolam renang, termasuk pemandian umum;
meningkatnya cakupan air bersih untuk daerah perdesaan, dari 50
persen menjadi 60 persen, sedangkan untuk daerah perkotaan dari
80 persen menjadi 90 persen; dan meningkatnya kewaspadaan dini
terhadap kejadian luar biasa penyakit yang ditularkan melalui air
(Tabel 35-3).

Kegiatan pokok program ini adalah pengaturan, pembakuan,


pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih. Kegiatan lainnya
adalah pembinaan pemakai air yang meliputi penyuluhan
penyehatan air, dan peningkatan kegiatan kelompok pemakai air.
Selain itu, dilaksanakan pula peningkatan kegiatan pendukung yang
meliputi peningkatan kemampuan tenaga pengelola kesehatan
lingkungan; penyediaan dan pengembangan peralatan untuk
mendukung pengawasan kualitas air; pengembangan metode;
pengembangan dan pemantapan informasi penyehatan air.

b. Program Penyehatan Lingkungan Permukiman

Program ini bertujuan mewujudkan kualitas lingkungan yang


lebih sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala
kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau
bahaya kesehatan menuju derajat kesehatan keluarga dan
masyarakat yang lebih baik.

308
Sasaran yang akan dicapai program ini adalah
(1) meningkatnya keluarga yang menempati rumah sehat, dan
menggunakan jamban serta sarana pembuangan air limbah baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Cakupan penggunaan sarana
pembuangan kotoran dan air limbah rumah tangga yang saniter
pada akhir Repelita VI di perkotaan 75 persen dan di perdesaan 40
persen. Keluarga yang menempati rumah sehat meningkat menjadi
75 persen di perkotaan dan 40 persen di perdesaan;
(2) meningkatnya jumlah tempat-tempat umum, lingkungan
kerja kawasan industri dan sarana angkutan umum yang
memenuhi persyaratan kesehatan; (3) meningkatnya jumlah
industri kecil dan rumah tangga yang menggunakan sarana
pembuangan air limbah; (4) meningkatnya jumlah jasa boga,
rumah makan, dan restoran yang memenuhi persyaratan kesehatan;
(5) meningkatnya perajin makanan rumah tangga di perdesaan
yang melakukan pengelolaan makanan secara sehat; (6)
meningkatnya penjual makanan jajanan yang menempati lokasi
dengan lingkungan yang sehat dan teratur; (7) dilaksanakannya
pengendalian dampak penggunaan pestisida pada lingkungan dan
diterapkannya prinsip pengamanan pestisida secara bertahap
oleh setiap petugas pemberantas hama, khususnya dalam
pengendalian hama terpadu yang berwawasan lingkungan; (8)
dipenuhinya persyaratan kesehatan lingkungan oleh seluruh rumah
sakit; (9) dilaksanakannya pemantauan terhadap kualitas udara,
dan tingkat kebisingan diperkotaan dan kawasan industri; (10)
dilaksanakannya upaya penyehatan lingkungan permukiman di
seluruh permukiman penduduk di daerah kumuh perkotaan,
daerah transmigrasi, desa pantai nelayan, daerah terpencil,
termasuk daerah yang terkena bencana; dan (11) dilaksanakannya
upaya pengendalian vektor penyakit di daerah permukiman
penduduk, tempat-tempat umum dan rumah sakit.

Kegiatan pokok program ini meliputi (1) penetapan


kriteria, standar, dan persyaratan kesehatan dan pengembangan
peraturan perundangan kesehatan lingkungan; (2) pemantauan dan

309
pengendalian kualitas lingkungan yang berdampak terhadap
kesehatan masyarakat; (3) pemeliharaan dan peningkatan kualitas
lingkungan permukiman; (4) pemberian stimulan, percontohan,
dan penyuluhan kepada masyarakat untuk mendorong kemandirian;
(5) peningkatan sarana dan fasilitas balai teknik kesehatan
lingkungan (BTKL), laboratorium lapangan dan sarana pendukung
kegiatan operasional, dan (6) peningkatan dan pengembangan
jaringan informasi kesehatan lingkungan.

c. Program Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan

Program ini terdiri atas dua komponen, yaitu pendidikan


kedinasan dan pelatihan tenaga kesehatan.

Pendidikan kedinasan di bidang kesehatan bertujuan


menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah, jenis dan kualitas
yang sesuai dengan kebutuhan program pembangunan kesehatan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan pokoknya adalah
perencanaan kebutuhan tenaga dan penyelenggaraan pendidikan
kedinasan guna memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan.

Pelatihan tenaga kesehatan bertujuan meningkatkan mutu


sumber daya manusia di bidang kesehatan agar dapat meningkatkan
hasil kerja dalam menunjang peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, memperkuat tim kerja, serta menunjang
pengembangan karier. Prioritas diberikan kepada tenaga
kesehatan yang bertugas pada institusi kesehatan di kabupaten/
kotamadya dalam menyukseskan pelayanan kesehatan dasar.
Sasaran yang akan dicapai adalah; pertama, tercakupnya seluruh
sumber daya manusia kesehatan yang dilatih dalam berbagai
bentuk dan jenis pelatihan yang dilaksanakan secara bertahap;
kedua, berkembangnya unit pendidikan dan latihan yang ada; dan
ketiga dilembagakannya unit pendidikan dan latihan pada institusi
pelayanan kesehatan tertentu, misalnya rumah sakit dan
laboratorium.

310
Atas dasar tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kegiatan
pokoknya adalah (1) menyelenggarakan, mengkoordinasikan dan
membina pelatihan bagi pegawai kesehatan, dan masyarakat; (2)
mengembangkan institusi pelatihan sehingga menjadi institusi
pelatihan yang mandiri dan profesional; (3) merekrut dan
mengembangkan tenaga edukatif dan nonedukatif; (4) menyusun
dan mengembangkan program pelatihan; (5) mengembangkan dan
mengadakan sarana dan prasarana pelatihan; (6) mengembangkan
kerja sama dan jaringan pendidikan dan latihan; (7)
mengembangkan pendidikan dan latihan kalakarya khususnya bagi
unit kesehatan di kabupaten/kodya; (8) menyusun dan
mengembangkan bahan pengajaran untuk pendidikan dan
latihan swakarsa, dan (9) menyelenggarakan pengkajian dan
penelitian di bidang pelatihan.

d. Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Program ini ditujukan untuk menunjang pembangunan


kesehatan secara optimal, khususnya yang menyangkut peningkatan
mutu pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu kedokteran bagi
kepentingan masyarakat banyak. Di samping itu, program ini
ditujukan untuk memantapkan dan mengembangkan kemampuan
institusional penelitian dan pengembangan kesehatan serta
meningkatkan sistem informasi kesehatan termasuk sistem
informasi iptek kesehatan dan kedokteran. Sasaran program ini
dalam Repelita VI adalah pertama, tersedianya iptek di bidang
kesehatan serta pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk
peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan ilmu kedokteran;
kedua, meningkatnya penguasaan teknologi untuk mendukung
pengembangan industri kesehatan; dan ketiga tersedianya tenaga,
perangkat lunak dan perangkat keras yang memadai untuk
mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran, berbagai kegiatan


penelitian dan pengembangan meliputi (1) penelitian dan
pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat; (2) penelitian dan

311
pengembangan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit;
(3) penelitian kesehatan lingkungan dan faktor pengaruh; (4)
penelitian tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit baik
penyakit menular maupun penyakit tidak menular; (5) penelitian
dan pengembangan gizi serta penganekaragaman konsumsi pangan;
(6) penelitian tentang farmasi, makanan dan alat kedokteran;
(7) penelitian sumber daya kesehatan ; (8) penelitian tentang
pengobatan tradisional; (9) penelitian iptek kedokteran; dan
(10) pengembangan kelembagaan penelitian dan pengembangan
kesehatan.

e. Program Pembinaan Anak dan Remaja

Program ini bertujuan meningkatkan derajat kesehatan dan


status gizi anak dan remaja dalam rangka meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Sasaran program ini adalah insan sejak
dalam kandungan sampai usia dewasa. Kegiatan program meliputi
dua kegiatan pokok yaitu peningkatan derajat kesehatan dan
peningkatan status gizi anak dan remaja.

Peningkatan derajat kesehatan anak dan remaja antara lain


dilaksanakan melalui peningkatan kesehatan anak dalam
kandungan, menurunkan angka kesakitan terutama penyakit
menular, menumbuhkan kesadaran dan kebiasaan hidup sehat,
membina kebiasaan olah raga secara benar dan teratur dan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan sederhana di sekolah.

Peningkatan status gizi diutamakan kepada bayi dan anak


balita antara lain meliputi: pemantauan pertumbuhan anak balita,
peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) dan makanan
pendamping ASI; pembinaan kebiasaan makan yang sehat dan
bermutu gizi; pemberian bantuan makanan tambahan untuk anak
sekolah dasar di wilayah miskin dan tertinggal serta pemenuhan
kebutuhan gizi ibu hamil dan ibu menyusui.

312
f. Program Pembinaan Pemuda

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan hidup sehat


generasi muda guna membina kesehatan diri dan lingkungannya
sebagai salah satu bentuk peran aktifnya dalam pembangunan
kesehatan. Kelompok generasi muda yang akan dijadikan sasaran
adalah semua organisasi pemuda seperti KNPI, karang taruna,
pramuka saka bhakti husada, OSIS, organisasi mahasiswa, dan
sebagainya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakan pengembangan


forum komunikasi kesehatan bagi generasi muda baik di tingkat
pusat maupun di tingkat propinsi, penerapan teknologi yang tepat
dalam bidang kesehatan oleh generasi muda, pembinaan unit
kegiatan mahasiswa di bidang kesehatan, pembinaan saka bhakti
husada, konsultasi remaja di bidang kesehatan, dan pembinaan
partisipasi pemuda dalam upaya pelayanan kesehatan. Selain itu,
akan dilakukan penyusunan dan distribusi Warta Generasi Muda,
buku saku informasi kesehatan, pengembangan unit kesehatan pada
karang taruna, dan pembentukan motivator pemuda dalam
penanggulangan narkotik dan pemakaian obat/bahan berbahaya.

g. Program Peranan Wanita

Program ini bertujuan meningkatkan peran serta aktif wanita


dalam kegiatan pembangunan kesehatan dalam, rangka peningkatan
kualitas wanita. Sasaran program terutama ditujukan terhadap
kelompok tenaga kerja wanita berpenghasilan rendah. Kegiatan
pokok program ini meliputi peningkatan kesehatan kerja,
pemberian makanan tambahan terhadap tenaga kerja wanita yang
rawan gizi, pemantauan keadaan kesehatan, dan penyelenggaraan
dana sehat bagi tenaga kerja wanita dan keluarganya. Selain itu,
dilaksanakan kegiatan pelatihan agar wanita menjadi motivator
dalam bidang kesehatan, dan pemantapan kerja santa lintas sektor
dan lintas program untuk meningkatkan peranan wanita dalam
pembangunan kesehatan.

313
h. Program Pengembangan Informasi Kesehatan

Program ini bertujuan meningkatkan, mengembangkan, dan


memantapkan sistem informasi kesehatan sehingga mampu
memberikan data dan informasi yang akurat, tepat waktu dan
sesuai dengan kebutuhan untuk proses pengambilan keputusan di
berbagai tingkat administrasi. Selain itu, program ini bertujuan
untuk memberikan data dan informasi untuk meningkatkan peran
serta masyarakat dalam upaya kesehatan. Pokok kegiatan program
adalah (1) meningkatkan dan memantapkan organisasi dan tata
kerja unit pengelola data dan informasi baik secara struktural
maupun fungsional; (2) meningkatkan dan memantapkan
pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyimpanan
data dan informasi; (3) meningkatkan dan memperluas otomatisasi
sistem informasi kesehatan di pusat dan di daerah; (4)
meningkatkan, sumber daya tenaga pengelola data dan informasi;
dari (5) meningkatkan pembinaan kelestarian sistem informasi
kesehatan.

i. Program Pengembangan Hukum Kesehatan

Program ini bertujuan meningkatkan peranan hukum di bidang


kesehatan agar penyelenggaraan pembangunan kesehatan dapat
berjalan dengan baik. Peningkatan peranan hukum diselenggarakan
secara terpadu meliputi semua aspek kesehatan agar produk hukum
yang dihasilkan dapat memenuhi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Kegiatan pokok program ini adalah (1) menginventarisasi


peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan bidang
lainnya yang berkaitan dengan kesehatan, sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan keadaan; (2) pengkajian berbagai
masalah yang berkaitan dengan pembangunan kesehatan yang
memerlukan landasan hukum; (3) penyuluhan, konsultasi,
pemberian pertimbangan dan bantuan hukum serta pemantauan

314
pelaksanaan hukum; dan (4) pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan aparat kesehatan di bidang hukum.

VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN


DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan


baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam program-
program tersebut, yang merupakan program dalam bidang
kesehatan, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan
selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar
Rp6.226.120,0 juta. Rencana anggaran pembangunan kesehatan
untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub
sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel
35-4.

315
Tabel 35—4
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN KESEHATAN
Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta
rupiah)
' No.
Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PE-


RANAN WANITA. ANAK DAN REMAJA

132 Sub Sektor Kesehatan

13.2.01 Program Penyuluhan Kesehatan 29.120,0 183.340,0


13.2.02 Program Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit 221.690,0 1.600.320,0
13.2.03 Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat 523.580,0 3.413.910,0
13.2.04 Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 144.588,0 934.170,0
13.2.06 Program Pengawasan Obat dan Makanan 12.900,0 87.830,0
13.2.07 Program Pembinaan Pengobatan Tradisional 1.000,0 6.550,0

Catatan : Program perbaikan gizi dicantumkan pada Tabel 11—4 Buku II.

Anda mungkin juga menyukai