Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No.

1 (2021): 159-176
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PEMUSATAN KEPEMILIKAN MEDIA MASSA DI INDONESIA:


TINJAUAN ASPEK HUKUM
M. Zulfa Aulia*, Raffles**
*,** Dosen Ilmu Hukum Universitas Jambi
Korespondensi: mzulfaaulia@unja.ac.id
Naskah dikirim: 15 Mei 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Agustus 2020

Abstract
Today, mass media tend to be exclusively possessed by certain business groups who
generally have affiliation to authorities or political parties. This article disscusses the
concentration of mass media ownership in the light of constitutional and competition
law. The article argues that the privatisation of business and politics towards public
information through mass media, which is inevitable, has to be minimized. This due to
the fact that mass media is one of pillars to which the democracy of a nation relies on.
Despite the ownership of mass media which is a part of expressions (by some elites) of
the people to performs such duties as the one guaranteed by the Constitution, the
restriction of its ownership has to be attempted, since the business field uses limited
public space to conduct business and perform democracy attached in it. In terms of the
ownership of mass media centralizes among certain business holders, people have
only few alternatives of information despite various media people might choose.
Keywords: mass media; democracy; ownership; concentration; restriction.

Abstrak
Media massa di Indonesia saat ini cenderung dimiliki kelompok bisnis tertentu dan
umumnya memiliki afiliasi dengan kekuasaan atau partai politik. Artikel ini
membahas pemusatan kepemilikan media massa itu berdasarkan hukum konstitusi dan
hukum persaingan usaha. Artikel ini membangun argumentasi, privatisasi bisnis dan
politis terhadap informasi publik melalui media massa, sekalipun mustahil untuk
dihindari, perlu untuk diminimalisasi. Hal ini dikarenakan media massa merupakan
bagian dari pilar demokrasi, yang turut menentukan demokrasi suatu bangsa.
Sekalipun kepemilikan media massa sendiri merupakan bagian dari ekspresi (sebagian
elite) warga dalam menjalankan tugas-tugas yang dijamin Konstitusi, pembatasan
kepemilikannya sesungguhnya perlu diupayakan, karena bidang usaha ini
menggunakan ruang publik yang terbatas sebagai sarana menjalankan usahanya serta
fungsi demokratisasi yang melekat padanya. Dalam situasi dan kondisi kepemilikan
media massa berpusat di antara pelaku usaha tertentu, maka warga sebetulnya tidak
mendapatkan pilihan informasi yang beragam, sekalipun seolah-olah banyak media
yang bisa dipilih warga.
Kata Kunci: media massa; demokrasi; kepemilikan; pemusatan; pembatasan.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.3013
160 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

I. PENDAHULUAN

Artikel ini ditulis untuk menyikapi kecenderungan terjadinya konsentrasi atau


pemusatan kepemilikan media massa di Indonesia saat ini oleh kelompok bisnis
tertentu. Sebagian dari kelompok bisnis yang menguasai industri media massa itu
bahkan memiliki afiliasi baik langsung maupun tidak dengan kekuasaan atau partai
politik tertentu. 1 Bahasan artikel ini ingin mendapatkan kejelasan bagaimanakah
kecenderungan kepemilikan media massa yang demikian itu ditelaah dari norma
hukum.
Pemusatan kepemilikan media massa saat ini merupakan realita yang harus
dihadapi oleh bangsa Indonesia seiring kemudahan membuka usaha di bidang media
massa dan kemerdekaan pers yang semakin terjamin pasca terbit Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers,
mencatat pada tahun 1999 tidak lama setelah lahir UU Pers tumbuh berkembang
media cetak mencapai 1.600, jumlah yang kemudian segera susut setelah Pemilu 1999
usai.2 Pada 2014, Supadiyanto mencatat, seluruh industri media massa di Indonesia
sejatinya dimiliki oleh 14 grup korporasi swasta raksasa. Mereka adalah MNC Group,
Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group,
Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos
Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media serta Media Bali Post
Group (KMB), dan Cipta Prima Pariwara (CPP) Radionet.3
Di tingkat lokal, Jambi misalnya, fenomena pemusatan kepemilikan media
massa juga tidak bisa dihindari. Sebelum Tribun Jambi yang merupakan bagian dari
kelompok Kompas Gramedia Group masuk ke pasar media Jambi, praksis media
seluruhnya dikuasai oleh Jawa Pos Group, yaitu Jambi Independent, Jambi Ekspress,
Metro Jambi, Bungo Pos, Radar Tanjab, Sarolangun Ekspress, Jambi Star, Kerinci
Pos, Radar Sarko, Radar Kerinci, Radar Bute. 4 Yang mengherankan, media yang
berinduk pada Jawa Pos Grup itu sesungguhnya berada pada pangsa pasar yang sama,
misalnya Jambi Independent, Jambi Eskpres, dan Metro Jambi yang wilayah pasarnya

1
Merlyna Lim, “The League of Therteen: Media Concentration in Indonesia”, Laporan
Penelitian, Participatory Media Lab Arizona State University dan Ford Foundation, 2012. Laporan ini
dapat diakses pada laman
https://merlyna.files.wordpress.com/2019/02/lim_the_league_of_thirteen_media_2012.pdf
2
Fakta ini menunjukkan bahwa media massa sengaja didirikan oleh partai politik, politikus, dan
pengusaha untuk memperoleh pengaruh politik dan kekuasaan. Yosep Adi Prasetyo, “Kondisi Pers
Indonesia dan Tantangan Saat Ini”, Jurnal Dewan Pers, 16 (2017), hlm. 14.
3
Supadiyanto, “Lanskap Industri Media Massa Arus Utama dan Media Online”,
http://www.kompasiana.com/supadiyanto/lanskap-industri-media-massa-arus-utama-dan-media-
online_54f85641a33311d25d8b4a95, akses 31/3/2016. Sebelumnya, pada 2012, Merlyna Lim (“The
League of Therteen”) telah terlebih dahulu mengidentifikasi ada 13 grup yang menguasai seluruh
industri media massa: 1 negara dan 12 korporasi swasta. 12 grup bisnis ini adalah Media Nusantara
Citra (MNC) Group, Mahaka Media Group, Kompas Gramedia Gorup, Jawa Pos Group, Media Bali
Post Group (KMB), Elang Mahkota Teknologi (Emtek) Group, Lippo Group, Bakrie & Brothers (Visi
Media Asia), Femina Gorup, Media Group, Mugi Reka Abadi (MRA) Group, dan Trans Corpora (Para
Group).
4
Di luar Jawa Pos Group dan Kompas Gramedia Group, masih ada sedikit media massa di Jambi
yang dimiliki oleh pengusaha dan politisi lokal, yaitu Aksi Pos, Harian Jambi, dan Jambi Today.
Pesatnya pertumbuhan industri media massa di tingkat lokal ini tidak semata disebabkan kemudahan
pendiriannya pasca Orde Baru, melainkan juga kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sejak saat
itu, yang ternyata melahirkan hubungan klientelisme-patrimonial antara media dan pemerintah daerah.
M. Husnul Abid, “Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca-Orde Baru, 1998-2015: Analisis
Ekonomi Politik”, tesis pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016, hlm. 269-275.
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 161

adalah Provinsi Jambi. Begitu juga Radar Kerinci dan Kerinci Pos, yang memiliki
wilayah pasar Kabupaten Kerinci, serta Bungo Pos dan Radar Bute yang beroperasi di
Kabupaten Bungo dan Tebo.
Kecederungan pemusatan kepemilikan media massa pada kelompok bisnis
tertentu tersebut penting untuk ditinjau dari aspek hukum, setidaknya berdasarkan tiga
alasan berikut. Pertama, media massa merupakan alat, sarana, dan wadah bagi publik
untuk melakukan komunikasi massa.5 Sebagai demikian, sudah sepatutnya informasi
yang berkembang dan dikembangkan melalui media massa merupakan informasi yang
dibutuhkan publik, menyangkut kepentingan publik, dan ditujukan untuk kebaikan
publik. Meski informasi apa yang menjadi kebutuhan publik dan kebaikan publik
sangat sumir untuk diberi penjelasan dan pembatasan, kita sebagai khalayak
tampaknya hanya akan diberi informasi yang penuh dengan kepentingan privat berupa
bisnis maupun politik jika media yang ada ternyata berkumpul dalam satu kepentingan
bisnis dan apalagi politik,6 sekalipun mereka barangkali berlindung di balik ketiadaan
batasan mengenainya. Dengan alasan demikian, terjadinya pemusatan kepemilikan
media massa pada kelompok bisnis tertentu terlebih yang berafiliasi dengan kekuasaan
atau partai politik tertentu jelas mengontaminasi informasi yang dibutuhkan oleh
publik.
Kemungkinan privatisasi bisnis dan politis terhadap informasi publik yang
berkembang dan dikembangkan melalui media massa, meski mustahil untuk dihindari,
perlu untuk diminimalisasi. Upaya meminimalisasinya mendesak untuk dilakukan jika
dikehendaki masyarakat dan bangsa ini menjadi cerdas, sebagaimana tujuan bernegara
yang dituangkan dalam konstitusi. Media massa, dikaitkan dengan tujuan
konstitusional tersebut, jelas merupakan elemen penting karena pengaruh besarnya
terhadap individu dan masyarakat. Dalam hal ini media massa diyakini sebagai media
yang bisa memengaruhi dan menentukan pikiran dan perilaku warga, termasuk juga
penilaian sesuatu sebagai benar-salah, betul-keliru, juga indah-buruk. Mustofa Bisri
bahkan mengatakan, media massa itu memiliki kekuatan dan kesaktian untuk
menentukan status orang, misal sebagai ustadz, badut, preman, atau anak gila.7
Kedua, media massa merupakan bagian penting dalam masyarakat yang
demokratis. Ia dianggap sebagai pengawas yang turut menentukan demokrasi suatu
bangsa. Jimly Asshiddiqie menyebutnya sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi,
the fourth pillar of democracy, atau juga quadru-politica.8 Peran penting tersebut tentu

5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, media adalah “alat, alat (sarana) komunikasi…, yang
terletak di antara dua pihak, perantara, penghubung, dst” (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/media);
sedangkan massa adalah “jumlah yang banyak sekali, sekumpulan orang yang banyak sekali, kelompok
manusia yang bersatu karena dasar atau pegangan tertentu” (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/massa).
Dua kata tersebut jika digabungkan berarti bermakna sebagai alat atau sarana bagi orang banyak, dalam
hal ini untuk melakukan komunikasi. Inilah sebabnya komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi
massa.
6
Kepemilikan media sesungguhnya turut menentukan informasi dari media bersangkutan. Sebab,
berita yang diproduksi oleh media massa, biasanya pada newsroom, akan sangat dipengaruhi oleh
kontestasi profesional di newsroom dan kepentingan pemilik modal (Ishadi SK, Media dan Kekuasaan:
Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto [Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014], hlm. 41).
Media massa, dengan begitu tidaklah semata-mata memproduksi teks atau menyalurkan informasi,
melainkan juga suatu kelembagaan di mana begitu banyak kepentingan di dalamnya (Ignatius Haryanto,
Indonesia Raya Dibredel [Yogyakarta: LKiS, 2006], hlm. 256).
7
Fathoni, “Hariri dan Semiotika Soal Ustadz”, http://www.nu.or.id/post/read/50253/hariri-dan-
semiotika-sosial-ustadz, 18/2/2014, akses 22/2/2018.
8
Empat pilar demokrasi ini merupakan pengembangan dari trias-politica klasik Montesquieu
yang membagi kekuasaan menjadi eksekutif-legislatif-yudikatif dan ditambah media massa sebagai
162 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

akan menjadi surut manakala media massa yang ada ternyata dimiliki oleh kelompok
bisnis tertentu dan punya afiliasi dengan kekuasaan atau partai politik tertentu. Adanya
korporatisasi dan konsentrasi kepemilikan media, sebagaimana dikatakan Merlyna
Lim, jelas mengancam demokrasi.9 Oleh sebab itu, agar kedudukan dan peran media
sebagai bagian dalam quadru-politica tidak terdegradasi, pemusatan kepemilikan
media pada kelompok bisnis dan terlebih yang berafiliasi dengan kekuasaan dan partai
politik tertentu harus dihindari.
Ketiga, dalam kaitan dengan alasan pertama dan kedua, adanya persaingan usaha
yang sehat (fair) di antara media massa perlu didorong, agar peranannya dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga-merawat demokrasi dapat terjaga.
Persaingan usaha yang sehat tentu saja mensyaratkan ketiadaan pemusatan
kepemilikan pada kelompok pelaku usaha tertentu, disebabkan dalam situasi dan
kondisi kepemilikan usaha berpusat di antara pelaku usaha tertentu maka warga tidak
mendapatkan pilihan informasi yang beragam, sekalipun seolah-olah banyak media
yang bisa dipilih warga. Konsentrasi dan pemusatan kepemilikan media, dengan
begitu menyebabkan isi atau konten media menjadi homogen.10
Berdasarkan alasan tersebut perlu dan penting ditelaah dari aspek hukum,
apakah kecenderungan kepemilikan media massa pada kelompok bisnis tertentu tidak
bermasalah. Kemungkinan bermasalahnya kepemilikan yang demikian itu dari aspek
hukum perlu dikaji secara utuh, baik itu hukum konstitusi maupun hukum persaingan
usaha.

II. MEDIA MASSA: ARTI, BENTUK, DAN FUNGSI

Dari segi istilah, media massa terdiri dari media dan massa. Media adalah “alat;
alat (sarana) komunikasi; yang terletak di antara dua pihak; perantara”, dan massa
adalah “jumlah yang banyak sekali; sekumpulan orang yang banyak sekali; kelompok
manusia yang bersatu”.11 Jika digabung, media massa, maka ia berarti “alat (sarana)
komunikasi bagi orang dalam jumlah yang banyak sekali”. Dalam ilmu komunikasi,
media massa memang merupakan alat atau sarana dalam komunikasi massa, yaitu
komunikasi yang melibatkan banyak orang.
Sebagai alat atau sarana dalam komunikasi massa, media massa bertugas
membawa pesan yang harus disampaikan kepada massa. Pesan yang disampaikan itu
pada umumnya memiliki unsur baru, menarik, dan penting. Baru di sini mengandung
maksud pesan tersebut merupakan sesuatu yang relatif baru terjadi; menarik berarti
pesan tersebut mengundang orang banyak atau massa untuk membaca, melihat, atau
mendengarkannya; dan penting berarti pesan tersebut perlu diketahui oleh orang
banyak (massa). Dalam praktiknya, apa yang beraktegori baru, menarik, dan penting

cabang kekuasaan keempat, yang sekarang tiga cabang terdahulu itu lebih tepat berupa negara (state),
masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Jimly Asshiddiqie, “Sambutan Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia”, dalam DKPP, Penyelenggara Pemilu di
Dunia; Sejarah, Kelembagaan, dan Praktik Pemilu di Negara Penganut Sistem Pemerintahan
Presidensial, Semipresidensial, dan Parlementer (Jakarta: DKPP RI, 2015), hlm. iii-iv. Lihat juga:
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 373-378.
9
Merlyna Lim, “@Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia”,
Laporan Penelitian, Participatory Media Lab Arizona State University dan Ford Foundation, 2011.
Laporan ini dapat diakses pada laman
https://merlyna.files.wordpress.com/2019/02/lim_at_crossroads_2011.pdf
10
Lim, “The League of Therteen”, hlm. 8-9.
11
Lihat kembali catatan kaki nomor 5.
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 163

ini, sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh pemilik atau pengelola media massa.
Sehingga, sangat mungkin informasi yang sebenarnya sudah lama, tapi berkaitan
dengan peristiwa hari ini, maka ia disampaikan kembali. Hal ini lumrah terjadi pada
momen-momen memperingati peristiwa sejarah. Demikian juga, apa yang berkategori
menarik, terkadang ada perbedaan persepsi mengenainya. Bagi media, yang paling
penting adalah bagaimana informasi yang disampaikannya mengundang pembaca,
pemirsa, atau pendengar sebanyak-banyaknya. Karena itu tidak aneh jika pesan yang
menarik ini seringkali merujuk pada hal-hal yang sensansional yang umumnya
berkaitan dengan sesuatu yang berlangsung secara tidak normal. Sampai-sampai hal
ini memunculkan guyonan, “anjing menggigit manusia merupakan ‘peristiwa biasa’,
namun manusia menggigit anjing merupakan peristiwa luar biasa”. Apa yang
berkategori penting juga sebetulnya sama, sangat bergantung pada persepsi media.
Sehingga, peristiwa yang sebenarnya sama-sama sesuatu yang lumrah bagi masyarakat
tetapi pelakunya berbeda, maka bisa menentukan apakah penting atau tidak. Wisata
dan perkawinan misalnya, sesuatu yang lumrah berlangsung di masyarakat, namun
karena pelakunya pejabat negara atau artis, maka derajat penting dari peristiwa itu bisa
berbeda.
Secara tradisional, media massa dibedakan ke dalam bentuk cetak dan penyiaran.
Media cetak menggunakan barang cetakan sebagai alat berkomunikasinya, seperti
yang dijumpai dalam koran, tabloid, buletin, dan majalah. Sedangkan media penyiaran
menggunakan saluran transimisi sebagai bagian penting dari alat berkomunikasinya,
sebagaimana pada televisi dan radio. Belakangan, muncul bentuk media massa baru
sebagai konsekwensi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, yaitu media
daring (online). Perkembangan media daring bahkan berlangsung secara massif,
sampai-sampai media massa tradisional harus berkonvergensi dengannya jika tidak
ingin ditinggalkan.
Di masyarakat, media massa memiliki peran dan fungsi yang penting. Harri
Wiryawan mencatat, dari sudut komunikasi massa, media massa memiliki fungsi
informasi, agenda, penghubung orang, pendidikan, membujuk, dan menghibur. 12
Fungsi informasi berarti media massa menyampaikan informasi kepada masyarakat;
fungsi agenda berarti media massa menyampaikan agenda kegiatan tertentu yang perlu
diketahui masyarakat; fungsi penghubung orang berarti media massa bisa
menghubungkan atau mempertemukan berbagai pihak, termasuk orang yang hilang;
fungsi pendidikan berarti media massa menyampaikan informasi berkaitan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang penting bagi masyarakat; fungsi membujuk
berarti media massa dapat mendorong bahkan memprovokasi orang untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan tertentu; fungsi menghibur berarti media massa
menyampaikan informasi yang menghibur masyarakat.
Bagi masyarakat yang demokratis, media massa sesungguhnya menjadi unsur
yang penting dalam menjaga dan merawat demokrasi. Meskipun negara modern telah
memisahkan atau membagi kekuasaan negara sehingga ada lembaga negara yang
fungsinya mengeksekusi atau melaksanakan pemerintahan (eksekutif), ada yang
membuat legislasi dan mengawasi (legislatif), dan ada juga yang mengadili
(yudikatif); demokrasi akan sulit berlangsung dengan baik manakala tidak didukung
dengan media massa yang independen dan merdeka. Bahkan, dalam hal eksekutif,
legislatif, dan yudikatif berkoalisi, maka pengawas yang bisa diharapkan untuk
mendukung demokrasi adalah masyarakat sipil terutama media massa.

12
Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
164 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

III. KEPEMILIKAN MEDIA MASSA DI INDONESIA DALAM UU PERS DAN


UU PENYIARAN

Bagian ini membahas siapakah yang bisa mendirikan, memiliki, dan


menjalankan media massa. Bahasan ini penting untuk melihat, dalam hal kepemilikan
media massa terpusat pada kelompok tertentu, apakah ada pembatasannya.
Di Indonesia saat ini aturan hukum tentang media massa tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). UU Pers ditujukan untuk
usaha di bidang pers, terlepas usaha tersebut diselenggarakan dalam bentuk apapun:
cetak, penyiaran, ataupun daring.13 UU Penyiaran ditujukan secara khusus untuk usaha
di bidang penyiaran, yang berarti tidak melingkupi media cetak dan media daring.
Kedua UU ini akan ditelaah lebih lanjut terkait siapa yang bisa mendirikan dan
menyelenggarakan usaha di bidang media massa.
1. Kepemilikan Media Massa dalam UU Pers
Dalam UU Pers disebutkan, “perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia
yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi” (Pasal 1 angka 2).
Definisi perusahaan pers ini menunjukkan bahwa usaha pers diselenggarakan oleh
badan hukum Indonesia. Soal bentuk perusahaan yang harus berbadan hukum ini, juga
ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2): “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan
hukum Indonesia”.
Dengan demikian, karena bentuk perusahaan itu bisa perorangan, bisa badan
usaha berbadan hukum, dan badan usaha tidak berbadan hukum, maka yang bisa
menyelenggarakan usaha di bidang pers ialah badan usaha berbadan hukum. Di
Indonesia, badan usaha berbadan hukum dapat berupa perseroan terbatas (PT),
yayasan, koperasi, dan badan usaha yang didirikan negara (BUMN, BUMD).
Dalam UU Pers juga disebutkan, “setiap warga negara Indonesia dan negara
berhak mendirikan perusahaan pers” (Pasal 9 ayat [1]). Dengan demikian, usaha pers
di Indonesia hanya bisa didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI) dan negara, dan
karenanya tidak diperkenankan bagi warga negara asing.
UU Pers tidak mengatur latar belakang siapa yang bisa mendirikan usaha pers,
apakah dia politisi, pengusaha, atau profesi yang lainnya, bahkan dengan rekam jejak
apa pun termasuk kriminal. Demikian juga, UU Pers tidak mengatur satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha bisa mendirikan dan menyelenggarakan usaha pers
berapa saja. Ini artinya, siapa pun dia sepanjang WNI dapat mendirikan usaha pers dan
dalam jumlah berapa pun.
2. Kepemilikan Media Massa dalam UU Penyiaran
Dalam kaitannya dengan siapa yang bisa mendirikan dan menyelenggarakan
usaha di bidang penyiaran, UU Penyiaran mengatur jasa penyiaran yang meliputi
penyiaran radio dan televisi 14 diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik,

13
Hal ini terkonfirmasi dalam definisi pers dalam UU Pers (Pasal 1 angka 1), yaitu “lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.
14
UU Penyiaran membatasi jasa penyiaran terbatas pada radio dan televisi (Pasal 13 ayat [1]).
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 165

Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran


Berlangganan (Pasal 13 ayat [2]).
a. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga Penyiaran Publik (LPP) merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial,
dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat (Pasal 14 ayat [1]
UU Penyiaran). LPP ini oleh UU Penyiaran dibatasi pada Radio Republik Indonesia
(RRI) dan Televisi Republik Indonesia (RRI), yang stasiun pusat penyiarannya berada
di ibukota Negara (Pasal 14 ayat [2]), dan dapat didirikan LPP lokal di daerah
provinsi, kabupaten, atau kota (Pasal 14 ayat [3]).
Dengan demikian, jumlah LPP jelas menjadi terbatas, karena di pusat hanya
terdiri dari RRI dan TVRI, dan di daerah juga bisa didirikan stasiun lokal. Kalaupun
jumlahnya banyak, itu dikarenakan digabungkan antara LPP pusat dan LPP lokal.
b. Lembaga Penyiaran Swasta
Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) adalah lembaga penyiaran yang bersifat
komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi (Pasal 16 ayat [1] UU Penyiaran).
Ini artinya, LPP dan LPS memiliki karakteristik yang sama, bahwa keduanya sama-
sama lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum dan menyelenggarakan jasa
penyiaran radio dan televisi. Perbedaan di antara keduanya terletak pada soal yang satu
(LPP) merupakan badan hukum yang didirikan negara, sedangkan satu lagi (LPS)
merupakan badan hukum yang didirikan bukan oleh negara (baca: swasta) dengan
tujuan komersial.
UU Penyiaran mengatur LPS didirikan dengan modal awal yang seluruhnya
dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (Pasal 17 ayat
[1]). Hal ini berarti LPS hanya bisa didirikan oleh orang Indonesia (WNI), sehingga
modalnya bisa disebut sebagai modal dalam negeri. Orang asing dalam hal ini modal
asing bisa saja diperkenankan untuk turut menyelenggarakan usaha penyiaran, tapi
terbatas dalam bentuk penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan
modal, yang jumlahnya tidak lebih dari 20 persen dari seluruh modal dan minimum
dimiliki oleh dua pemegang saham (Pasal 17 ayat [2]).
Ketentuan tentang kepemilikan media penyiaran yang berasal dari modal asing
ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP LPS). Dalam rangka
membatasi kepemilikan saham yang berasal dari asing, PP LPS menegaskan bahwa
“Paling sedikit 80% (delapan puluh perseratus) dari saham LPS harus tetap dimiliki
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh sahamnya
dimiliki oleh warga negara Indonesia” (Pasal 24 ayat [4]).
Terkait dengan kepemilikan media, UU Penyiaran mewajibkan LPS untuk
memberi kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan
memberikan bagian laba perusahaan. Dengan begitu, di antara saham media penyiaran
maka sebagiannya berarti ada yang harus diberikan kesempatan kepada karyawan
untuk memilikinya.
Dari uraian ini terlihat bahwa pada saat pendirian maka LPS harus didirikan oleh
orang Indonesia dan dengan modal dalam negeri. Orang asing dan modal asing baru
dimungkinkan untu memilikinya melalui skema penambahan dan pengembangan yang
diperlukan bagi pemenuhan modal, namun tidak boleh lebih 20 persen. Selain soal
kewarganegaraan, UU Penyiaran juga membedakan latar belakang siapa yang bisa
pemilik media, yaitu harus sebagiannya dimiliki sahamnya oleh karyawan media
166 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

bersangkutan. Selebihnya, latar belakang apa pun bisa memilikinya dengan tanpa
keharusan ada batasan minimal dan maksimal.
Berkaitan dengan soal satu pelaku usaha bisa memiliki media berapa saja, UU
Penyiaran ternyata membatasinya. Hal ini secara tegas disebutkan pada Pasal 18 ayat
(1), “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu badan
hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”.15 Di
antara pembatasan tersebut ialah “kepemilikan silang antara LPS yang
menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan LPS yang menyelenggarakan jasa
penyiaran televisi, antara LPS dan perusahaan media cetak, serta antara LPS dan LPS
jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi” (Pasal 18 ayat
[2]).
Pembatasan kepemilikan media penyiaran ini diatur lebih lanjut dalam PP LPS.
Pasal 31 ayat (1) mengatur, dalam penyiaran radio, satu orang atau satu badan hukum
baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran di seluruh Indonesia
dibatasi dengan:
a. 1 (satu) badan hukum hanya boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan
penyiaran jasa penyiaran radio;
b. paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan
hukum ke-1 (kesatu) sampai dengan ke-7 (ketujuh);
c. paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus)
pada badan hukum ke-8 (kedelapan) sampai dengan ke-14 (keempat belas);
d. paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada
badan hukum ke-15 (kelima belas) sampai dengan ke-21 (kedua puluh satu);
e. paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan
hukum ke-22 (kedua puluh dua) dan seterusnya;
f. badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, berlokasi di beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Pembatasan kepemilikan melalui larangan kepemilikan saham sebesar 100
persen tersebut dikecualikan untuk LPS jasa penyiaran radio yang berada di daerah
perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil (Pasal 31 ayat [2]). Ini artinya,
satu pelaku usaha dapat saja memiliki saham sampai 100 persen bahkan hingga pada
badan hukum yang ke 22, asalkan berada di daerah perbatasan wilayah nasional
dan/atau daerah terpencil. Namun demikian, jelas akan mustahil satu orang atau satu
badan hukum bisa memiliki saham 100 persen sampai ke badan hukum ke 22. Hal ini
dikarenakan, untuk mendirikan badan hukum, maka dipersyaratkan adanya perjanjian,
dan dalam perjanjian, harus ada setidaknya dua pihak. Kalaupun satu badan hukum

15
Frasa “dibatasi” pada Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran ini pernah diajukan uji materi
konstitusional oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers),
Media link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Yayasan Dua Puluh Delapan
(Y28). Oleh mereka, frasa “dibatasi” di sini disebut dapat ditafsirkan berbeda-beda (multitafsir),
sehingga menimbulkan permasalahan konstitusional, yaitu terjadinya pemusatan kepemilikan dan jual-
beli izin penyelenggaraan penyiaran. Dalam putusannya Nomor 78/PUU-IX/2011, Mahkamah
Konstitusi, dengan dua hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), menyatakan permohonan ini tidak
beralasan. Mahkamah berpendapat, pembatasan diperlukan, namun perincian pembatasan ini
sesungguhnya telah diatur dalam peraturan yang lebih rendah, ialah PP Nomor 50 Tahun 2005.
Kalaupun dalam praktiknya terjadi penyimpangan, maka hal ini dikatakan bukan masalah
konstitusional, melainkan persoalan implementasi norma (hlm. 695-698). Putusan ini disebut unik
(Amir Effendi Siregar, “Putusan MK dan Kepemilikan Televisi”, Koran Tempo, 28/11/2012), karena
Mahkamah mengutip PP sebagai tafsir sekaligus memberi tafsir terhadap PP.
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 167

ingin mendirikan badan hukum berikutnya yang biasa disebut dengan anak
perusahaan, maka dalam mendirikan anak perusahaan ini berarti badan hukum tersebut
juga harus ada perjanjian dengan pihak lainnya.
Sementara itu, dalam penyiaran televisi, satu orang atau satu badan hukum baik
di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran di seluruh Indonesia
berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PP LPS dibatasi dengan:
a. 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan
penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang
berbeda;
b. paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan
hukum ke-1 (kesatu);
c. paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus)
pada badan hukum ke-2 (kedua);
d. paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada
badan hukum ke-3 (ketiga);
e. paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan
hukum ke-4 (keempat) dan seterusnya;
f. badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
Berdasarkan pembatasan tersebut, satu orang atau satu badan hukum berarti
hanya bisa memiliki paling banyak dua izin penyelenggaran penyiaran (IPP) dan harus
berlokasi di dua provinsi yang berbeda. Kalaupun hendak memperbanyaknya dengan
cara mendirikan anak perusahaan, maka anak perusahaan yang bisa didirikan bisa tiga
(yaitu pada badan hukum ke-empat) atau lebih, namun kepemilikan sahamnya harus
semakin kecil. Kalau pada anak perusahaan pertama boleh memiliki paling banyak 49
persen saham, maka pada anak perusahaan kedua menjadi 20 persen, dan pada anak
perusahaan ketiga dan seterusnya hanya 5 persen.
Namun demikian, sama halnya dengan penyiaran radio, pada penyiaran televisi
juga ada pengecualian pembatasan tersebut, sehingga satu orang atau satu badan
hukum bisa memiliki saham hingga 100 persen termasuk pada badan hukum ke-empat,
yaitu pada daerah perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil.
PP LPS juga membatasi kepemilikan silang, yaitu kepemilikan LPS dengan
media cetak dan lembaga penyiaran berlangganan. Berdasarkan Pasal 33, kepemilikan
silang yang dibatasi ialah:
a. 1 (satu) LPS jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama;
atau
b. 1 (satu) LPS jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama;
atau
c. 1 (satu) LPS jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta
jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan di
wilayah yang sama.
Adanya keinginan UU Penyiaran membatasi kepemilikan media penyiaran ini
juga terlihat dari ketentuan Pasal 20, “LPS jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran
televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu)
saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran”. Ini berarti, dalam satu wilayah
siaran, LPS hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran.
168 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Pada LPS, pembatasan juga tidak hanya soal pendirian dan kepemilikan dalam
penambahan dan pengembangan yang terkait dengan modal, tetapi juga meliputi siapa
yang menjadi pengurus. Dalam hal ini, warga negara asing ternyata dilarang menjadi
pengurus LPS, kecuali untuk bidang keuangan dan teknik (Pasal 16 ayat [2] UU
Penyiaran).
c. Lembaga Penyiaran Komunitas
Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), sebagaimana ketentuan UU Penyiaran,
merupakan “lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan
oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar
rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan
komunitasnya” (Pasal 21 ayat [1]). LPK juga merupakan lembagan penyiaran yang
diselenggarakan tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan
bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan untuk mendidik dan
memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan
program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan
identitas bangsa (Pasal 21 ayat [2]).
Oleh karena LPK dimaksudkan untuk melayani komunitasnya, organisasi yang
mendirikan dan menyelenggarakannya tidak diperkenankan mewakili organisasi atau
lembaga asing dan bukan pula komunitas internasional. Organisasi atau komunitasnya
juga tidak boleh terkait dengan organisasi terlarang, dan tidak boleh untuk kepentingan
propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu (Pasal 21 ayat [3]). Bahkan,
bantuan asing termasuk untuk operasionalnya juga tidak diperbolehkan (Pasal 23 ayat
[1]). Dikaitkan dengan tujuannya yang tidak komersial, LPK juga dilarang melakukan
siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat (Pasal
23 ayat [2]).
d. Lembaga Penyiaran Berlangganan
Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), sebagaimana ketentuan UU
Penyiaran, merupakan “lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang
bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib
terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan” (Pasal 25
ayat [1]), dan “memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus
kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya”
(Pasal 25 ayat [2]). LPB sendiri dapat diselenggarakan melalui satelit, kabel, atau
terestrial (Pasal 26 ayat [1]).
Oleh karena LPB ini hanya bisa diakses bagi yang berlangganan, maka isi
siarannya bisa saja berasal dari lembaga penyiaran asing. Namun begitu, LPB tidak
diperbolehkan menyiarkan seluruhnya siaran asing. LPB dikenai kewajiban untuk
menyediakan 10 persen dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari
LPP dan LPS, dan harus menyediakan setidaknya satu kanal saluran siaran produksi
dalam negeri berbanding 10 siaran produksi luar negeri (Pasal 26 ayat [2]).
Demikianlah, ditinjau dari UU Pers dan UU Penyiaran, tampak bahwa ada
ketidaksamaan dalam upaya membatasi kepemilikan media massa. Dalam UU Pers,
pembatasan hanya soal organisasi yang menyelenggarakannya harus badan hukum dan
yang mendirikannya WNI dan negara, dan karenanya tidak diperkenankan bagi warga
negara asing. Namun soal latar belakang pendiri siapa saja dan jumlah usaha (badan
hukum) pers yang bisa didirikan berapa saja, tidak dibatasi. Dalam UU Penyiaran
beserta peraturan pelaksananya (PP LPS), pembatasan pada soal organisasinya juga
harus berbadan hukum, dan yang mendirikan adalah WNI, dikarenakan modal asing
tidak diperkenankan, kecuali pada saat pengembangan dan itu terbatas maksimal 20
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 169

persen. UU Penyiaran juga membatasi soal jumlah jasa penyiaran yang bisa
diselenggarakan, terutama untuk LPS, yaitu maksimal sampai badan hukum ke 22
untuk jasa penyiaran radio dan sampai badan hukum ke empat untuk jasa penyiaran
LPS, dengan porsi kepemilikan saham yang semakin kecil, terkecuali untuk penyiaran
di perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil. Namun begitu, sama dengan
UU Pers, UU Penyiaran juga tidak menyoal apa latar belakang pendiri dan pemilik
media massa, asalkan saja WNI.

IV. PEMUSATAN KEPEMILIKAN MEDIA MASSA DITINJAU DARI ASPEK


HUKUM KONSTITUSI DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Bagian ini membahas bagaimanakah kecenderungan pemusatan kepemilikan


media massa, sebagaimana tergambar dalam bagian pendahuluan, ditinjau dari aspek
hukum konstitusi dan hukum persaingan usaha. Hukum konstitusi menjadi perspektif
yang penting di sini dikarenakan tugas-tugas yang diperankan oleh media massa
sesungguhnya kerja-kerja yang konstitusional. Hukum persaingan usaha juga menjadi
perspektif yang diperlukan di sini disebabkan adanya pemusatan kepemilikan bidang
usaha termasuk dalam media massa tentu potensial menyebabkan persaingan usaha
yang tidak sehat.
4.1. Tinjauan Hukum Konstitusi
Konstitusi merupakan pengertian tentang seperangkat nilai dan norma dasar
yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu sistem kekuasaan dilembagakan
dan dijalankan untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah organisasi. Dalam sistem
ketatanegaraan, konstitusi dikonstruksikan sebagai kesepakatan tertinggi atau bahkan
suatu kontrak sosial seluruh rakyat untuk dan dalam struktur dan proses bernegara.
Dari segi isi, konstitusi mengandung muatan nilai-nilai fundamental dan norma-norma
yang dituangkan secara tertulis dan/atau diberlakukan secara nyata dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara. Hukum konstitusi (constitutional law),
sebagaimana yang menjadi optik penelaahan di sini, ialah kandungan norma dalam
konstitusi yang merupakan norma hukum.16
Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), mengatur tentang prinsip-prinsip dasar dalam tugas-tugas
media massa. Pada intinya tugas media massa ialah menghimpun dan menyaring
informasi dari dan di masyarakat, dan menyampaikannya kepada masyarakat. Dalam
Pasal 24 F UUD 1945 disebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Ini
artinya kegiatan media massa, terutama yang berkaitan dengan karya jurnalistik, 17
yang pada pokoknya ialah menghimpun informasi-informasi aktual, penting, dan
menarik dari dan di masyarakat, untuk kemudian disampaikan kembali ke masyarakat,
merupakan kegiatan yang dalam Konstitusi disebut sebagai hak siapa saja. Dengan

16
Jimly Asshiidiqie membedakan kandungan nilai dan norma dalam konstitusi ke dalam norma
hukum sehingga disebut hukum konstitusi dan norma etika sehingga disebut etika konstitusi
(constitutional ethics). Lihat: Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014).
17
Apa yang disampaikan oleh media massa tidak seluruhnya berupa karya jurnalistik.
Sebagiannya lagi, bahkan bisa mendominasi terutama dalam media penyiaran, ialah hiburan dan iklan.
170 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

begitu, negara berkepentingan untuk menjamin warganya dapat melaksanakan


kegiatan mengolah dan menyampaikan informasi tersebut.
Bagi negara demokrasi, jaminan kepada warga untuk melaksanakan kegiatan
pada media massa sangatlah penting. Sudah menjadi bagian dari indikator negara
demokratis bahwa di sana terdapat jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of
expression), berbicara (freedom of speech), dan pers (freedom of press), yang
dibutuhkan dalam kerja-kerja yang diperankan media massa. Namun begitu, ketiga hal
tersebut tidaklah cukup untuk membangun bangsa dan negara yang demokratis. Masih
harus diperlukan adanya jaminan pula terhadap keberagaman suara (diversity of
voices), isi (diversity of content), dan kepemilikan (diversity of ownership) media
massa, agar ada pelaksanaan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan
penghargaan terhadap minoritas. Di sisi lain, ketiga keberagaman tersebut juga
diperlukan untuk menghindari munculnya otoritarianisme baru, otoritarianisme
kapital, dan oligopoli dengan mengatasnamakan freedom.18
Dalam rangka menjaga keseimbangan antara freedom dan diversity tersebut,
UUD 1945 yang juga merupakan konstitusi ekonomi19 mengatur pula soal bagaimana
kegiatan perekonomian diselenggarakan. Pada Pasal 33 ayat (4) disebutkan,
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”. Hal ini berarti kegiatan perekonomian nasional harus memberi kesempatan
yang sama kepada warga negara untuk turut terlibat, terkecuali pada bidang-bidang
tertentu yang dianggap penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh
karenanya, siapa pun berarti memiliki kesempatan yang sama untuk membuka,
menjalankan, dan mengembangkan usaha, termasuk dalam bidang media massa.
Dengan prinsip demokrasi ekonomi, setiap orang diberi kesempatan yang sama, dan
karenanya membuka peluang ada warga yang memiliki keunggulan (bisa sumber daya
manusia, sumber ekonomi, sumber teknologi) sehingga akan menguasai bidang usaha
tertentu. Yang terpenting, dari segi hukum konstitusi, penguasaan bidang usaha
tersebut dilakukan secara fair, tidak bertentangan dengan hukum.

4.2. Tinjauan Hukum Persaingan Usaha


Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi
perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika
berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. 20 Konsep hukum persaingan usaha
dimaksudkan untuk menjaga persaingan usaha yang sehat tetap berlangsung di pasar
bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi unggul melalui persaingan usaha
yang sehat dan efektif.21
Di Indonesia, aturan hukum terkait dengan persaingan usaha tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha). Secara umum, UU ini
mengatur kegiatan dan perjanjian tertentu yang dilarang. Kegiatan yang dilarang

18
Amir Effendi Siregar, Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi, Membangun
Keberagaman (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. 120-121.
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi.
20
Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks (Jakarta: KPPU
& GTZ, 2009), hlm. 21.
21
Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks (Jakarta: KPPU & GIZ, 2017),
hlm. 233.
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 171

meliputi monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, kegiatan menjual rugi (predatory


pricing), kecurangan dalam menetapkan biaya produksi, dan persekongkolan.
Perjanjian yang dilarang ialah oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah,
pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan
perjanjian dengan pihak luar negeri.
Dalam pembahasan pemusatan kepemilikan bidang usaha tertentu, dalam hal ini
media massa, maka kegiatan atau perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha
yang memiliki keterkaitan ialah monopoli. Dalam UU Persaingan Usaha, monopoli
dimaknai sebagai “penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”
(Pasal 1 angka 1). UU tidak melarang monopoli, melainkan praktik monopoli. Praktik
monopoli sendiri dalam UU dimaknai sebagai “pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikan kepentingan umum” (Pasal 1 angka 2). Larangan tentang praktik
monopoli diatur pada Pasal 17 ayat (1): “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat”. Dalam ayat (2) disebutkan indikator pelaku usaha
patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa, yaitu:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Dengan demikian, tidak setiap penguasaan suatu pasar barang atau jasa
merupakan suatu pelanggaran. Penguasaan suatu pasar barang atau jasa yang dilarang
ialah penguasaan yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Sedangkan penguasaan suatu pasar barang atau jasa yang
disebabkan karena keunggulan produk, manajemen bisnis yang baik, atau melalui
kompetisi yang sehat, tidak termasuk yang dilarang.22
Dari ketentuan UU Persaingan Usaha, maka dapat disimpulkan bahwa
pelanggaran dalam penguasaan suatu pasar barang atau jasa apabila memenuhi lima
unsur: 1) pelaku usaha; 2) melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran;
3) barang dan atau jasa; 4) mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat; 5) barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya atau
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sama atau satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari kelima unsur itu, akan sulit untuk mengategorikan pemusatan kepemilikan
media massa telah melanggar UU Persaingan Usaha, dalam hal ini ketentuan Pasal 17.
Pertama, betul bahwa pelaku usaha telah melakukan penguasaan atas produksi barang
atau jasa. Pada media penyiaran misalnya, tatkala satu kelompok pelaku usaha
memiliki sampai tiga stasiun televisi dengan skala sama-sama nasional, maka jelas di
situ ada “penguasaan atas produksi barang atau jasa”. Pada media dengan skala lokal
akan lebih terlihat lagi penguasaannya, misalnya pada media cetak dalam satu wilayah
kabupaten/kota yang tidak sedikit ternyata ada dua media cetak yang bernaung dalam

22
Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks, hlm. 139-140.
172 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

satu kelompok bisnis dan tidak dijumpai media cetak lainnya dengan cakupan wilayah
yang sama. Kedua, sulit untuk mengategorikan pemusatan kepemilikan media massa
yang terjadi saat ini “mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”. Hal ini disebabkan untuk dikatakan telah terjadi “praktik monopoli” harus
terjadi di sana, di antaranya, “persaingan usaha tidak sehat” dan tindakan tersebut
“merugikan kepentingan umum”. Suatu persaingan usaha dikatakan tidak sehat
manakala persaingan tersebut dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum serta
dapat menghambat persaingan. Faktanya, usaha-usaha media massa tersebut dilakukan
secara “jujur” dan bahkan mereka, terutama media cetak, menyebutkan badan
usahanya termasuk ikut bernaung dalam badan usaha mana. Pelaku usaha yang
menguasai media massa dalam skala tertentu umumnya juga tidak menghambat pelaku
usaha lainnya di luar kelompoknya untuk turut mengembangkan usaha media massa.
Demikian pula, “merugikan kepentingan umum” akan sulit diukur keterlanggarannya
seperti apa, karena UU juga tidak memberikan penjelasan. Meskipun sebenarnya,
sebagaimana nanti dibahas lebih lanjut, justru kepentingan umum ini yang paling
dirugikan dengan terjadinya pemusatan kepemilikan media massa.
Oleh karena itu, dari aspek hukum persaingan usaha, sulit untuk mengategorikan
pemusatan kepemilikan media massa sejauh ini telah melanggar ketentuan persaingan
usaha sebagaimana diatur dalam UU Persaingan Usaha. Namun demikian, dilihat dari
peraturan yang secara fungsional mengatur media massa, sesungguhnya potensi
pelanggaran tersebut ada, terutama pada media penyiaran. Hal ini disebabkan karena
UU Penyiaran beserta aturan pelaksananya mengatur bahwa satu badan hukum hanya
bisa memiliki paling banyak dua izin (IPP) dan harus berlokasi di dua provinsi yang
berbeda. Badan hukum ini bisa saja mendirikan badan hukum yang baru (anak
perusahaan), bisa tiga atau lebih, namun kepemilikan sahamnya harus semakin kecil.
Kalau pada anak perusahaan pertama bisa memiliki paling banyak 49 persen saham,
maka pada anak perusahaan kedua menjadi 20 persen, dan pada anak perusahaan
ketiga dan seterusnya hanya 5 persen. Batasan kepemilikan saham ini yang potensial
dilanggar dalam pemusatan kepemilikan media penyiaran.
Pada media cetak, adanya pemusatan kepemilikan sejauh ini mustahil bisa
dicegah melalui UU Pers. UU ini tidak mengatur satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha bisa mendirikan dan menyelenggarakan usaha pers berapa
saja. UU hanya mengatur, siapa pun dia sepanjang WNI dapat mendirikan usaha pers
dalam bentuk badan hukum dan dalam jumlah yang tidak dibatasi.
Dua bidang hukum yang digunakan dalam menelaah pemusatan kepemilikan
media massa saat ini, yaitu hukum konstitusi dan hukum persaingan usaha,
menghasilkan konsekuensi yang berbeda. Pertama, dari sudut hukum konstitusi, maka
hak untuk menghimpun dan mengolah informasi dari dan di masyarakat dan
menyampaikannya kembali ke masyarakat sesungguhnya hak konstitusional warga
negara. Oleh karena itu, tugas-tugas apa pun dalam kaitannya dengan kegiatan
penghimpunan, pengolahan, dan penyampaian informasi, seperti yang dijalankan
dalam kerja-kerja jurnalistik, harus dijamin keberlangsungannya oleh negara. Tinjauan
hukum konstitusi juga memperlihatkan, bahwa Konstitusi Indonesia yang juga
merupakan konstitusi ekonomi, menegaskan berlangsungnya demokrasi ekonomi.
Oleh karenanya, siapa pun dia warga negara, harus diberi kesempatan yang sama
untuk menjalankan usaha-usaha perekonomian, termasuk dalam bidang media massa.
Kedua, tinjauan hukum persaingan usaha, yang merupakan perspektif yang jelas
lebih spesifik dibanding hukum konstitusi, menghendaki agar persaingan usaha di
masyarakat, termasuk dalam bidang media massa, berlangsung secara sehat. Praktik-
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 173

praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dengan begitu harus dihindari.
Namun demikian, ada kesulitan untuk mengategorikan pemusatan kepemilikan media
massa yang berlangsung sekarang ini sebagai tindakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Meski ada pemusatan, belum tentu di
sana ada kegiatan atau perjanjian yang oleh UU Persaingan Usaha disebut dilarang.
Kalaupun bisa dipersoalkan, justru kebermasalahannya itu dalam tinjauan UU
Penyiaran beserta aturan pelaksananya, yang secara tegas mengatur pembatasan
kepemilikan.
Oleh karena dampak dari pemusatan kepemilikan media sangat besar bagi
masyarakat, maka ke depan perlu upaya-upaya untuk menekan pemusatan tersebut.
Pertama, media massa merupakan bidang usaha yang menggunakan ruang-ruang
publik. Alat-alat yang digunakan dalam menyampaikan informasi kepada warga, yaitu
kertas dan apalagi sularan transmisi, sesungguhnya berada di ruang publik. Ketika ia
ada di ruang publik, maka perlu ada pembatasan tentang keberadaan dan
kepemilikannya. Jika tidak dibatasi, maka ruang-ruang publik hanya terisi oleh
kepentingan-kepentingan privat segelintir kelompok pelaku usaha, 23 dan ini akan
melahirkan otoritarianismen baru, yaitu otoritarianisme kapital.24
Kedua, upaya menekan pemusatan kepemilikan diperlukan karena informasi
yang disampaikan media massa kepada publik menjadi relatif seragam manakala
dimiliki oleh kelompok pelaku usaha yang sama sekalipun terkesan beragam karena
medianya berbeda-beda. Terlebih jika disadari bahwa berita yang tersaji kepada publik
bukanlah realitas objektif tapi realitas subjektif setelah melalui proses konstruksi
(subjectively-constructed reality).25 Pemusatan kepemilikan media sendiri merupakan
hasil dari suatu struktur ekonomi liberal, sehingga lebih menekankan tentang
penghasilan keuntungan (komersialisasi) dan menghindari adanya konflik kepentingan
yang akan merugikan kepentingan ekonomi dan politik grup mereka.26
Ketiga, praktik pemusatan kepemilikan media massa sebagai konsekuensi
peralihan dari era state regulation menuju market regulation justru dalam banyak hal
kontraproduktif bagi demokratisasi. Media dalam banyak hal cenderung keluar dari
jalurnya dan tidak dapat bersikap proporsional dalam menjalani fungsi-fungsinya.27
Memang betul bahwa kemerdekaan pers yang antara lain ditandai dengan kebebasan
untuk mendirikan dan menyelenggarakan usaha di bidang media sehingga
menghasilkan banyak media merupakan bagian dari demokrasi. Namun, tatkala yang
terjadi kemudian bahwa media-media yang tumbuh pesat sebagai konsekuensi dari
kemerdekaan pers tersebut ternyata berasal dari kelompok pelaku usaha yang sama,
terlebih yang terafiliasi dengan kekuasaan atau partai politik tertentu, maka fungsi
menjaga demokrasi yang diemban media jelas menjadi surut. Oleh karena itu,

23
Praktik pemusatan kepemilikan media, atau dapat disebut juga dengan konglomerasi media,
menentukan tipe dan kualitas daripada ruang publik. Dengan konglomerasi media, maka ruang publik
yang tercipat menjadi terbatas. Lebih jauh, konglomerasi media juga membahayakan konsolidasid
emokrasi. Anggia Valerisha, “Dampak Praktik Konglomerasi Media terhadap Pencapaian Konsolidasi
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 12, 1 (2016): 15-32.
24
Siregar, Mengawal Demokratisasi Media, hlm. 99.
25
Karman, “Media dan Konstruksi Realitas (Analisis Framing terhadap Pemberitaan Koran
Tempo Mengenai Kasus Ledakan Bom di Masjid Mapolres Cirebon)”, Jurnal Studi Komunikasi dan
Media, 16, 1 (2016), hlm. 28.
26
Ignatius Haryanto, “Kemunculan Diri dan Peran Pemilik Industri Media di Indonesia dalam
Kerangka Teori Strukturasi Anthony Giddens”, Ultimacomm, 6, 2 (2014), hlm. 71.
27
Arsam, “Olygopoli, Kepemilikan Media, dan Kebijakan Negara”, At-Tabsyir: Jurnal
Komunikasi Penyiaran Islam, 2, 1 (2014), hlm. 162.
174 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

pembatasan pemusatan kepemilikan menjadi penting, agar keberbedaan media yang


bisa dikonsumsi warga juga berarti beragam isinya karena dimiliki oleh pelaku usaha
yang berbeda-beda.
Keempat, pembatasan tentang pemusatan kepemilikan media, akan jauh lebih
efektif jika diatur dalam UU yang secara fungsional mengatur media massa, dalam hal
ini UU Pers dan UU Penyiaran. Pembatasan dalam UU Persaingan Usaha bagi usaha
di bidang media massa tampaknya tidak efektif, karena jelas sulit terpenuhi unsur-
unsur sebagaimana yang terdapat pada materi UU.

V. PENUTUP

Pendirian dan kepemilikan media massa merupakan bagian dari ekspresi


(sebagian elite) warga dalam menjalankan tugas-tugas yang dijamin Konstitusi, yaitu
menghimpun, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Kepemilikan media massa yang terpusat pada kelompok bisnis tertentu dan umumnya
memiliki afiliasi dengan kekuasaan atau partai politik tertentu memang potensial
bertentangan dengan prinsip umum dalam persaingan usaha yang sehat, yaitu
keberagaman pelaku usaha yang berarti akan beragam juga produk yang dihasilkan
sehingga memunculkan banyak pilihan bagi warga. Meski begitu, relatif tidak ada
norma hukum persaingan usaha yang dilanggar, terkecuali jika sudah sampai pada
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Artikel ini mendorong agar
pembatasan kepemilikan media massa diupayakan, karena bidang usaha ini
menggunakan ruang publik yang terbatas sebagai sarana menjalankan usahanya dan
juga fungsi demokratisasi yang melekat pada media massa. Upaya membatasi tersebut,
dalam kajian artikel ini, akan lebih efektif ketika diatur melalui UU yang secara
fungsional mengatur media massa, dalam hal ini UU Pers dan UU Penyiaran.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Arsam. “Olygopoli, Kepemilikan Media, dan Kebijakan Negara”. At-Tabsyir: Jurnal
Komunikasi Penyiaran Islam, 2, 1 (2014): 149-168.
Haryanto, Ignatius. “Kemunculan Diri dan Peran Pemilik Industri Media di Indonesia
dalam Kerangka Teori Strukturasi Anthony Giddens”. Ultimacomm, 6, 2
(2014): 58-71. DOI: 10.31937/ultimacomm.v6i2.414
Karman. “Media dan Konstruksi Realitas (Analisis Framing terhadap Pemberitaan
Koran Tempo Mengenai Kasus Ledakan Bom di Masjid Mapolres Cirebon)”.
Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 16, 1 (2016): 27-46.
Prasetyo, Yosep Adi. “Kondisi Pers Indonesia dan Tantangan Saat Ini”. Jurnal Dewan
Pers, 16 (2017): 13-24.
Valerisha, Anggia. “Dampak Praktik Konglomerasi Media terhadap Pencapaian
Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional,
12, 1 (2016): 15-32. DOI: 10.26593/jihi.v12i1.2546.15-32

Buku
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Keadilan Sosial. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018.
Asshiddiqie, Jimly. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Pemusatan Kepemilikan Media Massa, M. Zulfa Aulia, Raffles 175

Asshiddiqie, Jimly. “Sambutan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu


Republik Indonesia”, dalam DKPP, Penyelenggara Pemilu di Dunia; Sejarah,
Kelembagaan, dan Praktik Pemilu di Negara Penganut Sistem Pemerintahan
Presindial, Semipresidensial, dan Parlementer. Jakarta: DKPP RI, 2015.
Haryanto, Ignatius. Indonesia Raya Dibredel. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Jakarta:
KPPU & GTZ, 2009.
Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks. Jakarta: KPPU &
GTZ, 2017.
Siregar, Amir Effendi. Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi,
Membangun Keberagaman. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.
SK, Ishadi. Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.
Wiryawan, Hari. Dasar-dasar Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Laporan Penelitian, Tesis, Kamus, dan Media Massa


Abid, M. Husnul. “Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca-Orde Baru,
1998-2015: Analisis Ekonomi Politik”. Tesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2016.
Fathoni. “Hariri dan Semiotika Soal Ustadz”.
http://www.nu.or.id/post/read/50253/hariri-dan-semiotika-sosial-ustadz,
18/2/2014, akses 22/2/2018.
Lim, Marlyna. “The League of Therteen: Media Concentration in Indonesia”. Laporan
Penelitian, Participatory Media Lab Arizona State University dan Ford
Foundation, 2012. Tersedia pada laman
https://merlyna.files.wordpress.com/2019/02/lim_the_league_of_thirteen_medi
a_2012.pdf
Lim, Marlyna. “@Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in
Indonesia”. Laporan Penelitian, Participatory Media Lab Arizona State
University dan Ford Foundation, 2011. Tersedia pada laman
https://merlyna.files.wordpress.com/2019/02/lim_at_crossroads_2011.pdf
Republik Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Siregar, Amir Effendi. “Putusan MK dan Kepemilikan Televisi”. Koran Tempo,
28/11/2012.
Supadiyanto. “Lanskap Industri Media Massa Arus Utama dan Media Online”.
http://www.kompasiana.com/supadiyanto/lanskap-industri-media-massa-arus-
utama-dan-media-online_54f85641a33311d25d8b4a95, akses 31/3/2016.

Peraturan dan Putusan Hukum


Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. Undang-undang tentang Pers, UU No. 40 Tahun 1999, LN Tahun
1999 No. 166, TLN No. 3887.
Republik Indonesia. Undang-undang tentang Penyiaran, UU No. 32 Tahun 2002, LN
Tahun 2002 No. 139, TLN No. 4252.
Republik Indonesia. Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 33,
TLN No. 3817.
176 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Republik Indonesia. Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun


2007, LN Tahun 2007 No. 106, TLN No. 4756.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaran Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 50 Tahun 2005, LN Tahun 2005 No. 127,
TLN No. 4566.
Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 78/PUU-IX/2011, tanggal
3 Oktober 2012, perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945

Anda mungkin juga menyukai