Anda di halaman 1dari 9

Kerajaan aceh

Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 M.
Sebelum akhirnya runtuh di awal abad ke-20, Kesultaan Kerajaan Aceh baru menjadi penguasa di tahun
1524 M usai mengambil alih Samudera Pasai.

Kerajaan yang terletak di Kutaraja atau yang lebih dikenal dengan Banda Aceh ini mencapai puncak
kejayaannya saat masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Sejarah kerajaan aceh:

Kerajaan Aceh berdiri setelah kekuatan Barat tiba di Malaka. Untuk mencegah penguasaan para
pendatang itu, Sultan Ali Mughayat Syah menyusun strategi perlawanan dengan menyatukan kerajaan-
kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Aceh

Selain itu, Sultan Ali Mughayat Syah juga membentuk angkatan darat dan laut, serta membuat dasar-
dasar politik luar negeri, seperti berikut:

- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

- Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar

- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara

- Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar

- Bersikap waspada terhadap barat

Puncak Kejayaan Kerajaan Aceh

Setelah Sultan Iskandar Muda menggantikan Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M), kerajaan Aceh
mengalami kemajuan yang luar biasa hingga mencapai masa kejayaannya. Di bawah kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mampu menguasai jalur perdagangan bahkan menjadi bandar
transit bagi pedagang-pedagang Islam di Barat.Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga tetap meneruskan
perjuangan Aceh menyerang Portugis dan Kerajaan Johod di Semenanjung Malaya untuk penguasaan
jalur perdagangan Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Saat itu, Kerajaan Aceh
memiliki kekuasaan yang luas. Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh terbentang dari daerah Aru, Indragiri,
Kedah, Pahang, dan Perlak.

Keruntuhan Kerajaan Aceh


Tak berselang lama setelah mundurnya Sultan Iskandar Muda dan digantikan oleh Sultan Iskandar Thani
(1636-1641 M), Kerajaan Aceh mulai mengalami keruntuhan.

Salah satu faktor terbesar runtuhnya Kerajaan Aceh adalah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris takhta. Selain itu, kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka pun semakin
menguat.Belanda pun turut melancarkan perang di wilayah Aceh. Sampai akhirnya 40 tahun berlalu,
Kerajaan Aceh jatuh di tangan kolonial Belanda.

Masa Kemunduran. Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda.

- Kehidupan Politik Kerajaan Aceh

Perubahan kehidupan politik di Kerajaan Aceh dimulai ketika Sultan Iskandar Muda mulai
memerintahnya. Sebelumnya penguasaan politik Kerajaan Aceh berfokus pada kekuatan militer sebagai
upaya mempertahankan keberadaan dari ancaman dari luar demi perluasan wilayah.Maka, saat masa
kepemimpinan Iskandar Muda lebih berfokus pada penataan sistem politik kerajaan. Terutama yang
berkaitan dengan konsolidasi dan peletakan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang telah
dikuasainya.

Raja raja kerajaan aceh:

Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)

Sultan Salahudin (1528-1537 M)

Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M)

Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575 M)

Sultan Muda (1575 M)

Sultan Sri Alam (1575 - 1576 M)

Sultan Zain al-Abidin (1576-1577 M)

Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589 M)

Sultan Buyong (1589-1596 M)

Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604 M)


Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M)

Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)

Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)

Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M)

Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678 M)

Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688 M)

Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699 M)

Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702 M)

Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703 M)

Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726 M)

Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726 M)

Sultan Syams al-Alam (1726-1727 M)

Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735 M)

Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760 M)

Sultan Mahmud Syah (1760-1781 M)

Sultan Badr al-Din (1781-1785 M)

Sultan Sulaiman Syah (1785-1795 M)

Alauddin Muhammad Daud Syah Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815 M) dan (1818-1824 M)

Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818 M)

Sultan Muhammad Syah (1824-1838 M)

Sultan Sulaiman Syah (1838-1857 M)

Sultan Mansur Syah (1857-1870 M)

Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M)

Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 M)


Peninggalan kerjaan aceh

1.Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah Masjid yang terletak di pusat kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh, Indonesia. Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol agama, budaya, semangat, kekuatan,
perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh

2.Makam Sultan Iskandar Muda

Makam Sultan Iskandar Muda merupakan makam dari sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang berhasil
membawa kerajaannya mencapai puncak kejayaan.Sultan Iskandar Muda ini memimpin Kerajaan Aceh
Darussalam dari tahun 1607-1636. Di bawah kepimpinannya itu, Kerajaan Aceh Darussalam menduduki
peringkat kelima kerajaan terbesar Islam dunia.

3.Benteng Indra Patra

Benteng Indra Patra (bahasa Aceh: Kuta Indra Patra, Aksara Jawoë :‫ )كوتا ا يندرا ڤترا‬adalah sebuah benteng
bersejarah di Aceh yang telah digunakan sejak era Hindu hingga era Islam. Benteng ini terletak di
Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Benteng ini pada awalnya digunakan sebagai bangunan pertahanan dari
penyerangan musuh ke dalam wilayah Aceh yang saat itu masih merupakan Kerajaan Lamuri. Benteng
ini tetap digunakan setelah Kerajaan Lamuri berubah menjadi kerajaan Islam hingga lahirnya Kesultanan
Aceh yang merupakan negeri monarki Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara.

4.Taman Sari Gunongan

Tamansari Gunongan disebut juga Taman Ghairah yang ditengahnya mengalir Sungai Daroy (Darul
Asyiqi). Taman tersebut digunakan sebagai tempat bersenang-senang para permaisuri Sultan Iskandar
Muda (Putri Pahang) anak Sultan Johor dari Malaysia.

5. Uang emas Kerajaan Aceh

Mata uang emas itu ditemukan dalam sebuah kaleng dengan jumlah 300 keping. Letaknya di sekitar
tambak warga dan alur sungai di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh. Penemuan dirham
emas ini makin menguatkan fakta sejarah bahwa pada masanya Kerajaan Aceh menggunakan koin emas.

6. Meriam Kesultanan Aceh

Terdapat tiga meriam yang ditemukan di Desa Arongan, Kabupaten Aceh Barat. Meriam-meriam
tersebut diduga dibuat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Meriam buatan Aceh ini
digunakan untuk mempertahankan wilayah mereka dari serangan para penjajah.

7. Pinto Khop

Pinto Khop adalah salah satu situs Peninggalan Purbakala atau peninggalan sejarah Aceh tempo dulu
pada masa Kerajaan Sultan Iskandar muda abad ke – XVI, yang terletak pada bagian barat atau di
belakang Pendopo Gubernur saaat ini, yang posisinya di kelurahan Sukaramai Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.

Hukum atau Adat Makuta Alam adalah hukum yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar Muda yang
memerintah pada kurun tahun 1607 hingga 1636. Undang-undang yang atau hukum yang didasarkan
pada Syariat Islam ini mengatur banyak hal yang berhubungan dengan pemerintah dari kehidupan di
Kesultanan Aceh Darussalam.

Samudra pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, dengan sebutan singkat yaitu Pasai adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh
Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1297.
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, dengan sebutan singkat yaitu Pasai adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh
Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu

Setelah resmi menjadi kerajaan Islam, Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi Islam
yang ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina serta daerah di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera
Pasai.Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan
oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja
Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara.

pengaruh kerajaan Samudera Pasai dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara yaitu Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam
pertama di Nusantara mulai dari kerajaan inilah Islam akhirnya menyebar keseluruh Nusantara sampai Asia Tenggara selain itu
kerjaan ini juga sebagai tempat bertemunya pedagang dari segala penjuru.

*Masa Kejayaan*

Kesultanan Samudera Pasai mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Al-Malik az-Zahir II yang bertakhta hingga
tahun 1349 Masehi. Dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Aceh, Ibnu Bathutah pernah mengunjungi Samudera Pasai
pada era ini. Samudera Pasai berdagang lada sebagai komoditas utamanya dan berperan sebagai bandar dagang besar saat itu.
Bahkan, kerajaan Islam ini mengeluarkan bentuk alat tukar berupa koin emas (dirham) dengan komposisi emas murni 70
persen. Selain jaya karena perdagangan, kerajaan maritim ini juga menjadi pusat penyebaran agama Islam karena letaknya yang
strategis dan mudah dikunjungi orang-orang dari berbagai tempat. Sempat mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit,
Samudera Pasai kembali merengkuh masa keemasan pada era pemerintahan sosok pemimpin perempuan bergelar Sultanah
Malikah Nahrasyiyah (1406-1428). Sultan perempuan pertama di tanah Aceh ini mampu membangkitkan Samudera Pasai dari
trauma akibat serangan Majapahit pada pertengahan abad ke-14 atau sebelum Mahapatih Gajah Mada tutup usia. Dalam buku
Wali Songo dengan Perkembangan Islam di Nusantara (1993) karya Abdul Halim Bashah, disebutkan, SultanahNahrasyiyah
berperan besar dalam memajukan Samudera Pasai, termasuk menjadikannya sebagai pusat perkembangan agama Islam yang
besar dan kuat.

Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Malik At Tahrir, sistem pemerintahan
Samudera Pasai sudah teratur baik, Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari Asia,
Afrika, China, dan Eropa berdatangan ke Samudera Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga
terjalin erat. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada.

Setelah Sultan Malik At Tahrir wafat tidak ada penggantinya yang cakap dalam meminmpin kerajaan Samudra Pasai dan
terkenal, sehingga peran penyebaran agama Islam diambil alih oleh kerajaan Aceh.

Kerajaan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah
peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh
pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura.

Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai.
Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu,
Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1349 Sultan Ahmad Bahian Syah malik al Tahir meninggal dunia dan digantikan putranya yang bernama Sultan
Zainal Abidin Bahian Syah Malik al-Tahir. Bagaimana pemerintahan Sultan Zainal Abidin ini tidak banyak diketahui. Rupanya
menjelang akhir abad ke-14 Samudra Pasai banyak diliputi suasana kekacauan karenaa terjadinya perebutan kekuasaan,
sebagai dapat diungkap dari berita-berita Cina. Beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Samudra Pasai, yaitu
pemberontakan yang dilakukan sekelompok orang yang ingin memberontak kepada pemerintahan kerajaan Samudra Pasai.

Karena pemberontakan ini, menyebabkan beberapa pertikaian di Kerajaan Samudra Pasai. Sehingga terjadilah perang saudara
yang membuat pertumpahan darah yang sia-sia. Untuk mengatasi hal ini, Sultan Kerajaan Samudra Pasai waktu itu melakukan
sesuatu hal yang bijak, yaitu meminta bantuan kepada Sultan Malaka untuk segera menengahi dan meredam pemberontakan.
Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun1521 yang sebelumnya telah
menaklukan Malaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.

Jejak Peninggalan

Menurut R.S. Wick dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia (1992), Kerajaan Samudera Pasai meninggalkan
jejak sejarah melalui penemuan beberapa makam bertuliskan nama sultan, juga koin dengan bahan emas serta perak sebagai
alat transaksi pada zamannya. Sejalan dengan pendapat itu, terdapat beberapa bukti arkeologis yang bisa menjelaskan
keberadaan Samudera Pasai, salah satunya makam raja-raja Pasai di Desa Geudong, Aceh Utara. Nama-nama raja yang
tercantum di makam yang dekat dengan bekas runtuhan kerajaan Islam ini adalah Sultan Malik al-Shaleh, Sultan Malik az-Zahir,
Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah, Teungku Peuet Ploh, dan Ratu Al-Aqla. Masih ada peninggalan Kerajaan Samudera Pasai
lainnya seperti lonceng Cakra Donya, stempel khas kerajaan, serta karya tulis seperti Hikayat Raja Pasai dan buku Tasawuf Durru
al-Manzum.

Kerajaan Samudera Pasai memiliki mata uang Dirham yang dibuat dari 70% emas murni 18 karat tanpa campuran kimia kertas
dengan diameter 10 mm. Kerajaan Samudera Pasai berdiri dari abad ke-13 hingga 16 M atau sekitar 3 abad hingga akhirnya
runtuh akibat penyerangan yang dilakukan Portugis.
Kehidupan ekonomi

Kehidupan ekonomi Kerajaan Samudra Pasai utamanya adalah perdagangan, yang dibantu oleh lokasinya yang strategis, di
ujung pulau Sumatera dan di tepi selat Malaka. Selat Malaka saat itu adalah jalur perdagangan laut yang sangat penting yang
menghubungkan India, Semenanjung Arab dan Persia, dengan China di timur.

Kehidupan Sosial-Budaya

Para pedagang asing yang singgah di Malaka untuk sementara menetap beberapa lama untuk mengurusi perdagangan mereka.
Dengan demikian, para pedagang dari berbagai bangsa itu bergaul selama beberapa lama dengan penduduk setempat.
Kesempatan itu digunakan oleh pedagang Islam dari Gujarat, Persia, dan Arab untuk menyebarkan agama Islam. Dengan
demikian, kehidupan sosial masyarakat dapat lebih maju, bidang perdagangan dan pelayaran juga bertambah maju.

Kerajaan Samudera Pasai sangat dipengaruhi oleh Islam. Hal itu terbukti terjadinya perubahan aliran Syiah menjadi aliran Syafi’i
di Samudera Pasai ternyata mengikuti perubahan di Mesir. Pada saat itu di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari
Dinasti Fatimah yang beraliran Syiah kepada Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i. Aliran syafi’i dalam perkembangannya di
Pasai menyesuaikan dengan adatistiadat setempat sehingga kehidupan sosial masyarakatnya merupakan campuran Islam
dengan adat istiadat setempat

Kehidupan Politik

Setelah resmi menjadi kerajaan Islam (kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia), Samudera Pasai berkembang pesat
menjadi pusat perdagangan dan pusat studi Islam yang ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina serta daerah
di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera Pasai.

Samudera Pasai setelah pertahanannya kuat segera meluaskan kekuasaan ke daerah pedalaman, meliputi Tamiang, Balek
Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan
Pasai. Dalam rangka islamisasi, Sultan Malik al Saleh menikah dengan putri Raja Perlak.

Sultan Malik al Saleh mangkat pada tahun 1297 dan dimakamkan di Kampung Samudera Mukim Blang Me dengan nisan makam
berciri Islam. Jabatan Sultan Pasai kemudian diteruskan oleh putranya, Sultan Malik al Thahir. Sultan ini memiliki dua orang
putra, yaitu Malik al Mahmud dan Malik al Mansur. Ketika masih kecil, keduanya diasuh oleh Sayid Ali Ghiatuddin dan Sayid
Asmayuddin. Kedua orang putranya itulah yang kemudian mewarisi takhta kerajaan. Sementara itu, kedua pengasuhnya itu
diangkat menjadi perdana menteri. Ibu kota kerajaan pernah dipindahkan ke Lhok seumawe.

Sepeninggal Sultan Malik al-Saleh, Samudra Pasai diperintah oleh Malik al-Zahir I (1297 — 1302). Ia sering mendapat sebutan
Sultan Muhammad. Pada masa pemerintahannya, tidak banyak yang dilakukan. Kemudian takhta digantikan oleh Ahmad yang
bergelar Al Malik az-Zahir II. Pada masanya, Samudra Pasai dikunjungi oleh Ibnu Batutah, seorang utusan dari Delhi yang sedang
mengadakan perjalanan ke Cina dan singgah di sana. Menurut Ibnu Batutah, Samudra Pasai memiliki armada dagang yang
sangat kuat. Baginda raja yang bermazhab Syafi'i sangat kuat imannya sehingga berusaha menjadikan Samudra Pasai sebagai
pusat agama Islam yang bermazhab Syafi'i.

Pada abad ke-16, bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera Pasai pada 1521 hingga
tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Waktu itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat.

Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai, yakni:
Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).

Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.

Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.

Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.

Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.

Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.

RUNTUHNYA KERAJAAN SAMUDRA PASAI

Sesuai dengan catatan sejarah yang ada, dua faktor penyebab runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai. Kedua faktor tersebut
berasal dari internal maupun eksternal. Jika dilihat dari faktor internal terlebih dahulu, ada dua hal yang memicu runtuhnya
Kerajaan ini yaitu pemimpin setelah Sultan Malik Al Tharir dinilai kurang cakap. Karena minimnya kecakapan para penerus,
akhirnya secara perlahan Samudra Pasai mengalami kemunduran dan menjadi pemicu utama terjadinya keruntuhan ini.

Selain itu, terjadinya perebutan kekuasaan juga dinilai memicu terjadinya masalah. Perebutan ini ada di masa kepemimpinan
Sultan Zainal Abidin yang waktu itu memang ada pemberontakan. Secara otomatis, kekuatan dari kerajaan ini pun melemah
dan kurang adanya persatuan untuk melawan pemberontakan tersebut.

Sedangkan untuk faktor eksternal, terjadi penyerangan dari Kerajaan Majapahit yang mengakibatkan beberapa bagian Kerajaan
Samudra Pasai tak lagi bisa dipertahankan. Tapi ternyata, tidak hanya ada penyerangan dari Majapahit saja, tak lama Portugis
pun juga turut menyerang.

Dimana saat itu mereka memanfaatkan konflik internal yang terjadi pada waktu bersamaan. Untuk penyebab lainnya, adanya
kalah saing dengan Pelabuhan Malaka sehingga perdagangan di Pasai mulai surut. Hal tersebut membuat kerajaan mengalami
kerugian karena pengiriman lada secara mendadak harus dibatalkan untuk dikirim

PUNCAK KEJAYAAN SAMUDRA PASAI

Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Malik At Tahrir, sistem pemerintahan
Samudera Pasai sudah teratur baik, Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari Asia,
Afrika, China, dan Eropa berdatangan ke Samudera Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga
terjalin erat. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada.

Setelah Sultan Malik At Tahrir wafat tidak ada penggantinya yang cakap dalam meminmpin kerajaan Samudra Pasai dan
terkenal, sehingga peran penyebaran agama Islam diambil alih oleh kerajaan Aceh.

Kerajaan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah
peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh
pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura.
Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai.
Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu,
Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1349 Sultan Ahmad Bahian Syah malik al Tahir meninggal dunia dan digantikan putranya yang bernama Sultan
Zainal Abidin Bahian Syah Malik al-Tahir. Bagaimana pemerintahan Sultan Zainal Abidin ini tidak banyak diketahui. Rupanya
menjelang akhir abad ke-14 Samudra Pasai banyak diliputi suasana kekacauan karenaa terjadinya perebutan kekuasaan,
sebagai dapat diungkap dari berita-berita Cina. Beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Samudra Pasai, yaitu
pemberontakan yang dilakukan sekelompok orang yang ingin memberontak kepada pemerintahan kerajaan Samudra Pasai.

Karena pemberontakan ini, menyebabkan beberapa pertikaian di Kerajaan Samudra Pasai. Sehingga terjadilah perang saudara
yang membuat pertumpahan darah yang sia-sia. Untuk mengatasi hal ini, Sultan Kerajaan Samudra Pasai waktu itu melakukan
sesuatu hal yang bijak, yaitu meminta bantuan kepada Sultan Malaka untuk segera menengahi dan meredam pemberontakan.
Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun1521 yang sebelumnya telah
menaklukan Malaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.

CAKRA DONYA

Lonceng Cakra Donya adalah lonceng peninggalan Kesultanan Samudera Pasai. Lonceng ini merupakan hadiah dari Laksamana
Cheng Ho dalam kunjungannya ke Nusantara pada tahun 1414 Masehi. Lonceng Cakra Donya merupakan hadiah persahabatan
antara Kesultanan Samudera Pasai dan Kaisar Tiongkok. Lonceng Cakra Donya berbentuk stupa. Pembuatannya pada tahun
1409 Masehi. Pada awalnya, Lonceng Cakra Donya dipakai dalam setiap peneyerbuan oleh kapal perang Sultan Iskandar Muda
yang bernama "Cakra Donya" (1607-1636). Fungsinya sebagai alat pemanggil jika ada hal-hal bebrahaya yang terjadi di laut.
Selain itu, Lonceng Cakra Donya digunakan pula sebagai pemberi aba-aba dalam perang. Setelah kapal Cakra Donya dirampas
oleh Portugis, Lonceng Cakra Donya dibawa namun kemudian dikembalikan ke Kesultanan Aceh. Lonceng Cakra Donya
kemudian di simpan dalam kompleks Istana Darud Dunia di sudut kanan Masjid Raya Baiturrahman. Fungsi lonceng berubah
menjadi alat azan dan penanda waktu berbuka puasa. Setelah tidak digunakan di kapal, lonceng Cakra Donya sempat digantung
di depan Masjid Raya Baiturrahman yang saat itu masuk dalam area Istana Sultan Aceh. Lonceng ini juga digunakan sebagai
penanda berkumpul untuk mendengarkan maklumat Sultan. Lonceng Cakra Donya di pindahkan ke Museum Aceh pada tahun
1915.

STEMPEL

Stempel Kerajaan Samudra Pasai diduga milik Sultan kedua kerajaan Samudra Pasai yaitu Sultan Muhammad Malik Az-zahir.
Stempel kerajaan samudra pasai diduga digunakan sampai pemerintahan Sultan Zainal Abidin. Stempel peninggalan kerajaan
samudra pasai digunakan untuk mengecap surat atau dokumen penting.

Lokasi penemuan stempel Kerajaan Samudra Pasai berada di Desa Kuta Krueng, Kec. Samudera, Kab. Aceh Utara. Pada saat
ditemukannya, stempel ini pada bagian gagangnya dalam keadaan patah. Ukuran stempelnya sekitar 2x1 cm. Bahan pembuatan
stempel ini adalah tanduk hewan.

Anda mungkin juga menyukai