Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

Keloid dan LSK

Disusun oleh :
Nurmar Atil Jannah M
NPM. 10119210046

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KHAIRUN
RSUD Dr. H. CHASAN BOESOIRIE TERNATE
2022
BAB I
IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Pekerjaan : Guru

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Benjolan di dada
Ananmnesis Terpimpin : Seorang pria 51 tahun datang ke Poliklinik kulit
dan kelamin RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie pada tanggal 8 Januari 2022
dengan keluhan utama benjolan di dada. Keluhan dirasakan sejak 28 tahun
yang lalu. Benjolan bermula dari bekas luka jatuh dan 10 tahun terakhir
pasien merasa benjolan lebih membesar. Pasien merasa gatal dan 2 hari
terakhir pasien mulai merasa sakit dan benjolan memerah. Pasien pernah
menggunakan salep mederma 5-6 pasta tapi tidak ada perubahan lalu
dihentikan. Pasien mengeluhkan gatal di kaki sejak 2 tahun, jika memakai
sepatu dan berkeringat gatal lebih bertambah.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa sebelumnya : (-)
 Riwayat kontak dengan penderita yang mempunyai keluhan yang sama :
(-)
 Riwayat alergi obat dan makanan : (-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama : (-)
4. Riwayat Pengobatan
 Salep mederma

5. Riwayat kebiasaan sosial-ekonomi :


 Kebiasaan merokok :+
 Konsumsi alkohol :-

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Gizi : Baik
 Berat Badan : 71 kg
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 Respirasi : 20 x/menit
 Nadi : 83 x/menit
 Suhu : 36,6 C

D. STATUS DERMATOLOGI

1. Inspeksi
 Lokasi : Regio thorakalis, Regio pedis sinistra
 UKK : sikatriks hipertrofi, eritema, dengan bentuk lesi
tidak teratur (Regio thorakalis)
Plak, hiperpigmentasi, likenifikasi, skuama (R Pedis).
 Distribusi : sirkumskrip
 Konfigurasi :-
2. Palpasi: -

E. Rencana Penunjang

 Pemeriksaan histopatologi : tidak dilakukan


F. Diagnosis Kerja
Keloid dan Liken simpleks kronik

G. Terapi
 Cetirizine 1x1
 Vit C 1x1
 Fluocinolone cr + gentamicin cr
 Desoxymetasone + mupirocin + as salisilat 3%
H. Prognosis
 Quo Ad Vitam : Bonam
 Quo Ad Functionam : Bonam
 Quo Ad Sanationam : Bonam

Liken Simpleks Kronik


Keloid

Resume

Seorang pria 51 tahun datang ke Poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. H.
Chasan Boesoirie pada tanggal 8 Januari 2022 dengan keluhan utama benjolan di
dada. Keluhan dirasakan sejak 28 tahun yang lalu. Benjolan bermula dari bekas
luka jatuh dan 10 tahun terakhir pasien merasa benjolan lebih membesar. Pasien
merasa gatal dan 2 hari terakhir pasien mulai merasa sakit dan benjolan memerah.
Pasien pernah menggunakan salep mederma 5-6 pasta tapi tidak ada perubahan
lalu dihentikan. Pasien mengeluhkan gatal di kaki sejak 2 tahun, jika memakai
sepatu dan berkeringat gatal lebih bertambah.
Pada pemeriksaan fisik tampak kesadaran kompos mentis dan keadaan
umum baik, berat badan 71 kg. Pemeriksaan tanda vital dalam batas normal.
Status dermatologis didaerah regio thorakalis didapatkan sikatriks hipertrofi,
eritema, dengan bentuk lesi tidak teratur berbatas tegas. Di daerah Regio pedis
sinistra didapatkan Plak, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan skuama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Keloid adalah penyembuhan dengan pertumbuhan berlebih jaringan ikat yang


melewati ukuran luka.1

Liken simpleks kronikus adalah peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip,


ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi)
menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang
karena berbagai rangsangan pruritogenik.1

B. Epidemiologi

Mayoritas orang yang mengalami keloid adalah golongan dewasa muda


sekitar usia 10-30 tahun. Pasien kulit hitam menunjukkan kencenderungan 15 kali
lebih besar untuk mengalami keloid dengan insidens mencapai 16%. Keloid
umumnya terjadi akibat luka bakar. Di negara berkembang, 4 juta pasien
mengalami keloid pasca luka bakar.2

Prevalensi tertinggi LSK pada orang yang berusia 30-50 tahun dan lebih
serig terjadi pada wanita dibandingkan pria.2

C. Etiologi

Etiologi keloid masih belum diketahui sepenuhnya. Tetapi ada beberapa


faktor risiko terjadinya keloid antara lain: kulit yang gelap, faktor genetik (ras
kulit hitam, ras Asia, dan ras Hispanik), riwayat keluarga, umur di bawah 30
tahun, tingginya kadar hormon pada pubertas maupun kehamilan, hyper-
immunoglobulin (IgE) syndrome, luka bakar, luka yang membutuhkan waktu
untuk sembuh lebih dari tiga minggu, dan luka yang terdapat pada kulit di daerah
sternum, pundak, lengan atas, daun telinga, dan pipi.2,3
Penyebab LSK belum diketahui secara pasti. Pruritus berperan penting dalam
timbulnya LSK. Pruritus sendiri disebabkan oleh adanya penyakit yang mendasari
misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma hodgkin,
hipertiroidia, penyakit kulit seperti dermatitis atopik, dermatitis kontak alergik,
gigitan serangga, dan aspek psikologik dengan tekanan emosi.1

D. Manifestasi Klinis
Keloid merupakan lesi padat kemerahan dan menimbul dengan permukaan
licin dan mengkilat yang melebihi permukaan luka. Dapat menimbulkan nyeri dan
gatal. Keloid lebih banyak tumbuh di daerah predileksi dada, punggung dan
deltoid.1,3

Terdapat berbagai metode yang digunakan untuk menilai keloid, yaitu


Vancouver Scar Scale (VSS). Metode ini menilai pigmentasi, vaskularisasi,
pliability, dan ukuran. Nilai maksimal yang dapat dicapai adalah 15 dengan
penjumlahan seluruh kategori. Nilai pigmentasi yang tinggi tidak berarti keadaan
keloid buruk. Hal ini tergantung pada jenis pigmen kulit yang dimiliki pasien.4

Vancouver Scar Scale4

 Proses penyembuhan luka dan patomekanisme keloid

Terdapat empat tahapan proses penyembuhan luka, yaitu hemostasis; inflamasi


(48-72 jam setelah kerusakan jaringan); proliferasi yang mencakup pembentukan
matriks ekstraselular, angiogenesis, dan reepitelisasi (4-21 hari); serta remodeling
jaringan (sampai dengan satu tahun).

Sesaat setelah terjadi kerusakan jaringan, proses hemostasis dimulai. Perdarahan


yang terjadi direspons dengan agregasi trombosit dan pembentukan fibrin.
Selanjutnya, terjadi aktivasi toll-like receptor yang memulai proses inflamasi
dengan mengaktifkan mediator inflamasi.5 Transforming growth factor-beta/Smad
signaling berperan penting dalam hal ini. Pada saat aktivasi, reseptor TGF-β1 dan
TGF-β2 menjadi faktor transkripsi untuk pembentukan kolagen I dan III.
Sedangkan TGF-β3 berperan sebagai negative feedback regulator dalam
pembentukan skar.6

Fase inflamasi dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.
Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase ini keping
darah melepaskan growth factor seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil mencapai area luka dan
memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan memfagosit jaringan mati dan
mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan memasuki area luka. Makrofag
memfagosit debris dan bakteri serta berperan pada produksi growth factor yang
dibutuhkan untuk pembuatan matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembuluh
darah baru untuk penyembuhan luka. Oleh karena itu, ketidakhadiran monosit
atau makrofag akan menghambat fase penyembuhan luka. Terakhir, sel limfosit
dan sel mast akan berdatangan ke area luka, tetapi peranannya masih belum
diketahui pasti.6

Fase proliferasi dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka.
Makrofag terus memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang
membuat fibroblas dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk jaringan
matriks ekstraseluler. Selain itu, juga menstimulasi sel endotel untuk membentuk
pembuluh darah baru. Kolagen tipe III juga mulai terbentuk yang nantinya akan
digantikan oleh kolagen tipe I pada fase remodelling. Yang penting pada fase ini
adalah saat mulai terjadi pengisian rongga luka dengan kolagen maka fibroblas
harus sudah berkurang dan proses angiogenesis juga harus mulai melambat agar
didapatkan scar normal.6

Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai minggu ke-3
hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan remodelling kolagen.
Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III. Kekuatan luka terus
meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen.6,7,8

Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu penyebab


timbulnya scar hipertrofik atau keloid. Meningkatnya jumlah sel-sel imun pada
keloid meningkatkan aktivitas fibroblas dan terus terjadi pembentukan matriks
ekstraseluler. Hal ini juga yang diduga menyebabkan scar timbul melebihi margin
atau batas luka pada keloid. Pada scar hipertrofik, infiltrasi sel imun akan
menurun sehingga mungkin terjadi regresi.

Teori lain menyatakan bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam
terjadinya kelainan jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan
penting sintesis kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks
ekstraseluler yang tidak hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga
menghambat pemecahannya. Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih dominan
pada fase akhir penyembuhan luka memiliki fungsi sebaliknya. Decorin
merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan menetralisir
TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar decorin yang
rendah dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik.6,8

Akhir-akhir ini dinyatakan bahwa apoptosis juga menjadi penyebab kelainan


fibrosis.1 Pada fase awal terbentuknya scar hipertrofik, terjadi hiperseluler, dan
pada fase remodelling sel fibroblas berkurang dan perlahan-lahan menjadi scar
normal melalui proses apoptosis. Proses ini mulai terjadi sejak hari ke-12 pasca-
luka. Penelitian pada scar hipertrofik akibat luka bakar derajat tinggi menemukan
keterlambatan proses apoptosis, yaitu pada bulan ke-19-30 pasca-luka.6

Proses pembentukan keloid juga dipengaruhi oleh sitokin IL-6, IL-8, IL-1β, IL-13,
dan IL-17 sebagai sitokin yang berperan pada peningkatan proses pembentukan
skar. Namun, terdapat peranan IL-2, IL-4, IL-10, IL-27, dan IL-37 yang memiliki
efek berlawanan terhadap pembentukan skar.9,10 Akibat ketidakseimbangan
sintesis kolagen dan degradasinya, skar normal digantikan oleh jaringan fibrotik
patologis yang mengandung molekul matriks ekstraseluler yang kaya akan
produksi kolagen tipe I dan III, bronektin, dan laminin, dan miskin akan
kandungan asam hialuronat dan decorin.5

Pada Liken simpleks kronik, penderita datang dengan keluhan gatal sekali
pada kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan terutama malam hari atau waktu
tidak sibuk. Bila terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga harus digaruk sampai
luka baru gatal hilang untuk sementara. Lesi biasanya tunggal, pada awalnya
berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, lambat laun edema dan eritema
menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi dan ekskoriasi
sekitarnya hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak jelas. Letak lesi dapat
timbul di mana saja, tetapi yang biasa ditemukan ialah di skalp, tengkuk, samping
leher, lengan bagian ekstensor pubis, vulva, skrotum, perianal, medial tungkai atas
, lutut, lateral tungkai bawah, pergelangan kaki bagian depan, dan punggung kaki.1

E. Diagnosa dan Diagnosa banding


Menegakkan diagnosis dari keloid berdasarkan gambaran klinis biasanya
mudah dengan adanya riwayat trauma atau radang kulit sebelumnya. Bila perlu
ditambah dengan pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding ialah dermato-
fibroma. Akan tetapi, tumor ini agak hiperpigmentasi.1
Diagnosis Neurodermatitis sirkumskripta didasarkan gambaran klinis,
biasanya tidak terlalu sulit. Namun perlu dipikirkan kemungkinan penyakit kulit
lain yang memberikan gejala pruritus, misalnya liken planus, liken amiloidosis,
psoriasis, dan dermatitis atopik.1

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada keloid biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi menunjukkan serat
kolagen yang tersusun seperti nodus, tersusun konsentris, serta tumbuh perlahan
menjadi kolagen yang tebal dan padat, pada keloid perkembangan ini terus
berlanjut.1
Gambaran histopatologik pada neurodermatitis sirkumskripta berupa
ortokeratosis, hipergranulosis, akantosis dengan rete ridges memanjang teratur.
Bersebukan sel radang limfosit dan histiosit di sekitar pembuluh darah dermis
bagian atas, fibroblas bertambah, kolagen menebal.1

G. Penatalaksanaan
 Keloid
1. Non medikamentosa
Menghindari trauma, radang, atau infeksi di daerah predileksi1
2. Medikamentosa
- Kortikosteroid intralesi : misalnya triamsinolon asetonid 10 mg/ml
disuntikan kira-kira 0,1 ml dalam setiap 1 ml jaringan keloid.
Maksimum 2 ml setiap minggu.
- Sitostatik : 5-fluorourasil intralesi 50 mg/ml, 0,5-2 ml setiap
minggu.
- Tekanan dengan bebat tekan atau gel silikon.
- Eksisi pada keloid kecil atau keloid yang dapat dieksisi dengan
penutupan kulit yang mudah dan tidak teregang, kemudian berikan
KIL atau bebat tekan untuk mengurangi rekurensi. Dapat pula
diberikan krim imiquimod 5% sesudah dieksisi.
- Topikal krim centella asiatica atau ekstrak cephae, namun hasil
belum memuaskan.1
 Liken Simplek Kronik
1. Non medikamentosa :
- Menjelaskan kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk
keadaan penyakit, oleh karena itu harus dihindari.
- Menghindari stress psikis1,4
2. Medikamentosa :
- Antipruritus berupa antihistamin yang mempunyai efek sedatif
(contoh : hidroksizin, difenhidramin, prometazin) atau tranquilizer. Dapat
pula diberikan secara topikal krim doxepin 5% dalam jangka pendek
(maksimum 8 hari)
- Kortikosteroid berpotensi kuat, bila perlu ditutup dengan penutup
impermeable; kalau masih tidak berhasil diberikan secara suntikan
intralesi.
- UVB dan PUVA.
- Dicari kemungkinan penyakit yang mendasari, bila memang ada
harus diobati.1

BAB III
PEMBAHASAN
Keloid adalah penyembuhan dengan pertumbuhan berlebih jaringan ikat yang
melewati ukuran luka. Etiologi keloid masih belum diketahui sepenuhnya. Tetapi
ada beberapa faktor risiko terjadinya keloid. Keloid merupakan lesi padat
kemerahan dan menimbul dengan permukaan licin dan mengkilat yang melebihi
permukaan luka. Dapat menimbulkan nyeri dan gatal. Keloid lebih banyak
tumbuh di daerah predileksi dada, punggung dan deltoid . Menegakkan diagnosis
dari keloid berdasarkan gambaran klinis biasanya mudah dengan adanya riwayat
trauma atau radang kulit sebelumnya .Pada kasus ini lesi pada pasien yaitu
sikatriks hipertrofi dan eritema, berada di daerah sternum yang bermula dari
riwayat jatuh sebelumnya. Pada kasus ini pasien merasa nyeri dan gatal.

Liken simpleks kronikus adalah peradangan kulit kronis, gatal,


sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol
(likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang
berulang-ulang karena berbagai rangsangan pruritogenik. Pada kasus ini pasien
sudah mengalami keluhan sejak 2 tahun dengan lesi Plak, hiperpigmentasi,
likenifikasi, dan skuama.
Tatalaksana farmakologis pada kasus ini, pasien diberikan Cetirizine 1x1,
Vit C 1x1, Fluocinolone cr + gentamicin cr , Desoxymetasone + mupirocin + as
salisilat 3%. Seperti pada teori pengobatan LSK pasien diberikan antihistamin dan
dan kortikosteroid potensi kuat. Dan pada pasien ini pengobatan keloid diberikan
kortikosteroid dan antibiotik. Seperti Pada pasien ini juga diberikan edukasi yaitu
menghindari trauma, radang, atau infeksi di daerah yang terdapat lesi,
menjelaskan kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk keadaan
penyakit dan harus dihindari, dan juga mengelola stress.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoeb T. Dermatitis Seboroik. In: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W,


eds. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed. Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia; 2019.
2. Trace AP, Enos CW, Mantel A, Harvey VM. Keloids and hypertrophic
scars: a spectrum of clinical challenges. Am J Clin Dermatol.
2016;17(3):201–23.
3. PERDOSKI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta ; 2017.
4. Finlay V, Burrows S, Kendell R, Berghuber A, Chong V, Tan J, dkk.
Modified Vancouver Scar Scale score is linked with quality of life after
burn. Burns. 2017;
5. Sorg H, Tilkorn DJ, Hager S, Hauser J, Mirastschijski U. Skin wound
healing: an update on the current knowledge and concepts. Eur Surg Res.
2017;
6. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG.
Hypertrophic scarring and keloids: Pathomechanisms and current and
emerging treatment strategies. Mol Med 2011;17(1-2):113-25.
7. Thorne CH, Chung KC, Gosain AK, editors. Grabb and Smith’s plastic
surgery. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2014.
8. Huang C, Murphy GF, Akaishi S, Ogawa R. Keloids and hypertrophic scar:
Update and future directions 2013.
9. Jumper N, Hodgkinson T, Paus R, Bayat A. Site-specific gene expression
profiling as a novel strategy for unravelling keloid disease pathobiology.
PLoS ONE. 2017;
10. Mari W, Alsabri SG, Tabal N, Younes S, Sherif A, Simman R. Novel
insights on understanding of keloid scar: article review. J Am Coll Clin
Wound Spec .Elsevier Inc; 2015;

Anda mungkin juga menyukai