Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH ASKEP

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV AIDS”


DOSEN PEMBIMBING: JULHANA, S.Kep.Ns.M.Kep

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II (DUA)
NAMA ANGGOTA:
1.NURFADILLAH
2. NURUL AHDIATUN
3 NURUL LISTAIMUL
4. NURUL MI’RAJ
5. NURUL SALSABILLAH

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah
kepada penyusun untuk dapat menyusun makalah yang berjudul “MAKALAH ASKEP
PADA PASIEN HIV DAN AIDS ”. Makalah ini disusun berdasarkan hasil data-data dari
media elektronik berupa Internet dan media cetak. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan
yang telah memberikan partisipasinya dalam penyusunan makalah ini. Penyusun berharap
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua dalam menambah pengetahuan atau wawasan
mengenai HIV dan AIDS. Penyusun sadar makalah ini belumlah sempurna maka dari itu
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini menjadi
sempurna.

Bima,Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................


KATA PENGANTAR..............................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
C. Tujuan ...............................................................................
D. Manfaat .............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep HIV AIDS .............................................................................
1. Pengertian ....................................................................................
2. Etiologi ......................................................................................
3. Patofisiologi .................................................................................
4. manifestasi klinis .............................................................................
5.Penatalaksanaan ............................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV AIDS .....................
1. Pengkajian ...........................................................................................
2. Diagnosa Keperawatan ........................................................................
3. Intervensi keperawatan..........................................................................
4. Implementasi keperawatan.......................................................................
5. Evaluasi keperawatan ...........................................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................
B. Saran .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome


(AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi wabah internasional
sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain (Kemenkes, 2015).
Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS masih
merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer dan Bare, 2015).
Penyakit AIDS diartikan sebagai sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau
kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar dan sebagai bentuk paling
hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun dan tanpa gejala yang
nyata, hingga keadaan imunosupresi yang berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat
membawa kematian (Padila,2012).

Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat pengobatan anti HIV dan akhirnya
akan berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Karena tidak adanya
pengobatan anti HIV yang efektif, Case Fatality Rate dari AIDS menjadi sangat tinggi,
kebanyakan penderita di negara berkembang (80-90%) mati dalam 3 sampai 5 tahun sesudah
di diagnosa terkena AIDS (Kunoloji,2012).
Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, dan daerah tempat tinggal penderitanya (Tangadi,1996 & Budiharto,1997 dalam
Desima,2013).
Laporan dari Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS pada tahun
2015 terdapat 2,1 juta infeksi HIV baru diseluruh dunia, yang banyak tersebar di wilayah
afrika dan asia. Data ini menambah total penderita HIV menjadi 36.7 juta dan penderita
AIDS sebanyak 1,1 juta orang (UNAIDS, 2016).
Laporan perkembangan HIV AIDS dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI pada tanggal 18 Mei 2016 menyebutkan
bahwa di Indonesia dari bulan Januari sampai dengan Maret 2016 jumlah HIV yang
dilaporkan sebanyak 7.146 orang dan AIDS sebanyak 305 orang. Rasio perbandingan antara
laki-laki dan perempuan yaitu 2:1 (Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri kronis pada beberapa
anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan
depresi (Nursalam,2011). Penurunan imunitas membuat ODHA rentan terkena penyakit
penyerta, menurut hasil laporan Direktur jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit atau
Ditjen P2P tahun 2016 ada beberapa penyakit penyerta yang biasa menyertai AIDS
diantaranya, Tuberkulosis, Taksoplasmosis, Diare, Kandidiasi, Dermatitis, PCP atau
pneumonia pneumocystis, Harpes simplex, Herpes zooster, Limfadenopati generalisata
persisten.
Penyakit HIV AIDS juga memunculkan berbagai masalah psikologis seperti ketakutan,
keputusasaan yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari orang lain, yang
kemudian dapat menimbulkan tekanan psikologis (Green Setyowati 2004 dalam Arriza, Dkk.
2013). Menurut Nursalam (2011) jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang
berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS,
bahkan meningkatkan angka kematian.

B. Rumusan Masalah
bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit HIV AIDS?

C. Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
HIV AIDS

D. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui pengertian dari HIV/AIDS
2. Mahasiswa mengetahui penyebab dari HIV/AIDS
3. Mahasiswa mengetahui patofisiologi dari HIV/AIDS
4. Mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP HIV AIDS


1. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem imun
yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012).
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih
infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu
yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan Lorraine (2012)
yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan tingkat nasional,
mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi kasus. Pada orang dewasa ,
remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi
apabila salah satu kriteria laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif berulang terhadap uji-uji
penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer (misal,ELISA, dikonfirmasi
dengan uji Western blot) atau hasil positif atau laporan terdeteksinya salah satu uji
nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan
virus HIV, deteksi asam nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase
atau RNA HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada daftar kriteria
laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau penyakit-penyakit yang
memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus untuk AIDS.
Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori klinis, simtomatik atau
asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau bronkitis, pneumonitis,
esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi, diseminata atau
ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV
2.Etiologi (Penyebab)
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus
(termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera, visna
virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda
secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan
mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid
yang berasal dari membran se penjamu.
Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9,
dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan
integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain
(diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur
sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara penularan,
yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa
menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah
yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat
dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ).
Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang
bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual

b. Ibu pada bayinya


Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC
Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%
sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007).
Semakin lam proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2000 dalam
Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi
tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS


Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke
seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril


Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh
darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi
HIV bisa menular HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato,
memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai
tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian


Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para
pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain
jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk
menularkan HIV. HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.
3. Patofisiologi

Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami dengan
menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan
penjamu.
(1) fase akut pada tahap awal;
(2) fase kronis pada tahap menengah; dan
(3) fase krisis, pada tahap akhir.
• Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas merupakan penyakit yang
sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6
minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini
juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan
berkurangnya sel T CD4+. Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon
imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya
dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T
sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

• Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita
limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik
“ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster selama fase ini replikasi virus
dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai
dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi
sistem imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karen
itu penurunan sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah
melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,
jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh
HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan
gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan
onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase
“krisis”.

• Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu yang
sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat
badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius,
neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang
menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS
yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul,
pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi
HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap
AIDS.

4. Manifestasi klinis
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan
pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi
HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV pada
jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV
berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-
batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV) dan
Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS
adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit oportunistik
pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.

Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila dibandingkan
dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala
dan penegakan diagnosis yang benar
bisa beberapa minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya
memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non
produktif, nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam
darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami penurunan
yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP
akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan pada akhirnya,
kegagalan pernafasan.

Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC; Mycobacterium avium Complex)


yaitu suatu kelompok baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati
juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal, nodus limfatik dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis
ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.
Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung terjadi
secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa AIDS. Dalam
stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat
ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan
skrotum.

b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan, mual,
vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS, diare dapat
membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badan yang
nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis
kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling sering
ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan
limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih agresif
dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang menyebar
dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul pada setiap
bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar
atau menonjol dan dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.

Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema serta rasa
nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan ketidaknyamanan pasien
serta kerentanannya terhadap infeksi.

Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara pasien-
pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung berkembang diluar
kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak, sumsum tulang dan traktus
gastrointerstinal.

d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv ditemukan dengan
jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS
dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-sel CD4 + yang
berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu toksin atau limfokin
yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi
neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom
klinis yang ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik.

Tanda tanda dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi
atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi. Manifestasi dini
mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif,
pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjutmencangkup ganggua kognitif
global kelambatan dalam respon verbal, gagguan afektif seperti pandangan yang
kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor, inkontenensia,
serangan kejang, mutisme dan kematian.
Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling sering keempat
yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering ketiga yang
menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus ditandai dengan gejala seperti
demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (melaise), kaku kuduk, mual, vormitus,
perubahan status mental, dan kejang-kenjang.

Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat


dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat dimulai
dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang akhirnya mencakup gejala
kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis ringan) serta kematian. Kelemahan neurologik lainnya
berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan kelainan
demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta patirasa pada ekstremitas, kelemahan,
penurunan rekfleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan impontensi.

e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi yang
mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit. Moloskum
kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang
mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis
atropik seperti ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia
pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus
yang disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

5. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara
pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta
malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan penguatan serta
pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat
menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit,
kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status mental.

Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :


a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi Infeksi umum
trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMPSMZ (Bactrim,septra), merupakan
preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.
Pemberian secara IV kepada pasien-pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat
mengalami efekyang merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti
demam, ruam, leukopenia, trombositopenia dengan ganggua fungsi renal. Pentamidin, suatu
obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi
efek yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati
dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.

Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex (MAC)


masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari satu macam obat
selam periode waktu yang lama. Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis
kriptokokus adalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan).

Keadaan pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari
amfoterisin B yang mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan
keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil. Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis
yang disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama
kebutaan pada penderita penyakit AIDS.

Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang
lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencangkup gagal ginjal
akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencangkup hipokalasemia,hiperfosfatemia
serta hipomagnesemia, Semua keadaan ini dapat membawa kematian.
Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan kejang-kejang, gangguan
gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri punggung bawah. Keadaan
lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi ensefalitis yang
disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan Sulfadiazin
atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk pengobatan maupun terapi supresif seumur
hidup bagi infeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi
(trush) atau lesi esofagus diobati denganKetokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik somatostatin, ternyata
efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor somatosin yang
tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan lainnya. Somatostain akan
menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal dan
sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang mendasari
infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan memperbesar
resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi oportunistis. Terapi nutrisi bisa
dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde (terapi nutriasi enternal)
hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan sistem
organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil
ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta
ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa serta organ
viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa ABV
(Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,dideoksisitidin
dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve transcriptase virus dan
mencegah virus reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler
yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan
dihambat.
f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim yang
dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi protase
HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim
reserve transcriptase.

g. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat dari
sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan suportif.
Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam
mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang
lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau malabsobsi saluran cerna
yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam pemberian makan lewat pembuluh
darah seperti nutrisi parenteral total.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare
hebat kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi
ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup
tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan salep
obat serta menutup lesi dengan kasa steril. Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek
mungkin berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih.

Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik
menghemat tenaga. Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat pernafasan yang
berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit,
kram perut, neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik
yang diberikan secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi
psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.
h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV AIDS
untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan
kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan infeksi
HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang
dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan
hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi szat gizi. Untuk mengatasi masalah nutrisi
pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya
vitamin dan mineral serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien)
dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan orang
tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan sanggup membuat
keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar


yangdibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual (IMS) dan
HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan nilai yang
mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun anggota
keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku. Untuk mengubah prilaku ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih
penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka, misalnya
dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan lain-lain.
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologis, sosial,
dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA
agar mampu hidup secara positif.
Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang
berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah
penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga, dan lingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku, sehingga
secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat (Nursalam, 2011)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A . Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar bagi
perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker.
Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan
etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).

Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR

b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluhan utama
sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang
berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus
menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada
mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida Albicans, pembengkakan kelenjer
getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.

c. Riwayat kesehatan sekarang


Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah : pasien akan
mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-
batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan
berat badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat penggunaan
narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS,
terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih
lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).

2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan
mengalami perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan
melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau
perawat.
b. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri
menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu
singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
d. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan karena
adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap penyakitnya.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada beberapa
orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang
menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait
penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
f. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan
penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami
halusinasi.
h. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri rendah.
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan depresi karena
penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik,
perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
j. Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena penyebab utama
penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena mereka
menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka. Adanya perubahan
status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien
dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat kesadaran,
apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil isokor, reflek
pupil terganggu,
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur Cryptococcus
neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada pasien AIDS
yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi sarkoma
kaposi).
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral dingin.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neorologis, ansietas, nyeri,
keletihan
c. Diare berhubungan dengan infeksi
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif,
kehilangan berlebihan melalui diare, berat badan ekstrem, faktor yang
mempengaruhikebutuhan status cairan: hipermetabolik,
f. Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan diare
g. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan diare, muntah
h. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis, ketidak mampuan menelan.
i. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera;bilogis
j. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera; biologis
k. Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju metabolisme
l. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan, perubahan
pigmentasi, perubahan turgor, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, penurunan imunologis
m.Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi, perubahan
turgor kulit, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, faktor imunologi
n. Resiko infeksi berhubungan dengan, imunosupresi, malnutrisi, kerusakan integritas kulit.
o. Keletihan berhubungan dengan status penyakit, peningkatan kelelahan fisik, malnutrisi,
ansitas, depresi, stress.
p. Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit
q. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit
r. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik
s. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
t. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, gangguan harga diri. (Nanda Internasional,
2014)

3. Intervensi atau Perencanaan Keperawatan


Perencanaa keperawatan atau intervensi yang di temukan pada pasien dengan HIV AIDS
sebagai berikut.

• Menajemen jalan nafas


1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2) Buang secret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir
3) Motifasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar dan batuk
4) Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif
5) Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak dan adanya suara
nafas tambahan
6) Monitor status pernafasan dan oksigenisasi sebagaimana mestinya
• Fisioterapi dada
1) Jelaskan tujuan dan prosedur fisioterapi dada kepada pasien
2) Monitor status respirasi dan kardioloogi (misalnya, denyut dan suara irama nadi, suara dan
kedalaman nafas
3) Monitor jumlah dan karakteristik sputum
4) Instruksikan pasien untuk mengeluarkan nafas dengan teknik nafas dalam
• Terapi Oksigen
1) Bersihkan mulut, hidung dan sekresi trakea dengan tepat
2) Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui sistem hemodifier
3) Monitor aliran oksigen
4) Monitor efektifitas terapi oksigen
5) Pastikan penggantian masker oksigen/ kanul nasal setiap kali pernagkat diganti
• Monitor Pernafasan
1) Monitor pola nafas (misalnya, bradipneu)
2) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
3) Auskultasi suara nafas
4) Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan auskultasi suara nafas ronci di paru
5) Auskultasi suara nafas setelah tindakan, untuk dicatat
6) Monitor kemampuan batuk efektif pasien

• Menajemen Jalan Nafas :


1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2) Lakukan fisioterapi dada, sebagimana semestinya
3) Buang secret dengan memotivasi klien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir
4) Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar dan batuk.
5) Auskutasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya
suara nafas tambahan
6) Kelola nebulizer ultrasonik, sebgaimana mestinya
7) Posisikan untuk meringankan sesak nafas
8) Monito status pernafasan dan oksigen, sebagaimana mestinya
• Pemberian Obat :
1) Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan keakuratan dan keamanan pemberian
obat-obatan
2) Ikuti prosedur limabenar dalam pemberian obat
3) Beritahu klien mengenai jenis obat, alasan pemberian obat, hasil yang diharapkan, dan
efek
lanjutan yang akan terjadi sebelum pemberian obat.
4) Bantu klien dalam pemberian obat

• Terapi Oksigen :
1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat
2) Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
3) Monitor aliran oksigen
4) Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala untuk mmastikan bahwa
konsentrasi (yang telah) ditentukan sedang diberikan
• Monitor Pernafasan :
1) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas
2) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot bantu nafas
3) Palpasi kesimetrisan ekstensi paru
4) Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadinya penurunan atau tidak adanya ventilasi
dan keberadaan suara nafas tambahan
5) Auskultasi suara nafas setelah tindakan untuk dicatat
6) Monitor sekresi pernafasan pasien
7) Berikan bantuan terapi nafas jika diperlukan (misalnya nebulizer)

• Monitor tanda-tanda vital :


1) Monitor tekanan darah, Nadi, Suhu, dan status pernafasan dengan tepat
2) Monitor suara paru-paru
3) Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban

• Menajemen Saluran Cerna


1) Monitor buang air besar termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume dan warna,
dengan cara yang tepat
2) Monitor bising usus

• Menajemen Diare
1) Tentukan riwayat diare
2) Ambil tinja untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas bila diare berlanjut
3) Instruksikan pasien atau anggota keluarga utuk mencatat warna, volume, frekuensi, dan
konsistensi tinja
hari

• Pemasangan Infus
1) Verivikasi instruksi untuk terapi IV
2) Beritau pasien mengenai prosedur
3) Pertahankan teknik aseptik secara seksama
4) Pilih vena yang sesuai dengan penusukan vena, pertimbangkan prevelansi pasien,
pengalaman masa lalu dengan infus, dan tangan non dominan
5) Berikan label pada pembalut IV dengan tanggal, ukuran, dan inisiasi sesuai protokol
lembaga

• Terapi Intravena (IV)


1) Verivikasi perintah untuk terapi intravena
2) Instruksikan pasien tentang prosedur
3) Periksa tipe cairan, jumlah, kadaluarsa, karakterisktik dari cairan dan tingkat merusak pada
kontainer
4) Laukuan (prinsip) lima benar sebelum memulai infus atau pemberian pengobatan
(misalnya, benar obat, dosis, pasien, cara, dan frekuensi)
5) Monitor kecepatan IV, sebelum memberikan pengobatan IV
6) Monitor tanda vital
7) Dokumentasikan terapi yang diberikan, sesuai protokol dan institusi

• Menajemen Cairan :
1) Timbang berat badan setiap hari dan monitor status pasien
2) Jaga Intake/ asupan yang akurat dan catat output pasien
3) Monitor status hidrasi (misalmya, membran mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan
tekanan darah ortostatik)
4) Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (misalnya, peningkatan
berat jenis, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan kadar osmolitas urin)
5) Monitor status hemodinamika CVP, MAP, PAP, dan PCWP, jika ada)
6) Monitor tanda-tanda vital
7) Beri terapi IV, seperti yang ditentukan
8) Berikan cairan dengan tepat
9) Berikan diuretik yang diresepkan
10)Distribusi asupan cairan selama 24 jam

• Monitor Cairan :
1) Tentukan jumlah dan jenis Intake/asupan cairan serta kebiasaan eliminasi
2) Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan
3) Periksa isi kulang kapiler
4) Periksa turgor kulit
5) Monitor berat badan
6) Monitor nilai kadar serum dan elektrolit urin
7) Monitor kadar serum albumin dan protein total
8) Monitor tekanan darah, denyut jantung, dan status pernafasan
9) Monitor membran mukosa, turgor kulit, dan respon haus

• Menajemen Nutrisi
1) Identifikasi adanya alergi atau intolerasi akanan yang dimiliki pasien

• Terapi nutrisi
1) Kaji kebutahan nutrisi parenteral
2) Berikan nutrisi enteral, sesuai kebutuhan
3) Berikan nutrisi enteral
4) Hentikan pemberian makanan melalui selang makan begitu pasien mampu mentoleransi
asupan (makanan) melalui oral
5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan sesuai batas diet yang dianjurkan

• Pemberian Nutrisi Total Parenteral (TPN)


1) Pastikan isersi intravena cukup paten untuk pemberian nutrisi intravena
2) Pertahankan kecepatan aliran yang konstan
3) Monitor kebocoran, infeksi dan komplikasi metabolik
4) Monitor masukan dan output cairan
5) Monitor kadar albumin, protein total, elektrolit, profil lipid, glukosa darah dan kimia darah
6) Monitor tanda-tanda vital
• Pemberian analgesik :
1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
2) Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
3) Cek adanya riwayat alergi obat
4) Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika lebih dari satu diberikan
• Menajemen nyeri :
1) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi,
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus
2) Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
3) Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan
sampaikanpenerimaan pasien terhadap nyeri
4) Kaji bersama pasien faktorfaktor yang dapat menurunkan atau memberatkan nyeri
5) Ajarkan penggunaan teknik non farmakologilan nyeri
6) Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrolan
7) Mendukung istirahat tidur
8) Memberikan informasi terkait dengan diagnosa dan keperawatan
9) Mendorong keluarga menemani pasien
10) Kaji tanda verbal dan non verbal dari ketidak nyamanan

• Monitor tanda tanda vital :


1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat

Pemberian obat kulit:


1) Ikuti prinsip 5 benar pemberian
2) Catat riwayat medis pasien dan riwayat alergi
3) Tentukan pengetahuan pasien mengenai medikasi dan pemahaman pasien mengenai
metode pemberian obat

• Pengecekan kulit :
1) Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi pada ekstremitas
2) Monitor warna dan suhu kulit
3) Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan warna, memar, dan pecah
4) Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet

• Peningkatan citra tubuh


1) Tentukan harapan citra diri pasien didasarkan pada tahap perkembangan
2) Tentukan perubahan fisik saat ini apakah berkontribusi pada cita diri pasien
3) Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan - perubahan (bagian tubuh) disebabkan
adanya penyakit dengan cara yang tepat
4) Monitor frekuensi dari pernyataan mengkritisi diri
5) Monitor pernyataan yang mengidentifikasi citra tubuh mengenai ukuran dan berat badan

• Peningkatan koping :
1) Gunakan pendekatan yang tenang dan memberikan jaminan
2) Berikan suasana penerimaan
3) Sediakan informasi aktual mengenai diagnosis, penanganan dan prognosis

• Peningkatan harga diri :


1) Monitor penerimaan pasien mengenai harga diri
2) Jangan mengkritisi pasien secara negatif

• Bimbingan antisipatif :
1) Bantu klien mengidentifikasi kemungkinan perkembangan situasi krisis yang akan terjadi
dan efek dari krisis yang bisa berdampak pada klien dan keluarga
2) Gunakan contoh kasus untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah klien dengan
cara yang tepat
3) Libatkan keluarga maupun orang orang terdekat klien jika memungkinkan

• Pengurangan kecemasan :
1)Gunakan pendekan yang tenang dan menyakinkan
2) Nyaktakan dengan jelas harapan terhadap prilaku klien
3) Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan progosis
4) Dorong keluarga untuk mendampingi pasien dengan cara yang tepat
5) Puji kekuatan prilaku yang baik secara tepat
6) Dengarkan klien
7) Identifikasi pada saat terjadi perubahan kecemasan
8) Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi
9) Kaji untuk tanda verbal dan nonverbal kecemasan
4. Implementasi Keperawatan

• Tindakan keperawatan untuk diagnosa kekurangan vilume cairan berhubungan


dengan kehilangan cairan aktif antara lain
1) mencatat Intake dan Output pasien.
2) menilai status hidrasi dan mukosa bibir, denyut nadi, dan tekanan darah, mengukur
TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan, dan suhu tubuh, Memberikan infusWIDA KN-
2,
3) menentukan faktor – faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan cairan,
memeriksa CRT, memeriksa turgor kulit, memonitor kadar albumin, memonitor
memonitor mokosa, turgor kulit, dan respon haus

• Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa diare berhubungan dengan


proses infeksi antara lain
1) memonitor buang air besar termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume dan
warna, memonitor bising usus, mengkaji riwayat diare,
2) menginstruksikan pasien atau anggota keluarga untuk mencatat warna, volume,
frekuensi dan konsistensi tinja, menilai turgor kulit, memonitor ketidak seimbangan
asam basa, memonitor adanya mual muntah,
3) mengidentifikasi ketidak seimbangan elektrolit, memonitor adanya mual muntah dan
diare, berikan terapi IV, monitor kecepatan aliran IV, monitor tanda – tanda vital

• Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa ketidak seimbangan nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis antara lain
1) menentukan status gizi, mengkaji riwayat alergi, memonitor kalori dan asupan
makanan.
2) menentukan IMT, memonitor penurunan berat badan, emonitor turgor kulit,
memonitor rambut,memonitor mual muntah.
3) mengidentifikasi diare, memonitor diet dan asupan kalori, mengidentifikasi rongga
mulut, menilai hasil laboratorium (kolesterol, albumin, nitrogen, limfosit, dan nilai
elektrolit),
4) memastikan insersi intravena cukup paten, mempertahankan kecepatan aliran infuse,
memonitor intake dan output cairan, memonitor kadar albumin, protein total,
elektrolit, profil lipid, glukosa darah dan kimia darah, memonitor tanda – tanda vital

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui sejauh mana
tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam
rencana keperawatan.
Evaluasi ini akan mengarahkan asuhan keperawatan, apakah asuhan keperawatan
yang dilakukan ke pasien berhasil mengatasi masalah pasien ataukan asuhan yang
sudah dibuat akan terus berkesinambungan terus mengikuti siklus proses
keperawatan sampai benar-benar masalah pasien teratasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem imun
yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012).
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih
infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013).

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis
tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan Lorraine (2012)
yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan tingkat nasional,
mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi kasus. Pada orang dewasa ,
remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi
apabila salah satu kriteria laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

B. Saran

Perawat harus mengetahui dan menguasai konsep materi dan konsep asuhan keperawatan pada
pasien HIV/AIDS agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan maksimal pada
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Arriza, Beta Kurnia., dkk. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip.http://download.portalgaruda.org/article.
Bararah dan Jauhar.M, 2103. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Bulechek,Gloria M, Dkk (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). United
kingdom: ELSEVIER
Desima,Dkk. (2013). Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Umum
HKBP Balige Tahun 2008-2012. http://download.portalgaruda.org/article.
Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, (2016). Laporan Perkembangan HIV AIDS
triwulan 1 Tahun 2016. Jakarta. http://www.yaids.com/materi/M-5780-
Final%20Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201%202016.pdf .
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Sekretaris
Jenderal
Kumar,Cotran,Robbins.(2011). Buku Ajar Patologi (Awal Prasetyo,Brahm U.Pandit,
Toni Prilino, Penerjemah). Jakarta: EGC
Kunoli, F.J.,(2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: TIM
Mardalis. (2010). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara
Moorhead,Sue, Dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). United
Kingdom: ELSEVIER
NANDA International. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta.
EGC
Nurasalam. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS, Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam dan Kurniawati,Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Perry,A.G., & Potter, P.A. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep proses,
dan praktik (Ed ke-4) (renata,K, dkk, Penerjemah)
Saryono dan Anggraeni, M.D.,(2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuhu Medika
Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2015). Medical Surgical Neursing (Vol 1). : LWW
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Susilowati,Susi. (2013). Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
HIV dan AIDS di Semarang dan Sekitarnya.
Sylvia dan Wilson.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol 1 (6rd
ed). Jakarta: EGC
UNAIDS, 2016.Global AIDS UP Date 2016.
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2016/Global-AIDS-update-2016

Anda mungkin juga menyukai