Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERILAKU KORUPSI DAN TIPIKOR

DI SUSUN OLEH :
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Korupsi”
tepat pada waktu yang ditentukan.

Di dalam makalah ini penulis membahas mengenai peranan penting pendidikan anti korupsi, di mana
mengingat di era sekarang ini korupsi telah menjadi masalah serius yang sulit untuk dihilangkan. Untuk
itulah pendidikan anti korupsi sangat perlu diberikan sejak dini di kalangan pelajar. Besar harapan
penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dalam pencarian informasi yang
berhubungan dengan pendidikan anti korupsi serta peranannya.

Penulis menyadari materi dalam makalah ini masih terasa belum lengkap, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini. Akhir
kata penulis ucapkan terima kasih.

AMAKASSAR, Desember 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................1

B. Rumusan Masalah ...........................................................1

BAB 11 PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi.........................................................2

B. Ciri-ciri dan Jenis Korupsi ..............................................2.

C. Faktor Penyebab Korupsi…………………………………………….4

D. Bahaya Korupsi……………………………………………………………5

E. Dampak Korupsi…………………………………………………………6

F. Cara Mengatasi Korupsi……………………………………………….7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .....................................................8

B. Saran .............................................................8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan ancaman global di dunia dikarenakan adanya penyalahgunaan kekuasaan


oleh pemerintah atau pihak-pihak terkait untuk kepentingan pribadi yang sangat merugikan. Indonesia
merupakan negara yang identik dengan tindakan korupsi, hal ini disebabkan karena buruknya moral
para pemimpin bangsa yang melakukan penyimpangan terhadap kepercayaan masyarakat. Tindakan
korupsi dirasakan semakin buruk di negara kita ini, maka dari itu banyak dilakukan upaya-upaya
pemberantasan korupsi tetapi faktanya masih banyak ditemukan para pejabat yang melakukan tindakan
tersebut.

Kelompok kami memilih tema korupsi karena saat ini sedang hangat-hangatnya tentang
permasalahan korupsi E-KTP, oleh karena itu kami ingin memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya
kepada para pembaca untuk menjauhi tindakan korupsi dan mencegah tindakan korupsi agar tidak
dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa, karena korupsi itu merugikan untuk pribadi maupun
bagi negara dan korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga saat ini belum dapat diberantas oleh
manusia secara maksimal.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tentang korupsi?

2. Apa saja ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi?

3. Apa bahaya korupsi?

4. Bagaimana dampak dari korupsi?

5. Apa kondisi yang mendukung munculnya korupsi?

6. Bagaimana cara mengatasi korupsi?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau “corruptus”
(Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata
“corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah
“corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptive/korruptie” (Belanda). Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk
dalam tindak pidana korupsi adalah “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Arti kata korupsi
secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”
(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).

B. Ciri-ciri dan Jenis-jenis Korupsi

Berikut dipaparkan berbagai ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi yang diambil dari Buku Saku yang
dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK: 2006):

1. Kerugian Keuangan Negara

Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi; Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.

2. Suap Menyuap

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;
Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;

Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut; Bagi Pegawai Negeri atau
penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji;

Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara;

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara;

Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara.

3. Penggelapan dalam Jabatan

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau uang/surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu
buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

4. Pemerasan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang
kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

5. Perbuatan Curang

Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;

Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang;

Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang;

Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian
Negara RI melakukan perbuatan curang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Gratifikasi

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

Contoh kasus korupsi di Indonesia

Kasus korupsi sangatlah banyak terjadi di Indonesia

salah satunya adalah kasus korupsi Mantan Menteri sosia Indonesia Juliari Peter Batubara

*Mensos Juliari Batubara Tersangka, Dapat Untung Rp 17 Miliar dari Bansos Covid-19

Menteri Sosial, Juliari P Batubara, diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan
suap pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk penanganan Covid-19.

Pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka
kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun
2020.

Penetapan tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan
KPK pada Jumat, 5 Desember 2020. Usai ditetapkan sebagai tersangka, pada malam harinya Juliari
menyerahkan diri ke KPK.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke
sebagai tersangka selalu pemberi suap

Menurut KPK, kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa
paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan
dilaksanakan dengan 2 periode.
Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000 per paket
sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos.

Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan

Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga
disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan
kepada Kemensos melalui Matheus.

Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa
suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian I M dan Harry Sidabuke dan juga PT RPI yang diduga
milik Matheus.

Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang
pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi.

Dari jumlah itu, diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar. Uang tersebut
selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar
berbagai keperluan pribadi Juliari.

Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober
sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar.

Sehingga, total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar. Seluruh
uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadi.

Atas perbuatannya itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal
11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Divonis 12 tahun penjara

Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (23/8/2021).

Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun
2001.

Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp
14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar.
Jika tidak diganti, bisa diganti pidana penjara selama dua tahun. Hak politik atau hak dipilih terhadap
Juliari pun dicabut oleh hakim selama empat tahun.

C. Faktor Penyebab Korupsi

Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan ekonomi,
sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW: 2000) yang
mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi
dan birokrasi serta faktor transnasional.

1. Faktor Politik

Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih
dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi. Terkait dengan hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan
gambaran bahwa politik uang (money politic) sebagai use of money and material benefits in the
pursuit of political influence.

2. Faktor Hukum

Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi
lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa)
sehingga multi-tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat
maupun yang lebih tinggi). Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004) menyebutkan
tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-
undangan, yang mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan
kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) penerapan sanksi yang
tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-
undangan.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Pendapat ini tidak
mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro,
korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling
bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup. Namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi
(Sulistyantoro: 2004). Pendapat lain menyatakan bahwa kurangnya gaji dan pendapatan
pegawai negeri memang merupakan faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan
merata dan meluasnya korupsi di Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker (1979) yang
menyatakan sebagai berikut: “Although corruption is widespread in Indonesia as means of
supplementing excessively low governmental salaries, the resources of the nation are not being
used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and
some silent, for welfare” (Guy J. Pauker: 1979).

4. Faktor Organisasi

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana
korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau
kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak
membuka peluang sedikit pun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak
akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini
meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung
menutupi korupsi di dalam organisasinya. Terkait dengan itu Lyman W. Porter (1984) menyebut
lima fungsi penting dalam organizational goals: (1) focus attention; (2) provide a source of
legitimacy (3) affect the structure of the organization (4) serve as a standard (5) provide clues
about the organization.

D. Bahaya Korupsi

Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit dalam sejarah kehidupan manusia. Ia
memberikan implikasi negatif dan buruk terhadap kehidupan manusia secara khusus dan terhadap
keberlangsungan suatu wilayah. Ia dapat dikategorikan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia,
sebab mempengaruhi aspek kehidupan ekonomi, politik, ketahanan, sosial-budaya, dan agama. Secara
eksplisit bahaya tersebut yakni: Terhadap bidang ekonomi, korupsi merusak perkembangan ekonomi
suatu negara. Jika suatu aktivitas ekonomi dijalankan dengan unsur-unsur korupsi, maka pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Berefek pada berkurangnya investasi dan kepercayaan.
Hal ini dikarenakan para investor menjadi ragu dan takut untuk mempercayakan modalnya untuk
dikelola di daerah yang korup. Tentunya, dengan tidak adanya investor maka perputaran ekonomi di
suatu daerah menjadi lambat atau bahkan berhenti.

Terhadap bidang politik, kekuasaan yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan
pemerintahan yang tidak sehat. Pemerintah yang berkuasa cenderung menjadikan alat kuasanya sebagai
bentuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari apa yang bisa didapatkannya dari tampuk kekuasaan.
Akibatnya proses pemerintahan bersifat transaksional yang mementingkan pihak-pihak yang berkuasa.
Pada posisi ini, rakyat tak lagi menjadi bagian yang mendapatkan perhatian.
Terhadap bidang keamanan, ketahanan, dan keadilan sosial, korupsi menyebabkan tidak
efisiennya ketiga bidang tersebut pada suatu wilayah. Dengan berorientasi pada keuntungan terhadap
kelompok tertentu di tampuk kekuasaan, menjadikan keamanan dan ketahanan tak lagi diperhatikan.
Akibatnya, mereka yang tidak memiliki kecukupan penghasilan menjadi kelas bawah yang dikangkangi
mereka yang berharta dan memiliki akses kekuasaan. Ada kesenjangan sosial yang memicu kejahatan
dan kekerasan. Terhadap budaya dan kehidupan sosial, korupsi yang merajalela dan menjadi kebiasaan
akan menjadikan masyarakat kacau, dan tidak ada saling percaya antara satu sama lainnya. Berakibat
juga pada kualitas moral dan intelektual masyarakat Terhadap bidang keagamaan, korupsi juga
menimbulkan kekacauan. Berbagai bentuk bantuan yang diberikan oleh para dermawan kepada yang
memerlukan tidak terkelola dengan baik dikarenakan ada unsur “permainan” yang dilakukan para
penyalur. Akibatnya angka kemiskinan semakin tinggi dan makin banyaknya orang-orang yang
menderita kelaparan.

E. Dampak Korupsi

Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan
dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan
nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus
yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Di mana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi
juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan
dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-
bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.

F. Cara Mengatasi Korupsi

Dengan adanya pemerintahan yang terdiri dari eksekutif dan legislatif yang akan terbentuk
sebagai hasil dari pemulihan umum 200, maka yang diharapkan adalah terbentuknya pemerintahan
yang kuat, artinya mempunyai bargaining point terhadap pengambilan berbagai macam kebijakan
pemberantasan tindak KKN sebagai common enemy, sama dengan apa yang diharapkan oleh rakyat
Indonesia selama ini dengan selalu melakukan pengawasan-pengawasan sosial terhadap pemerintahan.
Dalam menentukan langkah kebijakan yang akan dilakukan adalah:

Mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan, dan indikator terhadap makna
KKN;

Mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap pemberantasan


KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot, perbaikan gaji pegawai, sanksi efek jera,
pemberhentian jabatan yang diduga secara nyata melakukan tindak korupsi, dsb;

Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan
penegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap setiap pelanggaran KKN dengan aturan hukum yang
telah ditentukan dan tegas; Melaksanakan evaluasi, pengendalian, dan pengawasan dengan
memberikan atau membuat mekanisme yang dapat memberikan kesempatan kepada Masyarakat, dan
pengawasan fungsional lebih independen.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut
perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk,
menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan
karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Ciri-ciri dan jenis-jenis korupsi menurut KPK adalah kerugian keuangan negara, suap menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,
dan gratifikasi. Korupsi sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, sebab mempengaruhi aspek
kehidupan ekonomi, politik, ketahanan, sosial-budaya, dan agama. Korupsi mengikis kemampuan
institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat
atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor
hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas diharapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa menjauhi
dan mencegah tindak pidana korupsi agar bisa mengurangi kerugian bagi negara bila korupsi itu
berhubungan dengan keuangan negara. Dan agar kita tidak terjerat hukuman sampai harus dihukum
mati. Jika kita tidak melakukan korupsi maka hidup kita akan selalu tenang dan tenteram tanpa
terbebani oleh dosa karena korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra. H.S. (2003). Jurnal Wacana: Korupsi di Indonesia: Budaya atau Politik Makna. Yogyakarta:
Insist Press. Angha, Nader (2002). Teori I Kepemimpinan berdasarkan Kecerdasan Spiritual. Jakarta:
Serambi. Badan Pusat Statistik (2011). Berita Resmi Statistik; Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2011.
No.45/07/Th. XIV. 1 Juli 2011. Baswir, Revrisond (1993). Ekonomi. Manusia dan Etika. Kumpulan Esai-
Esai Terpilih. Yogyakarta: BPFE. De Asis, Maria Gonzales (2000). Coalition-Building to Fight Corruption.
Paper Prepared for the Anti-Corruption Summit. World Bank Institute. Guy, J. Pauker (1980). Indonesia
1979: The Record of Three Decades (Asia Survay Vol XX No. 2). Hamzah, Andi (1991). Korupsi di
Indonesia: Masalah dan Pemecahannya Jakarta: PT Gramedia. Mauro, Paolo (1995). Current Account
Surpluses and the Interest Rate Island in Switzerland. IMF Working Paper. Mauro, Paolo (2002). The
Persistence of Corruption and Slow Economic Growth. IMF Working Paper. Tanzi, Vito (1998). Corruption
around the world: Causes. Consequences. Scope. and Cures. International Monetary Fund Working
Paper. Tanzi, Vito and Hamid Davoodi (1997). Corruption. Public Investment and Growth1. International
Monetary Fund Working Paper. https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai