Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Kelompok Anak Usia
Sekolah” dengan baik. Dan kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Eka Misbahatul Mar’ah Has,
S.Kep., Ns., M.Kep. yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Serta
teman-teman angkatan 2017 yang senantiasa mendukung kami, khususnya kelas A2.

Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan serta
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami yakin masih memiliki
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kotamobagu, 28 november 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................ ii

Daftar Isi ................................................................................................................ ii

i BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 4

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 4

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Anak Usia Sekolah..................................................................... 6

2.2 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah.................. 6

2.3 Perkembangan Anak Usia Sekolah.......................................................... 8

2.4 Perilaku Menyimpang............................................................................ 16

2.5 Masalah Anak Usia Sekolah .................................................................. 29

2.6 Konsep Anak Usia Sekolah Sehat.......................................................... 31

2.7 Program Pemerintah Untuk Anak Usia Sekolah.................................... 33

2.8 Tinjauan Asuhan Keperawatan .............................................................. 34

BAB III Studi Kasus

3.1 Kasus...................................................................................................... 40

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 52

4.2 Saran ...................................................................................................... 52

Daftar Pustaka....................................................................................................... 53
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keperawatan komunitas ditujukan untuk mempertahankan kesehatan, serta memberikan


bantuan melalui intervensi keperawatan sebagai dasar keahliannya dalam membantu individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah keperawatan kesehatan
yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebagai orang pertama dalam tatanan
pelayanan kesehatan, melaksanakan fungsi-fungsi yang sangat relevan dengan kebutuhan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sehat secara social merupakan hasil dari interaksi
positif di dalam komunitas (Efendi, 2015)

Situasi kesehatan anak usia sekolah dan remaja pada saat ini berdasarkan data Riskesdas
dan GSHS pada anak usia SD kondisi kesehatan lebih terkait pada PHBS dan gizi, diantaranya
stunting, kurus, gemuk, anemia, kecacingan, sarapan dengan mutu rendah, kurang makan sayur
dan buah, tidak menggosok gigi minimal 2 kali sehari, makan makanan berpenyedap, tidak
mencuci tangan pakai sabun dan BAB tidak di jamban. Sedangkan situasi kesehatan di usia
remaja di tingkat SMP sampai SMA lebih terkait pada gizi, PHBS dan mental emosional. Data
tersebut diantaranya kurus, stunting, gemuk, anemia, konsumsi makanan siap saji, konsumsi
softdrink, terpapar rokok, masalah mental emosional remaja seperti merasa orang tua tidak
mengerti serta merasa kesepian dan khawatir (Kemenkes, 2017).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan kesehatan komunitas pada kelompok anak usia sekolah?

1.3 Tujuan

a) Tujuan umum:
Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan komunitas pada
kelompok anak usia sekolah.
b) Tujuan khusus
 Untuk memahami konsep dan pengertian anak usia sekolah.
 Untuk mengetahui tindakan promotive dan preventif dalam melakukan
 intervensi keperawatan komunitas pada kelompok anak usia sekolah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah merupakan anak yang sedang berada pada periode usia pertengahan
yaitu anak yang berusia 6-12 tahun (Santrock, 2017), sedangkan menurut (Yusuf, 2016) anak
usia sekolah merupakan anak usia 6-12 tahun yang sudah dapat mereaksikan rangsang intelektual
atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan
kognitif (seperti: membaca, menulis, dan menghitung).

Umumnya pada permulaan usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian
anak mulai mengenal dunia baru, anak-anak mulai berhubungan dengan orang-orang di luar
keluarganya dan mulai mengenal suasana baru di lingkungannya. Hal-hal baru yang dialami oleh
anak-anak yang sudah mulai masuk dalam usia sekolah akan mempengaruhi kebiasaan makan
mereka. Anak-anak akan merasakan kegembiraan di sekolah, rasa takut akan terlambat tiba di
sekolah, menyebabkan anak-anak ini menyimpang dari kebiasaan makan yang diberikan kepada
mereka (Moehji, 2009).

Karakteristik anak usia sekolah menurut Hardinsyah dan Supariasa yaitu anak usia
sekolah (6-12 tahun) yang sehat memiliki ciri di antaranya adalah banyak bermain di luar rumah,
melakukan aktivitas fisik yang tinggi, serta beresiko terpapar sumber penyakit dan perilaku
hidup yang tidak sehat. Secara fisik dalam kesehariannya anak akan sangat aktif bergerak,
berlari, melompat, dan sebagainya. Akibat dari tingginya aktivitas yang dilakukan anak, jika
tidak diimbangi dengan asupan zat gizi yang seimbang dapat menimbulkan beberapa masalah
gizi yaitu di antaranya adalah malnutrisi (kurang energi dan protein), anemia defisiensi besi,
kekurangan vitamin A dan kekurangan yodium (Supariasa & Hardiansyah, 2016).

2.2 Tahap-Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah

Tahapan tumbuh kembang anak secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Tahap tumbuh kembang usia 0-6 tahun, terdiri atas masa pranatal mulai embrio (mulai
konsepsi -8 minggu) dan masa fetus (9 minggu sampai lahir), serta masa pascanatal
mulai dari masa neonatus (0-28 hari), masa bayi (29 hari-1 tahun), masa anak (1-2
tahun), dan masa prasekolah (3- 6 tahun).
2. Tahap tumbuh kembang usia 6 tahun ke atas, terdiri atas masa sekolah (6-12 tahun) dan
masa remaja (12-18 tahun).
3. Tahapan tumbuh kembang anak usia sekolah
Tahapan ini dimulai sejak anak berusia 6 tahun sampai organ-organ seksualnya
masak. Kematangan seksual ini sangat bervariasi baik antar jenis kelamin maupun antar
budaya berbeda. Berdasarkan pembagian tahapan perkembangan anak, ada dua masa
perkembangan pada anak usia sekolah, 19 yaitu pada usia 6-9 tahun atau masa kanak-
kanak tengah dan pada usia 10-12 tahun atau masa kanak-kanak akhir. Setelah menjalani
masa kanakkanak akhir, anak akan memasuki masa remaja. Pada usia sekolah, anak
memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda.
Perbedaan ini terlihat dari aspek fisik, mental-intelektual, dan sosialemosial anak.
Pertumbuhan fisik pada anak usia sekolah tidak secepat pada masamasa sebelumnya.
Anak akan tumbuh antara 5-6 cm setiap tahunnya. Pada masa ini, terdapat perbedaan
antara anak perempuan dan anak lakilaki. Namun, pada usia 10 tahun ke atas
pertumbuhan anak laki-laki akan menyusul ketertinggalan mereka. Perbedaan lain yang
akan terlihat pada aspek fisik antara anak laki-laki dan perempuan adalah pada bentuk
otot yang dimiliki. Anak laki-laki lebih berotot dibandingkan anak perempuan yang
memiliki otot lentur (Gunarsa, 2016).
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan periode pertumbuhan
fisik yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan
pubertas, kira-kira dua tahun menjelang anak menjadi matang secara seksual, pada masa
ini pertumbuhan berkembang pesat. Oleh karena itu, masa ini sering disebut juga
sebagai “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja,
meskipun merupakan masa tenang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada masa ini tidak
terjadi proses pertumbuhan fisik yang berarti.

2.3 Perkembangan Anak Usia Sekolah

Antara usia 7 sampai 12 tahun, yaitu pada tahapan operasianal konkret, anak-anak
menguasai berbagi konsep konservasi untuk melakukan manipulasi logis lainya. Misalnya,
mereka dapat menyusun benda berdasarkan dimensi, seperti tinggi dan berat. Mereka juga dapat
membentuk penyajian mental mengenai serangkain tindakan. Anak-anak yang berumur lima
tahun dapat mencari jalaqn sendiri ke rumah temenya tetapi tidxak dapat menunjukkan kepada
anda atau menelusuri rute atau menelusuri dengan kertas dan pensil. Mereka dapat mencari jalan
karena mereka tahu harus membelok pada tempattempat tertentu, tetapi mereka tidak
mempunnyai gambaran rute secara keseluruhan. Sebaliknya anak-anak berumur 8 tahun sanggup
menggambarkan peta rute itu.

Pieget menamakan masa ini tahapan operasional konkret: meskipun anakanak memakai
istilah abstrak, mereka hanya memakai dalam hubungannya dengan objek yang konkret.
Sebelum mencapai tahapan akhir perkembangan kogniti, pada tahapan operasional formal, yang
dimulai sekitar usia 11 sampai 12 tahun, anak-anak sanggup berfikir logis dengan berbagai
istilah simbolik murni (Dharma & Andryanto, 2010).

Stadium pemahaman moral pieget ketiga dimulai pada sekitar waktu ini. Anak mulai
menghargai bahwa beberapa peraturan adalah kebiasaan sosialpersetujuan bersama yang dapat
sekehandak hati diputuskan dan di ubah jikan semua setuju. Realismemoral anak moral anak
juga menyatakan: saat membuat pertimbangan moral, anak sekarang memberikan bobot pada
pertimbangan “subjektif” seperti maksuk seseorang, dan mereka memandang hukuman sebagai
keputusan manusia, bukan retribusi dari kekuatan yang lebih tinggi.

Awal stadium operasional formal juga timbul bersamaan dengan stadium keempat dan
terakhir pada pemahaman anak tentang peraturan moral. Anak kecil menumjukkan minatnya
dalam membuat peraturan bahkan untuk menghadapi situasi yang belum yang belum pernah
mereka jumpai. Stadium ini ditandai oleh model ideologis penalaran moral, yang menjawab
masalah sosiol yang lebih luas ketimbang hanya situasi personal dan interpersonal.

1. Perkembangan Intelektual
Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan
intelektuan, atau melaksnakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual
atau kemampuan kognitif (seperti: membaca, menulis dan menghitung).
Sebelum masa ini, yaitu masa prasekolah, daya pikir anak masih bersifat
imajinatif, berangan-angan (berkhayal), sedangkan pada usia SD daya pikirnya sudah
berkembang kearah berfikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Pieget
menamakannya sebagai masa operasi konkrit. Pieget menamakannya sebagai masa
operasi konkret, masa berakhirnya berfikirn khayal dan mulai befikir konkret (berkaitan
dengan dunia nyata).
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasiakn (mengkelompokkan), menyusun, atau mengasiosikan
(menghubungkan atau manghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan yang
berkaitan dengan perhitungan (angka), seoerti menambah, mengurangi, mengalikan, dan
membagi. Di samping itu, pada masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan
masalah (problem solving) yang sedarhana.
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjdi
dasardiberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya
nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasardasar keilmuan, seprti membaca,
menulis dan berhitung. Di sampin itu, kepada anak diberikan juga pengetahuan-
pengetahuan tentang manusian, hewan lingkungan alam sekitar dan sebagainya. Untuk
mengembangkan daya nalarnya dengan melatih anak untuk mengungkapkan
pendapat,gagasan atau penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang dialaminya maupun
peristiwa yang terjadi dilingkunganya.
Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak, maka sekolah dalam hal ini
guru seyogyanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan
pertanyaan, memberikan komentar atau pendapatnya tentang materi pelajaaran yang
dibacanya atau yang dijelaskan guru, membuat karangan, menyusun laporan (hasil study
tour atau diskusi kelompok).
2. Perkembangan Bahasa
Bahasa adalah sarana komunikasi denagan dengan orang lain. Dalam
pewngertian ini mencakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan
perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat, atau gerak menggunakan kata-
kata, kalimat bunyi, lambang, tuilsan. Denagan bahasa, semua manusia, alam sekitar,
ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai moral atau agama.
Usia sekoalah dasar ini merupakan msa perkembangan pesatnya kemampuan
mengenal dan menguasai perbendaharaan kata (vocabulary). Pada awal masa ini, anak
suadah menguasai sekitar 2.500 kata, dan pada masa akhir (usia 11-12 tahun) telah dapat
menguasai sekitar 50.000 kata. Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan
berkomunikasi dengan orang lain, anak suadah gemar membaca atau mendengarkan
cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan / petualagan, riwayat para pahlawan, dsb).
Pada masa ini tingkat berfikir anak suadah lebih maju, dia banyak menanyakan soal
waktu dan sebab akibat. Oleh karena itu, kata tanya yang dipergunakan pun yang semula
hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan :”dimana”, “darimana”,
“kemana”,”mengapa”, dan “bagaimana”.
Terdapat dus faktor penting yang mempemgaruhi perkembangan bahasa, yaitu
sebagai berikut:
a. Proses menjadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-
organ suara/bicara sudah berfungsi ) untuk berkatakata.
b. Proses belajar, yang berati bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu
mempelajari bahasaorang lain dengan jalan mengimitasikan atau meniru
ucapa/kata-kata yang didengarnya.

Di sekolah, diberikan pelajaran bahasa yang didengan sengaja menambah


pembendaharaan katanya,mengajar menyusun struktur kalimat, peribahasa, kesusastraan dan
keterampilan mengarang. Dengan dibekali pelajaran bahasa ini, diharapkan peserta didik dapat
menguasai dan mempergunakan sebagai alat untuk:

a. Berkomunikasi dengan orang lain,


b. Menyatakan isi hatinya (perasaannya),
c. Memahami keterampilan mengolah informasi yang diterimanya,
d. Berfikir (menyatakan gagasan atau pendapat),
e. Mengembangkan kepribadiannya, seprti menyatakan sikap dan kenyakinan.

3. Perkembangan sosial

Maksud perkembengan sosial disni adalah pencapai kematangan dalam hubungan sosial.
Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok, tradisi dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak-anak sekolah dasar
ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan keluarga juga dia mulai
membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang
gerak hubungan sosialnya telah tembah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan dirisendri (egosentris)
kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatiakn kepentingan
orang lain). Anak dapat berminat terhadapat kegiatan-kegiatan teman sebayanya, dan bertambah
kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang
apabila tidak diterima dalam kelompoknya.

Berkat perkembangan sosil, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalm proses belajar di sekolah,
kematangan 12 perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan
tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti: membersihkan kelas dan
halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti: merencanakan kegiatan
camping, membuat rencana study tour).

4. Perkembangan Emosi
Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahawa pengungkapan emosi
secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk
mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi
diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasan). Dalam proses peniruan,
kemampuan orang tua daal mengendalikan emosinya sangat berpengaruh. Emosi-emosi
yang secara dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah marah, takut, iri
hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senagng, nikmat, atau
bahagia).
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu,
dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif, seperti perasaan senang,
bergairah, bersemangt atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk
mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan
guru, membaca buku,aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas, dan disiplin dalam belajar.
5. Perkembangan Moral
Anak mulai mengenal konsep moral (mengenal benar sah atau baikburuk)
pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya, mungkin anak tidak mengerti
konsep moral ini, tetapi lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan
konsep moral sejak usia dini (prasekolah) merupakan hal yang seharusnya, karena
informasi yang diterima anak mengenai benar- salah atau baik-buruk akan menjadi
pedoman pada tingkah lakunya di kemudian hari.
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari
orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami
alasan yang mendasari suatu peratuaran. Di samping itu , anak sudah dapat
mengasosiakan satiap bentuk perilaku dengan konsep benar-benar atau baik-buruk.
Misalnya, dia memandang atau menilai bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak
hormat kepada orang tua merupakan suatu yang salah atau buruk. Seadangkan perbuatan
jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua dan guru merupakan suatu yang
benar/baik.
6. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Pada masa ini, perkembangan penghayatan keagamaan ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai pengertian.
b. Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan
kaiadah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai
manifestasi dari keagungan-Nya.
c. Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual
diterimanya sebagai keharusan moral.

Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai
kelanjutan periode sebrelumnya. Kualitas keagamaan anak akan sangat dipengaruhi oleh proses
pembetukan atau pendidikan yang diterimanya. Berkaitan denag hal tersebut, pendidikan
disekolah dasar mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, pendidikan agama
(pengajaran, pembiasan, dan penanaman nilai-nilai) di sekolah dasar harus menjadi perhatian
semaua pihak yang terlibat dalam pendidikan di SD, bukan hanya guru agama tetapi kepala
sekolah dan guru-guru yang lainnya. Apabila semua pihak yang terlibat.

7. Perkembangan Motorik
Seiring perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan
motorik anak sudah dapat terkodinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras
dengan kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak atau
aktivitas motorik yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk
belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik ini, seperti menulis, menggambar,
melukis, mengetik (komputer), berenamg, main bola, dan atletik.
Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran
proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan. Oleh karaena itu,
perkembangan motorik sanagat menunjang keberhasilan belajar peserta didik. Pada masa
usia sekolah dasar kematangan perkembangan motorik ini pada umumnya dicapainya,
karaena itu mereka sudah siap menerima pelajaran keterampilan (Yusuf, 2016).
Sesuai perkembangan fisik (motorik ) maka di kelas-kelas permulaan sangat tepat
diajarkan :
a. Dasar-dasar keterampilan untuk menulis dan menggambar.
b. Keteramilan dalam mempergunakan alat-alat olahraga (menerima, menendang,
dan memukul).
c. Gerakan-gerakan untuk meloncat, berlari, berenang, dan sebagainya.
d. Baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kebiasaan, ketertiban, dan
kedisiplinan.

8. Perkembangan fisik
Perkembangan fiusik cenderung lebih stabil atau tenang sebelum memasuki masa
remaja yang pertumbuhannya sangat cepat. Masa yang tenang ini diperlukan oleh anak
untuk belajar berbagai kemampuan akademik. Anak lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat
serta belajar berbagai keterampilan. Kenikan tinggi dan berat badan bervariasi antara
anak satu dengan yang lain. Peran kesehatan dan gizi sangat penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak.

9. Perkembangan Bicara
Berbicara merupakan alat komunikasi terpenting dalam berkelompok. Anak
belajar bagaimana berbicara dengan baik dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Bertambahnya kosakata yang berasal 15 dari berbagai sumber menyebabkan semakin
banyak pembendaharaan kat yang dimiliki. Anak mulai menyadari bahwa komunikasi
yang bermakna tidak dapat dicapai bila anak tidak mengerti apa yang dikatakan oleh
orang lain. Hal ini mendorong anak untuk meningkatkan pengertiannya.

10. Kegiatan Bermain


Permainan yang disukai cenderung kegiatan bermain yang dilakukan secara
kelompok, kecuali anak-anak yang kurang diterima di kelompoknya dan cenderung
memilih bermain sendiri. Bermain yang sifatnya menjelajah, ketempat-tempat yang
belum pernah dikunjungi baik dikota maupun di desa mengasikkan bagi anak. Permainan
konstruktif yaitu membangun atau membentuk sesuatu adalah bentuk permainan yang
disukai anak serta mampu mengembangkan kreativitas anak. Bernyayi meerupakan
bentuk kegiatan kreatif lainnya. Sealain itu bentuk permainan kelompok yang disenangi
meruoakan permainan oleh raga seperti basket, sepak bola, voleydan sebagainya. Jenis
permainan ini membantu perkembangan otok dan perkembangan tubuh.

11. Usia 10-12


Pada usia 10-12 tahun, perhatian membaca puncaknya. Materi bacaan semakin
luas. Anak-anak laki menyenangi hal-hal yang sifatnya menggemparkan, misterius, dan
kisah-kisah pertualangan. Anak perempuan menyenagi cerita kehidupan seputar rumah
tangga. Teman sebaya umumnya dalah teman sekolah dan teman bermain di luar sekolah.
Pengaruah teman sebaya sangat besar bagi arah perkembangan anak baik yang bersifat
positf maupun negatif. Pengaruh positif terlihat pada pengembanagan konsep diri dan
pertumbuhan harga diri. Hanya ditengah-tengah teman sebaya anak bisa merasakan dan
menyadari bagaimana dan dimana kedudukan atau posisidirinya. Keinginan untuk berada
ditengah-tengah temannya membawa anak untuk keluar rumah menemuinya sepulng
sekolah. Anak merasakan kesepian dirumah, tiada teman. Kegiatan denag teman sebaya
ini meliputi belajar bersama, melihat pertunjukan, bermain, masak-masakkan, dan
sebagainya. Mereka sering melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan orang dewasa.

2.4 Perilaku Menyimpang

a. Pengertian Perilaku Menyimpang


Menurut Kartini Kartono (2011: 11) penyimpangan diartikan sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat
kebanyakan/ populasi. Dalam bukunya yang lain, Kartini Kartono menyebutkan juvenile
delinquency ialah perilaku kenakalan anak-anak; merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian
sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Juvenile deliquency menekankan sebab-sebab tingkah laku yang menyimpang/ delinkuen
anak-anak dari aspek psikologis atau sisi kejiwaannya.
Menurut James Vander Zanden (dalam Kamanto Sunarto, 2000 ;182)
penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal
yang tercela dan di luar batas toleransi. Perilaku yang dimaksud yaitu perilaku yang
sebaiknya tidak dilakukan oleh anak usia sekolah. Anak yang menunjukkan tindakan
yang diluar batas toleransi dapat dikenai hukuman.
Pendapat lain dikemukakan M. Gold dan J. Petronio penyimpangan perilaku
dalam arti kenakalan anak (dalam Sarwono, 2011: 251) merupakan tindakan oleh
seseorang yang belum dewasa dengan sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh
anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum maka
anak tersebut bisa dikenai hukuman. Jadi seorang anak melakukan tindakan menyimpang
secara sembunyi-sembunyi.
Terdapat penyimpangan perilaku sederhana dan perilaku ekstrim. Penyimpangan
perilaku yang sederhana semisal: mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat datang.
Sedangkan penyimpangan ekstrim 17 ialah semisal sering membolos, memeras teman-
temannya, ataupun tidak sopan kepada orang lain juga kepada gurunya (Mustaqim dan
Abdul Wahib, 1991:138).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa semua
penyimpangan terkait dengan istilah-istilah perilaku negative seperti tindak pidana dan
kebrutalan. Akan tetapi, orang yang bertindak terlalu jauh dari patokan umum lingkungan
sekitar bisa juga disebut sebagai penyimpangan. Penyimpangan kini tidak hanya
orangtua, orang muda, bahkan anak-anak usia sekolah menengah dan anak usia sekolah.
Anggota masyarakat yang melakukan penyimpangan terhadap norma.
Suatu perilaku dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat
mangakibatkan kerugian terhadap diri-sendiri maupun terhadap oranglain. Perilaku
menyimpang cenderung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma,
aturan-aturan, nilai-nilai, dan bahkan hukum yang berlaku.
b. Bentuk-Bentuk Perilaku Menyimpang Anak Usia Sekolah
Taufiq Rohman D., dkk (2006: 101) menjelaskan terdapat bentukbentuk perilaku
menyimpang di kalangan anak sekolah. Adapun bentuk penyimpangannya meliputi
penyimpangan primer, penyimpangan sekunder, penyimpangan individu, penyimpangan
kelompok, penyimpangan situasional, serta penyimpangan sistematik. Berikut penjelasan
dari berbagai bentuk penyimpangan:
 Penyimpangan Primer
Penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang bersifat temporer
atau sementara. Penyimpangan ini hanya menguasai sebagian kecil kehidupan
seseorang. Seorang yang menunjukkan tindakan penyimpangan temporer ini
masih dapat ditolerir. Misalnya seorang siswa membolos atau mencontek
pekerjaan temannya.
Ciri-ciri dari penyimpangan primer antara lain:
1) Bersifat sementara
2) Gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang
3) Kesalahannya masih dapat ditolerir
 Penyimpangan Sekunder
Penyimpangan sekunder merupakan sebuah penyimpangan yang
dilakukan oleh seorang anak secara khas. Anak ini disebut melakukan
penyimpangan sekunder karena anak ini sudah terbiasa menunjukkan tindakan
menyimpang di sekolah.
Ciri-ciri dari penyimpangan sekunder yaitu:
- Gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang
- Lingkungan sekolah tidak dapat mentolerir perilaku menyimpang yang
dilakukan siswa.
 Penyimpangan Individu
Penyimpangan individu adalah penyimpangan yang dilakukan secara
perorangan. Penyimpangan ini ditunjukkan seorang anak dengan melakukan
perbuatan yang menyimpang dari aturan yang sudah dibuat. Misalkan seorang
siswa mencuri uang milik temannya.
 Penyimpangan Kelompok
Penyimpangan kelompok merupakan tindakan menyimpang yang
dilakukan secara berkelompok. Siswa yang berkelompok dan melakukan tindakan
menyimpang biasanya ingin dianggap jagoan di sekolah, hanya saja sekelompok
siswa ini menunjukkan dengan cara yang salah. Biasanya penyimpangan
kelompok ini dilakukan oleh siswa yang membentuk sebuah gank.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya sekelompok siswa yang
membuat gank. Sekelompok siswa ini menunjukkan perbuatan yang tidak
seharusnya dilakukan oleh anak usia sekolah. Sehingga peneliti tertarik untuk
meneliti aktivitas siswa selama berada di sekolah.
 Penyimpangan Situasional
Penyimpangan jenis ini disebabkan oleh pengaruh bermacammacam
situasi yang sedang terjadi. Situasi yang dimaksud yaitu situasi atau keadaan di
luar kendali seorang siswa. Siswa terpaksa melakukan tindakan menyimpang
karena situasi yang memaksa siswa tersebut melakukan tindakan menyimpang.
Peneliti menemukan siswa yang sesuai dengan kriteria penyimpangan
situasional. Seorang siswa yang bertindak melanggar aturan sekolah karena
keadaan yang memaksa siswa tersebut bertindak melawan aturan sekolah yang
sudah ditetapkan. Siswa yang melakukan tindak pemalakan terhadap temannya.
Siswa melakukan pemalakah karena siswa tidak mendapat uang saku dari orang
tuanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk tindakan menyimpang yang ditunjukkan seorang
siswa tidak hanya dilakukan secara mandiri, akan tetapi dapat dilakukan secara berkelompok.
Siswa menunjukkan bentuk tindakan menyimpak dikarenakan banyak faktor. Salah satunya
karena situasi yang memaksa siswa untuk melakukan tindakan menyimpang.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menyimpang

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku menyimpang.


Faktor penyebabnya dapat bersasal dari dalam diri seseorang itu sendiri dan dapat pula berasal
dari luar diri seseorang atau yang disebut berasal dari lingkungan. Menurut Jensen (Sarlito W.
Sarwono, 2011: 255) banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun
kelainan perilaku remaja pada umumnya. Faktor-faktor tersebut digolongkan sebagai berikut:

1) Rational chioce: teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.
Kenakalan yang dilakukannya adalah pilihan, interes, motivasi atau kemauannya
sendiri. Di Indonesia banyak yang percaya pada teori ini,misalnya kenakalan remaja
dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau
dimasukkan ke sekolah agama. Sebagian orang menganggap remaja yang nakal
kurang disiplin sehingga diberi latihan kemiliteran.
Social disorganization: kaum positivis pada umumnya lebih mengutamakan faktor
budaya. Penyebab kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya
pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni
dalam masyarakat. Orang tua yang sibuk dan guru yang kelebihan beban merupakan
penyebab dari berkurangnya fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata kontrol.
2) Strain: intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya
kemiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih jalan
rellibion melakukan kejahatan melakukan kejahatan atau kenakalan remaja.
3) Differential association: menirut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah
pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga.
Paham ini banyak dianut orang tua di Indonesia, yang sering kali melarang anak-
anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rajin belajar.
4) Labelling: ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau
dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia, banyak orangtua (khususnya ibu-ibu) yang
ingin berbasa-basi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul di ruang tamu,
ia mengatakan pada tamunya, “ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja
yang tinggi, tetapi nakalnya bukan main”. Kalau terlalu sering anak diberi label
seperti itu, maka ia akan jadi betul- betul nakal.
Male phenomenom: teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada
perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki atau karena
budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.
Willis (2012: 93) mengatakan adanya perilaku menyimpang terjadi karena faktor
dari dalam diri sendiri, dimana faktor-faktor tersebut yaitu:
 Predisposing factor
Merupakan faktor bawaan sejak lahir yang yang bersumber dari kelainan
otak. Hal ini dapat terjadi akibat luka di kepala ketika bayi ditarik dari perut sang
ibu.
 Lemahnya pertahanan diri
Merupakan faktor kontrol dan pertahanan diri terhadap pengaruh-
pengaruh negatif. Anak yang kurang memiliki pertahanan diri akan mudah
terpengaruh ajakan temannya yang kurang baik.
 Kurangnya kemampuan penyesuaian diri
Keadaan ini amat sangat terasa dalam pergaulan anak. Anak yang
mengalami hal demikian disebut dengan anak kuper atau kurang pergaulan. Inti
persoalannya adalah ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosial.
 Kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri anak
Masalah agama belum diupayakan secara sungguhsungguh dari orang tua
dan guru. Padahal agama merupakan benteng diri remaja dari segala godaan dan
cobaan.

Menurut Taufiq Rohman D., dkk (2006: 102), ada beberapa faktor penyebab terjadinya
perilaku menyimpang antara lain sebagai berikut:

- Sikap mental yang tidak sehat


Perilaku menyimpang dapat pula disebabkan karena sikap mental yang
tidak sehat. Sikap itu ditunjukkan dengan tidak merasa bersalah atau
menyesal atas perbuatannya, bahkan merasa senang.
Mental yang tidak sehat akan berdampak pada sikap yang dilakukan oleh
seseorang. Sikap tersebut biasanya muncul tidak sesuai dengan kondisi yang
sedang terjadi.
- Ketidakharmonisan dalam keluarga
Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga dapat menjadi penyebab
terjadinya perilaku menyimpang. Keadaan keluarga yang penuh dengan
masalah akan menjadikan seorang anak merasa tertekan.

Salah satu ketidakharmonisan dalam keluarga yaitu sering terjadinya pertengkaran orang
tua. Pertengkaran orang tua dapat membuat anak tertekan dan takut. Efek yang ditimbulkan dari
pertengkaran orang tua yakni dapat membuat anak melakukan tindakan-tindakan yang
semestinya tidak dilakukan.

- Pelampiasan rasa kecewa


Seseorang yang mengalami kekecewaan apabila tidak mengalihkannya ke
hal positif, maka ia akan berusaha mencari pelarian untuk memuaskan rasa
kecewanya.
Seorang anak dapat dengan mudah merasakan kecewa, akan tetapi tidak
mudah untuk seorang anak mengontrol rasa kecewanya. Sehingga
pelampiasan rasa kekecewaan seorang anak biasanya ke dalam hal-hal yang
kurang baik seperti mengamuk, memaki, dan lain sebagainya.
- Dorongan kebutuhan ekonomi
Perilaku menyimpang juga terjadi karena dorongan kebutuhan ekonomi.
Perilaku menyimpang terjadi di kalangan keluarga yang memiliki tingkat
perekonomian tergolong rendah.
Seorang anak biasanya tidak mau tahu bagaimana kondisi keluarganya.
Terkadang anak ingin memiliki barang-barang yang sama dengan yang telah
dimiliki temannya. Akan tetapi orang tua anak tersebut tidak dapat memenuhi
seperti apa yang dimiliki temannya. Kemungkinan negatif yang dapat terjadi
dari dorongan ekonomi seperti ini yaitu perbuatan mencuri atau merampok.
- Ketidaksanggupan menyerap norma
Ketidaksanggupan menyerap norma ke dalam kepribadian 23 seseorang
diakibatkan karena anak menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna,
sehingga tidak sanggup menjalankan peranannya sesuai dengan perilaku yang
diharapkan. Seorang siswa tidak jarang menunjukkan tingkah laku yang
bertentangan dengan aturan atau norma yang berlaku. Anak yang
menunjukkan tingkah laku yang menyimpang dari aturan biasanya mendapat
cibiran dari temannya.
- Adanya ikatan sosial yang berlain-lainan
Seorang anak cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok
yang paling dihargai, dan akan lebih senang bergaul dengan kelompok itu
daripada dengan kelompok lainnya. Dengan pengelompokkan tersebut
individu akan memperoleh polapola sikap dan perilaku kelompoknya. Jika
kelompok yang digauli memiliki pola perilaku yang menyimpang,
kemungkinan besar individu tersebut akan berperilaku menyimpang.
- Keluarga broken home
Dilihat dari keluarga seperti ini tentunya aktivitas, pengawasan, dan
perhatian orang tua sangat kurang sehingga tak heran di era globalisasi saat
ini banyak tindakan-tindakan yang dilakukan anak di luar batas normal.
Seorang anak yang memiliki keluarga tidak utuh merasa kurang mendapat
perhatian yang sempurna. Anak akan terus mencari perhatian dari orang
tuanya dengan berbagai cara. Seringkali anak menunjukkan tindakan yang
tidak semestinya dilakukan oleh seorang anak hanya untuk mendapat
perhatian dari orang tuanya.
- Orang tua bekerja di luar negeri
Kurang perhatian orang tua yang bekerja di luar negeri semakin
menambah beban mental anak terutama rasa sayang yang kurang dari orang
tuanya. Sering kita jumpai anak-anak tinggal dan 24 dititipkan bersama
nenek, kakak, atau sanak saudara lain sehingga aktivitas mereka kurang
terawasi secara maksimal.
Orang tua yang bekerja di luar negeri terkadang hanya memikirkan untuk
memenuhi kebutuhan anak secara maksimal. Padahal anak tidak hanya
membutuhkan moril saja, akan tetapi juga membutuhkan pengawasan
langsung dari orang tua. Anak akan lebih terarah jika di bawah pengawasan
orang tuanya sendiri.
- Kegagalan dalam proses sosialisasi di sekolah
Proses sosialisasi dianggap tidak berhasil jika anak tidak berhasil bergaul
dengan teman sebayanya di sekolah. Guru adalah orang tua pengganti di
sekolah, sehingga guru memegang peranan dalam adaptasi anak di sekolah.
Menurut Kartini Kartono (2011: 21) kejahatan anak yang merupakan
gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat
dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai sebab-
musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi- kausal. Terdapat penggolongan
gejala penyimpangan anak menurut beberapa teori sebagai berikut:
1) Teori biologis
Tingkah laku sosiopatik atau delinquen pada anakanak dan remaja
dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah
seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir.
Kejadian ini berlangsung:
Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau
melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak
adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan
penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delinkuen
secara potensial.
Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa
(abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delinkuen.
Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah
tertentu yang menimbulkan tingkah laku delinkuen atau
sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan
brachydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidius
(sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat
kriminal serta penyakit mental.
2) Teori psikogenis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-
anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor
intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,
rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang
kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain.
3) Teori sosiogenesis
Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku delinkuen pada
anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial- psikologis
sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang
deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh
internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan
sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur
lembaga- lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah
masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial,
dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.
4) Teori subkultur delinkuensi
Tiga teori yang terdahulu (biologis, psikogenesis dan sosiologis)
sangat populer sampai tahun-tahun 50-an. Sejak 1950 ke atas banyak
terdapat perhatian pada aktivitas-aktivitas gang yang terorganisir
dengan subkultursubkulturnya. Adapun sebabnya sebagai berikut:
 Bertambahnya dengan cepat jumlah kejahatan, dan meningkatnya kualitas
kekerasan serta kekejaman yang dilakukan oleh anak-anak remaja yang memiliki
subkultur delinkuen.
 Meningkatnya jumlah kriminalitas mengakibatkan sangat besarnya kerugian dan
kerusakan secara universal, terutama terdapat di negara-negara industri yang
sudah maju disebabkan oleh meluasnya kejahatankejahatan anak remaja.

Dari faktor-faktor penyebab perilaku menyimpang yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa perilaku menyimpang muncul disebabkan karena berbagai faktor dimana faktor internal
lebih berpengaruh terhadap perilaku menyimpang. Faktor internal yang dimaksud disini tidak
hanya yang berasal dari dalam diri sendiri melainkan juga dampak dari lingkungan keluarga.
Akibat dari ketidakharmonisan hubungan anak dengan orang tua menimbulkan dorongan-
dorongan dalam diri anak yang dilampiaskan dalam hal yang negatif. Sehingga anak kurang
dapat mengontrol diri di dalam hubungan sosial. Didukung dengan penilaian lingkungan sekitar
yang kurang baik mengakibatkan anak semakin meluapkan rasa kesalnya dalam perilaku yang
tidak sesuai dengan aturan yang ada.

d. Strategi Penanganan Perilaku Menyimpang


Berger (Taufiq Rohman D., dkk 2006: 109) menyatakan pengendalian sosial
adalah cara yang digunakan untuk menertibkan 27 anggota masyarakat yang
membangkang. Sedangkan menurut Roucek, pengendalian sosial adalah proses terencana
maupun tidak tempat individu diajarkan, dibujuk, ataupun dipaksa untuk menyesuaikan
diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
Untuk menanggulangi kenakalan pada anak memang tidak mudah. Kenakalan
pda anak memang sangat kompleks dan banyak sekali ragam dan penyebabnya. Menurut
Willis (2012: 127) terdapat 3 upaya dalam penanggulangan kenakalan, yaitu:
a) Upaya Preventif
Upaya ini merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis, berencana dan
terarah. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar kenakalan itu tidak timbul.
b) Upaya Kuratif
Upaya kuratif dalam menanggulangi masalah kenakalan anak ialah upaya
antisipasi terhadap gejala-gejala kenakalan tersebut, supaya kenakalan tersebut tidak
meluas dan merugikan masyarakat. Apabila seorang anak melakukan tindak kejahatan,
maka kemungkinan tindakan negara yaitu sebagai berikut:
- Anak itu dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
- Anak itu dijadikan anak negara.
- Dijatuhi hukuman seperti biasa, hanya dikurangi dengan sepertiganya.
c) Upaya Pembinaan
Mengenai upaya pembinaan yang dimaksud ialah:
- Pembinaan terhadap anak yang tidak melakukan kenakalan, dilaksanakan di
rumah, sekolah, dan masyarakat. Pembinaan seperti ini telah diungkapkan
pada upaya preventif yaitu upaya menjaga jangan sampai terjadi kenakalan
remaja.
- Pembinaan terhadap remaja yang telah mengalami tingkah laku 28 kenakalan
atau yang telah menjalani suatu hukuman karena kenakalannya. Hal ini perlu
dibina agar supaya mereka tidak mengulangi lagi kenakalannya. Pembinaan
dapat diarahkan dalam beberapa aspek, yaitu:
1) Pembinaan mental dan kepribadian beragama.
2) Pembinaan mental ideologi negara yakni Pancsila, agar menjadi
warga negara yang baik.
3) Pembinaan kepribadian yang wajar untuk mencapai pribadi yang
stabil dan sehat.
4) Pembinaan ilmu pengetahuan.
5) Pembinaan keterampilan khusus.
6) Pengembangan bakat-bakat khusus.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Taufiq RD., dkk (2006: 112) berpendapat bahwa
pengendalian sosial dapat bersifat preventif, represif, gabungan, persuatif serta koersif. Berikut
uraiannya:

1. Pengendalian Preventif
Pengendalian yang bersifat pencegahan. Dilakukan untuk memperingatkan hal-hal
yang mungkin akan membahayakan. Langkah yang ditempuh dengan memberikan
nasehat atau memperingatkan akan kemungkinan bahaya.
2. Pengendalian Represif
Pengendalian yang bersifat denda atau sangsi. Seseorang yang melanggar akan
dikenai hukuman dan harus menjalani hukuman tersebut sebagai bagian dari kesalahan
yang telah dilakukannya.
3. Pengendalian Gabungan
Penggabungan diantara pengendalian preventif dan represif. Dimaksudkan dengan
memberikan nasehat atau aturan akan dapat terhindar dari kesalahan atau penyimpangan
agar tidak merugikan semua pihak.
4. Pengendalian Persuasif Dilakukan dengan pendekatan secara tidak memaksa,
memberitahukan melalui ucapan atau perkataan dengan memberikan aturan atau norma
yang berlaku.
5. Pengendalian Koersif
Pengendalian yang dilakukan bersifat memaksa. Dilakukan jika langkah preventif,
persuasif dan sebagainya tidak menimbulkan efek jera.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengendalian perilaku
menyimpang terhadap anak dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Usaha yang
dilakukan tidak hanya diupayakan oleh salah satu pihak saja, melainkan dibarengi
dengan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak lain seperti sekolah dan masyarakat

2.5 Masalah Anak Usia Sekolah


Masalah–masalah yang sering terjadi pada anak usia ini meliputi bahaya fisik dan
psikologi antara lain:

1. Bahaya fisik
a. Penyakit
Penyakit infeksi pada usia ini jarang sekali terjadi, penyakit yang sering ditemui
adalah penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri anak.
b. Kegemukan
Kegemukan terjadi bukan karena adanya perubahan pada kelenjar tapi akibat
banyaknya karbohidrat yang dikonsumsi sehingga anak kesulitan mengikuti kegiatan
bermain, sehingga kehilangan kesempatan untuk mencapai ketrampilan yang penting
untuk keberhasilan sosial.
c. Kecelakaan
Kecelakaan terjadi akibat keinginan anak untuk bermain yang menghasilkan
ketrampilan tertentu.
d. Kecanggungan
Pada masa ini anak mulai membandingkan kemampuannya dengan teman sebaya
bila muncul perasaan tidak mampu dapat menjadi dasar untuk rendah diri.
e. Kesederhanaan
Kesederhanaan sering dilakukan oleh anak-anak pada masa apapun. Orang yang
lebih dewasa memandangnya sebagai perilaku yang kurang menarik, sehingga anak
menafsirkan sebagai penolakan yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri
pada anak.

2. Bahaya Psikologi
a. Bahaya dalam berbicara
Kesalahan dalam berbicara seperti salah ucap dan kesalahan bahasa, cacat dalam
bicara seperti gagap atau pelat, akan membuat anak menjadi sadar diri sehingga anak
hanya berbicara bila perlu saja.
b. Bahaya emosi
Anak masih menunjukkan pola-pola ekspresi emosi yang kurang menyenangkan
seperti marah yang meledak-ledak, cemburu sehingga kurang disenangi orang lain.
c. Bahaya bermain
Anak yang kurang memiliki dukungan sosial akan merasa kekurangan
kesempatan untuk mempelajari permainan dan olahraga yang penting untuk menjadi
anggota kelompok. Anak yang dilarang berkhayal karena membuang waktu atau dilarang
melakukan kegiatan kreatif dan bermain akan mengembangkan kebiasaan penurut yang
kaku.
d. Bahaya konsep diri
Anak mempunyai konsep diri yang ideal, biasanya merasa tidak puas pada diri
sendiri dan pada perlakuan orang lain. Anak cenderung berprasangka dan bersikap
diskriminatif dalam memperlakukan orang lain.
e. Bahaya moral Ada enam bahaya umumnya dikaitkan dengan perkembangan sikap moral
dan perilaku anak-anak :
1) Perkembangan kode moral berdasarkan konsep teman-teman atau berdasarkan
konsep-konsep media masa tentang benar dan salah yang tidak sesuai dengan
kode orang dewasa.
2) Tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai pengawas dalam terhadap
perilaku.
3) Disiplin yang tidak konsisten membuat anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya
dilakukan.
4) Hukuman fisik merupakan contoh agresivitas anak.
5) Menganggap dukungan teman terhadap perilaku yang salah begitu memuaskan
sehingga perilaku menjadi kebiasaan.
6) Tidak sabar terhadap perbuatan orang lain yang salah.
f. Bahaya yang menyangkut minat Tidak minat pada hal-hal yang dianggap penting oleh
teman sebaya dan mengembangkan.
g. Bahaya dalam penggolongan peran seks Ada dua bahaya yang umum dalam
penggolongan peran seks: kegagalan untuk mempelajari organ seks, dan
ketidakmampuan untuk melakukan peran seks yang disetujui.
h. Bahaya dalam perkembangan kepribadian Ada dua bahaya yang serius dalam
perkembangan kepribadian periode ini. Pertama, perkembangan konsep diri yang buruk
yang mengakibatkan penolakan diri, dan kedua, egosentrisme yang merupakan lanjutan
dari awal masa kanak-kanak. Egosentrisme merupakan hal yang serius karena
memberikan rasa penting diri yang
i. Bahaya hubungan keluarga Pertentangan dengan anggota-anggota keluarga
mengakibatkan dua hal: melemahkan ikatan keluarga dan menimbulkan kebiasaan pola
penyesuaian yang buruk, serta masalah-masalah yang dibawa keluar rumah. (Suprajitno
2004)

2.6 Konsep Anak Usia Sekolah Sehat

Pada anak usia sekolah, umumnya pada permulaan usia 6 tahun anak mulai masuk
sekolah, dengan demikian anak mulai mengenal dunia baru, anak-anak mulai berhubungan
dengan orang-orang di luar keluarganya dan mulai mengenal suasana baru di lingkungannya.
Hal-hal baru yang dialami oleh anak-anak yang sudah mulai masuk dalam usia sekolah akan
mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Anak-anak akan merasakan kegembiraan di sekolah,
rasa takut akan terlambat tiba di sekolah, menyebabkan anak-anak ini menyimpang dari
kebiasaan makan yang diberikan kepada mereka (Moehji, 2009).
Anak sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya
berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih, dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ciri-ciri anak sehat adalah tumbuh dengan baik, yang
dapat dilihat dari naiknya berat badan dan tinggi badan secara teratur dan proporsional; Tingkat
perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya; tampak aktif/gesit dan gembira; Mata bersih
dan bersinar; Nafsu makan baik; Bibir dan lidah tampak segar; Pernapasan tidak berbau; Kulit
dan rambut tampak bersih dan tidak kering; dan Mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.

Menurut (Andriyani,2012) karakteristik anak usia sekolah 9-11 tahun dijabarkan sebagai
berikut:

1. Karakteristik fisik/jasmani : anak memiliki pertumbuhan yang lambat namun teratur, BB


dan TB anak perempuan lebih besar dibandingkan anak laki-laki pada usia yang sama,
terjadi pertumbuhan tulang yang cepat, pertumbuhan gizi permanen, nafsu makan
mengalami peningkatan, dan timbul haid pada anak akhir masa usia sekolah ini.
2. Karakteristik emosi : pada masa ini anak mulai memiliki rasa ingin tahu yang kuat, suka
menambah pertemanan, dan kurang kepedulian terhadap lawan jenis.
3. Karakteristik sosial : anak mulai suka bermain dan mempererat hubungan pertemanan
dengan teman sebayanya.
4. Karakteristik intelektual : anak mulai berani menyuarakan pendapatnya, memiliki minat
besar terhadap belajar, mulai terlihat memiliki keterampilan, rasa ingin tahu yang kuat,
dan memiliki perhatian terhadap sesuatu yang singkat.

2.7 Program Pemerintah untuk anak usia sekolah

Berbagai macam masalah yang muncul pada anak usia sekolah, namun masalah yang
biasanya terjadi yaitu masalah kesehatan umum. Masalah kesehatan umum yang terjadi pada
anak usia sekolah biasanya berkaitan dengan kebersihan perorangan dan lingkungan seperti
gosok gigi yang baik dan benar, kebersihan diri, serta kebiasaan cuci tangan pakai sabun
(Permata, 2010).

Upaya pemerintah dalam meng- atasi masalah tentang kebersihan yaitu dengan
mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1193/Menkes/SK/ X/2004 tentang Visi
Promosi Kesehatan RI adalah “Perilaku Hidup Bersih Sehat 2010” atau “PHBS 2010”. PHBS
terdiri dari beberapa indikator khususnya PHBS tatanan sekolah yaitu mencuci tangan dengan air
yang mengalir dan memakai sabun, mengonsumsi jajanan di warung/ kantin sekolah,
menggunakan jamban yang bersih & sehat, olahraga yang teratur dan terukur, memberantas
jentik nyamuk, tidak merokok, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan,
dan membuang sampah pada tempatnya (Depkes, 2005). Salah satu wadah untuk
mengembangkan promosi PHBS anak usia sekolah adalah layanan Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS). Kegiatan UKS di tinjau dari segi sarana dan prasarana, pengetahuan, sikap peserta didik
di bidang kesehatan, warung sekolah, makanan sehari- hari/gizi.

Departemen Kesehatan (2008) menjelaskan tujuan umum dari UKS adalah meningkatkan
mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat serta derajat kesehatan peserta didik maupun warga belajar, dan menciptakan
lingkungan sehat, sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan
optimal dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

Keberhasilan pelaksanaan program kerja UKS tergantung dari keberhasilan masing-


masing program kerja UKS. Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), program kerja UKS
meliputi tiga unsur yaitu pendidikan kesehatan di sekolah, pelayanan kesehatan di sekolah dan
pembinaan lingkungan sekolah yang sehat yang terwujud dalam Trias UKS. Terciptanya kondisi
lingkungan yang mendukung terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar tersebut diharapkan
dapat berdampak terhadap meningkatnya presatasi belajar yang akan dicapai oleh siswa.

2.8 Tinjauan Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Data Komunitas
- Demografi : Jumlah anak usia sekolah keseluruhan, jumlah anak usia sekolah
menurut jenis kelamin, golongan umur.
- Etnis : suku bangsa, budaya, tipe keluarga.
- Nilai, kepercayaan dan agama : nilai dan kepercayaan yang dianut oleh anak
usia sekolah berkaitan dengan pergaulan, agama yang dianut, fasilitas ibadah
yang ada, adanya organisasi keagamaan, kegiatan-kegiatan keagamaan yang
dikerjakan oleh anak usia sekolah.
b. Data Subsystem Delapan subsitem yang dikaji sebagai berikut :
- Lingkungan Fisik
Inspeksi : Lingkungan sekolah anak usia sekolah, kebersihan lingkungan,
aktifitas anak usia sekolah di lingkungannya, data dikumpulkan dengan
winshield survey dan observasi.
Auskultasi : Mendengarkan aktifitas yang dilakukan anak usia sekolah dari
guru kelas, kader UKS, dan kepala sekolah melalui wawancara.
Angket : Adanya kebiasaan pada lingkungan anak usia sekolah yang kurang
baik bagi perkembangan anak usia sekolah.
2. Pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial
Ketersediaan pelayanan kesehatan khusus anak usia sekolah, bentuk pelayanan
kesehatan bila ada, apakah terdapat pelayanan konseling bagi anak usia sekolah melalui
wawancara.
3. Ekonomi Jumlah pendapatan orang tua siswa, jenis pekerjaan orang tua siswa, jumlah
uang jajan para siswa melalui wawancara dan melihat data di staff tata usaha sekolah.
4. Keamanan dan transportasi.
 Keamanan : adanya satpam sekolah, petugas penyebarang jalan.
 Transportasi Jenis transportasi yang dapat digunakan anak usia sekolah, adanya
bis sekolah untuk layanan antar jemput siswa
5. Politik dan pemerintahan
Kebijakan pemerintah tentang anak usia sekolah, dan tata tertib sekolah yang
harus dipatuhi seluruh siswa.
6. Komunikasi
 Komunikasi formal Media komunikasi yang digunakan oleh anak usia sekolah
untuk memperoleh informasi pengetahuan tentang kesehatan melalui buku dan
sosialisasi dari pendidik.
 Komunikasi informal Komunikasi/diskusi yang dilakukan anak usia sekolah
dengan guru dan orang tua, peran guru dan orang tua dalam menyelesaikan dan
mencegah masalah anak sekolah, keterlibatan guru dan orang tua dan lingkungan
dalam menyelesaikan masalah anak usia sekolah.
7. Pendidikan Terdapat pembelajaran tentang kesehatan, jenis kurikulum yang digunakan
sekolah, dan tingkat pendidikan tenaga pengajar di sekolah.
8. Rekreasi
Tempat rekreasi yang digunakan anak usia sekolah, tempat sarana penyaluran
bakat anak usia sekolah seperti olahraga dan seni, pemanfaatannya, kapan waktu
penggunaan
c. Pengkajian yang berhubungan dengan anak usia sekolah
1. Identitas anak.
2. Riwayat kehamilan dan persalinan.
3. Riwayat kesehatan bayi sampai saat ini.
4. Kebiasaan saat ini (pola perilaku dan kegiatan sehari-hari).
5. Pertumbuhan dan perkembangannya saat ini (termasuk kemampuan yang
telah dicapai).
6. Pemeriksaan fisik.
7. Lengkapi dengan pengkajian fokus
 Bagaimana karakteristik teman bermain.
 Bagaimana lingkungan bermain.
 Berapa lama anak menghabiskan waktunya disekolah.
 Bagaimana stimulasi terhadap tumbuh kembang anak dan adakah
sarana yang dimilikinya.
 Bagaimana temperamen anak saat ini.
 Bagaiman pola anak jika menginginkan sesuatu barang.
 Bagaimana pola orang tua menghadapi permintaan anak.
 Bagaimana prestasi yang dicapai anak saat ini.
 Kegiatan apa yang diikuti anak selain di sekolah.
 Sudahkah memperoleh imiunisasi ulangan selama disekolah.
 Pernahkah mendapat kecelakaan selama disekolah atau dirumah
saat bermain.
 Adakah penyakit yang muncul dan dialami anak selama masa ini.
 Adakah sumber bacaan lain selain buku sekolah dan apa jenisnya.
 Bagaimana pola anak memanfaatkan waktu luangnya.
 Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

a. Diagnosa keperawatan yang muncul terdapat dua sifat, yaitu :


1) Berhubungan dengan anak, dengan tujuan agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai usia anak.
2) Berhubungan dengan keluarga, dengan etiologi berpedoman pada lima
tugas keluarga yang bertujuan agar keluarga memahami dan memfasilitasi
perkembangan anak
b. Masalah yang dapat digunakan untuk perumusan diagnosa keperawatan yaitu :
1) Masalah aktual/risiko
 Gangguan pemenuhan nutrisi: lebih atau kurang dari kebutuhan
tubuh.
 Menarik diri dari lingkungan sosial.
 Ketidakberdayaan mengerjakan tugas sekolah.
 Mudah dan Sering marah.
 Menurunnya atau berkurangnya minat terhadap tugas sekolah
yang dibebankan.
 Berontak/menentang terhadap peraturan keluarga.
 Keengganan melakukan kewajiban agama.
 Ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal.
 Gangguan komunikasi verbal.
 Gangguan pemenuhan kebersihan diri (akibat banyak waktu yang
digunakan untuk bermain).
2) Potensial atau sejahtera
 Meningkatnya kemandirian anak.
 Peningkatan daya tahan tubuh.
 Hubungan dalam keluarga yang harmonis.
 Terpenuhinya kebutuhan anak sesuai tugas perkembangannya.
 Pemeliharaan kesehatan yang optimal
3. Rencana Asuhan Keperawatan

a) Aktual
Perubahan hubungan keluarga yang berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga merawat anak yang sakit Tujuan: Hubungan keluarga meningkat menjadi
harmonis dengan dukungan yang adekuat.
Intervensi:
 Diskusikan tentang tugas keluarga.
 Diskusikan bahaya jika hubungan keluarga tidak harmonis saat anggota keluarga
sakit.
 Kaji sumber dukungan keluarga yang ada disekitar keluarga.
 Ajarkan anggota keluarga memberikan dukungan terhadap upaya pertolongan
yang telah dilakukan.
 Ajarkan cara merawat anak dirumah.
 Rujuk ke fasilitas kesehatan yang sesuai kemampuan keluarga
b) Resiko/resiko tinggi
Resiko tinggi hubungan keluarga tidak harmonis berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga mengenal masalah yang terjadi pada anaknya. Tujuan:
ketidakharmonisan keluarga menurun.
Intervensi:
1. Diskusikan faktor penyebab ketidak harmonisan keluarga.
2. Diskusikan tentang tugas perkembangan keluarga.
3. Diskusikan tentang tugas perkembangan anak yang harus dijalani.
4. Diskusikan cara mengatasi masalah yang terjadi pada anak.
5. Diskusikan tentang alternatif mengurangi atau menyelesaikan masalah.
6. Ajarkan cara mengurangi atau menyelesaikan masalah.
7. Beri pujian bila keluarga dapat mengenali penyebab atau mampu membaut
alternatif.
c) Potensial atau sejahtera
Meningkatnya hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Tujuan:
dipertahankanya hubungan yang harmonis.
Intervensi:
1. Anjurkan untuk mempertahankan pola komunikasi terbuka pada keluarga.
2. Diskusikan cara-cara penyelesaian masalah dan beri pujian atas kemampuannya
3. Bantu keluarga mengenali kebutuhan anggota keluarga (anak usia sekolah)
4. Diskusikan cara memenuhi kebutuhan anggota keluarga tanpa menimbulkan
maslaah.

Anda mungkin juga menyukai