Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

JOURNAL READING
ORAL MEDICINE
Manifestasi Oral pada Sifilis Sekunder

Disusun oleh:
Dewi Amalia 160112180020

Piolina Wiwin Nurgalih 160112180026

Sarasti Laksmi 160112180070

Nurul Mukhliza 160112180508

Dibimbing oleh:
drg. Wahyu Hidayat., Sp PM

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi Sifilis..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi Sifilis.....................................................................................2
2.3 Klasifikasi Sifilis..........................................................................................3
2.4 Etiologi Sifilis..............................................................................................6
2.5 Gejala Klinis.................................................................................................6
2.6 Pemeriksaan Sifilis.......................................................................................9
2.7 Tata Laksana Sifilis....................................................................................11
2.8 Diagnosa Banding......................................................................................14
2.9 Patofisiologi Sifilis.....................................................................................17
2.10 Lesi Ulserasi...............................................................................................18
2.11 Stadium Sifilis............................................................................................20
2.12 Tahap Inkubasi Sifilis................................................................................21
2.13 Dental Manajemen Sifilis...........................................................................22
BAB III MANIFESTASI ORAL PADA SIFILIS SEKUNDER 23
3.1 Abstrak.......................................................................................................23
3.2 Pendahuluan...............................................................................................24
3.3 Bahan dan Metode......................................................................................26
3.4 Hasil...........................................................................................................26
3.5 Diskusi........................................................................................................29
3.6 Kesimpulan................................................................................................34
BAB IV KESIMPULAN 35
DAFTAR PUSTAKA 36

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sifilis merupakat penyakit infeksi seksual kronis yang disebabkan oleh

spirochete Treponema Pallidum. Sifilis telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat global baik sebelum era antibiotik atau sekarang.Insidensi sifilis

sebelumnya yang telah menurun secara dramatis setelah Perang Dunia Kedua

dengan diperkenalkannya antibiotik penisilin, namun meningkat secara global

dalam tiga dekade terakhir disertai dengan peningkatan kondisi immunodefisiensi

dan hubungan seks yang beresiko(Sukthankar, 2014).

Sifilis seharusnya menjadi penyakit yang ideal untuk dieliminasi karena

tidak memiliki reservoir hewan selain manusia dan biasanya dapat didiagnosis

dengan tes sederhana yang murah dan dapat disembuhkan, namun nyatanya

insidensi sifilis masih tinggi secara global terutama pada kelompok sosioekonomi

yang rendah. Sifilis dikenal sebagai "peniru ulung" karena manifestasinya dapat

hadir dalam berbagai cara dan sering menyerupai penyakit lain. Semua organ dan

sistem juga dapat terlibat dalam tahapan klinisnya. Sifilis juga dapat menimbulkan

lesi oral di semua tahap, sehingga pengetahuan tentang berbagai manifestasi

oralnya penting untuk keperluan diagnosis dan perawatan yang memadai (Keçici,

2017; Sukthankar, 2014)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sifilis

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh

mikroorganisme spirochete Treponema pallidum.Sifilis dapat ditularkan melalui

kontak seksual dengan lesi infeksi, dari ibu ke janin dalam rahim, melalui

transfusi produk darah, atau melalui luka pada kulit yang bersentuhan dengan lesi

infeksi.Manifestasi klinis sifilis dihasilkan dari respons inflamasi lokal yang

ditimbulkan oleh spirochetes yang bereplikasi dalam jaringan. Manifestasi klinis

dari penyakit ini dapat meniru banyak infeksi lain ataupun penyakit sistem

kekebalan tubuh; dengan demikian, sulit untuk membuat diagnosis dini pada

sifilis.(Keçici, 2017; Peeling et al. 2018)

2.2 Epidemiologi Sifilis

Menurut perkiraan terkini oleh WHO, sekitar 17,7 juta orang yang berusia

15-49 tahun secara global menderita sifilis pada 2012. Perkiraan prevalensi dan

insidensi sifilis juga bervariasi berdasarkan wilayah atau negara, dengan

prevalensi tertinggi di Afrika, kemudian diikuti asia tenggara, dan pasifik

baratdengan lebih dari 60% kasus baru terjadi di Negara dengan status

sosioekonomi yang rendah. (Peeling et al. 2018)

Di Amerika Serikat, dari 2005 hingga 2014, jumlah keseluruhan kasus

sifilis primer dan sekunder yang dilaporkan meningkat secara signifikan dari 8724

menjadi 19999. Peningkatan jumlah kasus sifilis yang dilaporkan terutama

2
3

disebabkan oleh peningkatan kasus di antara pria yang berhubungan seks dengan

pria. Meningkatnya insidensi sifilis dalam populasi ini juga disebabkan oleh

meningkatnya tingkat perilaku seksual berisiko, seks tanpa kondom (oral dan

anal), hubungan seks dengan banyak pasangan, atau hubungan seks di bawah

pengaruh obat-obatan, terutama metamfetamin. Infeksi HIV dan sifilis saling

konkomitan karena memiliki cara penularan yang serupa, dan infeksi salah

satunya dapat saling meningkatkan penularannya. Sekitar 50% populasi gay

dengan sifilis primer dan sekunder juga terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 10%

pada populasi laki-laki yang berhubungan seks dengan perempuan dan 3,9%

perempuan(Keçici, 2017).

Sifilis kongenital juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

utama, dengan satu juta kehamilan per tahun di seluruh dunia yang terdampak.

Insidensi sifilis kongenital mencerminkan tingkat sifilis pada wanita usia subur

yang tidak menerima perawatan prenatal atau pengobatan sifilis sebelum atau

selama kehamilan. Di Amerika Serikat, tingkat sifilis kongenital di antara bayi <1

tahun berfluktuasi antara 8 dan 12 kasus per 100.000 kelahiran hidup antara 2005

dan 2015(Keçici, 2017).

2.3 Klasifikasi Sifilis

Sifilis dapat diklasifikasikan sebagai sifilis kongenital dan dapatan

berdasarkan transmisinya.Terdapat beberapa tahapan penyakit pada

sifilisdiantaranya sifilis primer, sekunder, laten, dan tersier, tergantung pada

waktu yang berlalu setelah paparan. Sifilis kongenital ditularkan dari ibu ke bayi

di uteri(Soares et al. 2004)


4

2.3.1 Sifilis primer

Sifilis primer muncul setelah keberadaan T. pallidum, ditandai dengan chancre

yang biasanya dimulai sebagai papula tanpa rasa sakit dan berlanjut ke ulkus bulat

atau oval dengan margin terangkat dan indurated. Masa inkubasi rata-rata sebelum

kemunculan chancre adalah 21 hari. Chancres yang tidak diobati sembuh dalam 3-

6 minggu dengan bantuan respon imun lokal. Lesi biasanya terjadi pada genitalia,

tetapi pasien dapat mengembangkan chancre di tempat inokulasi lain. Chancre

mewakili infeksi lokal awal, selanjutnya jika tidak terdapat perawatan sifilis

berkembang secara sistemik dengan penyebaran spirochete yang luas (Keçici,

2017).

2.3.2 Sifilis sekunder

Sifilis sekunder dimulai dengan penyebaran treponema secara hematogen

dan limfatik dalam 3-10 minggu, diamati pada sekitar 25% individu dengan

infeksi primer yang tidak diobati. Hal ini ditandai dengan manifestasi mukokutan

dan sistemik. Gejala prodromal yang dapat menyertai diantaranya demam,

malaise, anoreksia, sakit tenggorokan, limfadenopati, penurunan berat badan,

mialgia, dan sakit kepala. Manifestasi klinis ini mencerminkan respons

imunologis yang dihasilkan dari penyebaran luas T. Pallidum (Keçici, 2017).

2.3.3 Sifilis laten

Setelah periode 3-12 minggu, sifilis sekunder yang tidak diobati biasanya

akan sembuh secara spontan dan diikuti oleh keadaan asimptomatik yang disebut

sifilis laten. Sekitar 90% kekambuhan akan terjadi dalam tahun pertama dan
5

menjadi tahap laten awal. Setelah 1 tahun, pasien memasuki tahap laten akhir dan

berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien dengan sifilis

laten akhir tidak dianggap menular ke kontak seksualnya karena mereka tidak

memiliki lesi yang dapat menularkan penyakit. Sebaliknya, pasien dengan sifilis

laten awal mungkin dapat menularkan T. pallidum ke pasangan seksual mereka

melalui lesi yang baru-baru ini aktif (Keçici, 2017).

2.3.4 Sifilis tersier

Sekitar 25-40% pasien dengan sifilis yang tidak diobati dapat mengalami

tahapan lanjut penyakit, dan gejala dapat muncul kapan saja dari 1 hingga 30

tahun setelah infeksi primer. Sifilis tersier memiliki berbagai manifestasi yang

muncul berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah infeksi awal. Keterlibatan

kulit, tulang, SSP, jantung, dan pembuluh darah utama bersifat patognomonik.

Setengah dari pasien dengan sifilis tersier mungkin hanya mengalami lesi gusi,

sedangkan sisanya dapat mengalami penyakit kardiovaskular atau manifestasi

neurologis (Keçici, 2017).

2.3.5 Sifilis kongenital

Sifilis kongenital terjadi ketika spirochete T. pallidum ditularkan dari ibu

hamil ke janinnya. Infeksi dapat menyebabkan bayi lahir mati, prematur, atau

spektrum luas manifestasi klinis, dan hanya kasus yang parah yang tampak secara

klinis saat lahir. Jika seorang anak memiliki tanda-tanda fisik, laboratorium, atau

radiografi sifilis kongenital dan lahir dari seorang ibu dengan sifilis yang tidak

diobati secara optimal, kondisi ini didefinisikan sebagai sifilis kongenital. Sifilis
6

kongenital umumnya didapat melalui transmisi transplasental spirochetes dalam

aliran darah ibu atau, kadang-kadang, melalui kontak langsung dengan lesi infeksi

saat kelahiran (Keçici, 2017).

2.4 Etiologi Sifilis

Agen yang menyebabkan sifilis yaituspirochete Treponema pallidum.

Manusia diketahui sebagai vektor.Transmisi dapat terjadi melalui oral-genital,

oral-anal, atau kontak seksual lainnya, transfusi yang berkontaminasi dengan

darah, kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi, dan transmisi

intrauterine.Ulserasi sifilis genital menunjukkan sebuah faktro risiko untuk

transmisi seksual HIV karena banyak jalur untuk partikel virus dan infeksi HIV

mungkin berdampak sumber sifilis dan respon perawatannya (Soares, et al.,

2004).

2.5 Gejala klinis

2.5.1 Sifilis Primer

Lesi awal disebut sebagai chancre, muncul satu hingga dua minggu

setelah terpapar Treponema; tahap primer terjadi di tempat inokulasi.Namun,

inkubasi dapat bertahan hingga 40 hari.Lesi biasanya erosif atau ulserasi, tunggal,

tidak nyeri, dengan infiltrasi ke dasar sering terjadi di daerah genital dan

oral.Peningkatan oral seks telah mengakibatkan peningkatan kejadian manifestasi

oral sifilis primer.Pada daerah oral, lesi mungkin bervariasi pada tampilan klinis.

Sebuah ulserasi mengeras pada dorsum lidah, disertai dengan hiperplastik papilla

foliate mungkin satu-satunya tanda-tanda klinis penyakit.Eritema, edema, dan

perdarahan petechial dengan atau adanya chrance dapat terjadi pada palatum
7

lunak.Asimetri uvula atau tonsil terlihat jelas.Lekukan ulserasi intraoral dengan

transudat berwarna kuning diserta limfadenopati regional yang tidak lunak harus

dilihat dengan kecenderungan pasien yang berisiko tertular penyakit menular

seksual (Soares, et al., 2004).

2.5.2 Sifilis Sekunder

Sifilis sekunder merupakan komponen sistemik general pada penyakit;

demikian lesi berisi spirochetes yang sangat menular.Manifestasinya terjadi 4-8

minggu setelah munculnya chancre.Secara inisial, lesi simetris, coppery-red,

dengan bintik-bintik bulat dan oval tanpa substansi yang disebut roseolar

rash.Kemudian menunjukkan ruam kulit popular dengan keterlibatan telapak

tangan dan telapak kaki, bercak pada mukosa, mikrosfadenopati umum, dan lesi

papulasquamous pada kelenjar.Gejala klinis seperti penyakit ginjal, artralgi dan

radang sendi mungkin berhubungan dengan respon imun terhadap spirochete.Lesi

ini menghilan bahkan tanpa pengobatan karena munculnya antibodi yang relatif

mengembangkan kekebalan (Soares, et al., 2004).

Berbeda dengan sifilis primer, lesi oral sekunder biasanya menyakitkan

dan multiple dapat disertai dengan kemunuculuan lesi di kulit seiring dengan

demam, migraine, sakit tenggorokan. Lesi oral terdiri dari dua jenis dasar:

kemunculan macula dan papula atau bercak mukosa, yang terakhir adalah yang

paling umum.Lesi cenderung oval atau tidak beraturan, erosi sedikit meningkat

atau ulser dangkat dengan batas kemerahan.Diatasnya terdapat eksudat membrane

yang putih keabu-abuan atau silver. Pada distal dan lateral lidah lesi cenderung

lebih ulserasi dan fissure yang ireguler (Soares, et al., 2004).


8

2.5.3 Sifilis Tersier

Sifilis tersier terjadi setelah satu tahun berevolusi pada pasien yang tidak

mendapatkan perawatan di tahap primer atau sekunder.Karakteristik kerusakan

lesi pada fase ini, gumma (pertumbuhan jaringan lunak) dapat menunjukkan

reaksi hipersensitif kronis terhadap kehadiran spirochete.Manifstasi klinis dapat

terlihat setelah variabel laten dan lebih sering terjadi pada kulit, kardiovaskuler,

dan bentuk nervus (Soares, et al., 2004).

Secara intraoral, gumma terlihat pada palatum keras, sebagai lesi kronik,

progresif lesi granulomatosa yang perforasi melewati tulang palatal menuju

septum nasal.Lidah tampak atrofi, pecag-pecah atau berlobus dan plak leukoplakia

biasanya terdapat di bagian dorsal. Follow up setiap 3-6 bulan dan biopsi

direkomendasikan karena literatur mengaitkan kemungkinan transformasu

malignant pada lesi. Hal ini perlu diketahui karena sifilis tersier bukan infeksi

(Soares, et al., 2004).

2.5.4 Kongenital Sifilis

Kongenital sifilis ditransmisikan dalam rahim dari ibu yang terinfeksi ke

fetus setelah 16 minggu kehamilan karena adasel Langerhans di plasenta yang

mencegah transmisi spirochete sampai minggu 16.Dengan perkembangan fetal,

terdapat reduksi pada sel-sel tersebut untuk memfasilitasi bagian

spirochete.Kontaminasi fetal dapat menyebabkan kegagalan kelahiran,

berdasarkan tingkat keparahan dan perluasan (Soares, et al., 2004).

Manifestasi sistemik dari sifilis congenital didapat pada trimester kedua

kehamilan termasuk perubahan ektodermik, ruam mukokutan, osteochondritis,


9

periostitis, dan rhinitis.Infeksi dapat merusak vomer, menghasilkan perkembangan

celah hidung. Manifestasi sifilis kongenital akhir diakui oleh trias Hutchinson: (1)

keratitis interstitial kornea, (2) ketulian saraf delapan, (3) kelainan gigi. Kelainan

gigi mungkin disebabkan oleh infeksi spirochete pada enamel, menyebabkan

Hutchinson’s teeth dan Mulberry pada molar.Temuan intra-oral lainnya termasuk

atrofi lidah, palatal cleft dan rhagades perioral (celah) (Soares, et al., 2004).

2.6 Pemeriksaan Sifilis

2.6.1 Diagnosis dekat pasien

Dark field microscopy mengidentifikasi treponema berdasarkan bentuk

karakteristiknya pergerakan menggunakan iluminasi dan lensa mikroskop

khusus.Pemeriksaan ini membutuhkan membutuhkan keterampilan yang cukup

besar dan memakan waktu untuk mengambil sampel.

Point of care test.Beberapa tes serologi point of care berdasarkan

pengambilan finger prick digunakan secara klinis. Namun tes ini tidak dapat

digunakan untuk membedakan sifilis yang harus diobati atau tidak diobati

(Sukthankar, 2014)

Direct fluorescent microscopy.Tes ini langsung dapat dilakukan jika

fasilitas yang sesuai tersedia.

2.6.2 Polymerase chain reaction (PCR)

Sebuah tes PCR untuk T. pallidum sekarang tersedia di berbagai

laboratorium dan swab dari ulser atau lesi erosi yang moist dapat diuji

(Sukthankar, 2014).
10

2.6.3 Serologi

Ada dua tipe tes ini:

1. Tes antibodi terponemal spesifik:

 Treponemal enzyme immunoassay (EIA) menggunakan variasi

antigen. Immunoglobin M EIA spesifik juga tersedia

 Fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) test

ditawarkan hanya oleh beberapa laboratorium rujukan saat ini

karena tes negatif yang salah merupakan sebuah masalah. Tes IgM

spesifik dapat dilakukan untuk mendiagnosis dini infeksi.

 T. pallidum haemaggultination (TPHA) test atau T. pallidum

particle agglutination (TPPA test).

2. Cardiolipin-based (reaginic) test- veneral diseases research laboratory

(VDRL) test dan rapid plasma regain (RPR) test.

Tes antibodi IgM merupakan antibodi yang pertama menjadi positif

setelah dua minggu setelah infeksi, diikuti cepat dengan tes reaginic dan

spesifik lainnya.Respon IgM biasanya berkurang dalam waktu 2 tahun

tetapi tes EIA dan TPPA/TPHA tetap positif selama sisa hidup pasien.

Titer VDRL atau RPR meningkat dengan cepat pada infeksi awal menjadi

lebih dari 1 pada 16, namun titer secara bertahap turun setelah dua tahun

menjadi kurang dari 1 dalam 8 dan kadang-kadang negatif bahkan tanpa

pengobatan (Sukthankar, 2014).

Titer VDRL/RPR digunakan untuk memantau respon terhadap

pengobatan dan penurunan titer yang cepat empat kali lipat menunjukkan
11

penyembuhan yang diperkirakan pada awal sifilis.Pengurangan titer

seperti itu mungkin tidak terlihat setelah pengobatan sifilis terlambat

(Sukthankar, 2014).

Diagnosis yang cepat sangat penting untuk pengelolaan infeksi

menular seksual apapun untuk mencegah penularan lebih lanjut.Sifilis

dapat didiagnosis secara cepat menggunakan dark-field

microscope.Eksudat dari ulser genital (tapi bukan dari ulser dalam kavitas

oral), lesi condylomata lata atau aspirasi dari kelenjar getah bening dapat

digunakan.Jika tes awalnya negatif, tes mikroskop harus diulang dan

serologi diylang 6-12 minggu kemudian. Tes point of care digunakan di

masa depan dalam program komunitas untuk mengendalikan wabah

(Sukthankar, 2014).

2.7 Tatalaksana sifilis

Sifilis sekunder berkembang beberapa minggu hingga beberapa bulan

setelah chancre muncul. Kulit paling sering terkena. Pasien dapat datang dengan

lesi pustular makula, makulopapular, atau bahkan rata-rata, dimulai pada trunkus

dan ekstremitas proksimal. Ruam sifilis sekunder dapat melibatkan semua

permukaan kulit, termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Kondiloma latum juga

dikaitkan dengan sifilis sekunder. Terlibat terutama pada area yang hangat dan

lembab seperti theperineum dan kulit perianal, plak yang lembut dan berwarna ini

tidak menimbulkan rasa sakit tetapi sangat infeksius.(Brown and Frank 2003)

Organ dan sistem lain yang dapat terkena sifilis sekunder meliputi sistem

ginjal (glomerulonefritis, sindrom nefrotik), hati (hepatitis), CNS (sakit kepala,


12

meningitis, neuropati kranial, iritis, anduveitis), dan sistem muskuloskeletal

(arthritis),osteitis,periostitis). Pasien juga mungkin memiliki gejala konstitusional

seperti demam, malaise, limfadenopati umum, artralgia, dan penurunan berat

badan.(Brown and Frank 2003)

Diagnosis sifilis sekunder ditegaskan dengan tes khusus non-treponemal

dan treponemal. Pengobatan menggunakan antibiotik yang sama yang digunakan

untuk sifilis primer. Tindak lanjut sama dengan yang dilakukan pada sifilis primer

yaitu Penicillin G benzathine, 2.4 million units IM satu kali seminggu untuk tiga

minggu (tiga dosis), kemudian di follow up dalam enam bulan mengulangi

pemeriksaan klinis dan tes nontreponemal.(Brown and Frank 2003)

Berikut ditampilkan tabel urutan penyakit sifilis beserta manifestasi

klinis, dan perawatan yang diberikan.(Brown and Frank 2003)

Table. Stage of Syphilitic Lesion


Stage Clinical Diagnosis Treatment
Manifestation (sensitivity)
Primary syphilis Chancre Dark field Penicillin G
microscopy of benzathine, 2.4
skin lesion million units IM
(80%) (single dose)
Nontreponemal Alternatives in
tests (78% to nonpregnant
86%) patients with
Treponemal- penicillin
specific tests allergy:
(76% to 84% doxycycline
(Vibramycin),
100 mg orally
twice daily for 2
weeks;
tetracycline, 500
mg orally four
times daily for 2
weeks;
13

ceftriaxone
(Rocephin), 1 g
once daily IM or
IV for 8 to 10
days; or
azithromycin
(Zithromax), 2 g
orally (single
dose)

Secondary Skin and mucous Dark field Same treatments


syphilis membranes: diffuse micrascopy of as for primary
rash, condyloma skin lesion syphilis
latum, other lesions (80%)
Renal system: Nontreponemal
glomerulonephritis, tests (100%)
nephrotic Treponemal-
syndrome spesific tests
Liver: hepatitis (100%)
Central nervous
system: headache,
meningismus,
cranial neuropathy,
iritis and uveitis
Constitutional
symptoms: fever,
malaise,
generalized
lymphadenopathy,
arthralgias, weight
loss, others

Latent syphilis None Nontreponemal Early latent


tests (95% to syphilis: same
100%) treatments as for
Treponemal- primary and
specific tests secondary
(97% to 100%) syphilis
Late latent
syphilis:
penicillin G
benzathine, 2.4
14

million units IM
once weekly for
3 weeks
Alternatives in
nonpregnant
patients with
penicillin
allergy:
doxycycline,
100 mg orally
twice daily for 4
weeks; or
tetracycline, 500
mg orally for
times daily for 4
weeks

Tertiary (late) Gummatous disease, Nontreponemal Same treatment


syphilis cardiovascular tests (71% to as for late latent
disease 73%) syphilis
Treponemal-
specific tests
(94% to 96%)
Neurosyphilis Seizures, ataxia, Cerebrospinal Aqueous
aphasia, paresis, fluid crystalline
hyperreflexia, examination penicillin G, 3 to
personality 4 million units
changes, cognitive IV every 4 hours
disturbance, visual for 10 to 14
changes, hearing days; or
loss, neuropathy, penicillin g
loss of bowel or procaine, 2.4
bladder function, million units IM
others once daily, plus
probenecid, 500
mg orally four
times daily, with
both drugs given
for 10 to 14 days

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosa banding dari secondary syphilis adalah(Kang 2015)

a. HIV
15

Temuan : penyakit akut datang dengan demam, limfadenopati, ruam,

kelelahan, dan mialgia. AIDS secara klasik hadir dengan penurunan berat

badan, keringat malam, kelelahan, diare, luka mukosa, batuk, dan defisit

kognitif dan neurologis.

b. Pityriasis rosea

Temuan: ruam merah muda dan berbentuk oval bersisik diikuti oleh

kelompok ruam yang lebih kecil dan lebih banyak jumlahnya. Dapat

disertai dengan sakit kepala, demam, mual, dan kelelahan.

c. Viral exanthem

Temuan: seperti campak, gondong, cacar air, cytomegalovirus, virus

coxsackie, rubella. Temuan mungkin termasuk demam, ruam, dan gejala

konstitusional.

d. Scarlet fever

Gejala yang muncul termasuk demam, macula merah punctate pada

palatum keras dan lunak serta uvula (bintik-bintik Forchheimer), lidah

merah cerah dengan penampilan "strawberry", sakit tenggorokan dan sakit

kepala serta limfadenopati.

e. Insect bite

Reaksi kulit segera sering mengakibatkan ruam dan pembengkakan di

daerah yang terluka, seringkali dengan pembentukan vesikel.

f. Mononucleosis

Gejala umum termasuk demam ringan tanpa kedinginan, sakit

tenggorokan, bercak putih pada amandel dan punggung tenggorokan,


16

kelemahan otot dan kadang-kadang kelelahan ekstrem, limfadenopati

lunak, perdarahan petekie, dan ruam kulit.

g. Rocky mountain spotted fever

Gejala mungkin termasuk ruam makulopapular, ruam petekie, nyeri perut

dan nyeri sendi

h. Rickettsialpox

Gejala yang tumpang tindih dengan sifilis sekunder mungkin termasuk

penyakit seperti flu termasuk demam, menggigil, lemas dan nyeri otot,

tetapi gejala yang paling khas adalah ruam yang pecah, merentang ke

seluruh tubuh orang tersebut.

i. Kawasaki disease

Umumnya muncul dengan demam tinggi dan menetap, selaput lendir

merah di mulut, "lidah stroberi", pembengkakan kelenjar getah bening dan

ruam kulit pada penyakit awal, dengan mengelupas kulit tangan, kaki, dan

area genital.

j. Yaws

Infeksi tropis pada kulit, tulang, dan persendian yang disebabkan oleh

bakteri spirochete, Treponema pertenue

k. Stevens-Johnson syndrome

Gejala mungkin termasuk demam, sakit tenggorokan dan kelelahan.

Umumnya timbul borok dan lesi lain di selaput lendir, hampir selalu di

mulut dan bibir tetapi juga di daerah genital dan anal.


17

2.9 Patofisiologi sifilis

Treponema adalah organisme yang sangat kecil yang tidak terlihat pada

mikroskop cahaya. Dengan demikian, itu diidentifikasi oleh gerakan spiral yang

berbeda pada mikroskop darkfield. Di luar tubuh, ia tidak bertahan lama (Tudor,

2019).

Presentasi sifilis primer klasik adalah chancre genital non-tender soliter

dalam menanggapi invasi oleh T. pallidum. Namun, pasien dapat memiliki

beberapa chancres non-genital, seperti digit, puting, amandel, mukosa mulut. Lesi

ini dapat terjadi di tempat kontak langsung dengan lesi yang terinfeksi dan disertai

oleh limfadenopati yang lunak atau tidak lunak. Bahkan tanpa pengobatan, lesi

primer ini akan hilang tanpa jaringan parut. Jika tidak diobati, sifilis primer dapat

berkembang menjadi sifilis sekunder, yang memiliki banyak temuan klinis dan

histopatologis(Tudor, 2019).

Manifestasi klinis sifilis sekunder terjadi akibat penyebaran infeksi

secara hematogen dan bersifat protean: kondiloma lata (erupsi papulosquamous),

lesi tangan dan kaki, ruam makula, limfadenopati difus, sakit kepala, mialgia,

artralgia, faringitis, hepatosplenomegali, alopecia, dan malaise. Akibatnya, sifilis

dinamai peniru ulungm (Tudor, 2019).

Kedua lesi primer dan sekunder sembuh tanpa pengobatan, dan pasien

memasuki fase awal atau laten di mana tidak ada manifestasi klinis. Infeksi hanya

dapat dideteksi pada tahap ini dengan tes serologis. Beberapa pasien dalam tahap

ini akan berkembang ke tahap tersier yang ditandai oleh sifilis kardiovaskular,

neurosifilis, dan sifilis jinak (Tudor, 2019).


18

Masa inkubasinya sekitar 20-90 hari. Organisme memang menyerang

SSP lebih awal tetapi gejalanya muncul terlambat(Tudor, 2019).

2.10 Lesi Ulserasi

Lesi ulserasi oral adalah salah satu keluhan yang paling sering terjadi pada

mukosa mulut. Lesi ulserasi pada mukosa oral sering disebabkan karena trauma

fisik. Penyebab yang paling umum dari lesi-lesi ini adalah faktor mekanis,

penyakit menular, neoplasma, serta penyakit autoimun dan hematologi. Ciri klinis

utama dari semua kondisi ini adalah adanya ulser yang didefinisikan sebagai

hilangnya semua lapisan epitel, dan adanya erosi yang didefinisikan hilangnya

permukaan epitel.

Istilah erosi digunakan untuk kerusakan pada permukaan epitel. Erosi

memiliki tampilan berwarna merah karena ada sedikit kerusakan pada dasar

lamina propria. Jika kerusakan sampai ketebalan penuh dari epitel, secara khusus

kerusakan tersebut akan tertutup oleh eksudat fibrinous dan kemudian akan

memiliki tampilan kekuningan.

Istilah ulser digunakan pada kerusakan yang terjadi pada epitel dan lamina

propria. Ulser memiliki bentuk seperti kawah, adakalanya secara klinis dibuat

lebih jelas oleh adanya edema atau proliferasi yang menyebabkan pembengkakan

jaringan di sekitarnya. Halo inflamasi, jika ada, juga menandakan kalau itu ulser,

berwarna dasar kuning atau abu-abu dan dikeliliingi warna merah.


19

Gambar 2. 1. A) Ulser; B) Erosi

Ulser Aftosa Rekuren memiliki tiga variasi gambaran klinis yaitu minor,

mayor dan herpetiform ulser. Aftosa minor adalah bentuk yang paling umum,

ukuranya kecil dengan diameter 3-6 mm, sakit, ditutupi oleh membran putih

kekuningan dan dikelilingi oleh lingkaran merah tipis. Lesi mungkin tunggal atau

ganda (dua sampai enam), dan dapat sembuh tanpa bekas luka pada 7-12 hari.

Aftosa mayor ditandai dengan adanya ulser yang dalam dan sakit, diameter 1-2

cm, yang bertahan selama 3-6 minggu dan dapat menyebabkan bekas luka. Jumlah

lesi bervariasi dari satu sampai lima. Aftosa herpetiform ditandai dengan ukuran

yang kecil, sakit, ulser dangkal, diameter 1-2 mm, dengan kecenderungan untuk

menyatu menjadi ulser besar yang tidak teratur.

Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras

dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah dan berbatas tegas. Chancre

dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, serviks, dinding vagina,

rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung kuman treponema yang

dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan

kerokan chancre (Ecclestonet al, 2008).


20

Gambar 2.2A) Ulser SAR; B) chancre

2.11 Stadium-Stadium Sifilis

1. Stadium pertama : Stadium ini ditandai gejala awal luka yang kemerahan

dan basah di daerah genital, poros usus atau mulut. Luka ini disebut

dengan chancre atau syangker, dan muncul di tempat spirochaeta masuk ke

tubuh seseorang untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah

bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah beberapa minggu,

chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang

sangat menular.

2. Stadium kedua, jika sifilis stadium pertama tidak diobati, biasanya para

penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan.

Mereka juga dapat menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut,

tenggorokan, daerah genital dan anus.


21

2.12 Tahap Inkubasi Sifilis

Masa inkubasi sifilis umumnya terdiri dari tiga tahapan. Hal tersebut

seperti dikemukakan Dayan dan Ooi (2005) terdapat tiga tahap masa inkubasi

sifilis seperti dijelaskan berikut:

a. Tahap I

Antara 9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul luka kecil, bundar dan tidak sakit

chancre tepatnya pada kulit yang terpapar atau kontak langsung dengan

penderita. Chancre tempat masuknya penyakit hampir selalu muncul di dalam

dan sekitar genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak diobati

(sampai 1 tahun berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan

menghilang tapi bakteri tetap berada di tubuh penderita.

b. Tahap II

Antara 1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit tenggorokan, sakit pada

bagian dalam mulut, nyeri otot, demam, lesu, rambut rontok dan terdapat

bintil. Beberapa bulan kemudian akan menghilang. Sejumlah orang tidak

mengalami gejala lanjutan.

c. Tahap III

Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah menimbulkan

kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul gejala:

kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan

gila.
22

Sementara menurut Eccleston, et. al. (2007) sifilis dibedakan menjadi tahap

primer, tahap sekunder, dan tahap tersier. Tahap primer merupakan tahap yang

paling infeksius.

2.13 Dental Managemen Sifilis

Bagan 2.1. Protokol diagnosa dan penatalaksanaan sifilis (Creta, 2016).


BAB III

MANIFESTASI ORAL PADA SIFILIS SEKUNDER

3.1 Abstrak

Latar Belakang: Sifilis adalah penyakit menular seksual yang

disebabkan oleh Treponema pallidum. Transmisi penyakit ini dapat melalui

hematogenik ataupun vertikal. Semua profesional kesehatan penting untuk

mengetahui manifestasi dari kondisi penyakit ini misalnya lesi oral.Tujuan:

Penelitian ini menganalisis dan membandingkan empat kasus sifilis yang

didiagnosis berdasarkan lesi di rongga mulut dengan literatur yang telah

diterbitkan.Bahan dan Metode: Empat pasien sifilis dengan konfirmasi diagnosis

secara sorologis dan klinis diperiksa, diagnosis melalui manifestasi lesi oral

bersama dengan analisis uji laboratorium serologis dan analisis

histopatologis.Hasil: Lesi ditemukan di area umum seperti bibir, lidah dan kulit.

Namun, ada juga lesi pada palatum keras, dan commissure labial, yang

kejadiaanya kurang dari 5% dari manifestasi oral sifilis.Kesimpulan: seks oral

tanpa pelindung dapat menyebabkan infeksi dan pengembangan sifilis.

Pengetahuan tentang manifestasi oral sifilis dalam semua periodenya penting bagi

para profesional kesehatan, gambaran klinis, temuan histopatologis dan tes

serologis diperlukan untuk melengkapi diagnosis dan perawatan yang benar.

Kata kunci: Sifilis oral, infeksi treponema, sifilis sekunder.

23
24

3.2 Pendahuluan

Sifilis adalah infeksi bakteri secara sistemik yang disebabkan oleh

Treponema pallidum.Diperkirakan ada lebih dari 12 juta kasus per tahun di dunia,

dimana 900 ribu berada di Brasil. Masa inkubasi sifilis biasanya 21 hingga 30 hari

setelah kontak, meskipun dapat bervariasi dari 10 hingga 90 hari, tergantung pada

jumlah, virulensi T. pallidum maupun respons inang.Infeksi paling sering ditularkan

secara seksual, tetapi juga bisa terjadi melalui jalur hematologi atau vertikal.

Tanda dan gejala sifilis berbeda-beda sesuai dengan tahapan

penyakit.Dalam banyak kasus, manifestasi oral merupakan salah satu dari gejala awal

penyakit yang dapat membimbing diagnosis dini yang benar dan sangat penting untuk

perawatan kondisi ini. Gambaran klinis sifilis sangat beragam, seperti dalam kasus

infeksi primer awal yang ditandai oleh cancrum dan lesi mukokutan sekunder dengan

infeksi akhir terdapat berbagai tanda dan gejala, seperti pada pembuluh darah, dan

sistem tegumentary, dan pada mulut, lesi yang menjadi karakteristik adalah gusi

sifilis, berupa granulomatosa yang merupakan proses inflamasi tahap sekunder.

Pasien yang terkena sifilis dapat menunjukkan adenopati bilateral non-inflamasi yang

tidak nyeri pada nodus limfa submandibular dan servikal.Bibir mewakili area

keterlibatan yang paling umum, diikuti oleh lidah dan tonsil. Karakteristik penting

lesi sifilis pada rongga mulut adalah tidak adanya gejala yang menyakitkan; karena

itu, kondisi ini harus dibedakan dari sel skuamosa karsinomayang menjadi

karakteristik adalah gusi sifilis, berupa granulomatosa yang merupakan proses

inflamasi tahap sekunder. Pasien yang terkena sifilis dapat menunjukkan adenopati
25

bilateral non-inflamasi yang tidak nyeri pada nodus limfa submandibular dan

servikal.Bibir mewakili area keterlibatan yang paling umum, diikuti oleh lidah dan

tonsil.Karakteristik penting lesi sifilis pada rongga mulut adalah tidak adanya gejala

yang menyakitkan; karena itu, kondisi ini harus dibedakan dari sel skuamosa

karsinoma, suatu neoplasma ganas yang umum dijumpai wilayah anatomi ini.

Tahapan Sifilis sekunder biasa terdpat sakit kepala, mudah keluar air mata, sekresi

hidung, faringitis, artralgia geralisata dan mialgia.Penyakit pada tahap ini, ditandai

oleh keterlibatan sistemik dan lesi makulopapular difus yang tidak nyeri yang disebut

rosette sifilis.Terkadang selain lesi kulit, kondisi sistemik ini dapat dikaitkan dengan

lesi palmoplantar yang dapat mempengaruhi beberapa area di rongga mulut.

Secara klinis di rongga mulut, manifestasi oral chancre berupa ulcer non-

spesifik yang dapat sembuh sendiri dan sebagian besar ada pada lidah, bibir, dan

komisura, yang menjadi karakteristik utama sifilis.Sifilis tahapan sekunder

berhubungan dengan penyebaran secara hematogen dari mikroorganisme dan

manifestasi klinis penyakit lebih heterogen dan tidak spesifik.Makula oval keputihan

atau kemerahan ditutupi oleh pseudomembran fibrinous atau erupsi papular dapat

diamati pada membran mukosa, yang berhubungan atau tidak dengan lesi

kulit.Mungkin juga menunjukan bentuk kondiloma latum, dengan karakteristik

berupa nodular, lesi keras atau plak mukosa yang terangkat, yang mungkin terkikis

atau mengalami ulserasi pada permukaannya. Sifilis oral dapat berkembang dan

bermanifestasi sebagai massa palatal granulomatosa nodular yang terulserasi atau


26

glositis sifilis. Tujuan dari penelitian ini adalah melaporkan empat kasus klinis sifilis

sekunder yang didiagnosis berdasarkan lesi oral.

3.3 Bahan dan metode

Empat pasien didiagnosis sifilis dari pemeriksaan lesi oral.Semua pasien

direkrut dari Layanan Oral Medicine State University of Montes Claros, Negara

Bagian Minas Gerais, Brasil.Dalam semua kasus, sifilis ditentukan berdasarkan lesi

oral, histopatologis dan uji serologis.Kriteria inklusi adalah pasien dengan tes

serologis sifilis positif yang menunjukkan manifestasi oral karena seks oral dengan

hasil tes HIV negatif.Jenis kelamin pasien tidak digunakan sebagai faktor inklusi atau

exklusi dalam penelitian ini.Analisis terhadap literatur sebelumnya mengenai

manifestasi oral sifilis dilakukan. Literatur review dan laporan kasus tentang

diagnosis sifilis yang ditunjukkan melalui lesi oral digunakan untuk membandingkan

data dengan temuan klinis pada pasien yang dianalisis dalam penelitian ini.

Semua pasien yang termasuk dalam penelitian ini dilakukan evaluasi klinis,

yang meliputi pemeriksaan secara umum dan oral.Penelitian ini mendapat persetujuan

dari Komite Etik Penelitian Manusia dari Universitas.Pernyataan persetujuan tertulis

yang ditandatangani diperoleh dari semua peserta atau wali sah mereka.

3.4 Hasil

Empat pasien berusia 17 hingga 42 tahun, dari kedua jenis kelamin,

dianalisis. Gejala umum dan gejala terisolasi ditemukan di antara mereka (Tabel 1).

Pasien diklasifikasikan sebagai 1 hingga 4 untuk pemahaman yang lebih baik dalam
27

penelitian ini. Pasien 1 dan 2 mengalami lesi bilateral pada lidah dan bibir bawah

(Gbr. 1). Pasien 3 dan 4, selain lesi oral pada bibir dan komisura labial, memiliki lesi

yang menghitam pada kulit dan telapak tangan (Gbr. 2).Pasien 2, melaporkan telah

menggunakan obat topikal sendiri, tanpa perbaikan. Pasien terkait dengan

penggunaan salep topikal berdasarkan neomycin sufate dan hydrocortisoneacetate,

untuk menyembuhkan lesi. Pasien 4 melaporkan lesi pada komisura bibir tanpa

remisi. Pada tes laboratorium pertama dan biopsi insisi, hasilnya tidak meyakinkan,

hanya memperjelas kasus ini. Setelah biopsi insisi, reaksi peradangan akut terjadi di

lokasi lesi, menyebabkan edema dan nyeri, suatu kondisi yang tidak ditemukan

sebelum prosedur pembedahan dilakukan. Ini membuat pasien merasa lebih tidak

nyaman dengan cidera. Setelah lima belas hari, ujian diulangi, mengkonfirmasikan

diagnosis klinis sifilis sekunder. Untuk semua pasien, tes laboratorium khusus untuk

sifilis seperti VDRL dan FTA ABS diminta, mengkonfirmasi positif untuk

sifilis.Semua pasien dalam penelitian ini memiliki hasil tes HIV negatif. Semua

pasien dimasukkan ke biopsi insisi pada lidah, komisura labial atau bibir, bervariasi

sesuai dengan lokasi lesi setiap pasien, dari mana pemeriksaan histopatologis

mengungkapkansel plasma, infiltrat inflamasi, adanya limfosit dan sel plasma,

endarteritis, dan menunjukkan pola perivaskular (Gambar 3). Jadi, dalam 4 kasus

sifilis sekunder yang dilaporkan, diagnosis ditegakkan berdasarkan karakteristik

klinis, laboratorium, dan mikroskopis.


28

Gambar 3.1 (Tampilan klinis sifilis sekunder). Pola yang berbeda dari tampilan klinis sifilis
sekunder. (A) Lesi putih keabu-abuan pada batas lateral lidah kanan. (B) Ulkus sirkular dan berbatas
tegas pada mukosa labial bawah asimptomatik (C) Lesi ulserasi dengan batas fibrinosa pada
komisurabibir. (D)Mukus yang hadir di lidah (kiri) menyebabkan peningkatan volumedan remodeling
pada relief superficial lidah

Tabel 3.1 Tampilan klinis pasien dengan Syphilis sekunder.


Pasien Usia Jenis Gejala Oral Biopsi Oral sex
kelamin ulserasi (lokasi)
1 20 Perempua Titik pada Lidah Lidah Iya
n kulit dan bibir
2 42 Perempua Sakit hebat Komisura Lidah Iya
n pada lokasi labial,
lesi oral, lidah,
badan lesu bibir
3 17 Perempua Sakit hebat Bibir, Mukosa Iya
n pada lokasi palatum bukal
lesi oral, lunak,
badan lesu Mukosa
bukal
4 28 Laki-laki Demam, Komisura Komisura Iya
29

Body arch, labial labial


lesu, batik
kering

3.5Diskusi

Treponema pallidum, penyebab sifilis, memiliki manusia sebagai satu-

satunya host yang dikenal dan tidak bisa bertahan hidup tanpa host, dikarenakan

kemampuan metabolismenya terbatas, mereka mensintesis bio nutrisi sendiri. Sifilis

ditularkan secara horizontal melalui kontak seksual dan secara vertikal dari ibu ke

bayi setelah 14 sampai 16 minggu kehamilan, saat Treponema pallidum melintasi

penghalang plasenta. Penularan sifilis dengan cara lain selain seksual kontak telah

dilaporkan dalam literatur, terutama di anak-anak dan profesional kesehatan. Meski

genital area adalah situs manifestasi yang paling umum, daerah luar genital dikutip

dapat menjadi awal mula munculnya cancrum, seperti rongga mulut, jari, hidung,

kelopak mata, lengan dan puting meskipun tidak biasanya

Semua pasien memiliki gejala seperti faringitis, mialgia,arthralgia,

kelemahan, sakit kepala, seperti limfadenopati, karakteristik tahap sifilis sekunder.

Ketika mereka mempengaruhi rongga mulut, merekamuncul sebagai makula

kemerahan oval atau erupsi makulopapular (roset sifilis). Dalam beberapa situasi,

lesimirip dengan kondiloma latum dapat terjadi di rongga mulut,dengan komisura

labial sebagai daerah keterlibatan preferensial. Kondiloma latum diamatidalam kasus

kedua, disajikan dalam penelitian ini. Lesi inijarang dilaporkan. Pasien yang diamati
30

pada penelitian menunjukkan saat-saat akhir penyakit, yaitu persistenulserasi sudah

terjadi. Kehadiran dariplak mukosa, ulserasi pada komisura labial dan palatum keras

diamati, mencirikan tahap sekunder penyakit. Karakteristik lesinyatanpa rasa sakit

dan sembuh secara spontan dalam 2 sampai 10 minggu, hanya30 hingga 40% pasien

didiagnosis saat ini. Kasus-kasus yang disajikan dalam penelitian ini melalui infeksi

primertanpa didiagnosis, hanya di manasetelah terjadi perkembangan ulserasi

menyakitkan dan skin patches, karakteristik tahap sekunder sifilis,dapat didiagnosis

dengan benar.

Lesi dapat dimulai sebagai papula yang dapat berkembang menjadi keras,

tidak sakit, tidak bernanah, ulkus berdasar bersih seperti yang disebutkandalam

kasus-kasus yang disajikan dalam penelitian ini. Ukuran darilesi bervariasi dan

margin biasanya dibatasi.Dalam literatur, daerahpaling terpengaruhterutama lidah,

gingiva, palatum lunak dan bibir; dalam kasus yang disajikan, selain daerah-daerah

ini, terdapatlesi pada komisura labial dan palatum durum, dalam penelitian ini, lesi

plak mukosa di lidah,bibir bawah, palatum durum dan komisura labial

diamati,keduanya yang terakhir jarang terjadi.


31

Gambar 3.2.Aspek klinis oral dan kulit sifilis sekunder (A) makula kemerahanhadir di telapak tangan
dan lengan. (B) Lesi eritematosa hadir pada palatum durum. (C) Plak mukosa yang luas hadir dengan
daerah eritematosa di komisura labial dan mukosa oral. (D) Lesi yang mengalami ulserasi terdapat
pada commissure labial.

.
Gambar 3.3.Aspek histopatologis sifilis oral. (A) Pemeriksaan histopatologis mengungkapkan
hiperplasia epitel.(B) Infiltrat inflamasi kronis yang padat dan difus, terutama terdiri dari limfosit dan
sel plasma, dilamina propria. (C) Infiltrat inflamasi meluas ke area yang lebih dalam dari lamina
propria dan menunjukkan polaperivaskular

Plak mukus adalah manifestasi klinis paling umum pada tahap ini dan

khususnya terletak pada bibir, lidah, mukosa bukal, dan palatum. Pada tahap ini,

umumnya tampilan bintik-biktik atau plak mukus sedikit meningkat dan ditutupi oleh

pseudomembran putih atau keabu-abuan. Lesi ini dapat juga disertai area eritematus.
32

Lesi ulserasi dengan irreguler dan batas putih juga tampak. Makula merah atau daerah

erosi pada mukosa, nodular, dan lesi makulapapular juga diperlihatkan. Dalam

laporan kasus pada penelitian ini, tampilan dari plak mukus ditemukan di rongga

mulut, disertai dengan sakit kepala berkelanjutan dan myalgia. Dilihat dari tampilan

manifestasi oral, dapat didiagnosa sebagai secondary syphilis. Tampilan klinis dari

secondary syphilis oral luas dan bervariasi, dengan beberapa traumatik dan lesi

infeksius sebagai diagnosa banding. Termasuk di dalamnya, ulserasi aptosa, ulserasi

oral disertai HIV, tuberkulosis, limfoma, mycosis, leshmaniosis, ulser eosinofilik,

karsinoma squamosa sel, necrotizing sialometaplasia, cacroid, cytomegalovirus,

gonorrhea, traumatic ulcer.

Pasien 1 dan 2 memperlihatkan lesi pada lidah dan bibir, yang biasanya

dijelaskan pada literatur. Kasus pasien 3 dan 4 memiliki beberapa lesi yang

berhubungan dengan kulit, seluruh badan, dan pada telapak tangan (makula pink atau

merak simetris, ke bentuk papula dan pustula). Pada kasus keempat, tes laboratorium

mulanya tidak meyakinkan, tetapi ulserasi pada komisura labial masih diperlihatkan,

meningkatkan kecurigaan syphilis. Setelah pemeriksaan ulang memungkinkan untuk

mengkonfirmasi positif sifilis, yang sudah secara klinis, jelas. Situs presentasi lesi

oral ketika dibandingkan dengan data di literatur jarang ditemukan. Karena lesi di

bibir bawah dan lidah biasanya diamati, dan pada pasien 3 dan 4 kami

memperlihatkan palatum lunak dan komisura bibir. Ketika kami memperlihatkan

pada situs insidensi dari lesi sifilis oral kami melihat kalau situs umumnya pada bibir,

lidah, dan tonsil dan ketika dibandingkan ke sites pada penelitian ini, kami
33

mengamati sites langka yang terpengaruh, termasuk palatum keras dan komusira

labial.

Manifestasi oral tidak umum dan mungkin mewakili tantangan diagnostik

karena spektrum luas dari tampilan klinis. Karakteristik dari penyakit mungkin

meniru kondisi lain dan disebabkan oleh peningkatan insidensi di beberapa bagian di

dunia, itu dapat dipertimbangkan pada diagnosa banding dari lesi oral.

Soares, et al., menarik perhatian pada kemungkinan peningkatan di insidensi

manifestasi oral dari oral sifilis disebabkan oleh mengingkatnya praktek seks oral.

Namun, tinjauan literatur memperlihatkan bahwa jumlah laporan kasus dan kutipan

dalam literatur tentang terjadinya lesi oral tampaknya tidak mengikuti “wabah” yang

baru-baru ini dilaporkan. Berdasarkan Eyer-Silva et al. 2017 kejadian lesi oral pada

sifilis antara 12-15%, ketika Lautenschlager, 2006, menemukan manifestasi oral

sekitar satu-tiga sampai satu-setengah pasien dengan secondary syphilis.

Meskipun tidak ada studi literatur yang menjelaskan langsung hubungan

antara sifilis dan praktek seks oral, kita tau bahwa praktek dapat menularkan

Treponema pallidum, melewati kedua seks oral, melewati ciuman di mulut dan

penggunaan sikat gigi yang bebarengan. Dalam penelitian ini memiliki 100%

frekuensi munculnya lesi sifilis dalam mulut, setelah praktek seks oral.

Karakteristik histopatologi dari secondarysyphilissebagai variabel seperti

lesi. Sedangkan perubahan seringnya tidak spesifik, temuan sel endotelial mengalami

pembengkakan, infiltrasi perivaskular dengan dominan sel plasma, dan hiperplasia

psoriasiform epidermal mendukung diagnosis sifilis. Dalam kasus yang dilaporkan


34

dalam penelitian ini diamati epitelium hiperplasia, infiltrasi padat dan difus inflamasi

kronis, terdiri terutama oleh limfosit dan sel plasma, di lamina propria dan infiltrat

inflamasi yang meluas ke area yang lebih dalam dari lamina propria menunjukkan

pola perivaskular. Dalam pasien ini, VDRL dan FTA-ABS dipilih menilik dari biaya

rendah dan derajat spesifikasi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan

mengesampingkan secara objektif penyakit lain. Perawatan sifilis terdiri dari terapi

antibiotik, antibiotik benzathine penicilin G yang mereka gunakan untuk perawatan

pada pasien ini.

3.6 Kesimpulan

Praktek seks oral yang tak terlindung dapat menyebabkan infeksi dan

perkembangan sifilis. pembenaran manifestasi oral dari penyakit ini oleh ahli

kesehatan sangat penting, sehingga diagnosis ditegakan secepat mungkin. Asosiasi

dari tampilan klinis, temuan histopatologi, dan tes serologi dibutuhkan untuk

melengkapi diagnosis dari sifilis. Lesi ulserasi pada bibir adalah manifestasi oral

paling umum pada pasien dengan sifilis, palatum keras dan komisura labial daerah

jarang terpengaruh.
BAB IV

KESIMPULAN

Hubungan seksual dapat menularkan berbagai macam penyakit, salah satunya

yaitu sifilis. Sifilis dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke janin, melalui transfusi

darah, alat kesehatan yang terkontaminasi dan lainnya. Sifilis memiliki tiga stadium

yaitu stadium primer, sekunder dan tersier. Diantara ketiga stadium tersebut terdapat

stadium laten dimana tidak menimbulkan gejala klinis namun pada pemeriksaan

laboratorium menunjukan hasil positif. Penegakan diagnosis sifilis dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada sifilis

berupa pemeriksaan mikroskopis dan uji serologis.

Pemberian antibiotik untuk pengobatan berdasarkan stadium sifilis. Antibiotik

yang digunakan adalah antibiotik golongan penisilin, namun pada pasien dengan

alergi penisilin dapat menggunakan antibiotik golongan lain sebagai alternatif.

35
DAFTAR PUSTAKA

Brown, D. L., and Frank, J. E. (2003): Diagnosis and management of syphilis,


American Family Physician, 68(2), 283-290+297.

Creta, E.K; Maria, C.M. 2016. Secondary syphilis in the oral cavity and the role of
the dental surgeon in STD prevention, diagnosis and treatment: a case series
study. The brazilian journal of infectious disease 20(4):393-398.

Dayan, L; Ooi, C. 2005. Syphilis treatment: old and new. Expert opinion on
pharmacotherapy 6 (13): 2271–80.

Eccleston, K; Collins, L, Higgins, SP. 2008. Primary syphilis. International journal of


STD & AIDS 19 (3): 145–51.

Kang, Jin Han. 2015. “Febrile Illness with Skin Rashes.” Infection and
Chemotherapy 47 (3): 155–66. https://doi.org/10.3947/ic.2015.47.3.155.

Keçici, Ayşegül Sevim. 2017. Fundamental of Sexually Transmitted Infections.


IntechOpen. https://doi.org/10.5772/intechopen.70282.

Mullooly, C; Higgins, SP. 2010. Secondary syphilis: the classical triad of skin rash,
mucosal ulceration and lymphadenopathy. International journal of STD &
AIDS 21 (8): 537–45.

Soares, A.B., H.F.S. Gonzaga, M.A. Jorge, and S.R.C.S. Barraviera. 2004. “Oral
Manifestations of Syphilis: A Review.” J. Venom. Anim. Toxins Incl. Trop. Dis.
10 (1): 2–9.
Sukthankar, Ashish. 2014. “Syphilis.” Medicine 42 (7): 394–98.
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2014.04.002.

Tudor ME, Al Aboud AM, Gossman WG. Syphilis. [Updated 2019 Oct 29]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534780/

36

Anda mungkin juga menyukai