Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah


Rekayasa Lalu Lintas

Oleh,
ALFI ADLIYANI 167011079
RAISSA ALIFAH 167011082
RIZKI D PUTRA 167011115
SYIFA D NOOR 167011093

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2017
1. Fransiska Hadiwidjana.

Mungkin belum banyak yang pernah mendengar nama Fransiska Hadiwidjana.


Namun, sudah banyak orang yang akrab dengan Prelo, situs dan aplikasi yang
dirintisnya.

Prelo, seperti kebanyakan perusahaan berbasis teknologi informasi yang sekarang


sedang berkembang di Indonesia, adalah perusahaan start-up yang melayani jual-
beli barang. Namun, yang membedakan dari para pesaingnya, Prelo memfokuskan
pada jual-beli barang bekas bermerek. Mayoritas barang yang dijual berupa
barang fashion dan kosmetika, dan kini juga sudah merambah ke barang lain,
seperti gadget dan buku. Selain itu, Prelo juga menyediakan jasa titip dan sewa.

Prelo menggunakan sistem rekening bersama sehingga dijamin terpercaya untuk


melakukan transaksi jual beli. Perusahaan ini didirikan dengan semangat ramah
lingkungan, yang bertujuan mengoptimalkan barang bekas agar tidak terbuang
begitu saja. Sebelum menjadi Prelo, embrio perusahaan ini adalah Kleora, startup
e-commerce khusus perempuan. Prelo merupakan rebranding dari Kleora yang
bertujuan untuk menjaring demografi lebih luas, dan ini terbukti dengan
berkembangnya Prelo.

Fransiska yang merupakan alumni Informatika ’08 juga masuk ke dalam daftar 10
Pengusaha Wanita Paling Inspiratif di Bidang Teknologi Dari SEA versi Forbes.
Prestasinya tidak hanya itu. Fransiska sempat mengikuti program tahunan
Singularity University Graduate Studies Program 2012 (GSP 12), yaitu insititut
pendidikan interdisipliner yang berlokasi di NASA AMes Research Park dengan
bekerja bersama Google, Nokia, Autodesk, dan lainnya.

Berada di dunia teknologi informasi yang identik dengan banyaknya laki-laki


tidak membuatnya gentar. “Ketika saya masuk jurusan teknologi informatika ITB,
hanya ada 20 persen perempuan dalam satu kelas. Memang sedikit jumlah
perempuan tapi untuk menghapus stigma ini, kita harus percaya dengan apa yang
kita bisa,” Fransiska mengingatkan.

“Saya selalu berfokus di software atau perangkat lunak. Memanfaatkan


pengembangan perangkat lunak agar menjadi sesuatu yang berguna bagi
masyarakat itu selalu menjadi cita-cita saya,” jelasnya.
https://stei.itb.ac.id/id/blog/2018/05/07/berkenalan-dengan-fransiska-hadiwidjana-
pendiri-startup-prelo-indonesia/

2. Mashall Utoyo & Krishan Menon.

Merintis bisnis sejak dini sudah dilakukan beberapa pria muda ini. Marshall
Utoyo (28 tahun), Krishnan Menon (28 tahun), tahun) merintis bisnis online
yang khusus menjual mebel sejak 2015 silam.

Marshall yang merupakan Co Founder Fabelio menceritakan ide awal


mengembangkan bisnis saat ia berada di co-working space di bilangan Jakarta
Selatan 2015 lalu. Keunikan dari furnitur di co-working space tersebut
membuat ia dan kedua rekannya memulai mengembangkan Fabelio.

Menjalankan bisnis mebel yang dijual online dan offline, disebut masih
memiliki peluang pasar yang cukup besar di Indonesia. Pasalnya, banyak
pengrajin mebel di Indonesia yang masih bisa ditingkatkan nilai barangnya
dengan dipasarkan secara online.

Melihat masih besarnya peluang pasar dan banyaknya pengrajin mebel di


Indonesia yang mendasari Fabelio.com dibentuk 2015 silam. Modal awal yang
digelontorkan saat merintis e-commerce ini terbilang tidak ada.

Konsep awal dari Fabelio.com dibentuk oleh anak muda tersebut dan beberapa
bulan kemudian mendapatkan permodalan dari eksternal sekitar US$ 500.000.

https://finance.detik.com/solusiukm/d-4031029/bisnis-mebel-online-anak-
muda-ini-masuk-daftar-forbes-under-30
3. Stanislaus Tandelilin (27 Tahun)

Stanislaus Tandelilin awalnya kuliah di Fakultas Ekonomika dan Bisnis


Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat itu, dia mengambil studi Corporate
Finance.

Stan emang sangat berbakat di bidang akademik. Pasalnya, dia merupakan salah
satu lulusan terbaik di salah satu universitas terbaik Indonesia tersebut. Jadi, saat
itu dia berhasil bekerja di Citibank tanpa harus magang.

“Saat itu aku coba Management Associate di Citibank tanpa koneksi siapapun.
Dari kampung Jogja, aku ngeliat banyak orang Indonesia lulusan luar yang apply
di situ. UGM itu hampir gak ada. Aku apply dengan bahasa Inggris seadanya dan
akhirnya keterima. Hoki,” ungkap Stan kepada MoneySmart.id.

“Di sana lumayan belajar banyak. Jatuh-bangun. Bahkan, empat bulan pertama
hampir dipecat,” sambungnya.

Meski cukup berat, Stan berhasil menjawab tantangan di salah satu bank terbesar
dunia tersebut. Bekerja hampir tiga tahun, jiwa petualang Stan jauh lebih kuat.
Dia malah merasa cukup boring dengan pekerjaannya.

Perjalanan Stan terjun ke dunia startup dan jadi salah satu pendiri Sale Stock
terbilang gak mulus.

“Aku butuh waktu tiga bulan meyakinkan orangtua, sampai dibantu diyakinkan
oleh co-founder saya waktu itu. Waktu aku mau keluar dan masuk ke Sale Stock,
gak ada yang setuju,” kata Stan.

Gimana gak, karier di perbankan, apalagi di Citibank terlihat jauh lebih


menggiurkan.

“Siapa yang mau, dari Citibank terus tiba-tiba jualan baju. Dulu kantornya (Sale
Stock) cuma sebesar meeting room ini (kantor ModalRakyat),” paparnya.

Pasti banyak yang cukup penasaran apa alasan lain selain boring, dan gimana Stan
sukses berkarier di dunia startup.

Berikut, beberapa tips dari Stan:

1. Berani mencoba

“Mulai aja dulu,” ucap Stan saat ditanya bagaimana awal mula berbisnis startup.

Meski dulu berani mencoba berbisnis startup, Stan gak serta merta meninggalkan
kariernya di bidang keuangan.
Dia belajar dulu selama tiga bulan. Stan menyebutnya dengan istilah “mencari
validasi”. Saat itu, dia kerja part-time untuk startup Sale Stock yang didirikan
bersama rekan-rekannya.

2. Faktor pertemanan

Stan mengaku, awalnya diperkenalkan ke dunia startup oleh temannya yang lebih
dulu memulai sebagai co-founder awal Sale Stock Indonesia.

Dari situ, Stan mulai penasaran pada Sale Stock. Pasalnya, konsep e-commerce
tersebut cukup berbeda. Biasanya, e-commerce fesyen berfokus pada pasar Jawa.
Nah, brand satu ini menyasar target market di luar Jawa.

3. Suka belajar hal baru dan bereksperimen

“Aku orangnya suka belajar hal baru. Startup itu semacam tempat buat belajar
jauh lebih kencang, dan bereksperimen. Sementara kalau di korporat kurang bisa
bereksperimen,” papar Stan mengungkapkan alasannya terjun ke bisnis startup.

Lebih lanjut, pria lulusan SMA Negeri 3 Yogyakarta itupun mengungkapkan,


daya tarik startup ialah  tantangan bereksperimen, sekalipun bila gagal.

4. Mau mulai dari bawah

Stan mengaku, memulai kerja di startup gak semudah yang dibayangkan. Dia di
awal membangun Sale Stock harus bekerja hari Sabtu dan Minggu.

Plus, kantor Sale Stock Indonesia saat itu masih kecil banget. Beda dengan
sekarang yang emang udah settle.

5. Harus bisa berinovasi dan punya strategi menarik

Dalam dunia startup, kamu juga harus bisa berinovasi dan punya strategi menarik.
Itu membuat brand kamu bakal bisa menyalip kompetitor.

Inovasi yang dia dan tim Sale Stock lakukan mencakup penjualan berfokus pada
mobile. Mereka juga bekerja sama dengan UKM-UKM logistik kecil di seluruh
Indonesia, sehingga ongkos kirim lebih murah.

Gak cuma itu, mereka juga menjadi e-commerce fesyen pertama yang
menyediakan layanan coba dulu baru bayar. Yakni servis khusus dimana para
pembeli dapat mencoba dulu semua baju yang dipesan di rumah, ditunggu oleh
kurir selama 15 menit, dan cukup membayar barang yang disukai tanpa syarat dan
biaya tambahan.

Dari Sale Stock ini pula, Stanislaus Tandelilin kembali mengembangkan idenya
ke startup baru bernama ModalRakyat.id.
https://www.moneysmart.id/sale-stock-dan-pendirinya-stanislaus-tendelilin/

1. Carline Darjanto

Industri fashion tampaknya memberi tantangan besar bagi Carline Darjanto. Tak
heran, sejak sepakat bersama mitra bisnisnya Ria Sarwono membuat merek
Cotton Ink di akhir November 2008, Carline terus menggelutinya hingga bisa
berkembang seperti sekarang. Cotton Ink kini menjadi ikon baru di bisnis fashion
yang sukses merancang dan menyediakan berbagai produk pakaian wanita mulai
baju, bawahan, outerwear sampai aksesori seperti shawl dan tas.

Carline dan Ria sudah berteman sejak SMP. Selepas SMA, Carline
menempuh studi fashion di Jurusan Desain Fashion Lasalle
College of Fashion, Jakarta. Adapun Ria memilih kursus singkat
di London College of Fashion. “Saya sempat bekerja di sebuah
garment manufacturer, belajar banyak mengenai manajemen,
impor-ekspor, dan berbagai hal penting mengenai industri
fashion. Setelah itu saya fokus di Cotton Ink yang kini makin
berkembang,” ungkap Carline, kelahiran 25 Mei 1987.

Carline Darjanto, bersama Ria


Sarwono mengibarkan industri fashion bermerek Cotton Ink

Cotton Ink mendapatkan momentum bagus saat


memperkenalkan kaus sablon dengan gambar Barack Obama
yang di tahun 2008 sedang ngetop-ngetopnya. Dari sukses
jualan kaus sablon bergambar wajah Obama, dua sekawan itu
kemudian menambah beberapa produk pakaian wanita seperti
busana siap pakai, legging, aksesori dan syal. Produk inilah yang
benar-benar mengangkat nama Cotton Ink. Terutama produk
syal yang awalnya menjadi daya pikat, sebelum akhirnya ke baju
atasan wanita. Cotton Ink mengeluarkan produk yang kreatif,
membuat sebuah syal multigaya, dengan bahan bernama tubular
– bahan kaus berbentuk lingkaran tanpa jahitan – yang jarang
dipakai di Indonesia.
Memang, salah satu diferensiasi yang dikembangkan di Cotton
Ink adalah berusaha inovatif, baik dari rancangan yang
multifungsi maupun bahan kainnya itu sendiri. “Kami berusaha
bereksperimen dengan material mix dan pembuatan kain yang
kami olah bersama dengan pabrik atau perajin untuk beberapa
kain tradisional Indonesia,” ungkap Carline. Para pelanggan
Cotton Ink cenderung menyukai rancangan baju yang simpel
dengan detail pada kainnya. Sejauh ini bahan bajunya
kebanyakan memakai katun, yang sebagian besar diproduksi di
dalam negeri. Untuk aksesori dan tas memakai kulit imitasi.
“Kami tidak ingin menggunakan kulit asli, itu pilihan kami.”

Rentang harga produk Cotton Ink mulai dari Rp 69 ribu (shawl)


sampai Rp 349 ribu (jaket/outerwear). Pakaian wanita sejauh ini
merupakan produk utama Cotton Ink dan memberikan kontribusi
80% dari pendapatan. “Pelanggan biasanya datang untuk
membeli atasan, sedangkan sisanya di aksesori dan tas,” ungkap
wanita pehobi jalan-jalan ini.

Dalam memasarkan Cottton Ink, Carline dan Ria aktif


mempromosikannya melalui media sosial seperti Facebook,
Twitter, Instagram, Tumblr, Pinterest. “Target pasar kami sangat
aktif dalam media sosial. Penting sekali turut serta dalam gaya
hidup mereka, agar kami bisa terus berinteraksi dengan para
pelanggan dengan lebih cepat,” Carline memberikan alasan.

Dunia online tidak terpisahkan dari sukses Cotton Ink. Tak


heran, seperti diakui Carline, kontribusi penjualan terbesar pun
didapat dari pemasaran melalui website-nya, cottonink-
shop.com. Toh produk Cottton Ink juga sudah banyak dijual di
sejumlah butik. Di Jakarta misalnya, di The Goods Dept, Pacific
Place, lalu di Bandung bisa dijumpai di butik ESTplus, Widely
Project dan Happy-go-lucky. Sementara di Surabaya, bisa dilihat
di butik ORE. Saat ini Carline dan Ria mulai melayani pembeli
dari luar negeri seperti beberapa pelanggannya di Singapura,
Malaysia, Australia dan Eropa. “Untuk pasar luar negeri kami
baru melayani order langsung. Kami sedang fokus di dalam
negeri,” kata wanita yang mengidolakan desainer Adrian Gan
dan Phoebe Philo ini.

Dalam usianya yang masih muda, Cotton Ink sudah memperoleh


berbagai pengakuan. Tahun 2010, mereka meraih Most Favorite
Brand di Brightspot Market; The Most Innovative Brand dalam
Cleo Fashion Award (Jakarta Fashion Week); Best Local Brand
dari Free Magazine, serta terpilih sebagai merek lokal favorit In
Style Magazine tahun 2012. “Industri fashion penuh tantangan.
Kami harus bisa kreatif dalam segala hal, bukan hanya pada
desain. Di sini kami belajar bahwa kami harus selalu fokus pada
solusi masalah, bukan pada problemnya,” Carline menuturkan
pengalamannya.

Wanita muda ini telah sukses membangun kerajaan bisnis di bidang fashion
dengan brand Cotton Ink. Mengawali bisnis pembuatan kaos di tahun 2008
bersama sahabatnya, Ria Sarwono, merek Cotton Ink sukses mendapatkan
sambutan pasar, serta memperoleh berbagai penghargaan, seperti Best Local
Brand dari Free Magazine, Most Favorite Brand di Brightspot Market; The Most
Innovative Brand dalam Cleo Fashion Award (Jakarta Fashion Week); serta
terpilih sebagai merek lokal favorit In Style Magazine tahun 2012.

4.    Merry Riana, 31 tahun

Dari mahasiswa berduit pas-pasan hingga penghasilan satu juta dolar pada usia 26
tahun, siapa lagi yang sedang dibicarakan kalau bukan Merry Riana. Motivator
muda terkenal ini mendirikan perusahaan Merry Riana Organization (MRO) pada
tahun 2004. Kala itu, dia berusia 24 tahun dan sudah berpenghasilan di atas
220,000 dolar Singapura per bulan.

5.    Reza Nurhilman, 26 tahun

Mungkin Anda pernah mendengar bahkan menggemari Maicih? Ini dia sang
pelopornya, Reza Nurhilman alias AXL yang memproduksi keripik singkong
pedas, bakso gorengm gurilem, dan seblak. Dengan modal Rp 15 juta, Reza kini
memiliki omzet Rp 30 juta per hari atau Rp 900 juta per bulan dan memiliki 20-an
jenderal marketer di kota-kota besar Indonesia.

1. Adrian dan Eugenie Patricia Agus

Adrian dan Eugenie Patricia Agus adalah dua saudara pendiri bisnis puding
bermerek Puyo. Inspirasi kakak beradik ini berasal dari pudding buatan sang ayah.

Berbekal duit Rp 5 juta pinjaman dari orang tua Adrian dan Eugenie Patricia Agus
menseriusi penjualan pudding inspirasi sang ayah. Strategi awal penjualan mereka
bermula dari sosial media.

Hingga pada 2013, pudding Puyo resmi membuka gerai pertamanya di Mall
Living World Alam Sutra. Kini Puyo memiliki puluhan booth di Jakarta dan
memproduksi sekitar 3.000 cup per hari.

Kategori: Media, Marketing & Advertising

Jeff Hendrata dan Andrew Tanner Setiawan adalah pendiri dari Karta. Karta
adalah perusahaan yang menyediakan media periklanan di sepeda motor.

Pemilik sepeda motor yang setuju kendaraannya dipasangi papan iklan akan
mendapatkan uang. Karta telah memiliki pelanggan seperti Unilever, P&G, dan
Astra Telkomsel. Karta telah tersedia di lebih dari 20 kota di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai