Anda di halaman 1dari 7

Aturan-Aturan dalam Bermasyarakat dan Berbangsa

Pengantar
Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai cita-cita untuk dapat hidup damai dan sejahtera di
dunia ini. Untuk mewujudkan keinginan itu, maka manusia tidak dapat mengusahakannya
sendiri. Maka untuk mewujudkannya mutlak harus didukung oleh manusia lainnya. Berbeda
dengan binatang.

Aristoteles seorang ahli filsafat Yunani menyatakan, bahwa manusia itu sebagai zoon politicon,
yaitu; manusia selalu ingin hidup bergaul dan berkumpul sesamanya, hidup bersama berada
dalam pergaulan dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya sejak lahir sampai meninggal.

Adapun yang menyebabkan manusia selalu ingin hidup bermasyarakat adalah dorongan
kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya;
a. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum.
b. Hasrat untuk membela diri.
c. Hasrat untuk mengadakan keturunan.

Berdampingan dengan kenyataan, bahwa manusia sebagai mahluk sosial, terdapat pula
kenyataan bahwa manusia sebagai mahluk pribadi.
Tiap-tiap manusia mempunyai sifat, watak, kehendak dan kepentingannya masing-masing.
Kehendak dan kepentingan tiap-tiap manusia itu manakala sejalan dengan kehendak
kepentingan orang yang ada disekitarnya, maka akan terjalin hubungan kerjasama yang
harmonis untuk mewujudkan keinginannya dan harapannya itu. Namun kenyataannya tidak
jarang kehendak dan keinginan serta kepentingan manusia yang satu dengan yang lainnya itu
saling bertabrakan, maka akibatnya akan terjadi konflik di antara manusia itu.

Koentjaraningrat (1993) menyatakan, bahwa sumber-sumber konflik antar suku-suku bangsa


atau golongan pada umumnya dalam negara-negara sedang berkembang seperti di Indonesia,
paling sedikit ada 5 macam konflik bisa terjadi:
1. Warga dari dua suku bangsa masing-masing dalam hal mendapatkan lapangan mata
pencaharian hidup yang sama.
2. Warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur dari kebudayaan kepada
warga dari suatusuku bangsa lain.
3. Warga dari suatu suku bangsa memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga suku
yang berbeda agama.
4. Konflik akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa lain
secara politik.
5. Konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku bangsa yang telah bermusuhan
secara adat.
Untuk meredakan konflik, Koentjaraningrat (1993) manyatakan ada 2 pendekatan, yaitu :
1. Warga dari dua suku bangsa yang berbeda dapat saling bekerja sama secara sosial ekonomis,
kalau mereka masing-masing bisa mendapatkan lapanga-lapangan mata pencaharian hidup
yang berbeda-beda dan saling lengkap-melengkapi.
2. Warga dari dua suku yang berbeda dapat juga hidup berdampingan tanpa konflik manakala
ada orientasi ke arah suatu golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan antara kedua
suku bangsa yang berbeda pendapat.

Selanjutnya Jusman Iskandar (1994) mengutip pendapat Soetarso (1991) menyatakan, bahwa
setiap orang perlu menerima Orientasi Nilai berikut sebagai landasan bekerja sama antara
warga masyarakat dalam proses pembangunan, yaitu nilai-nilai sebagai berikut:
1. Mengakui akan martabat dan harga diri perseorangan.
2. Mengakui akan adanya potensi dan sumber-sumber yang dimiliki oleh perseorangan
(individu) dan kelompok.
3. Mengakui arti pentingnya kebebasan untuk mengutarakan cita-cita dan aspirasi bagi setiap
individu.
4. Mengakui akan adanya kemampuan yang besar dalam diri orang untuk tumbuh dan
berkembang.
5. Mengakui hak-hak individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seprti
sandang, pangan dan papan.
6. Mengakui akan arti pentingnya perjuangan dan usaha perseorangan untuk memperbaiki
taraf kehidupan pribadi dan lingkungan sosialnya.
7. Mengakui akan hak perseorangan untuk memperoleh bantuan saat-saat ia mengalami
kekurangan dan krisis.
8. Mengakui akan arti pentingnya organisasi sosial sebagai tempat atau media bagi individu
untuk dapat mewujudkan tanggung jawabnya dan bersikap tanggap terhadap perasaan-
perasaan orang lain.

Gangguan atau konflik kepentingan harus dicegah sebab dapat mengganggu keseimbangan
tatanan kehidupan masyarakat.
Keseimbangan tatanan kehidupan masyarakat yang terganggu harus dipulihkan ke keadaan
semula (restitutio in entergrum).

Perlindungan kepentingan tersebut di atas, tercapai dengan terciptanya pedoman atau


peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah-laku dalam
masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Pedoman, patokan atau ukuran bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut Norma atau
Kaidah Sosial.

Kaidah sosial pada hakikatnya merupakan suatu rumusan pandangan tentang perilaku atau
sikap yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalangkan atau harus di
jalankan.
Dengan kaidah sosial ini hendaknya dicegah gangguan-gangguan terhadap kepentingan
manusia, agar dapat dihindarkan bentrokan antar kepentingan, akan diharapkan terlindungi
kepentingan-kepentingan manusia.
Kaidah sosial ini ada yang berbentuk tertulis dan ada yang berbetuk lisan yang merupakan
kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi lainnya secara turun-temurun.

Manusia dapat hidup bermasyarakat karena ia dapat mengendalikan perilakunya. Tanpa


pengendalian dan kesadaran untuk membatasi perilakunya yang disesuaikan dengan kehendak
umum (kaidah sosial), maka kehidupan bermasyarakat tidak akan ada.
Thomas Hobbes pernah menyatakan, bahwa tanda adanya ke sadaran di atas, maka manusia
akan bersifat serigala terhadap sesamanya, homo homini lupus, dalam hal ini mereka yang kuat
selalu bersifat rakus, tamak dan selalu berusaha untuk mengalahkan dan menguasai yang
lemah.

Keadaan tidak stabil dalam masyarakat karena konflik antara kelompok, golongan yang lain.
Memerlukan kestabilan maka harus ada tata tertib atau diperlukan berbagai aturan hidup yang
dinamakan “Norma atau kaidah Sosial”.

Norma atau kaidah merupakan ketentuan atau peraturan-peraturan yang memberi batasan
dan kebebasan kepada sesama anggota masyarakat dan bagaimana hubungan antara
seseorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya dalam pergaulan hidup
bersamanya.

Norma atau peraturan hidup itu mulai tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat,
pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum norma-norma yang berlaku di masyarakat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Norma Agama
Ajaran agama atau kepercayaan yang masuk atau tumbuh dalam masyarakat sangat
menunjang tegaknya tata tertib kehidupan masyarakat. Perintah dan larangan yang
dikembangkan oleh ajarannya akan menebalkan Iman setiap penganutnya untuk mematuhi
segala perintah dan larangannya seperti diajarkan oleh agama demi keselamatan hidup
manusia.
Menurut Sudikno Martokusumo yang dimaksud dengan Kaidah kepercayaan atau
keagamaan ditujukan kepada kehidupan ber-iman. Kaidah ini ditujukan terhadap kewajiban
manusia kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri. Sumber atau asal kaidah ini adalah
ajaran-ajaran agama atau kepercayaan yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai
perintah Tuhan. Dikarenakan sumber kaidah ini adalah ajaran agama yang berasal dari
Tuhan, maka manakala penganut agama yang tidak mematuhi perintah dan larangan dari
Tuhan Yang Maha Esa atau kaidah-kaidah yang ditentukan oleh agamanya akan merasakan
sanksinya bahwa keingkaran atau dosa yang bersangkutan atau memperoleh kutukan dan
hukuman dari Tuhan, maka yang bersangkutan akan senantiasa berusaha berbuat baik
dalam menjalin hubungan dengan sesamanya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
Manakala kaidah agama dapat dilaksanakan dengan baik dan konsekuen, maka sudah
dapat dipastikan dalam kehidupan masyarakat akan dijumpai suasana damai dan tertib yang
dilandasi oleh nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Hal ini juga akan mencerminkan suasana
pergaulan hidup yang religius di masyarakat kita tercinta.

2. Norma Kesopanan
Norma kesopanan menurut Kansil (1986) merupakan peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan segolongan manusia. Peraturan-peraturan itu ditaati sebagai pedoman yang
mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada di sekitarnya.
Kaidah kesopanan dalam implementasinya sehari-hari di masyarakat sudah barang
tentu amat subjektif sifatnya, jadi apa yang dikatakan sopan atau tidak sopan suatu atau
kelompok masyarakat tertentu belum tentu akan dikatakan sopan atau tidak sopan oleh
masyarakat lain. Jadi di sini sifatnya amat relatif, misalnya kita berjalan di suatu gang dan
melewati orang yang ada di gang tersebut, maka manakala kita lewat dan diam saja bagi
masyarakat pedesaan ini akan dikatakan tidak tahu sopan santun atau tidak tahu etiket,
sebaliknya kalau hal itu terjadi di masyarakat perkotaan mungkin sudah dianggap sebagai
suatu yang biasa.
Sumber dari norma sopan santun ini terlepas dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat,
sehingga sanksinya pun akan muncul dari masyarakat yang bersangkutan. Hanya di sini
dijelaskan, bahwa sanksi norma kesopanan ini tidaklah terlalu keras dan biasanya hanya
bersifat subjektif melalui gunjingan-gunjingan belaka. Selanjutnya dapat disebutkan contoh-
contoh lain yang merupakan penerapan norma kesopanan, yaitu; anak muda harus hormat
dan sopan terhadap yang lebih tua; jangan meludah di depan orang (apa lagi kalau orang
sedang makan); berikan kesempatan kepada wanita yang sedang hamil atau sudah tua untuk
duduk, baik dalam bus atau kereta api dan sebagainya.
Norma kesopanan ini tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas, jika
dibandingkan dengan norma agama atau lainnya.

3. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan ialah sekumpulan peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati
nurani setiap manusia. Norma ini berhubungan dengan manusia sebagai individu, karena
menyangkut kehidupan pribadi manusia. Peraturan-peraturan hidup mini berupa bisikan
kalbu atau suara hati yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam
sikap dan perbuatannya.
Sumber dari norma kesusilaan adalah hati sanubari manusia itu sendiri, jadi bersifar
otonom dan tidak ditujukan kepada hal-hal yang bersifat lahir, tetapi ditujukan kepada sifat
batin manusia itu sendiri. Dengan demikian sanksi norma kesusilaan ini pun lebih
menekankan pada adanya penyesalan dalam diri atau batin seseorang yang melakukan
pelanggaran terhadap norma kesusilaan tersebut, misalnya seseorang itu berbuat tidak jujur,
maka sebenarnya hati nuraninya mengakui akan tindakannya itu, sehingga mungkin saja
dalam dirinya akan timbul rasa penyesalan akan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.
4. Norma Adat
Norma adat merupakan sekumpulan peraturan hidup yang tumbuh dan berkembang
pada satu masyarakat dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan,
karena dirasakan sebagai suatu kewajiban.
Norma adat ini sama halnya norma kesopanan, yaitu bersifat relatif, dalam arti apa yang
diharuskan atau dilarang oleh suatu masyarakat belum tentu akan diharuskan atau dilarang
oleh masyarakat lainnya. Misalnya bagi masyarakat Patriochaat (misalnya di Lampung),
norma adatnya mengharuskan bahwa harta warisan jatuh ke tangan pria, dan sistem
perkawinannya menggunakan sistem Jujur. Norma Adat ini tidak berlaku lagi di masyarakat
Matriacaat (misalnya di Minangkabau) yang justru sebaliknya, di mana Norma Adat bagi
masyarakat matriacaat ini mengharuskan anak perempuanlah yang mendapatkan warisan,
dan sistem perkawinannya dikenal dengan nama sistem Semando. Ini juga tidak berlaku bagi
masyarakat bilateral (misalnya Jawa dan Sunda), di mana menganut Norma Adat masyarakat
Bilateral harta warisan itu jatuh kepada anak laki-laki maupun anak perempuan, dan sistem
perkawinannya juga bebas sepanjang tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.
Pelaksanaan sanksi dari norma adat ini datangnya dari masyarakat sekitar, misalnya
berupa pengucilan dari masyarakat itu, atau bahkan diusir dari mas yarakat adat itu. Berat
ringannya sanksi adat ini amat tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan oleh warga
masyarakat yang bersangkutan.

5. Norma Hukum
Berbeda dengan keempat norma yang telah diuraikan di atas, norma hukum ini
merupakan sekumpulan kaidah yang mengatur kehidupan manusia yang dibuat oleh lembaga
resmi pemerintah (di Indonesia oleh DPR dan Presiden). Sifat norma hukum ini mengatur dan
memaksa, dalam arti setiap warga masyarakat harus tunduk pada apa yang telah digariskan
dalam aturan itu. Tidak ada alasan yang menyatakan, bahwa saya melanggar aturan itu
karena saya tidak tahu.
Sumber norma hukum ini adalah pemerintah, sehingga yang melaksanakan sanksinya
pun pemerintah. Sanksi norma hukum ini telah ditentukan terlebih dahulu, misalnya:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun (pasal 338 KUHP).
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalagunaan dan penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 156a KUHP).
Dari kedua pasal di atas jelaslah, bahwa sanksi norma hukum telah dkitentukan terlebih
dahulu, sehingga manakala terjadi pelanggaran hakim akan dengan mudah untuk
memperkirakan lamanya hukuman atau jenis sanksi yang akan dijatuhkannya. Hal ini
dikarenakan telah ada kepastian hukum yang mengikatnya, berbeda dengan norma-norma
yang telah disebutkan di atas, di mana jenis sanksinya tersebut belum ditentukan.
Jadi sanksi pada norma hukum lebih pasti dan nyata di pandang dari segi kehidupan
bermasyarakat, baik berupa hukuman maupun denda bagi mereka yang melanggarnya, jadi
merupakan sanksi langsung yang dapat dirasakan, dilihat sebagai imbalan terhadap mereka
yang melakukan perlawanan dan penantangan terhadap norma tersebut. Sanksi ini sifatnya
memaksa dengan tujuan agar orang yang melakukan perlawanan terhadap norma hukum
tersebut menjadi jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya yang terlarang. Adapun
tujuan diberikannya sanksi berupa hukuman itu adalah sebagai berikut:
1. Agar yang bersangkutan menjadi jera (tidak mengulangi perbuatan salah).
2. Mendidik, yaitu berupaya memasyarakatkan kembali orang yang melanggar tersebut.
Norma hukum ini dibuat tiada lain adalah untuk lebih menguatkan pelaksanaan norma-
norma lainnya yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hal ini dikarenakan:
a. Tidak semua orang mentaati norma-norma yang telah ada dan berkembang tersebut;
b. Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia yang tidak dijamin oleh norma-norma
tersebut, misalnya keharusan berjalan di sebelah kiri (peraturan lalu lintas) justru benar-
benar merupakan asli norma hukum.
c. Ada pula kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan norma tersebut padahal
masih memerlukan perlindungan, misalnya pemberian keterangan dari seorang majikan
kepada seorang buruh yang diberhentikan karena mencuri, yaitu dengan tidak
menyebutkan alasan sebenarnya mengapa ia diberhentikan dari pekerjaannya dalam
surat tersebut.
Bertolak dari kenyataan di atas, maka dalam negara kesatuan Republik Indonesia,
hukum bukanlah hanya produk yang dibentuk oleh Lembaga-lembaga Tinggi Negara saja,
melainkan lebih dari pada itu, juga sebagai yang mendasari dan membimbing tindakan-
tindakan lembaga-lembaga tertinggi negara tersebut. Hukum adalah dasar dan pemberi
petunjuk bagi semua aspek kegiatan masyarakat, kebangsaan dan kenegaraan rakyat
Indonesia. Bahkan hukum adalah wujud penyusunan kemerdekaan keadaulatan kebangsaan
itu sendiri ke dalam UUD 1945 dan Hukum Dasar yang tidak tertulis (Anton Djawamaku,
1993:19).
Dalam pelaksanaan di negara Republik Indonesia yang dijadikan acuan dalam
pengembangan norma hukum adalah Pancasila dan UUD 1945. Pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD 1945 berkedudukan sebagai sumber
tertinggi. Dengan demikian segala bentuk norma hukum yang di bawahnya harus tunduk dan
tidak boleh bertentangan dengan kedua norma dasar tersebut.
Oleh karena itu agar kaidah hukum dapat terwujud dengan semestinya atau sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh seluruh anggota masyarakat/negara, maka harus ada
kepatuhan kepada kaidah hukum tersebut. Menurut Gustav Radbruch (ahli filsafat Jerman)
orang-orang akan mematuhi kaidah hukum kalau kaidah hukum itu sendiri secara ideal dapat
mencakup tiga unsur, yaitu:
1. Unsur Keadilan (gerechtigheit).
2. Unsur Kemanfaatan (zeckmaessigheit).
3. Unsur Kepastian (sicherheit).
Sedangkan Soerjono Soekanto(1982) menyatakan, bahwa faktor-faktor penyebab para
anggota masyarakat mematuhi hukum adalah:
1. Kepentingan-kepentingan para anggota masyarakat yang terlindungi oleh hukum.
2. Compliance, atau pemenuhan keinginan, orang akan patuh pada hukum, karena didasarkan
pada harapan akan suatu imbalan atau sebagai suatu usaha untuk nmenghindari diri dari
sanksi yang dijatuhkan manakala kaidah hukum itu dilanggar.
3. Identifikasi, dalam hal ini seseorang mematuhi karena identifikasi, pematuhan akan kaidah
hukum itu bukan nilai yang sessungguhnya dari kaidah tersebut melainkan karena
keinginannya untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya dengan para anggota
masyarakat lainnya yang sekelompok atau segolongan atau dengan para pemimpin
kelompok atau dengan para pejabat hukum.
4. Internasilasi, bahwa kepatuhan manusia/anggota masyarakat kepada hukum karena
kaidah-kaidah hukum tersebut ternyata sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pasangan
sebagian terbesar para anggota masyarakat.
Jadi jelas bahwa norma hukum berbeda dengan norma-norma lainnya, terutama di lihat
dari sumber dan pelaksanaan sanksinya. Walaupun demikian, sebenarnya antara norma-
norma yang telah hidup di masyarakat, baik norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan norma
adat dengan norma hukum terdapat titik temu, dalam arti tidak dapat dipisahkan, misalnya;
Menurut Norma Agama; setiap umat beragama tidak dibenarkan untuk melakukan pencurian,
pemerkosaan, perzinahan, perampokan atau pembunuhan. Larangan-larangan tersebut
kemudian diperkuat dengan adanya pasal-pasal dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) yang mengatur tentang sanksi dari perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar setiap anggota masyarakat merasa aman karena terlindungi oleh
kepastian hukum.
Ada beberapa kepentingan manusia yang mutlak dilindungi hukum dalam pelaksanaan
kehidupan sehari-hari di masyarakat, yaitu:
a. Jiwa …. pembunuhan …. diatur dalam pasal 338-350 KUHP.
b. Badan …. penganiayaan …. diatur dalam pasal 351-358 KUHP.
c. Kehormatan …. penghinaan …. diatur dalam pasal 310-321 KUHP.
d. Kemerdekaan …. penculikan …. diatur dalam pasal 324-337 KUHP.
e. Kekayaan …. pencurian …. diatur dalam pasal 362-367 KUHP.
Contoh lain misalnya; kesusilaan. Sering dilarang beberapa perbuatan tertentu yang
justru oleh hukum tidak diatur atau dihiraukan, seperti berbohong, meludah di tempat umum
atau di depan orang; menghormati orang yang lebih tua dan sebagainya. Dari uraian tersebut
jelaslah, bahwa antara norma-norma yang ada, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
itu satu sama lain saling melengkapi dan mendukung, jadi walaupun berbeda sumber dan
sanksinya, namun tidak dapat dipisahkan.

Anda mungkin juga menyukai