Anda di halaman 1dari 26

Ringkasan dan Tanggapan

Buku Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia

Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Aditya Budi Cahyono

NPM: 2106666542

Nomor Urut: 3

HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2021
Ringkasan Politik Hukum.

Transisi Politik Menuju Demokrasi.

1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-negara Demokrasi Baru.

Semenjak tahun 1970-an timbul ekspansi yang dilakukan negara-negara otoriter dalam
menuju terbentuknya Negara Demokrasi. Ekspansi negara-negara ini dimulai dari Selatan
Eropa yaitu Yunani dan Spanyol, menuju Amerika Latin, lalu Eropa bagian Timur dan Afrika
Selatan dan dilanjutkan oleh negara negara lainnya. Pada perpindahan posisi ini tentu saja
negara-negara ini tetap menggandeng masa lalu mereka yang disebabkan rezim otoriter di
negara itu yang sudah berlalu, hal tersebut berupa pelanggaran atas hak asasi manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir kita melihat banyaknya revolusi politik yang melakukan
transisi dari rezim otoritarianisme menuju negara demokrasi.
Proses transisi pada beberapa negara yang menhadu negara demokrasi sangat beragam,
mulai dari penguatan kelompok reformis pada rezim otoriter dan melakukan inisiasi dalam
melaksanakan transisi, hasil negosiasi pemerintah dengan kelompok oposisi, serta yang
terlahir dari jatuhnya rezim otorittarian. Anthony Giddens melalui pandangannya menjelaskan
bahwa usaha pembaharuan politik dimulai melalui munculnya beberapa partai demokrasi yang
muncul dalam masyarakat hanya sebagai bentuk dari Gerakan-gerakan sosial pada akhir abad
ke sembilan belas. Pada masa ini negara mengalami krisis ideologi, timbulnya banyak
gerakan sosial yang baru juga menjadi salah bentuk faktor atas terjadinya devaluasi
politik sehingga pemerintah kehilangan kekuatannya. Pada masa ini kelompok
neoliberalisme mengkritik pemerintah terkait kehidupan sosial dan ekonomi, yang
mana kritik tersebut sudah menggema dalam dunia nyata. Hal itu dimanfaatkan oleh
para kelompok demokrat sosial untuk mela kukan serangan balik terhadap pandangan
tersebut.
Pada masa-masa berakhirnya politik, menurut Giddens keberadaan pemerintah adalah
untuk: Menyediakan sarana untuk kepentingan perwakilan, Menawarkan forum untuk
rekonsiliasi, Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, Menyediakan beragam
hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, Mengatur pasar untuk kepentingan publik dan
menjaga persaingan pasar, Menjaga keamanan sosial dengan penetapan kebijakan, Mendukung
perkembangan sumber daya manusia, Menopang sistem hukum yang efektif, Memainkan peran
ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dan penyedia infrastruktur.
Delapan kecenderungan besar menurut John Naisbitt akan membawa Asia ke arah

Commonwealth of Nations untuk membentuk peremonomian, pemerintahan, dan kebudayaan.

Delapan kecenderungan besar tersebut adalah: From Nation-States Networks, From

Traditions to Options, From export-led to Consumer-driven, From Farms to Supercities,


From Labor-intensive Industry to High Technology, From Male Dominance to the

Emergence of Women, From West to East. Proses menuju ke delapan kecenderungan besar

menjadi terhambat dan bahkan belum sama sekali tercapai akibat terjadinya krisis moneter

yang di alami beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Dalam masa transisi politik, ada

beberapa faktor permasalahan yang dapat dicermati seperti perbedaan antara rezim otoritarian

yang satu dengan yang lain tidak dapat disamakan. Tidak ada rezim otoritarian yang dianggap

monolitik. Pembedaan dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki, kaum garis keras dan garis

lunak, dan lain-lain.

Transisi politik menuju demokrasi ini juga terkait dengan terminologi totaliterisme.

Dalam istilah ilmu politik totaliterisme adalah suatu gejala paling mengejutkan dalam sejarah

umat manusia. Negara totaliter tidak hanya saja mengatur kehidupan masyarakatnya dengan

ketat, nmaun mereka menguasai, memobilisasikan


segala lini kehidupan masyarakat. Dua rezim totaliter yang paling kondang menurut Arendt

adalah Pemerintahan Nasional-Sosialisme (Nazi) di bawah kekuasaan Adolf Hitler dan

Bolshevisme Soviet di bawah kekuasaan Jossif W.Stalin. Bolshevisme masih dianggap baik

akrena sosialisme nya.

2. Reposisi Hubungan Sipil – Militer.

Dalam rezim otoritarian mereka mempunyai kesamaan dalam satu hal, yaitu

Hubungan sipil – militer yang di abaikan. Dalam rezim militer tidak ada istilah kontrol sipil,

pemimpin serta organisasi dalam militer melakukan fungsi yang luas dan bermacam dan hal

tersebut jauh dari misi militer yang normal. Dalam otoritarianisme, penguasa memasuki

orang kepercayaanya dalam militer agar menjaga cengkeraman kekuasaan diktator. Dalam

pemerintahan militer dipandang sebagai instrumen dari partai, loyalitas tertingginya lebih

diutmakan kepada partai dibandingkan negara. Dalam sistem monaraki tradisional, militer

berperan sebagai penjaga malam atau fungsi pertahanan keamanan. Fungsi inilah yang

dibedakan dengan fungsi sipil yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan

bernegara, kecuali hankam. Dalam negara maju pemetaan kedua fungsi tersebut sudah bisa

berjalan seimbang. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil lah yang mempengaruhi militer.

Karena yang berjalan adalah “Supremasi Sipil”, kebijakan politik yang di tempuh dan di

jalankan pemerintahan sipil berpengaruh pada langkah-langkah yang harus di tempuh militer.

3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim

Sebelumnya.

Rezim demokrasi baru mencari kebijakan untuk menjadikan mereka sebagai “negara

bersih”, yaitu mencari cari untuk mengubur masa lalunya dan mendahulukan pertanggung

jawaban terhadap masalah terebut. Namun dengan cara ini justru


menyebabkan tuntutan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan akan hilang secara

sederhana. Dengan menerima hal itu, timbul sebuah penyederhanaan konsep bahwa kebenran

lah yang lebih baik untuk dijadikan keadilan dan laporan dari komisi merupakan alternatif

yang lebih baik bagi tuntutan pidana terhadap pelanggar HAM.

Solon (595 SM) seorang yang melakukan revisi drastis terhadap sistem sosial

ekonomi dan politik di Athena. Dijadikan salah satu perspektif karena kebijakan dan

tindakannya yang mencerminkan pemerintahan modern dalam rekonsiliasi dengan masa

lampau. Hal-hal yang dapat terlihat dari kebijakannya adalah sebagai berikut: Pertama,

perlindungan bagi populasi penduduk. Kedua, masyarakat memerlukan tatanan sosial baru.

Ketiga, menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan berkuasa. Keempat, penegasan Solon

untuk melakukan pemihakan.

4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer.

Demiliterisasi bukan hanya permaslaahan yang menyangkut dengan militer sendiri,

tradisi dalam politik menunjukan bahwa adanya kecenderungan untuk terjadinya pengulangan

oleh para politisi yang menolak ketidak pastian proses demokrasi dan kemudian meminta

bantuan kepada pihak militer untuk menyelesaikan secara alternatif, dengan cara menyamar

di balik harapan pengutamaan kepentingan nasional. Nyatanya pihak militer tidak akan

melakukan intervensi jika tidak mendapat dukungan dari pihak sipil.

Dalam paradigma baru, militer disarankan untuk tetap berperan dan mempengaruhi

perkembangan politik, namun tidak memiliki aspirasi untuk mendominasi pemerintahan.

Maksudnya adalah militer memberikan pengaruh dengan cara halus dan tidak langsung.

Menurut kelompok reformis-radikal TNI hanya dapat berubah secara gradual, untuk menuju

arah itu ada beberapa langkah menurut


Crouch, yaitu: Reduction in military representation in the legislatures, elimination of

“kekaryaan” (secondment of military officers to civilian positions), separation of police from

the military and defence orientation.

C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik.

1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan.

Steven Biko, seorang pendiri dari Black Consciousness Movement meninggal dunia

pada 12 September 1977. Pembunuhan terhadapnya adalah dampak dari terjadinya sistem

Apartheid. Dua puluh tahun kemudian, lima orang polisi yang mengaku membunuh biko

mengajukan amnesti kepada komisi kebenaran dan rekonsiliasi Afrika Selatan. Namun ini

dapat diberikan jika para pelaku bersedia membuka fakta secara keseluruhan, karena ini

adalah potensi untuk melakukan pembebasan dari hukuman dan salah satu penyelesaian

alternatif secara damai dengan kelompok putih.

2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi.

Ntsiki Biko, seorang istri dari Steven Biko menghendaki agar para pembunuh

suaminya agar dihukum. Ntsiki mengajukan gugatan di MK Afrika Selatan dengan isi

tuntutannya adalah kewenangan komisi untuk memberikan amnesti adalah bentuk

inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Dan gugatan tersebut ditolak

oleh mahkamah konstitusi dengan dalil bahwa sudah kewenangan komisi untuk memberikan

amnesti serta kewenangan tersebut bersifat konsisten dengan hukum internasional, dan

dengan itu tersubordinasikan dengan pemberlakuan kewenangan negara afrika.

Komisi kebenaran dan rekonsiliasi afrika selatan menolak memberikan amnesti

kepada steven dengan alasan sebagai berikut: (1) para pembunuh Biko belum
memberikan kesaksian dengan jujur terkait pembunuhan. (2) pembunuhan Biko tidak terkait

dengan tujuan politik.

3. Perspektif Hukum Internasional.

Dalam berbagai transisi, fungsi tersendiri dari penghukuman dan amnesti harus

dibandingkan dengan prioritas relatif diantara kedua hal tersebut tidak dapat disusun secara

teorotis “State to punish certain human right crimes committed in their teritorial

jurisdiction”.

D. Pengalaman Beberapa Negara.

1. Beberapa Negara Amerika Latin.

a. Beberapa Karakteristik Transisi Politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan.

Faktor-faktor internasional yang lebih menguntungkan bagi negara-negara eropa

selatan dalam transisi politik. Menurut O’Daniel heteroginitas tercatat lebih tinggi di Amerika

Latin dibandingkan Eropa Selatan, menurutnya penting untuk membahas kasus yang

mencakup aneka tipe kekuasaan otoriter dalam masyarakat kapitalis Amerika Latin

kontemporer.

b. Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokratis” atau “Tradisional”.

Amerika Latin dalam masa pra-transisi nya dikenal oleh para ahli ilmu politik dengan

sebutan “otoritarisme birokratis”, adapun yang menyebutnya sebagai “tradisional” yang

memiliki unsur patrimonialis. Hal ini merupakan jenis rezim yang paling rentan terhadap

transformasi revolusioner. Nyatanya, rezim baru dideskripsikan sebagai sesuatu demokrasi

yang mudah hancur atau sulit.


2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin.

a. Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani.

Peranan para hakim dalam proses kembar dari transisi menuju demokrasi dan

konsolidasi di yunani sangat menarik untuk dieksplorasi secara sistematis. Para hakim di

negara-negara yang menerapkan tradisi hukum sipil, ditetapkan untuk melakukan langkah

sebagai suatu yang berkedudukan sebagai “operator dari suatu mesin yang di design oleh para

ilmuwan dan dibangun oleh para pembuat undang-undang”. Peranan utama mereka adalah

penegakan hukum, tanpa secara terbuka untuk mendapatkan pengaruh politik yang nyata.

b. Konsepsi “Jalan Tengah” di Jerman dan Cekoslovakia.

Permasalahan ditemukan dalam tentang apa yang harus diakukan dengan arsip-arsip

negara yang telah menimbulkan perdebatan publik di negara-negara yang memiliki aparat

yang represif. Resolusi bisa dilakukan di kedua negara tersebut jika mereka bersifat

kompromistis, bersifat jalan tengah, tidak merusak arsip masa lalu namun juga tidak dapat

dilakukan akses sepenuhnya terhadap akses tersebut.

1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru.

a. Membiarkan Masa Lalu, atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis.

Beberapa bangsa telah berekasi terhadap masa lalunya yang kacau dengan menutup

mata mereka secara kolektif. Beberapa negara lainnya juga mendapat kesulitan untuk

memelihara amnesia historisnya di hadapan korban yang terus menerus berjatuhan.


b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan.

Kecenderungan dalam keragaman pengalaman ini mengarah kepada ketertutupan.

Dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat beberapa kata yang menarik untuk di

diskusikan, Daan Bronkhost memilih kata-kata yang dijakdikan salah satu parameter untuk

menganalisis masalah yang berkaitan dengan keadilan transisional yaitu: Kebenaran,

Rekonsiliasi dan Keadilan. Upaya pencarian keadilan transisional di masing-masing negara

berbeda, perbedaan kondisi masa lalu ini membuat upaya penyelesaian berbagai masalah

yang terjadi pada masa sebelumnya. Terutama masalah yang berkaitan dengan pelanggaran

HAM berat.

2. Empat Permasalahan Utama: Politik Memori.

a. Empat Permasalahan Utama.

Berbagai permasalahan muncul dalam usaha pencarian konsepsi keadilan transisional

dalam proses menuju demokrasi yang terjadi, keempat pertanyaan yang dikemukaan oleh

Teitel dapat dijadikan sebagai tolak ukur. Pertanyaan tersebut adalah: Bagaimana pemahaman

masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang

dilahirkannya ?, Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi

transformatif ?, Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggung jawaban suatu negara

terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata

pemerintahan yang liberal ?, Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah

liberalisasi.

b. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan HAM Berat: Putusan Pengadilan

Nuremberg.

Penyebab berbagai negara memiliki norma hukum pidana dikarenakan adanya para

pelau kejahatan Extraordinary Crimes. Nazi menyatakan bahwa kejahatan


terhadap kemanusiaan dapat diadili dalam pengadilan internasional, karena mereka telah

melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Pengadilan Nuremberg memiliki kewenangan

untuk mengadili dan menghukum orang-orang yang ikut berkonspirasi melakukan kejahatan

terhadap perdamaian, kejahatan perang, kejahtan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam

piagam dibentuk oleh negara yang memegang kekuasaan utama dan mengatur yuridiksi serta

fungsi dari pengadilan Nuremberg itu sendiri. Para terdakwa pelaku kejahatan HAM Berat

selama masa perang dunia ke-2 didakwa telah melakukan kejahatan terhadap manusia dengan

merencanakan, mempersiapkan, memperkrasai dan melakukan perang agresi. Mereka juga

dinilai melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Para terdakwa dituntut berdasarkan pasal 6 dari piagam sebagai berikut :

(1) Crimes Against Peace.

(2) War Crimes.

(3) Crimes Against Humanity.

Dalam statuta Roma diatur adanya kejahatan Genosida, yaitu sejumlah tindakan yang

bertujuan untuk melakukan penghancuran seluruh atau sebagian kelompok masyarakat

tertentu. Pasal 6 statuta Roma diklasifikasikan sebagai genosida yang bertujuan untuk

menghancurkan seluruh atau sebagian sebuah kelompok. Pasal 25 ayat (3) butir b Statuta

berisi tentang siapapun yang memerintahkan, memohon atau membujuk orang lain dalam

melakukan tindakan yang diklasifikasi sebagai genosida juga dapat dinyatakan berasalah.

Putusan yang dikenakan oleh para terdakwa adalah: dibebaskan, 10 tahun penjara, 15-20

tahun penjara, penjara seumur hidup dan hukuman mati digantung.


c. Politik Memori.

Teitel mengemukakan bahwa keempat permasalah utama dalam hal ini disebut

dengan the Politics of Memory. Menurutnya demokratisasi yang terjadi pada abad ke dua

puluh merupakan “most powerfull collective decision makers are selected through fair,

honest, and periodic elections”, bagi kelompok lain transisi berakhir ketika kelompok politis

menerika aturan hukum. Di antara dua kelompok ini mencakup pandangan demokrasi yang

teologis, namun pandangan tersbut tidak dapat diterima karena memasukkan sesuatu yang

bias terhadap demokrasi yang bercorak barat.

3. Beberapa Wacana tentang “Transitology” dan “Consolidology”.

a. Tentang Terminologi “Transitology” dan “Consolidology”.

Schmitter menyatakan This neo-and, Perhaps, Pseudo-Science Would Explain and

Hopefully, Guide the way from and autocratic to a democratic regime. “Wily Florentine” was

the first Great Political Theorist, not only to treat political outcomes as the artefactual and

contingent product of human collective action, but also to recognize the spesific problematocs

and dynamics of regime change. Consolidology has no such obvious a patron saint. It reflects

a much more consistent preoccupation among students of politics with the conditions

underlying regime stability.

b. Kemungkinan Kontradiksi antara Kedua Subdisiplin.

Kelompok komsolidologis harus bergeser dari cara berpikir konteks”Politik sebab-

akibat” ke analisis suatu bentuk yang lebih pasti “rasionalitas yang meyakinkan”, kedua

kondisinya dihubungkan dengan kelas kapitalis, pecahan etnis, budaya lama, konflik status

dan antagoisme internasional, yang didukung oleh politisi profesional yang mengisi pernanan

yang lebih dapat diperkirakan namun tidak berisiko.


c. Sebelas Refleksi Schmitter tentang “Consolidology”.

Sebelas refleksi yang dikemukakan oleh phillipe adalah:

(1) Refleksi Pertama: Demokrasi bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan,

dicabut atau diubah. Demokrasi tidak dibutuhkan untuk memenuhi fungsional dari

kapitalisme atau tidak merepon kepada beberapa keharusan etis dari revolusi sosial.

(2) Refleksi Kedua: Transisi rezim ototriter membawa perubahan yang berbeda-beda.

Pertama, kemunduran kembali ke otokrasi. Kedua, Pembentukan rezim cangkok. Ketiga,

Hasil logis yang paling tersembunyi dan paling di bawah lingkungan kontemporer. Keempat,

Demokrasi yang terkonsolidasikan. Menurut Frans Magnis Suseno, setiap demokrasi

memecahkan perbedaan pendapat secara konsensus. Demokrasi yang stabil adalah demokrasi

yan dimana terdapat konsensus dasar yang kuat, bahwa semua hal diputuskan dengan cara

demokratis. Demokrasi menjamin kepentingan, cita-cita, dan keyakinan dasar semua orang

termasuk minoritas. Hal itu dijamin di dalam Undang-undang Dasar serta Pembukaannya.

(3) Refleksi Ketiga: Bukanlah demokrasi yang dikonsolidasikan, namun satu aatau tipe yang

lain dari demokrasi.

(4) Refleksi Keempat: Tipe demokrasi akan tergantung secara signifikan pada model transisis

dari otokrasi.

(5) Refleksi Kelima: Segala tipe demokrasi memiliki kelangsungan hidup mereka sendiri,

pada keberhasilan konsolidasi demokrasi tergantung pada pembelahan dari struktur sosial,

biaya dan tingkatan dari perubahan ekonomi dan proses-proses budaya dari sosialisasi politik

dan evaluasi etik.


(6) Refleksi Keenam: Hampir tanpa perkecualian, demokrasi merupakan satu-satunya bentuk

yang sah dari demokrasi politik. Ketidak terulangan dari proses demokrasi ini menimbulkan

kensekuensi sekunder yang tidak dapat dihitung bagi negara demokrasi baru, perubahan

diabaikan berarti merupakan suatu hal yang penuh resiko untuk menyarikan pelajaran.

(7) Refleksi Ketujuh: Peranan yang dimainkan oleh berbagai insitusi perantara ini partai

politik, perkumpulan kepentingan gerakan sosial mengalami perubahan yang tidak dapat

ditarik kembali. Tipe demokrasi politik modern adalah perwakilan.

(8) Refleksi Kedelapan: Transisi menuju demokrasi jarang terjadi dalam isolasi struktur

sosio-ekonomi dan nilai-nilai budaya.

(9) Refleksi Kesembilan: Terdapat suatu aturan bahwa Semua knsolidologis tampak setuju

dengan prinsip “it is preferable, if not indispensable, that national identity and territorial

limits be estabilished before introducing reforms in political (or economic) institutions”.

(10) Refleksi Kesepuluh: Demokrasi cenderung muncul dalam gelombang, yang terjadi

dalam suatu oeriode waktu yang relatif singkat dan di dalam suatu wilayah geografis yang

berdampingan. Implikasi besar menurut Schmitter dari hal ini adalah bahwa relevansi dari

konteks internasional cenderung untuk meningkatkan kemotononan untuk mengubah dalam

mengintensitaskan kematian berturut-turut dari otokrasi dan upaya untuk menegakan

demokrasi.

(11) Refleksi Kesebelas: Ilmu politik telah lama dipertimbangkan sebagai hal yang sangat

dibutuhkan untuk suatu tugas yang sedemikian besar dan sulit. Sekumpulan refleksi yang

dimaksud meliputi tujuh hal sebagai berikut: Pertama, Tanpa kekerasan atau penghilangan

fisik dari para pemain utama dari otokrasi sebelumnya. Kedua,


Tanpa banyak mobilisasi massa yang membawa kejatuhan dan ancien regime dan penentuan

waktu dari transisi. Ketiga, tanpa mendapatkan suatu tingkat yang tinggi dari pembangunan

ekonomi. Keempat, tanpa menyebabkan suatu distribusi kembali dari pendapatan yang

substansial atau kekayaan. Kelima, tanpa kehadiran sebelumnya dari para borjuis nasional.

Keenam, Tanpa budaya kewarganegaraan. Ketujuh, Tanpa banyak demokrat.

B. Konteks Internasional pada Waktu Transisi.

1. Internasionalisasi Permasalahan.

Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber

yang saling mempengaruhi antara pemerintahan baru yang menggantikan mereka yang

berada di luar negeri. Pendapat kritz pemerintah asing di dorong untuk melakukan suatu

peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari rezim

sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili.

2. Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif.

Dalam perubahan politik, hukum internasional menawarkan suatu konstruktif

alternatif dari hukum, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap

berlangsung dan kekal. Potensi dari pemahaman dari hukum internasional ini mendapatkan

kekuatannya dalam periode pasca perang. Hukum internasional pun berperan sebagai konsep

penengah untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan

pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari pengadilan nuremberg

berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.


Mahkamah konstitusi hongaria mendalilkan bahwa pembukaan kasus terdahulu akan

membuat tidak berkesinambungan dengan hukuman sebelumnya. Hal tersebut akan

mengancam pemahaman dari legalitas dalam periode penggantinya. Dalam putaran kedua

dari judicial review, pengadilan menyetujui statuta baru yang mengotorisasi tuntutan tahun

1956 berdasarkan kejahatan perang di bawah hukuman internasional. Keberlangsungan

semacam itu dianggap eksis di dalam norma-norma hukum internasional.

Dalam periode perubahan politik yang terus menerus, hukum internasional

menawarkan suatu konsep mediasi yang berguna. Pembentukan aturan hukum bergerak dari

antimoni positivisme dan hukum alam. Norma hukum positif internasional didefinisikan

dalam berbagai konvensi, traktat, dan kebiasaan- kebiasaan.

3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis dan Belanda.

Keadilan di tiga negara tersebut sampailah pada waktunya ketika aturan yang bersifat

suprasional tentang penghormatan terhadap HAM dan aturan hukum justru lemah atau tidak

ada. Kemudian mengalami perubahan “covenant on civil and political rights” dan Helsinki

Accords. Kerangka landasasn hukum baru ini telah dan tetap menjadi rujukan penting dalam

putusan yang berkaitan dengan masa lalu di Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia.

Dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit politik

merupakan suatu fungsi dari kondisi yang menjadi jalan ke arah demokrasi. Selanjutnya

adalah tak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan dengan masa lalu yang represif.

Begitupula dengan perdebatan tentang apa yang terjadi selama dan sesaat setelah perang

tidak beranjak jauh. Ketiga kasus ini menunjukkan betapa


berakibatnya keadilan tarnsisional sebagai suatu penugasan politik. Paksaan politik sangat

mengurangi kebebasan untuk bertindak dari para elit politik pascakomunis. Sisi positif dari

kebijakan semacam ini adalah ketika tiba pada masa penuntutan dan penyaringan,

penghormatan terhadap peraturan hukum lebih kurang dijamin. Hal inilah yang menyebabkan

hampir semua analis berpendapat bahwa jika keseimbangan kekuatan pada masa transisi

membuat suatu keringanan yang ternegosiasikan tak dapat dielakkan.

4. UU Lustrasi Cekoslovakia.

Mengikuti model uni soviet, mereka memaksakan suatu sistem pemerintahan dimana

partai melakukan kontrol terhadap negara. Kerja paksa menjadi suatu yang rutin karena

ekonomi dan pertanian dinasionalisasikan. Agama, budaya, media, dan perjalanan ke luar

negeri sangat dibatasi. Pemerintahan kemudian bergerak cepat untuk melawan warisan

ketidak adilan dari rezim komunis. Perkembangan yang terjadi kemudian tidak menunjukan

dengan jelas bagaimana kritisisme semacam ini dalam konteks yang lebih jauh dapat

mempengaruhi pelanggaran di negara yang bersangkutan. Berbagai peraturan kemudian

diberlakukan untuk memberikan rehabilitasi kepada para tahanan politik dan restitusi

terhadap berbagai properti.

5. Akibat Yang Lebih Signifikan dan Empati Skenario Pascakomunis.

Terlepas dari berbagai referensi terhadap sensor Internasional, pemerintah, partai

politik, hakin dan sarajana hukum cekoslovakia meminta konvensi HAM internasional

melakukan peninjauan terhadap berbagai UU yang mengatur tentang kejahatan. Dari

beberapa faktor yang mempengaruhi arah dari keadilan Pascaotoritarian. Yang paling

menentukan adalah faktor keseimbangan diantara kekuatan di masa lampau dan para elit

penggantinya pada masa transisi. Menyusun


suatu tipologi dari hubungan kekuasaan pada masa transisi menuju demokrasi mulai

berlangsung. Pertama, penggulingan kekerasan atau jatuhnya rezim yang represif. Kedua,

berdasarkan inisiatif dari kelompok reformis yang berasal dari kekuatan pada masa lalu.

Ketiga, demokratisasi dihasilkan dari tindakan bersama oleh dan proses penyelesaian yang

dinegosiasikan antara kelompok-kelompok yang memegang pemerintahan dan kelompok

oposisi.

a. Skenario Pertama: sistem ini dilambangkan oleh suatu komitmen umum kepada aturan

permainan, terdapat suatu budaya demokratis yang didirikan dengan baik dan suatu

komitmen yang solid kepada rasionaltas hukum.

b. Skenario Kedua: suatu sistem otoritarian. Membedakan antara rezim yang memilih suatu

sistem yang secara mendasar merupakan sistem kapitalis meskipun melibatkan negara yang

tinggi dalam bidang ekonomi, dan pencari tahuan suatu pengambilan terhadap berbagai

elemen dari ekonomi terpimpin.

c. Skenario Ketiga: Essensial tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana

pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah

arah.

d. Skenario Keempat: Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan, ia

tidak dapat disesuaikan dengan kategori yang eksis sebelumnya.

C. Keadilan dalam Masa Transisi Politik.

1. Pandangan Kelompok Realis Versus Kelompok Idealis.

Perdebatan tentang hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat dua pandangan

yang salong berhadapan, yakni pandangan kelompok realis versus idealis. Padangan Teitel

akan hal ini dilema awal dimulai dari konteks keadilan dalam
transformasi politik: Hukum dicerna sebagai sebagai suatu fenomena yang terletak pada masa

lalu dan masa yang akan datang, antara retrospektif dan prospektif, antara individual dan

kolektif.

Keadilan transisional adalah keadilan yang diasosiasikan dengan konteks ini dan keadaan-

keadaan politik. Dalam fungsi sosial, hukum berfungsi untuk memberikan ketertiban dan

stabilitas, namun dalam masa pergolakan politik yang luar biasa, hukum berfungsi sebagai

penjaga ketertiban dan kemungkinan transformasi.

2. Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan Politik.

Urutan pelaksanaan pembangunan didasarkan pada adanya bias disiplin atau

generalisasi dari pengalaman-pengalamn nasional tertentu terhadap norma-norma universal.

Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam

konteks penyeimbangan kekuasaan, hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik.

Dalam suatu negara demokrasi tidak boleh terdapat suatu pembersihan yang bersifat

indiskriminasi.dalam segala keadaan, kekerasan dan kecepatan dihargai lebih daripada

penghormatan kepada aturan hukum.

3. Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Politik.

Antimoni pandangan kelompok realis dan idealis tentang keadilan dalam masa transisi

politik, penyusunan teori liberal atau kritis sebagai hubungan antara hukum dan internasional

dan politik. Teori liberal dominan dalam hukum internasional dan politik, hukum dipahami

sebagai mengikuti konsep idealis bahwa secara luas dipengaruhi oleh konteks politik.

Sedangkan dalam penyusunan teori hukum kritis, kelompok realis menekankan pada kaitan

antara hukum dan politik. Dalam realitanya, ternyata hukum tidak steril dari subsistem

kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi terhadap pembuatan dan

pelaksanaan hukum. Pengertian


politik hukum menurut Mahfud MD ada dua. Pertama, secara sederhana politik hukum

dirumuskan sebagai kebijakan hukum yang akan dilaksanakan secara nasional oleh

pemerintah. Kedua, Politik mempengaruhi hukum dengan melihat konfigurasi kekuatan yang

ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum tersebut sendiri. Hukum tidak dipandang

sebagai pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen dan das sein.

D. Dilema Penerapan Aturan Hukum.

1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan.

Dalam periode transformasi politik, masalah legalitas berbeda dengan masalah dalam

teori hukum sebagaimana yang muncul pada demokrasi dalam waktu yang normal. Ketika

suatu sistem hukum mengalami perubahan terus menerus, tantangan terhadap pemahaman

umum aturan hukum akan mencapai puncaknya. Tantangan bersifat kurang keras pada masa

transisi pascaperang dari pada pemerintahan komunis, periode transformasi bersifat simultan

dalam bidang ekonomi, politik dan hukum.

2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap para Mantan

Kolaborator Nazi.

Menurut Hart, hukum tertulis yang berlaku sebelumnya harus dinyatakan berlaku

serta harus diikuti oleh pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau

diganti dengan yang baru. Tuntutannya adalah agar prinsip aturan hukum yang mengatur

putusan dalam masa transisi harus diproses sebagaimana hal tersebut dilakukan dalam masa

normal dengan memberlakukan sepenuhnya hukum tertulis yang bersangkutan. Menurut

Fuller, hukum mengandung arti bahwa memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi.

Yang pada intinya menyatakan bahwa aturan


hukum mengandung arti bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi.
Tanggapan Politik Hukum.

Pasca membaca, menandai serta meringkas dari isi buku Hak Asasi Manusia dalam

Transisi Politik di Indonesia karya Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H, M.Hum., saya akan

memberikan sedikit tanggapan terhadap buku tersebut sesuai pemahaman dan pengetahuan

saya. Setelah membaca buku ini, kami sebagai pembaca merasa mendapatkan sebuah Insight

tentang sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia. Terjadinya perubahan atau berpindahnya masa

kekuasaan yang mulanya Otoriter menjadi Demokrasi adalah sebuah bentuk dari awalnya

penghargaan Hak Asasi Manusia, dalam hal tersebut juga merupakan awal dari penghargaan

kemerdekaan jiwa dari setiap individu yang terlepas dari kepemilikan manusia lainnya.

Dalam perubahan besar tersebut, tentu saja negara mereka membutuhkan hukum-hukum baru

yang bersifat efektif untuk digunakan selama masa transisi hingga tercapainya tujuan

tersebut.

Terkait Komunisme, yang dimaksud komunisme dalam buku tersebut adalah peta

pemikiran (ideologi) yang berlaku dan dipakai oleh para partai-partai komunis di dunia.

Dalam hal ini mereka menggunakan sosialisme sebagai sistem alat kekuasaan dimana

kepemilikan dan hak-hak individu sangat amat dibatasi. Banyak dari kita mengetahui rezim

komunisme yang paling sadis adalah masa pemerintahan Nazi, namun menurut saya rezim

yang paling kejam adalah masa pemerintahan Khmer Merah di Cambodia. Komunisme

sendiri masih banyak dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat, namun seiring berjalannya

waktu sebagian besar dari masyarakat membentuk gerakan berlawanan terhadap kekuasaan

pemerintah.1

1 Marx, Karl dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis 1848 : Pendahuluan. Edisi
Keterangan. https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/
manedi.htm, 10 Oktober 2021.
Sebelum bergerak lebih jauh, ada baiknya kita memahami dahulu apa itu HAM yang

dimaksud dalam buku ini. Pengertian Hak Asasi Manusia menurut Bangsa Indonesia masih

ada kaitannya dengan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM adalah “Hak

Asasi sama dengan hak dasar yang dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa adanya

perbedaan. Hak dasar merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang Maha

Esa, Maka Hak Asasi Manusia adalah Hak atau Anugerah dari Tuhan yang Maha Esa yang

melekat pada setiap diri manusia, mempunyai sifat Kodrati, Universal dan Abadi, serta

berkaitan dengan Harkat Martabat Manusia”.2

Dalam masa-masa modern kini Hak Asasi Manusia dimengerti secara Humanistik,

tanpa memperdulikan latar belakang suku, agama, ras, warna kulit serta gender. Banyak

peristiwa yang berkaitan dengan Hak Asasi di Indonesia dan menjadi tatanan aturan hukum

baru terkait HAM itu sendiri, diantaranya adalah Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti dan

masih banyak lagi. Berkiblat dengan peristiwa- peristiwa tersebut, maka harus kita ingat lagi

konsep dari Hak Asasi Manusia menurut Undang-undang Dasar 1945 yang berisi tujuan

negara Indonesia yang didasari oleh pancasila. Isi dari pancasila tersebut adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan Yang di Pimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan

Perwakilan.

2 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusida dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia; Cetakan Kelima, 2018), hal.52.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Masih dalam topik Hak Asasi Manusia, pada masa Transisi Politik dalam Buku

tersebut dibahas pula macam-macam pelanggaran Hak Asasi Manusia. Yang dimaksud

dengan pelanggaran HAM sesuai dengan Pasal 1 (6) Undang-undang No.39 Tahun 1999

tentang HAM adalah seluruh perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih

(berkelompok) termasuk aparat hukum, disengaja ataupun tidak disengaja, melawan hukum,

menghakimi, menghalangi serta mencabut Hak individu seseorang atau suatu kelompok yang

di lindungi oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan penyelesaian hukum secara baik dan

benar berdasarkan regulasi yang berlaku.3 Masih dalam Undang-undang No.39 tahun 1999,

dapat di rumuskan bahwa HAM itu bersifat melekat pada setiap diri manusia dan bukanlah

suatu hal yang diberikan oleh penguasa atau manusia lainnya. Hak-hak yang diperoleh oleh

setiap individu dalam UU tersebut adalah sebagai berikut4:

1. Pasal 9: Hak Hidup. Setiap individu berhak untuk mempertahankan hidup, meingkatkan

taraf hidup, nyaman, aman dan sejahtera lahir dan batin dan mendapat kehidupan yang layak.

2. Pasal 10: Hak Berkeluarga dan Hak melanjutkan keturunan. Setiap individu berhak

membentuk sebuah keluarga dan melangsungkan keturunannya melalui perkawinan yang sah.

3. Pasal 11: Hak Mengembangkan Diri. Setiap individu berhak berjuang atas dirinya baik

secara mandiri ataupun berkelompok.

3 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun


1999, LN Tahun 1999 Nomor 165, 12 Nomor 3886.
4 Ibid.
4. Pasal 17: Hak Mendapatkan Keadilan. Setiap individu berhak mendapatkan keadilan yang

setara tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras ataupun gender. Baik dalam ranah

perdata ataupun pidana, sesuai dengan administrasi secara bebas dan tidak memihak serta

diadili secara objektif oleh hakim yang jujur dan mendapatkan putusan yang adil serta benar.

5. Pasal 20: Hak Kebebasan Individu. Setiap Individu berhak mempunyai pendapatnya

sendiri, memilih keyakinan agama serta politik, bebas bergerak dan berpindah tanpa rasa

takut akan diskriminasi.

6. Pasal 28: Hak Rasa Aman. Setiap individu memperoleh hak atas perlindungan diri,

keluarga, hak milik, rasa tentram dan perlindungan ancaman.

7. Pasal 36: Hak Kesejahteraan. Setiap individu mempunyai hak milik dan mendapatkan

jaminan sosial yang dibutuhkan, mempunyai hak atas mendapatkan pekerjaan, hidup yang

layak dan memperjuangkan hidupnya.

8. Pasal 43: Hak Serta dalam Pemerintahan. Setiap individu berhak mengikuti pemerintahan

secara langsung atau wakil yang dipilih secara bebas.

9. Pasal 45: Hak Perempuan. Setiap perempuan berhak untuk mendapatkan, dipilih, memilih

dalam sebuah jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan serta undang-

undang. Mereka juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam pelaksanaan

pekerjaannya terhadap hal yang dapat mengancam kesehatan ataupun keselamatannya.

10. Pasal 52: Hak Anak. Setiap individu anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang

tuanya, masyarakat sekitar dan negara, dan mendapatkan pendidikan serta tidak dirampas

kebebasannya.
Jika kita melihat perbedaan antara Rezim Otoriter dengan demokrasi yang terdapat

dalam buku, suatu negara yang diatur oleh elit politik tertentu akan menimbulkan pengaruh

yang berbeda dalam pengambilan kebijakan regulasi yang terkandung dalam negara tersebut.

padahal seharusnya negara adalah alat yang dapat digunakan masyarakat (yang memiliki hak

kekuasaan) untuk mengatur hubungan sesama antar manusia (masyarakat) untuk merapihkan

kekuasaan yang tidak jelas dalam masyarakat.5

Dapat kita simpulkan bahwa bahwa antara Hak Asasi Manusia dengan Negara, harus

adanya landasan dasar yaitu aturan hukum atau undang-undang. Dalam penegakan HAM di

dalam negara yang menganut asas-asas hukum, pemerintah harus memperhatikan regulasi

yang berlaku. Jika pemerintah tidak berpaku pada regulasi dan melaksanakannya dengan

kekuasaan, maka orang yang di dalam pemerintahan itulah yang dapat terjerat hukum.

Namun hal itu hanya yang bertentangan saja dengan undang-undang yang berlaku. 6 Di

Indonesia sendiri yang bersifat demokrasi, dapat kita lihat secara jelas bahwa adanya

lembaga-lembaga negara seperti Komisi Perlindungan Perempuan, Komisi Perlindungan

Anak, Komisi Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebuah bentuk usaha negara untuk

menjamin Hak Masyarakatnya. Adapun semestinya Komisi-komisi tersebut berfungsi secara

baik dan benar agar tidak hanya menjadi pelengkap sistem kenegaraan saja, namun juga dapat

berfungsi demi kemaslahatan serta kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.7

5 A. Ubaidillah (et.al), Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, &


Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal.33.
6 Eko Hidayat, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Indonesia,
(Lampung: IAIN Raden Intan Lampung, 2020), hal.86.
7 Ibid, hal.7.
Daftar Pustaka

A. Buku

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Cetakan Kelima. 2018.

Ubaidillah, A, et.al., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)

Demokrasi, HAM, & Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press. 2000.

B. Artikel

Hidayat, Eko. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Indonesia.

Lampung: IAIN Raden Intan Lampung. 2020.

C. Internet

Marx, Karl dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis 1848 :

Pendahuluan. Edisi Keterangan. https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-

engels/1848/manifesto/manedi.htm, 10 Oktober 2021.

D. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39

Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886.

Anda mungkin juga menyukai