Anda di halaman 1dari 29

Accelerat ing t he world's research.

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Wardiman Pratama96

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

makalah sumber hukum islam.docx


Alfi Rahmelia

Kelompok 1 fiqih (penghant ar fiqh)


Annisa Mariana

Pendekat an Saint ifik Kurikulum 2013 KEMENT ERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016
Ihsanul Purba
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

Dosen : Ismail , S.AG , MA

Disusun Oleh :

Kelompok 7

Arif Budiyanto ( 2016 455 000 29 )

Wardiman ( 2016 455 000 37 )

Kelas : S3A

Pogram Studi Teknik Arsitektur

Fakultas Teknik Matematika dan Ipa

Universitas Indraprasta PGRI


Jakarta
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Para pakar hukum Islam berpendapat bahwa sumber-sumber hukum Islam


ada tiga , yaitu: Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijtihad. Ketiga sumber hukum tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. AL-QUR'AN
1. Pengertian Al-Qur'an

Al-Qur'an ialah kalam Allah swt.yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


saw. melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan sumber hukum sertasebagai
pedoman hidup bagi pemeluk Islam, membacanya sebagai ibadah kepada Allah.

Dari keterangan tersebut di atas, maka firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Musa as.dan Nabi Isa as. serta nabi-nabi yang lain tidak dinamakan Al-Qur'an.
Dengan demikian, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw.melalui ilham ataupun mimpi seperti hadis Qudsi,maka tidak pula dinamakan Al-
Qur'an, dan membacanyapun belum tentu bernilai ibadah.

Al-Qur'an mempunyai nama-nama lain seperti: Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqan


artinya yang membedakan antara yang haq dan yang batil, dan Az-Zikru artinya
peringatan. Dan masih banyak lagi nama-nama Al-Qur'an.

2. Sebab-sebab Turunnya Al-Qur’an


Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur'an adalah sangat penting sekali,
yaitu bagi orang yang ingin mengetahui hukum-hukum atau ilmu-ilmu yang
terkandung di dalam Al-Qur'an.Hal tersebut didasarkan pada dua sebab yaitu:

a. Untuk mengetahui kemukjizatan Al-Qur'an. Perlu diketahui suasana ketika ayat-ayat


Al-Qur'an diturunkan, baik keadaan ayatnya, keadaan Nabi Muhammad saw. yang
menerima dan membawa ayat-ayat itu, maupun keadaan seluruhnya.
b. Tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an dapat mendatangkan
keragu-raguan.Dan dapat pula menyebabkan ayat-ayat yang terang dan jelas
maksudnya terkadang menjadi samar, sehingga dikhawatirkan akan timbul
perselisihan.

Ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah saw. ialahsebagai penerang


atau penjelas terhadap suatu perkara yang pada waktu itu Rasulullah saw. belum
mengetahui hukumnya. Maka ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan karena ada suatu
kejadian atau pertanyaan dari para sahabat nabi, yang mana nabi sendiri belum
mengetahui hukumnya.Sedikit sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan tanpa
adanya suatu sebab yang melatarbelakanginya atau tanpa ada pertanyaan yang
mendahuluinya.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang turun karena ada pertanyaan dari sahabat nabi
antara lain terdapat pada ayat-ayat yang memiliki ciri atau didahului oleh lafal
"Yas'alùnaka (mereka bertanya kepadamu)." Dan ayat-ayat semacam ini banyak
sekali kita jumpai, misalnya:

) َ: ‫َ( ل‬. ْ ‫ي ْس ْ نكََم َي ْ ْ ََقلََ ْلع‬


"Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan.
Katakanlah, 'Kelebihan (dari apa yang diperlukan) ".'(QS. Al-Baqarah/2: 219)

) َ: ‫َ( ل‬. ‫صَ ََلّ َْمَخ ْي‬ َْ ‫ي ْس ْ نكََعنََ ْلي ٰت ٰ َق‬


ْ َ‫ل‬
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim.
Katakanlah, 'Memperbaiki keadaan mereka adalah baik"'! (QS. Al-Baqarah/2: 220)

) َ: َْ ‫ي ْس ْ نكََعنََ ْل حيْضََق‬
‫َ( ل‬. ً ََ ‫لَه‬
"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, 'Itu
adalah sesuatu yang kotor) .(QS. Al-Baqarah/2: 222)

ََ‫ي َ مَ َ ْ تيْت َْم َ ّمنَ َ ْلع ْ م‬ َْ ‫ي ْس ْ نكَ َعنَ َ ل ُ ْ َ َقلَ َ ل ُ ْ َ َم‬


َْ ّ‫ن َ ْم َ َ ب‬
) َ:‫َ( ّس ء‬.ًَْ ‫َّق ي‬ َّ
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya
sedikit".' (QS. Al-Isrã'/17: 85)

Ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan karena ada suatu kejadian, misalnya


pada suatu ketika salah seorang sahabat yang bernama Mursyidan Al-Ghanawi
mencintai seorang wanita musyrik bernama Inaq yang mana keduanya ingin
mengikat dalam suatu perkawinan.Ia mohon izin kepada Rasulullah untuk beristri
dengan perempuan musyrik yang dicintainya itu. Ketika itu, Rasulullah saw. tidak
dapat memberikan jawabannya karena belum ada hukum yang menetapkan tentang
hal itu. Maka turunlah ayat sebagai berikut:
ََ‫ن َ ُم ْش كة‬ َّ ‫ََّ َت ْ ح َ ْل ْش ٰكتَ َحت ٰ َيؤْ م‬
َْ ‫ن َ ّمةَ َ ُمؤْ م ةَ َخ ْي َ َ ّم‬
ََ ‫ّ ل َْ َ ْع تْ َْم َ َّ َت ْ ح َ ْل ْش ك ْينَ َحت ٰ َيؤْ م ْ َ لع ْ َ َ ُمؤْ منَ َخ ْي‬
) َ: ‫َ( ل‬.‫نَ ُم ْش ََ ّ ل ََْ ْع ْم‬ َْ ‫م‬
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-
laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun
dia menarik hatimu."(QS. Al-Baqarah/2: 221)

3. Garis-garis Besar Isi Al-Qur'an


Pokok-pokok isi Al-Qur'an ada lima, yaitu:

a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para


rasul-Nya, hari kemudian, qadha dan qadar yang baik dan yang buruk.

b. Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.

c. Janji dan ancaman; Al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima
dan mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya
dengan siksa.

d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.

e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang shaleh
seperti nabi-nabi dan rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama
Allah dan hukum-hukum-Nya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan teladan
bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.

4. Al-Qur’an Sebagai Dasar Hukum

Allah swt.menurunkan Al-Qur'an tiada lain supaya dijadikan dasar hukum dan
disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintah-Nya dan
ditinggalkan segala larangan-Nya, sebagaimana firman Allah:

)۴۳َ:‫َ( ل خ ف‬.‫سكَب لّ ََْ ْ حيََ ليْك‬


َْ ْ ‫ف ْست‬

"Maka berpegangteguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan


kepadamu". (QS. Az-Zukhruf/43: 43)
) َْ ‫ٰي يُ َ ل ّ س ْ ََب ّ َْغَمََ ْن ََ لَْيكََم‬
َ: ‫َ( ل ئ‬.‫نَ ّ بّك‬
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu".(QS. Al-
Mã'idah/5: 67)

َ: ‫ َ( ّنع‬. ْ ‫ٰه َك ٰتبَ َ ْن ْل ٰ هَ َم ٰ َ َف ت ّ ع ْ َ َ ت ّ ْ َلع ّ َْم َت ْ ح‬


)

"Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah.
Ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat".(QS. Al-An‘ãm/6: 155)

a. Prinsip Dasar Al-Qur’an dalam Menerapkan Hukum

Al-Qur'an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk dan


pengalaran bagi seluruh umat manusia.Dalam menetapkan perintah dan larangan Al-
Qur'an selalu berpedoman pada dua hal, yaitu:

1). Tidak memberatkan, sebagaimana firman Allah:

) َ: ‫َ( ل‬. ‫َّ ْسع‬ ً ْ ‫ََّي ّفََلََن‬


َّ َ ‫س‬
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".
(QS. Al-Baqarah/2: 286)

) َ: ‫َ( ل‬. ‫ي ْي ََلََب مََ ْلي ْس ََ ََّي ْي ََب مََ ْلع ْس‬
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu". (QS. Al-Baqarah/2: 185)

Dengan dasar itulah, maka kita diperbolehkan:


a) Mengqashar salat (dari empat menjadi dua rakaat) dan menjamak (mengumpulkan
dua salat), yang masing-masing apabila dalam bepergian sesuai dengan syarat-
syaratnya.
b) Boleh tidak berpuasa apabila sedang bepergian jauh.
c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
d) Boleh makan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan terpaksa.

2). Dalam menetapkan dan merubah suatu hukum tidak dilakukan sekaligus, melainkan
dengan cara berangsur-angsur, seperti pada penetapan larangan minum minuman
keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah:swt.:

َْ ‫ي ْس ْ نكَ َعنَ َ ْل ْ َ َ ْل يْس َ َق‬


ََ ّ ‫ل َف ْي َ َ ثْمَ َك ْي َ َ ّ م فعَ َل‬
) َ: ‫َ( ل‬. ‫نَنّ ْع‬ َْ ‫ثْ ََ ْك ََم‬
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang minuman yang memabukkan
dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan
perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih
besar daripada manfaatnya". (QS. Al-Baqarah/2: 219)

Setelah ayat di atas diturunkan, kemudiandatanglah fase yang kedua


sebagaimana firman Allahswt.:

َ:‫ َ( ل س ء‬. ٰ ‫ٰيـ يُ َ لّ ْينَ َ ٰ م ْ ََّ َت ْ ب َ ل ّ ٰ َ َ ْنت َْم َس‬


) ۳
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu
dalam keadaan mabuk".(QS. An-Nisã'/4: 43)

Kemudian datanglah fase ketigayang menjelaskan larangan keras terhadap


arak dan judi. Larangan ini diterapkan karenasudah banyak orang yang
meninggalkan kebiasaan minum minuman keras dan berjudi, disisi lain yaitu, karena
sebelumnya sudah pernah diturunkan ayat yang mengindikasikan keharamannya,
yaitu ayat yang pertama dan kedua, sebagaimana firman Allahswt.:
ََ‫َ َ ّْ ْ ّ َ َ ْجس‬ ‫يَ يُ َ لّ ْينَ َ ٰ م ْ َ نّ َ ْل ْ َ َ ْل َْيس َ َ ّْ ْن‬
) َ: ‫َ( ل ئ‬. ْ ‫ش ْي ٰ نََف ْجت ْ ََلع ّ َْمَت ْ ح‬
ّ ‫نَع لََ ل‬ َْ ‫ّم‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung".(QS. Al-Mã'idah/5: 90)

Demikianlah Allah membuat dan menetapkan hukum secara berangsur-angsur


dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula, misalnya
pengumumandasar peperangan dan jihad di masa permulaan Islam di kota Madinah.
Misalnya firman Allah:

َ. ‫ْ َ َّ َلَ َع ٰ َن ْ ه َْم َل ْي‬ َ ‫َ َل ّ ْينَ َي ت ْ َ َب نّ َْم‬


)۳ َ:‫( لحج‬
"Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu".(QS. Al-Hajj/22: 39)

Kemudian diperluas keterangan tentang berbagai persoalan yang


berhubungan dengan peperangan, seperti perintah persiapan dengan segala
perbekalan, hukum-hukum orang yang di tawan dan ghanimah(harta rampasan)
serta lain-lainnya.

Di antara firman Allah swt.yang menjelaska perbekalan dan peralatan perang,


adalah sebagai berikut:

َ: ‫ َ( ّن‬.‫ن َ ّ ب َ َ ْل يْل‬
َْ ‫ن َق ّ َ َ ّ م‬
َْ ‫ع ُ ْ َل َْم َ ّم َ ْست ْعت َْم َ ّم‬
َ
)
"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda". (QS. Al-Anfãl/8: 60)

Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang tawanan perang, diatur


sebagaimana firman Allah swt.berikut ini:
ََ ْ ّْ َ ‫يَ َ َْ َيّ ْ َ َلهَ َ ْس ٰ َحت ٰ َيـثْ نَ َف‬
ّ ‫م َك َ َل‬
) َ: ‫َ( ّن‬. ‫ت ْي ْ ََع ََ ل ُ ْني َ لََي ْي ََ ْ ّٰخ‬
"Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat
melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu) ".(QS. Al-Anfãl/8: 67|)

Adapun ayat yang menerangkan tentangghanimah(harta rampasan perang)


danpembagiannya diatur sebagaimana firman Allah:

َْ ‫ْع ْ َ نّ َغ ْ ت َْم َ ّم‬


َ ‫ن َش ْيءَ َف َّ ََِ َخ سهٗ ل ّ س ْ َ َ ل‬
) َ: ‫َ( ّن‬.‫س يْل‬ ّ ‫ْل ْ ٰب َ ْلي ٰت ٰ َ ْل ٰس يْنََ بْنََ ل‬
"Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin
dan ibnu sabil".(QS. Al-Anfãl/8: 41)

b. Memetik Pelajaran dari Al-Qur’an

Selain mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur'an, kita dituntut pula


mengetahui cara mengambil pelajaran yang terdapat di dalamnya, terutama hal-hal
yang berhubungan dengan hukum. Kita mempelajari ushul fiqih gunanya tiada lain
untuk mengetahui bagaimana cara kita mengambil hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an.

Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa macam ayat yang menunjukkan suatu


hukum, akan tetapi masing-masing dalalahnya berbeda. Adapun dalalah yang
menunjukkan suatu hukum di dalam Al-Qur'an dapat dibedakan menjadi:

1). Ada yang perintahnya jelas, akan tetapi caranya tidak jelas, seperti ayat:

) ۳َ: ‫َ( ل‬. ٰ ّ ‫َ ل‬ ‫ق ْي‬


"Dan laksanakanlah salat". (QS. Al-Baqarah/2: 43)
Dalam di atas perintah salat jelas, tetapi carapelaksanakannya tidak disebutkan.

2). Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas, misalnya:
) ۳َ: ‫َ( ل‬. ‫ٰ ت َ ل ّ ٰك‬
"Tunaikanlah zakat".(QS. Al-Baqarah/2: 43)
Ayat di atas jelas perintahnya yaitu tentang zakat, tetapi ukurandan batasan
nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.

3). Adapula ayat yang dalalahnya jelas, misalnya tentang menyapu muka dan tangan
dalam tayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai di mana yang disapu, seperti
firman Allah:

) ۳َ:‫َ( ل س ء‬.‫ف ْمسح ْ َب ج ْ ه َْمَ ْي ْي ْم‬


"Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu".(QS. An-Nisã'/4: 43)

Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya
penjelasan lebih lanjut.Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang berhak
menjelaskannya, kecuali hanya Nabi Muhammad saw. seorang, sebagaimana firman
Allah:

) َ:‫َ( ل حل‬. ّ ‫ْن ْل ََ ليْكََ ل ّ ْك ََلت يّنََل‬


"Dan Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia".(QS. An-Nahl/16: 44)

Az-Zikru oleh sebagian ulama diartikan dengan segala sesuatu yang datang
dari Rasulullah, baik itu berupa sabdanya, perbuatannya dan sebagainya yang
menjadi tafsir bagi Al-Qur'an, atau yang dinamakandengan "Sunah."

B. SUNAH (HADIS)
1. Pengertian Sunah
Sunah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.Sedangkan
sunah menurut istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya,
dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan
ditetapkan oleh nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa
perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.
2. Kategorisasi dan Pembagian Sunah
a. Kategorisasi Sunah
Khabar atau sunah pada umumnya dapat dikategorisasikan menjadi tiga
yaitu:

1). Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang datang dari Allah, rasul-Nya dan
khabar yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir.

2). Khabar yang pasti salahnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin
dibenarkan oleh akal, seperti khabar yang menyatakan antara hidup dan mati dapat
berkumpul. Atau khabar yang bertentangan dengan ketentuan syariat, seperti
mengakui menjadi rasul, akan tetapi tidak disertai dengan mukjizat.

3). Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti khabar-khabar
yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat,
benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak pasti
(qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga kuat
bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan ,seperti pemberitaan orang fasiq.

b. Pembagian Sunah

Dalam hal ini, sunah dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1). Sunah Qauliyah
(sabda-sabda Rasulullah saw), (2). Sunah Fi‘liyah (perbuatan Rasulullah saw), dan
(3).Sunah Taqririyah (diamnya Rasulullah saw.terhadapsuatu ucapan atau perbuatan
sahabat).

1). Sunah Qauliyah

Sunah Qauliyah yaitu perkataan Nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum


agama dan maksud isi Al-Qur'an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan
dan juga menganjurkan akhlak yang mulia. Sunah qauliyah (ucapan) ini dinamakan
juga dengan Hadis Nabi saw.

2). Sunah Fi‘liyah

Sunah Fi‘liyah yaitu perbuatan Nabi saw. yang menerangkan cara


melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, salat dan sebagainya.Sunah fi‘liyah
itu terbagi sebagai berikut:
a). Perbuatan Nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati,dan gerakan tubuh,
seperti: bernapas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan semacam ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan persoalan hukum, dan tidak pula ada hubungannya
dengan suatu perintah, larangan atau teladan.

b). Perbuatan Nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti: cara-cara makan, tidur dan
sebagainya. Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan perintah,
larangan dan teladan; kecuali kalau ada perintah atau anjuran nabi untuk mengikuti
cara-cara tersebut.

c). Perbuatan Nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan
puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain
tidak boleh mengikutinya.

d). Perbuatan Nabi saw.yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal (global), seperti:
salat dan hajinya yang mana keduanya dapat menjelaskan sabdanya:

) ‫َل‬ (َ.‫يَ ص ّ ْي‬


َْ ‫ص ُ ْ ََك َ يْت ْ ن‬
"Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat".(HR. Bukhari). Dan hadis:

)‫مي‬ ‫َل‬ (َ.‫خ ْ َم س ْم‬


"Ambillah daripadaku hal-hal (perlakuan) ibadah hajimu".(HR. Ad-Darimi)

Hukum suatu perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi saw. adalah sama dengan
hukum yang dijelaskan, baik dari segi wajib maupun mandubnya, sebagaimana
penjelasan tentang cara salat dan haji.

e). Perbuatan Nabi saw.yang dilakukan terhadap orang lain sebagai suatu hukuman,
seperti: menahan orang,atau mengusahakan milik orang lain. Di sini perlu
mengetahui sebab-sebabnya, kalau berlaku orang yang dakwa-mendakwa, maka
tentu berlaku sebagai keputusan.
f). Pebuatan Nabi saw. yang menunjukkan suatu kebolehan, seperti: berwudhu dengan
satu kali, dua kali dan tiga kali.

3). Sunah Taqririyah

Sunah taqririyah ialah berdiam dirinya Nabi saw. ketika melihat suatu
perbuatan dari para sahabat, baik perbuatan tersebut mereka kerjakan di hadapan
nabi atau tidak, akan tetapi berita mengenai perbuatan tersebut sampai kepada
nabi.

Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan oleh nabi dianggap sama
dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, dan dapat dijadikan sebagai hujjah
bagi seluruh umat.

Adapun syarat sahnya taqrir atau ketetapan nabi ialah orang tersebut benar-
benar tunduk kepada aturan syara', bukan orang kafir atau munafik.
Contoh-contoh taqrir antara lain sebagaiberikut:
• Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
• Mempergunakan harta yang diusahakan mereka ketika masih kafir.
• Membiarkan zikir dengan suara keras sesudah salat.

Selain tiga macam sunah sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar


ulama menambahkan satu lagi yaitu sunah hammiyah.Sunah hammiyah ialah
sesuatu yang dikehendaki Nabi (diingini) tetapi belum jadi dikerjakan.Misalnya beliau
ingin melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram, tetapi belum dilakukan beliau
telah wafat terlebih dahulu.Walaupun keinginan melaksanakan puasa pada tanggal 9
Muharram belum jadi dilaksanakan oleh nabi, namunsebagian besar ulama
menganggap sunahnya berpuasa pada tanggal 9 Muharram.

c. Sunah Ditinjau dari Segi Sanadnya

Khabar jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hasis, dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Khabar Mutawatir, dan
Khabar Ahad.
1). Khabar Mutawatir

َْ ‫َ َم‬
ََ‫ن َحيْث‬ ‫َْم َع َ ْل‬ ‫خ َ َج ْ عَ َم ْحس ْ َ َي ْ ت عَ َت‬
.‫كثْ ت ْم‬
"Mutawatir ialah khabar yang diriwayatkan oleh banyak orang, tentang sesuatu yang
dipercaya oleh pancainderanya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat
dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka".

Bagian khabar atau hadis ini tingkatannya hampir disamakan dengan Al-
Qur'an, terutama khabar mutawatir yang tidak ada khilafnya lagi dan yang sudah
pasti benar dan sahnya.

Yang dimaksud khabar mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh golongan
demi golongan, sehingga dalam tingkatan dari semenjak sahabat, tabi‘in dan tabi‘it
tabi‘in dan seterusnya, tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengarkan atau
meriwayatkannya, hingga sampai kepada rawi yang terahir yang menyusun kitab
hadis itu.Misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik dan lain-lainnya.

Adapun syarat-syarat khabar mutawatir di antaranya sebagai berikut:


a). Mereka yang meriwayatkan khabar tersebut, benar-benar mengetahui kenyataan
dengan pasti, baik dengan cara melihat atau mendengar sendiri.

b). Jumlah orang yang meriwayatkan harus jumlah yang menurut adat tidak mungkin
berbuat dusta, tidak harus dengan jumlah yang terbatas, misalnya 7 atau 12 orang,
asal saja dapat memberikan pengetahuan ilmu dharuri, yakni mau tidak mau mesti
dapat diterimanya tak dapat ditolak.

c). Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad.
Misalnya, pada lapisan pertama sanadnya berjumlah 100 orang rawi, dipertengahan
sanadnya 90 orang rawi, dan di akhir sanadnya 110 orang rawi. Yang dimaksud
dengan sama banyak, yaitu bukan persamaan bilangan, maka tidak dipermasalahkan
jika di antara lapisan-lapisannya kurang sedikit.

Khabar mutawatir ini dapat dibagi menjadi dua, yautu mutawatir lafdhi dan
mutawatir maknawi.
Mutawatir lafdhiialah mutawatir yang lafal-lafal hadisnya sama atau hampir
sama, misalnya sabda Nabi saw.:

)‫َ(مت قَع يه‬. ّ ‫يَمتع ّ ً َف ْيت ّ َأَْم ْع ََمنََ ل‬ َْ ‫م‬


َّ ‫نَك ََع‬
"Barang siapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia bersiap-
siap mengambil tempak duduknya (masuk) neraka".(HR. Bukhari dan Muslim)

Keterangan
 Hadis di atas diriwayatkan lebih dari seratus orang sahabat Rasulullah.
 Lafal-lafal
ataupun matan hadis yang diceritakan oleh masing-masing rawi hampir
semuanyasamadengan contoh-contoh tersebut.Di antaranya ada yang berbunyi
sebagai berikut:

َ‫َ بن‬ (َ . ّ ‫ل َف ْيت ّ َأْ َم ْع َ َمنَ َ ل‬


َْ ‫ي َم َل َْم َ ق‬ َْ ‫م‬
َّ ‫ن َت ّ َ َع‬
)‫م جه‬
"Barang siapa mengada-adakan omongan atas namaku tentang sesuatu yang belum
pernah kukatakan, maka hendaklah ia bersiap-siapmengambil tempat duduknya
(masuk) neraka".(HR. Ibnu Majah)

Ada pula yang matan hadisnya sebagai berikut:

)‫َ لح كم‬ (َ. ّ ‫لَف ْيت ّ َأَْم ْع ََمنََ ل‬


َْ ‫يَم َل َْمَ ق‬ َْ ‫م‬
َّ ‫نَق ََع‬
"Barang siapa berkata atas namaku tentang sesuatu yang belum pernah kukatakan,
maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya (masuk) neraka".(HR.
Al-Hakim)

Hadis-hadis tersebut di atas, diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadis


yang lafalnya agak berbeda-beda, akan tetapi maknanya sama.

Mutawatir maknawiialah hadis yang menunjukkan perbedaan kata dan arti,


akan tetapi dari hadis tersebut dapat diambil suatu makna yang umum, yakni satu
makna dan tujuan.
Seperti hadis yang menerangkan tentang salat maghrib tiga rakaat,
sebagaimana diterangkan sebagai berikut:

1. Satu riwayat menerangkan, bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di rumah
atau dalam hadhar (di dalam rumahnya sendiri).
2. Satu riwayat yang lainmenunjukkan, bahwa ketika dalam perjalamnan Nabi saw.
salat maghrib tiga rakaat.
3. Satu riwayat lainmenerangkan bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di Mekah.
4. Satu riwayat menerangkan bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di Madinah.
5. Satu riwayat mengabarkan, bahwa para sahabatsalatmaghrib tiga rakaat, dan hal
tersebut diketahui oleh Nabi.
Hadis tersebut di atas ceritanya berbeda-beda, akantetapi maksudnya sama,
yakni menerangkan bahwa bilangan salat maghrib itu tiga rakaat.

d. Sunah Ditinjau dari Segi Kualitasnya

Khabar atau sunah jika ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat orang-orang
yang meriwayatkannya, maka terbagi menjadi tiga:

1). Hadis Shahih, yaitu hadis yang mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
▪ Sanadnya tidak terputus-putus.
▪ Orang atau rawi yang meriwayatkan bersifat adil, sempurna ingatan dan
catatannya (dhabith), tidak suka berbuat ganjil dan bertentangan engan orang
banyak.
▪ Tidak terdapat cacat pada orangdan isi hadisnya dengan cacat yang dapat
membahayakan.
▪ Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadis.
Contoh-contoh hadis shahih, ialah semua yang terdapat pada kitab-kitab hadis Imam
Bukhari dan Muslim.
2). Hadis Hasan,yaitu hadis yang memenuhi syarat hadis shahih, tetapi orang yang
meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Hadis semacam ini boleh diterima sekalipun
tingkat hafalan rawinya agak kurang sempurna, asal tidak berpenyakit yang
membahayakan dan tidak berbuat ganjil atau bertentangan dengan kebanyakan
orang (syadz).
3). Hadis Dha'if,yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya, yakni tidak memenuhi syarat
yang terdapat dalam hadis shahih dan hadis hasan.
3. Sunah Sebagai Hujjah

Sebagai hujjah hukum Islam, sunah itu mempunyai dua fungsi:

a). Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur'an; sebagai-mana firman Allah:

) َ:‫َ( ل حل‬.‫ْن ْل ََ ليْكََ ل ّ ْك ََلت يّنََل ّ ََم َن ّ ََ ل ْي ْم‬


"Dan Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka".(QS. An-Naœl/16: 44)

Sunah dapat menjadi hujjah dikarenakan sebagian besar hukum yang terdapat
di dalam ayat-ayat Al-Qur'an masih gersifat global.Dalam hal ini, penjelasan lebih
lanjut mengenai suatu hukum diperlukan adanya keterangan dari nabi yang berupa
hadis.

Sebagai contoh, perintah salat dan zakat dalam Al-Qur'anmasih merupakan


perintah mengerjakan dan mengeluarkan secara umum, sedang tata cara
pelaksanaanya tidak disebutkan di sana. Maka cara pelaksanaannya membutuhkan
adanya penjelasan dari Rasulullah saw.

b). Sunah dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu hukum. Hal ini dapat kita
ketahui dari haramnya binatang yang berkuku tajam, padahal di dalam Al-Qur'an
tidak kita dapati hukum yang demikian ini.

Kedudukan hadis atau sunah dalam kasusu seperti ini dapat dijadikan sebagai
hukumsyara' dengan sendirinya sebagaimana sabda Nabi saw.:

) ‫َ لت م‬ َ ‫َب‬ (َ.‫يَ ْ ت ْيتََ ْل ْ ٰ ََ مثْ هََمعه‬


َْ ّ‫ََّ ن‬
"Ingatlah bahwasanya saya sudah diberi Qur'an dan disertai dengan yang
sebangsanya (sunah) itu". (HR. Abu Dawud dan At-Turmudzi)

Selanjutnya firman Allahswt.:


) َ: ‫َ( لحش‬. ْ ‫ْ ََ م َن ٰ َْمَع ْهََف ْنت‬ ‫مََ ٰ ٰت مََ ل ّ س ْ ََف‬
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah".(QS. Al-Hasyr/59: 7)

Di ayat lain Allah swt.berfirman:

) َ:‫َ( ل س ء‬.‫عََل‬ َْ ‫م‬


ََْ ‫نَيُ عََ ل ّ س ْ ََف‬
"Barang siapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah mentaati
Allah". (QS. An-Nisã'/4: 80)

Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa sunah adalah merupakan hujjah
kedua sesudah Al-Qur'an yang dapat dijadikan sumber hukum.

C. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan


segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurunkan bahasa, ijtihadd aritinya
bersunggu-sunggu dalam mencurahkan pikiran.
Adapun menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran
secara bersungguh-sunggu untuk menetapkan suatu hukum.Oleh karena itu, tidak
disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu perkerjaan.

Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk


mencari syariat melalui metode tertentu.

2. Kedudukan Ijtihad
Ijtihan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis. Ijtihad
dilakukan jika suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Quran maupun hadis,
tetapi tidak ditemukan hukumnya.

Namun, hasil ijtihad tetap tidak bleh bertentangan dengan Al Quran maupun hadis.
Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dengan benar, dia akan mendapat dua
pahala. Adapun jika ijtihadnya slalah, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Ijtihad dalam kehidupan modern memang sangat diperlukan mengingat dinamika
kehidupan masyarakat yang selalu berkembang sehingga persoalan yang dihadapi
pun semakin kompleks.

Berkaitan dengan hal tersebut Rasulullah SAW bersabda.


Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda sebagai berikut.
Ijtihad dilakukan jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi
tidak dijumpai dalam Al Quran maupun hadis. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa
dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orng-orang yang memenuhi syarat yang
boleh berijtihad.

Orang yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut :

a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam;

b. Memiliki pemahamaan mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul


fiqh, dan tarikh (sejarah);
c. Harus mengenal cara meng-istimbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan
qiyas;
d. Memiliki akhlaqul qarimah.
3. Bentuk Ijtihad
Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tida macam, yaitu sebagai berikut.

1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu
perkara atau hukum. Ijama dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang
tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al Quran dan Sunah.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu maslah yang belum ada
kedudukan hukumnya dengan maslah lama yang pernah karena ada alasan
yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah merupakan cara dalam menetapkan hukum yang
berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Dilihat dari prosesnya, ijtihad dapat dibagai menjadi dua. Pertama, ijtihad
insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk menyimpulkan hukum mengenai
peristiwa baru yang belum pernah diselesaikan oleh hujtahid sebelumnya.
Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai
masalah tertentu. Kemudian, menyelesaikan pendapat mana yang memiliki dalil
lebih kuat serta relevan dengan kondisi saat ini.

1. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Ijma' menurut bahasa, artinyasepakat, setuju atau sependapat. Sedang
menurut istilah ialah:

َْ ‫ت ّ ََم ْ ت ََْ ّمةََمح ّ ََص ّ َلََع يْهََ س ّمََب ْع ََ ف تهََف‬


ََ ْ ‫يَع‬
. ْ ‫منََ ّْ ْع ََع ٰ َ ْم ََمَ ّْم‬
"Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muham-mad, sesudah wafatnya pada
suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)."

2. Pembagian Ijma’

Ijma' umat itu dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Ijma' Qauli

Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' di mana para ulama yang ahli ijtihad ijtihad
menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma' ini juga disebut
dengan ijma' qath'i.

b. Ijma’ Sukuti

Ijma' sukuti (diam); ialah diamnya para mujtahid terhadap suatu persoalan,
mereka tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu bukan
karena takut atau malu.Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu hukum yang ditetapkan oleh hakim
yang berkuasa, dan didiamkan oleh para ulama, belum dapat dijadikan sebagai
hujjah.Akan tetapi suatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih, lalu
didiamkan oleh para ulama yang lain, maka dapat dipandang sebagai ijma'.
Disamping ijma' umat tersebut, masih ada macam-macam ijma' yang lain,
yaitu (1).Ijma' sahabat, (2).Ijma' ulama Madinah, (3).Ijma ulama Kufah, (4).Ijma'
khulafaur rasyidin yang empat, (5).Ijma' Abu Bakar dan Umar, (6).Ijma itrah, yakni
ahli bait atau golongan Syi‘ah.

3. PeriodisasiIjma'

Jika kita melihat adanya macam-macam ijma', maka ditinjau dari segi masanya
ijma' dapat dibagi menjadi dua, yaitu pada masakhulafaur rasyidin dan masa
sesudahnya.

a. Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin

Ijma' sahabat yang dimaksud ialah zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang
lagi, sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya:

) ‫َ غي‬ َ ‫َب‬ (َ.‫ءََ ل ّ ش يْن‬ ‫يَ س ّةََ ْل‬


َْ ‫ع ْي َْمَبس ّت‬
Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khulafa'ur
rasyidin".(HR. Abu Dawud dan lain-lain)

b. Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin

Zaman sesudah khulafa'ur rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para
fuqaha di kalangan sahabat banyak yang pindah ke negeri Islam yang baru dan
telah lahir fuqaha dari kalangan tabi‘in yang tidak sedikit.Ditambah lagi adanya
pertentangan politik, maka pada zaman ini dirasa sukar terjadinya suatu ijma.'

Kalau pada zaman tabi‘in saja sudah sukar akan terjadinya ijma', maka lebih-
lebih zaman sekarang di mana para ulama telah tersebar luas ke seluruh
pelosok.Sedang sahnya ijma' ialah bergantung pada kebulatan pendapat semua
mujtahid (ahli ijtihad).

Untuk mewujudkan ini, maka kiranya perlu penyelidikan: (a). Siapakah yang
berhak disebut ahli ijtihad? (b). Menemukan pendapat mujtahid yang satu, dan
disetujui oleh mujtahid yang lain. Soal ini tidak mungkinterjadi, sebab siapakah yang
berhak disebut mujtahid?Dan siapakah yang dapat menyelidiki dengan mengambil
jawaban tiap-tiap soal, telah disetujui dan disepakati oleh tiap-tiap ahli ijtihad?

Karena itu jika kita memahami pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengatakan: "Barang siapa mendakwa atau mengaku terjadinya ijma' (sesudah
zaman sahabat), berarti ia berdusta." Maka apabila seseorang dihadapkan pada hal
demikian, ia cukupmengatakan: "Aku tidak mengetahui, apakah ada orang yang
menyalahi paham ini, karena boleh jadi ada, namun aku belum mengetahuinya."

Ringkasnya, terjadinya ijma' menurut konsepsi ahli ushul fiqih sesudah zaman
sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkinnya ini hanyasebatas pada
pelaksanaannya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma', meskipun dalam
bentuk lain.

Ijma' yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma' dari
keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama yang mewakili segala lapisan
masyarakatnya, untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka.Mereka
itulah yang dianggapsebagaiulil amri atau ahlil halli wal aqdi.Merekadiberi hak oleh
syariat Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam
syara'.Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan
dengan nas syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nas syariat, maka
betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal, dan tidak boleh
ditetapkan sebagai hukum.

4. Sandaran Ijma’

Ijma' tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma'
bukanlah dalil yang berdiri sendiri.Sandaran ijma' adakalanya dalil yang qath'i, yaitu
Al-Qur'an dan hadis mutawatir, dan adakalanya berupa dalildzanni yaitu hadis ahad
dan qiyas.Jika sandaran ijma' adalah hadis ahad, maka hadis ahad tersebut
bertambah nilai kekuatannya.

5. Ijma’ Sebagai Hujjah

Ijma' dapat menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak
didapati dalil (nas), yakni Al-Qur'an dan Al-Hadis.Dan ijma' tidak akan terbentuk
kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nas
yang qath'i (Al-Qur'an dan hadis mutawatir).

Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma' ialah bersifat


dzanni, bukan qath'i. Oleh karena ijma' adalah dalil yang bersifatdzanni, maka ia
dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan
i'tikad. Sebab urusan i'tikad (keyakinan)menuntut adanya dalil yang qath'i.

Adapun kehujjahan ijma' itu didasarkan pada Al-Qur'an dan hadis, sebagai
berikut:

Menurut Al-Qur'an:

َ.‫ل َ ّْ َْم َ َم ْ ْم‬ َ َ ْ ‫يْع َ ل ّ س‬ َ َ‫ٰيـ يُ َ لّ ْينَ َ ٰ م ْ َ يْع َل‬


) َ:‫( ل س ء‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu".(QS. An-Nisã'/4: 59)

Yang dimaksud "ulil amri" ialah pemerintah dan para ulama.


Menurut hadis:
)‫َ( لح يث‬.‫يَع َ ل ّ َلة‬
َْ ‫ََّت ْ ت عََ ّمت‬
"Umatku tidak bersepakat atas kesesatan".

2. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya, mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya.Menurut istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan
yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu hukum yang sudah
ditentukan oleh nas, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.

2. Kedudukan Qiyas

Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat setelah Al-
Qur'an, Hadis dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:

a). Firman Allah:

)2َ: ‫َ( لحش‬. ‫ف عْت ْ َ ٰي َ ل َ ّْ ْب‬


"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan". (QS. Al-Hasyr/59: 2)
I'tibar juga diartikan dengan "Qiyasusy-syai'i bisy-syai'i". yang berarti
membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

b). Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi
sebagai berikut:

َ ‫ق ْ لهَ َص ّ َلَ َع يْهَ َ سَ ّمَ َل ع َ َ ضيَ َلَ َع ْهَ َل َبعثهَ َ ل‬


ََ ‫ي َب ت‬ َْ ‫ َ ْق‬: ‫ي َ َع َ َلكَ َق ءَ َ؟ َق‬ َْ ْ ‫ َكيْفَ َت‬:‫ْلي ن‬
َ: ‫َق‬.‫َف س ّةََ س ْ ََل‬: ‫يَكت ََلََ؟َق‬ َْ ‫َف ََْل َْمَت ََْف‬: ‫َق‬.‫ل‬
ََ ‫ َ ْجت‬: ‫ي َكت َ َلَ َ؟ َق‬ َْ ‫ي َس ّةَ َ س ْ َ َلَ َ َّ َف‬ َْ ‫ف َْ َل َْم َت َْ َف‬
ََْ ّ‫ َ ْلح ْ َ ََِ َ ل‬: ‫َ َ س ْ َ َلَ َص ْ َ َ ق‬ ‫ َف‬. ْ ‫ي َ َّ َ ٰ ل‬َْ ‫أْي‬
َ ‫َ( َ ح َ ب‬.‫فّقََ س ْ ََ س ْ ََلََل َي ْ ض ََ س ْ ََل‬
) ‫َ لت م‬
"Sabda Nabi saw. ketika beliau mengutus Mu‘adz ra. ke Yaman, Nabi saw. bertanya
kepadanya, 'Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu?' Kata
Mu‘adz, 'Saya memberi keputusan dengan Kitab Allah.'Nabi bersabda, 'Kalau
kamutidak mendapatkan pada Kitab Allah?'Mu‘adz menjawab, 'Dengan sunah
rasul.'Nabi bertanya lagi, 'Kalau pada Kitab Allah dan sunah rasul tidak kau
dapati?'Mu‘adz menjawab, 'Saya berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
akan kembali.' Kemudian Rasulullah menepuk dadanya (bergirang hati) sambil
bersabda: 'Al-œamdu lillãhAllah telah memberi taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai
dengan keridhaan Rasulullah".'(HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi yang mereka me-
nyatakan, bahwa qiyas itu masuk ijtihad ra'yu juga).

3. Rukun dan Syarat Qiyas

a. Rukun Qiyas

Rukun qiyas ada empat, yaitu:

1). Ashal (pangkal) yaitu sesuatu yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan (musyabbah bih).

2). Furu‘ (cabang), yaitu sesuatu yang diukur atau diserupakan(musyabbah).


3). Illat, yaitu sifat yang menghubungkan antara pangkal dan cabang.

4). Hukum, sesuatu yang ditetapkan pada furu‘ sesudah tetap pada ashal (hukum yang
dihasilkan dari qiyas).

Contoh:

Allah telah mengharamkan arak, karena dapat merusak akal, membinasakan


badan, dan menghabiskan harta.Maka segala minuman yang memabukkan juga
dihukumi haram.

Cara menerapkan qiyas dalam contoh ini, yaitu:

 Segala minuman yang memabukkan ialah dinamakan furu‘ ataucabang, artinya


sebagai sesuatu yang diqiyaskan.

 Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ia sebagai ashal atau pokok.

 Mabuk atau merusak akal, ialah sebagai illat yang menjadi penghubung atau sebab.

 Dari qiyas di atas, maka menghasilkan sebuah hukum, yaitu segala minuman yang
dapat memabukkan hukumnya adalah "haram."

b. Syarat Qiyas

Setelah kita mengetahui rukun-rukun qiyas yang jumlahnya ada empat macam,
yaitu ashal, furu‘, illat dan hukum, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai
syaratn masing-masing.

1). Syarat ashal/pokok


Syarat ashal atau pokok ada 3 macam, yaitu:
a). Hukum ashal harus masih tetap (berlaku), karena kalau sudah tidak berlaku lagi
(sudah dirubah/dimansukh), maka tidak mungkinfuru‘berdiri sendiri.
b). Hukum yang berlaku pada ashal, adalah hukum syara', karena yang sedang dibahas
oleh kita ini hukum syara' pula.
c). Hukum pokok atau ashal tidak merupakan hukum pengecualian. Seperti sahnya
puasa bagi orang yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinyapuasanya menjadi
batal, sebab sesuatu tidak akanada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang
meniadakannya. Tetapi puasanya tetap ada atau sah. Hal ini didasarkan padahadis:
"Barang siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, maka
hendaklah menyelesaikan puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan
dan minum." (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, maka orang yang dipaksa membatalkan puasa tidak
dapat diqiyaskan dengan orang yang lupa.
2). Syarat-syaratfuru‘ada tiga
a). Hukum furu‘tidak boleh mendahului hukum ashal. Misalnya mengqiyaskan wudhu
dengan tayamum dalam kewajiban niat dengan alasan bahwa kedua-duanya sama-
sama thaharah. Qiyas semacam ini tidak dapat dibenarkan, karena wudhu (dalam
contoh ini sebagai cabang) disyariatkan sebelum hijrah, sedangkan tayamum (dalam
contoh ini sebagai ashal) disyariatkan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan,
berarti menetapkan hukum sebelum ada illat, yakni karena wudhu itu berlaku
sebelum tayamum.
b). Illat yang terdapat pada furu‘, hendaknya menyamai illat pada hukum ashal.
c). Begitu juga hukum yang ada pada furu‘harus sama dengan hukum ashal.
3). Syarat-syarat illat ada tiga
a). Hendaknya illat itu harus berturut-turut, artinya jika illat itu ada, maka dengan
sendirinya hukum pun ada.
b). Sebaliknya apabila hukum ada, illat pun ada.
c). Illat tidak boleh menyalahinas, karena kedudukan illat tidak dapat mengalahkannya,
maka dengan demikian tentu nas lebih dahulu mengalahkan illat.
Contoh:
Sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan dapat melakukan nikah tanpa
izin walinya (tanpa wali), dengan alasan bahwa perempuan dapat memiliki dirinya
sendiri diqiyaskan dengandiperbolehkannya menjual harta bendanya sendiri. Qiyas
yang demikian ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan nashadis Nabi
saw.:

َ‫َ بن‬ (َ .‫ت َبغ ْي َ َ ْ َ َ لـيّ َف ح َب ل‬


َْ ‫يُ َ ْم أ َ َن ح‬
)‫ح َ لح كم‬
"Barang siapa perempuan menikah dengan tidak seizin walinya (tanpa wali), maka
nikahnya batal".(HR. Ibnu Hibban dan Hakim)
4. Macam-macam Qiyas

Qiyas dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu: Qiyas Aulawi, Qiyas
Musawi, Qiyas Dilalah dan Qiyas Syibh.

Qiyas aulawi dan qiyas musawi, biasa disebut dengan qiyas illat, karena qiyas-
qiyas ini mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan
illatnya.

a). Qiyas Aulawi (melebihkan atau mengutamakan)

Qiyas aulawiialah qiyas yang illatnya dapat menetapkan adanya hukum,


sementara cabangnya lebih pantas menerima hukum daripada ashal.Seperti
haramnya memukul kedua orang tua yang diqiyaskan dengan haramnya memaki
mereka.Karena dilihat dari segi illatnya yaitu menyakiti, maka memukul kedua orang
tua pastinya jauh legih menyakitidaripada hanya sekedar memaki mereka.(Dalam
pelajaran "mafhum" ini disebut dengan "fahwal khithab)."

b). Qiyas Musawi (illat hukumnya sama)

Qiyas musawiialah qiyas yang illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya saja
hukum yang berhubungan dengan cabang (furu‘), kedudukannya setingkat dengan
hukum ashalnya. Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim dan
membakarnya.Dilihat dari segi illatnya yaitu sama-sama melenyapkan.(Dalam
pelajaran "mafhum" ini disebut "lahnal khithab)."

c). Qiyas Dilalah (menunjukkan)

Qiyas dilalahialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan hukum,akan tetapi
dapat menunjukkan adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya zakat harta
benda anak-anak yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan
yaitu keduanya merupakan harta yang tumbuh.

d). Qiyas Syibh (menyerupai)

Qiyas syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua


pangkal dengan illat yang lebih menyamai.Seperti budak yang mati terbunbuh.
Apakah ia dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka dengan illat yaitu sama-
sama keturunan Adam,atau dapat pula diqiyaskan dengan binatang ternak karena ia
merupakan harta benda yang dapat dimiliki, dijual, dan diwakafkan atau diwariskan.
Dalam hal budak yang mati terbunbuhtentu lebih sesuai tentunya lebih sesuai
diqiyaskan dengan dengan harta benda, karena ia dapat dimiliki, diwariskan dan lain
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai