Pendekat an Saint ifik Kurikulum 2013 KEMENT ERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016
Ihsanul Purba
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Kelas : S3A
Dari keterangan tersebut di atas, maka firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Musa as.dan Nabi Isa as. serta nabi-nabi yang lain tidak dinamakan Al-Qur'an.
Dengan demikian, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw.melalui ilham ataupun mimpi seperti hadis Qudsi,maka tidak pula dinamakan Al-
Qur'an, dan membacanyapun belum tentu bernilai ibadah.
) َ: َْ ي ْس ْ نكََعنََ ْل حيْضََق
َ( ل. ً ََ لَه
"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, 'Itu
adalah sesuatu yang kotor) .(QS. Al-Baqarah/2: 222)
c. Janji dan ancaman; Al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima
dan mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya
dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang shaleh
seperti nabi-nabi dan rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama
Allah dan hukum-hukum-Nya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan teladan
bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.
Allah swt.menurunkan Al-Qur'an tiada lain supaya dijadikan dasar hukum dan
disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintah-Nya dan
ditinggalkan segala larangan-Nya, sebagaimana firman Allah:
"Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah.
Ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat".(QS. Al-An‘ãm/6: 155)
) َ: َ( ل. ي ْي ََلََب مََ ْلي ْس ََ ََّي ْي ََب مََ ْلع ْس
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu". (QS. Al-Baqarah/2: 185)
2). Dalam menetapkan dan merubah suatu hukum tidak dilakukan sekaligus, melainkan
dengan cara berangsur-angsur, seperti pada penetapan larangan minum minuman
keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah:swt.:
َ: َ( ّن.ن َ ّ ب َ َ ْل يْل
َْ ن َق ّ َ َ ّ م
َْ ع ُ ْ َل َْم َ ّم َ ْست ْعت َْم َ ّم
َ
)
"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda". (QS. Al-Anfãl/8: 60)
1). Ada yang perintahnya jelas, akan tetapi caranya tidak jelas, seperti ayat:
2). Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas, misalnya:
) ۳َ: َ( ل. ٰ ت َ ل ّ ٰك
"Tunaikanlah zakat".(QS. Al-Baqarah/2: 43)
Ayat di atas jelas perintahnya yaitu tentang zakat, tetapi ukurandan batasan
nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.
3). Adapula ayat yang dalalahnya jelas, misalnya tentang menyapu muka dan tangan
dalam tayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai di mana yang disapu, seperti
firman Allah:
Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya
penjelasan lebih lanjut.Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang berhak
menjelaskannya, kecuali hanya Nabi Muhammad saw. seorang, sebagaimana firman
Allah:
Az-Zikru oleh sebagian ulama diartikan dengan segala sesuatu yang datang
dari Rasulullah, baik itu berupa sabdanya, perbuatannya dan sebagainya yang
menjadi tafsir bagi Al-Qur'an, atau yang dinamakandengan "Sunah."
B. SUNAH (HADIS)
1. Pengertian Sunah
Sunah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.Sedangkan
sunah menurut istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya,
dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan
ditetapkan oleh nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa
perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.
2. Kategorisasi dan Pembagian Sunah
a. Kategorisasi Sunah
Khabar atau sunah pada umumnya dapat dikategorisasikan menjadi tiga
yaitu:
1). Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang datang dari Allah, rasul-Nya dan
khabar yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir.
2). Khabar yang pasti salahnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin
dibenarkan oleh akal, seperti khabar yang menyatakan antara hidup dan mati dapat
berkumpul. Atau khabar yang bertentangan dengan ketentuan syariat, seperti
mengakui menjadi rasul, akan tetapi tidak disertai dengan mukjizat.
3). Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti khabar-khabar
yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat,
benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak pasti
(qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga kuat
bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan ,seperti pemberitaan orang fasiq.
b. Pembagian Sunah
Dalam hal ini, sunah dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1). Sunah Qauliyah
(sabda-sabda Rasulullah saw), (2). Sunah Fi‘liyah (perbuatan Rasulullah saw), dan
(3).Sunah Taqririyah (diamnya Rasulullah saw.terhadapsuatu ucapan atau perbuatan
sahabat).
b). Perbuatan Nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti: cara-cara makan, tidur dan
sebagainya. Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan perintah,
larangan dan teladan; kecuali kalau ada perintah atau anjuran nabi untuk mengikuti
cara-cara tersebut.
c). Perbuatan Nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan
puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain
tidak boleh mengikutinya.
d). Perbuatan Nabi saw.yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal (global), seperti:
salat dan hajinya yang mana keduanya dapat menjelaskan sabdanya:
Hukum suatu perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi saw. adalah sama dengan
hukum yang dijelaskan, baik dari segi wajib maupun mandubnya, sebagaimana
penjelasan tentang cara salat dan haji.
e). Perbuatan Nabi saw.yang dilakukan terhadap orang lain sebagai suatu hukuman,
seperti: menahan orang,atau mengusahakan milik orang lain. Di sini perlu
mengetahui sebab-sebabnya, kalau berlaku orang yang dakwa-mendakwa, maka
tentu berlaku sebagai keputusan.
f). Pebuatan Nabi saw. yang menunjukkan suatu kebolehan, seperti: berwudhu dengan
satu kali, dua kali dan tiga kali.
Sunah taqririyah ialah berdiam dirinya Nabi saw. ketika melihat suatu
perbuatan dari para sahabat, baik perbuatan tersebut mereka kerjakan di hadapan
nabi atau tidak, akan tetapi berita mengenai perbuatan tersebut sampai kepada
nabi.
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan oleh nabi dianggap sama
dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, dan dapat dijadikan sebagai hujjah
bagi seluruh umat.
Adapun syarat sahnya taqrir atau ketetapan nabi ialah orang tersebut benar-
benar tunduk kepada aturan syara', bukan orang kafir atau munafik.
Contoh-contoh taqrir antara lain sebagaiberikut:
• Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
• Mempergunakan harta yang diusahakan mereka ketika masih kafir.
• Membiarkan zikir dengan suara keras sesudah salat.
Khabar jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hasis, dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Khabar Mutawatir, dan
Khabar Ahad.
1). Khabar Mutawatir
َْ َ َم
ََن َحيْث َْم َع َ ْل خ َ َج ْ عَ َم ْحس ْ َ َي ْ ت عَ َت
.كثْ ت ْم
"Mutawatir ialah khabar yang diriwayatkan oleh banyak orang, tentang sesuatu yang
dipercaya oleh pancainderanya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat
dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka".
Bagian khabar atau hadis ini tingkatannya hampir disamakan dengan Al-
Qur'an, terutama khabar mutawatir yang tidak ada khilafnya lagi dan yang sudah
pasti benar dan sahnya.
Yang dimaksud khabar mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh golongan
demi golongan, sehingga dalam tingkatan dari semenjak sahabat, tabi‘in dan tabi‘it
tabi‘in dan seterusnya, tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengarkan atau
meriwayatkannya, hingga sampai kepada rawi yang terahir yang menyusun kitab
hadis itu.Misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik dan lain-lainnya.
b). Jumlah orang yang meriwayatkan harus jumlah yang menurut adat tidak mungkin
berbuat dusta, tidak harus dengan jumlah yang terbatas, misalnya 7 atau 12 orang,
asal saja dapat memberikan pengetahuan ilmu dharuri, yakni mau tidak mau mesti
dapat diterimanya tak dapat ditolak.
c). Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad.
Misalnya, pada lapisan pertama sanadnya berjumlah 100 orang rawi, dipertengahan
sanadnya 90 orang rawi, dan di akhir sanadnya 110 orang rawi. Yang dimaksud
dengan sama banyak, yaitu bukan persamaan bilangan, maka tidak dipermasalahkan
jika di antara lapisan-lapisannya kurang sedikit.
Khabar mutawatir ini dapat dibagi menjadi dua, yautu mutawatir lafdhi dan
mutawatir maknawi.
Mutawatir lafdhiialah mutawatir yang lafal-lafal hadisnya sama atau hampir
sama, misalnya sabda Nabi saw.:
Keterangan
Hadis di atas diriwayatkan lebih dari seratus orang sahabat Rasulullah.
Lafal-lafal
ataupun matan hadis yang diceritakan oleh masing-masing rawi hampir
semuanyasamadengan contoh-contoh tersebut.Di antaranya ada yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Satu riwayat menerangkan, bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di rumah
atau dalam hadhar (di dalam rumahnya sendiri).
2. Satu riwayat yang lainmenunjukkan, bahwa ketika dalam perjalamnan Nabi saw.
salat maghrib tiga rakaat.
3. Satu riwayat lainmenerangkan bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di Mekah.
4. Satu riwayat menerangkan bahwa Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat di Madinah.
5. Satu riwayat mengabarkan, bahwa para sahabatsalatmaghrib tiga rakaat, dan hal
tersebut diketahui oleh Nabi.
Hadis tersebut di atas ceritanya berbeda-beda, akantetapi maksudnya sama,
yakni menerangkan bahwa bilangan salat maghrib itu tiga rakaat.
Khabar atau sunah jika ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat orang-orang
yang meriwayatkannya, maka terbagi menjadi tiga:
1). Hadis Shahih, yaitu hadis yang mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
▪ Sanadnya tidak terputus-putus.
▪ Orang atau rawi yang meriwayatkan bersifat adil, sempurna ingatan dan
catatannya (dhabith), tidak suka berbuat ganjil dan bertentangan engan orang
banyak.
▪ Tidak terdapat cacat pada orangdan isi hadisnya dengan cacat yang dapat
membahayakan.
▪ Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadis.
Contoh-contoh hadis shahih, ialah semua yang terdapat pada kitab-kitab hadis Imam
Bukhari dan Muslim.
2). Hadis Hasan,yaitu hadis yang memenuhi syarat hadis shahih, tetapi orang yang
meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Hadis semacam ini boleh diterima sekalipun
tingkat hafalan rawinya agak kurang sempurna, asal tidak berpenyakit yang
membahayakan dan tidak berbuat ganjil atau bertentangan dengan kebanyakan
orang (syadz).
3). Hadis Dha'if,yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya, yakni tidak memenuhi syarat
yang terdapat dalam hadis shahih dan hadis hasan.
3. Sunah Sebagai Hujjah
Sunah dapat menjadi hujjah dikarenakan sebagian besar hukum yang terdapat
di dalam ayat-ayat Al-Qur'an masih gersifat global.Dalam hal ini, penjelasan lebih
lanjut mengenai suatu hukum diperlukan adanya keterangan dari nabi yang berupa
hadis.
b). Sunah dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu hukum. Hal ini dapat kita
ketahui dari haramnya binatang yang berkuku tajam, padahal di dalam Al-Qur'an
tidak kita dapati hukum yang demikian ini.
Kedudukan hadis atau sunah dalam kasusu seperti ini dapat dijadikan sebagai
hukumsyara' dengan sendirinya sebagaimana sabda Nabi saw.:
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa sunah adalah merupakan hujjah
kedua sesudah Al-Qur'an yang dapat dijadikan sumber hukum.
C. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
2. Kedudukan Ijtihad
Ijtihan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis. Ijtihad
dilakukan jika suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Quran maupun hadis,
tetapi tidak ditemukan hukumnya.
Namun, hasil ijtihad tetap tidak bleh bertentangan dengan Al Quran maupun hadis.
Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dengan benar, dia akan mendapat dua
pahala. Adapun jika ijtihadnya slalah, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Ijtihad dalam kehidupan modern memang sangat diperlukan mengingat dinamika
kehidupan masyarakat yang selalu berkembang sehingga persoalan yang dihadapi
pun semakin kompleks.
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu
perkara atau hukum. Ijama dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang
tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al Quran dan Sunah.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu maslah yang belum ada
kedudukan hukumnya dengan maslah lama yang pernah karena ada alasan
yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah merupakan cara dalam menetapkan hukum yang
berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Dilihat dari prosesnya, ijtihad dapat dibagai menjadi dua. Pertama, ijtihad
insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk menyimpulkan hukum mengenai
peristiwa baru yang belum pernah diselesaikan oleh hujtahid sebelumnya.
Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai
masalah tertentu. Kemudian, menyelesaikan pendapat mana yang memiliki dalil
lebih kuat serta relevan dengan kondisi saat ini.
1. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Ijma' menurut bahasa, artinyasepakat, setuju atau sependapat. Sedang
menurut istilah ialah:
2. Pembagian Ijma’
a. Ijma' Qauli
Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' di mana para ulama yang ahli ijtihad ijtihad
menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma' ini juga disebut
dengan ijma' qath'i.
b. Ijma’ Sukuti
Ijma' sukuti (diam); ialah diamnya para mujtahid terhadap suatu persoalan,
mereka tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu bukan
karena takut atau malu.Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu hukum yang ditetapkan oleh hakim
yang berkuasa, dan didiamkan oleh para ulama, belum dapat dijadikan sebagai
hujjah.Akan tetapi suatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih, lalu
didiamkan oleh para ulama yang lain, maka dapat dipandang sebagai ijma'.
Disamping ijma' umat tersebut, masih ada macam-macam ijma' yang lain,
yaitu (1).Ijma' sahabat, (2).Ijma' ulama Madinah, (3).Ijma ulama Kufah, (4).Ijma'
khulafaur rasyidin yang empat, (5).Ijma' Abu Bakar dan Umar, (6).Ijma itrah, yakni
ahli bait atau golongan Syi‘ah.
3. PeriodisasiIjma'
Jika kita melihat adanya macam-macam ijma', maka ditinjau dari segi masanya
ijma' dapat dibagi menjadi dua, yaitu pada masakhulafaur rasyidin dan masa
sesudahnya.
Ijma' sahabat yang dimaksud ialah zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang
lagi, sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya:
Zaman sesudah khulafa'ur rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para
fuqaha di kalangan sahabat banyak yang pindah ke negeri Islam yang baru dan
telah lahir fuqaha dari kalangan tabi‘in yang tidak sedikit.Ditambah lagi adanya
pertentangan politik, maka pada zaman ini dirasa sukar terjadinya suatu ijma.'
Kalau pada zaman tabi‘in saja sudah sukar akan terjadinya ijma', maka lebih-
lebih zaman sekarang di mana para ulama telah tersebar luas ke seluruh
pelosok.Sedang sahnya ijma' ialah bergantung pada kebulatan pendapat semua
mujtahid (ahli ijtihad).
Untuk mewujudkan ini, maka kiranya perlu penyelidikan: (a). Siapakah yang
berhak disebut ahli ijtihad? (b). Menemukan pendapat mujtahid yang satu, dan
disetujui oleh mujtahid yang lain. Soal ini tidak mungkinterjadi, sebab siapakah yang
berhak disebut mujtahid?Dan siapakah yang dapat menyelidiki dengan mengambil
jawaban tiap-tiap soal, telah disetujui dan disepakati oleh tiap-tiap ahli ijtihad?
Karena itu jika kita memahami pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengatakan: "Barang siapa mendakwa atau mengaku terjadinya ijma' (sesudah
zaman sahabat), berarti ia berdusta." Maka apabila seseorang dihadapkan pada hal
demikian, ia cukupmengatakan: "Aku tidak mengetahui, apakah ada orang yang
menyalahi paham ini, karena boleh jadi ada, namun aku belum mengetahuinya."
Ringkasnya, terjadinya ijma' menurut konsepsi ahli ushul fiqih sesudah zaman
sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkinnya ini hanyasebatas pada
pelaksanaannya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma', meskipun dalam
bentuk lain.
Ijma' yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma' dari
keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama yang mewakili segala lapisan
masyarakatnya, untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka.Mereka
itulah yang dianggapsebagaiulil amri atau ahlil halli wal aqdi.Merekadiberi hak oleh
syariat Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam
syara'.Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan
dengan nas syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nas syariat, maka
betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal, dan tidak boleh
ditetapkan sebagai hukum.
4. Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma'
bukanlah dalil yang berdiri sendiri.Sandaran ijma' adakalanya dalil yang qath'i, yaitu
Al-Qur'an dan hadis mutawatir, dan adakalanya berupa dalildzanni yaitu hadis ahad
dan qiyas.Jika sandaran ijma' adalah hadis ahad, maka hadis ahad tersebut
bertambah nilai kekuatannya.
Ijma' dapat menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak
didapati dalil (nas), yakni Al-Qur'an dan Al-Hadis.Dan ijma' tidak akan terbentuk
kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nas
yang qath'i (Al-Qur'an dan hadis mutawatir).
Adapun kehujjahan ijma' itu didasarkan pada Al-Qur'an dan hadis, sebagai
berikut:
Menurut Al-Qur'an:
2. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya, mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya.Menurut istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan
yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu hukum yang sudah
ditentukan oleh nas, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.
2. Kedudukan Qiyas
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat setelah Al-
Qur'an, Hadis dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
b). Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi
sebagai berikut:
a. Rukun Qiyas
1). Ashal (pangkal) yaitu sesuatu yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan (musyabbah bih).
4). Hukum, sesuatu yang ditetapkan pada furu‘ sesudah tetap pada ashal (hukum yang
dihasilkan dari qiyas).
Contoh:
Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ia sebagai ashal atau pokok.
Mabuk atau merusak akal, ialah sebagai illat yang menjadi penghubung atau sebab.
Dari qiyas di atas, maka menghasilkan sebuah hukum, yaitu segala minuman yang
dapat memabukkan hukumnya adalah "haram."
b. Syarat Qiyas
Setelah kita mengetahui rukun-rukun qiyas yang jumlahnya ada empat macam,
yaitu ashal, furu‘, illat dan hukum, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai
syaratn masing-masing.
Qiyas dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu: Qiyas Aulawi, Qiyas
Musawi, Qiyas Dilalah dan Qiyas Syibh.
Qiyas aulawi dan qiyas musawi, biasa disebut dengan qiyas illat, karena qiyas-
qiyas ini mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan
illatnya.
Qiyas musawiialah qiyas yang illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya saja
hukum yang berhubungan dengan cabang (furu‘), kedudukannya setingkat dengan
hukum ashalnya. Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim dan
membakarnya.Dilihat dari segi illatnya yaitu sama-sama melenyapkan.(Dalam
pelajaran "mafhum" ini disebut "lahnal khithab)."
Qiyas dilalahialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan hukum,akan tetapi
dapat menunjukkan adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya zakat harta
benda anak-anak yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan
yaitu keduanya merupakan harta yang tumbuh.