Anda di halaman 1dari 5

ETIKA PROFESI

ASPEK HUKUM KONSTRUKSI

disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Etika Profesi Aspek Hukum
Konstruksi Program Studi Teknik Perawatan dan Perbaikan Gedung
di Jurusan Teknik Sipil

oleh

Fitra Puspita Damayanti


NIM 181144008

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


2022
1. Contoh Jenis Hubungan Kerja
a) PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
• Hubungan kerja antara pegawai magang dan pengusaha pakaian.
Dalam hal ini suatu perusahaan dapat mempekerjakan pekerja untuk
pekerjaan musiman, yang biasanya dilakukan terkait dengan cuaca (musim)
atau momen-momen tertentu misalnya momen menjelang lebaran idul fitri.
Pekerjaan dilakukan untuk memenuhi target produksi yang meningkat
ketika menjelang lebaran idul fitri.
b) PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)
• Hubungan kerja antara pegawai dengan suatu perusahaan BUMN
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Jika terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), perusahaan harus membayar uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan/atau uang pisah
tergantung alasan PHK yang dikenakan kepada pekerja yang
bersangkutan.
c) Perjanjian Kerja dengan Perusahaan Pemborong
• Hubungan kerja antara kontraktor dengan sub kontraktor (misal : sub
kontraktor MEP). Hal ini dikarenakan pekerjaan dilakukan terpisah dari
kegiatan utama, dilakukan melalui perintah langsung dari pemberi
pekerjaan, dan merupakan kegiatan penunjang dari perusahaan secara
keseluruhan.
d) Perjanjian Kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
a. Hubungan kerja antara usaha tenaga pengaman dengan suatu perusahaan.
Selain itu juga contoh dari perjanjian kerja ini adalah asisten rumah tangga.
Hal ini dikarenakan perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja adalah menyediakan jasa pekerja bagi kepentingan perusahaan lain.
Perusahaan tidak memiliki tanggung jawab secara langsung atas pemenuhan
hak pegawai outsourcing karena pegawai outsourcing terikat perjanjian
kerja dengan perusahaan penyedia jasa sehingga pemenuhan hak tenaga
kerja harus dilakukan perusahaan penyedia jasa pekerja.

2. Contoh Jenis-Jenis PHK


a) PHK oleh perusahaan, majikan, pengusaha
Akibat pandemi Covid-19, perusahaan Gojek melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) terhadap karyawan. Hal ini dikarenakan akibat perubahan perilaku
masyarakat yang menjadi lebih waspada terhadap aktivitas ataupun kegiatan yang
tidak memungkinkan untuk berjaga jarak.
b) PHK demi hukum
Pekerja mencapai usia pensiun sesuai ketetapan perusahaan. Misalnya suatu
perusahan menetapkan bahwa pekerja yang sudah mencapai usia lebih dari 56 tahun
maka harus dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
c) PHK oleh tenaker
Pekerja mengundurkan diri dari suatu perusahaan karena tidak setuju dengan
perilaku pengusaha, misalnya pemberlakuan aturan, kekerasan, dan lain-lain.
d) PHK oleh pengadilan (PPHI)
PHK terjadi karena adanya putusan hakim pengadilan. Misalnya karyawan
menuduh pengusaha melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang, tidak melaksanakan kewajiban, dan lainnya. Dengan begitu PHK dapat
dilakukan sesuai dengan putusan hakim pengadilan.

3. Contoh Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri dengan Cara Melalui


Bipartit
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2004 menyatakan bahwa
perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Bipartit merupakan langkah pertama untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004. Jadi dari
beberapa ketentuan dapat dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan hubungan
industrial maka wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya secara bipartit.
Tetapi apabila secara bipartit gagal maka sesuai Pasal 4 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004
: “Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),
salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.”
Lebih dari itu sesuai Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004 apabila bukti-bukti
tidak dilampirkan maka dinas yang terkait wajib mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas. Penyelesaian perselisihan secara bipartit tersebut dimaksudkan
untuk mencari jalan keluar atas perselisihan hubungan industrial dengan cara
musyawarah untuk mencapai kata mufakat secara internal, dalam arti kata tidak
melibatkan pihak lain, di luar pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan
secara bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
dimulainya perundingan. Apabila dalam 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan,
perundingan bipartit dianggap gagal. Tetapi apabila perundingan bipartit tersebut dapat
mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak dan mengikatdan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para
pihak. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan
perjanjian dalam PHI pada pengadian negeri di wilayah para pihak mengadakan
perjanjian bersama.

Contoh Kasus :

Kasus P.T. Kusoema Nanda Putra dengan penyelesaian kasus bipartit.

P.T. Kusoema Nanda Putra adalah perusahaan yang bergerak dibidang


pertenunan (weaving) dan bahan kain lurik ini berdiri sejak tahun 1992 mempekerjakan
sekitar 800 orang, menempati areal untuk tempat usahanya di Jalan Raya Karangdowo,
Pedan, Klaten. Sejak berdiri sampai sekarang tidak ada gejolak yang berarti karena
menajemen menerapkan pola hubungan kekeluargaan. Apabila ada perselisihan yang
timbul akan segera dilakukan upaya damai semaksimal mungkin untuk mencapai
kesepakatan dalam forum musyawarah tanpa melibatkan pihak ketiga.
Pada tahun 2010 perusahaan melakukan pemutusan hubungan terhadap Slamet
Suwarto bagian Mekanik yang telah bekerja lebih dari 10 tahun karena dianggap
melakukan pelanggaran ringan sering ijin meninggalkan tugas pada saat jam kerja,
beberapa kali dipanggil oleh HRD untuk dilakukan pembinaan namun tetap tidak ada
perbaikan sehingga pada akhirnya Slamet Suwarto diminta menandatangani surat
pernyataan pada 25 Januari 2010 yang isinya bahwa per 25 Januari 2010 diberhentikan
dengan hormat dari pekerjaannya sebagai karyawan PT Kusoema Nanda Putra atas
kesalahan yang diperbuatnya dan perusahaan memberikan uang pisah sebesar Rp
5.000.000,00.
Obyek perselisihan yang terjadi di PT Kusoema Nanda Putra adalah
perselisihan pemutusan hubungan kerja antara karyawan yang bernama Slamet Suwarto
dengan perusahaan karena dianggap telah melakukan pelanggaran ringan. Penyelesaian
perselisihan pemutusan hubungan kerja ini memang pada akhirnya dapat berakhir tanpa
gejolak, berjalan sangat lancar tanpa penolakan sama sekali dari karyawan. Namun
apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan hubungan Industrial maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maka mekanisme yang ditempuh oleh perusahaan tidak
dikenal bahkan tidak benar sama sekali. Mekanisme pengunduran diri sebagai
karyawan yang ingin mengakhiri hubungan kerja dengan perusahan dapat dilakukan
dengan syarat sebagaimana diatur dalam pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan sebagai berikut:

a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis


selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai penunduran diri.

Perusahaan dengan menyodorkan blangko surat pernyataan yang isinya


memberhentikan kerja Slamet Suwarto, maka jelas hal itu merupakan pelanggaran
hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku sehingga
surat pernyataan tersebut mestinya tidak sah dan tidak berlaku.
Mekanisme pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan
terhadap Slamet Suwarto tersebut tidak dikenal dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena sangat merugikan Slamet Suwarto sebagai karyawan
yang hak-haknya terabaikan karena hanya diberikan uang pisah yang besarnya tidak
mengikat perusahaan atau dengan kata lain seikhlasnya.
Dinsosnakertrans Kabupaten Klaten tidak bisa berbuat banyak terhadap
masalah ini karena selama ini tidak ada pengaduan atau laporan dari pihak yang merasa
dirugikan terutama Slamet Suwarto karena memang yang bersangkutan bisa menerima
langkah yang diambil oleh perusahaan dan yang penting cepat selesai sehingga dengan
segala keterbatasannya harus bisa menerima keadaan walaupun dengan sangat
merugikan dirinya.

Anda mungkin juga menyukai