Anda di halaman 1dari 23

Optimalisasi peran perawat untuk stunting

1. Pengantar
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi. Pada masa
ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan
perkembangan psikomotorik, mental dan sosial (Almatsier,2011).
Pemberian nutrisi yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab
gangguan gizi pada balita, dimana balita yang nutrisinya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan akan berdampak pada
gangguan gizi seperti kependekan atau stunting.
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah
kondisi dimana nilai Z-score tinggi badan menurut umur (TB/U)
berdasarkan standar pertumbuhan mencapai kurang dari -2 standar deviasi
(SD) (Margawati & Astri, 2018). Stunting juga merupakan masalah gizi
kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih
pendek dari anak dengan usia yang sama (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami
stunting (Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia,
Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar.
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting
akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak
menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko
pada menurunnya tingkat produktivitas.
Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar
ketimpangan. Kemudian stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi
dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu
hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat
mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita (TNP2K, 2017).
Penanggulangan kasus stunting berkaitan erat dengan peran
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (Care Giver ). Sebagai
pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan secara langsung dan tidak langsung serta bisa ke individu,
kelompok, keluarga, maupun masyarakat luas dengan pendekatan asuhan
keperawatan.

2. Indicator
Pemerintah kabupaten/kota diberikan kesempatan untuk berinovasi untuk
menambahkan kegiatan intervensi efektif lainnya berdasarkan pengalaman
dan praktik baik yang telah dilaksanakan di masing-masing
kabupaten/kota dengan fokus pada penurunan stunting. Target indikator
utama dalam intervensi penurunan stunting terintegrasi adalah:
1) Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
Stunting (pendek/sangat pendek) adalah kondisi kurang gizi kronis
yang diukur berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
dibandingkan dengan menggunakan standar WHO tahun 2005. Data
tinggi badan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menjadi analisis
untuk status gizi dan tinggi badan setiap anak baduta dikonversikan ke
dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri anak
balita WHO 2005. Klasifikasi berdasarkan indikator TB/U adalah
sebagai berikut: 1. Sangat pendek : Zscore <-3,0 2. Pendek : Zscore ≥-
3,0 s/d Zscore < -2,0.
Indikator ini mengukur persentase anak baduta yang tingginya
dibawah ketinggian rata-rata penduduk acuan. Stunting pada anak-
anak mencerminkan efek yang luas dari kekurangan gizi yang kronis
dan menderita penyakit berulang yang disebabkan oleh latar belakang
sosial dan ekonomi yang buruk. Stunting pada anak-anak dapat
memiliki dampak serius pada perkembangan fisik, mental, dan
emosional anak-anak, dan bukti menunjukkan bahwa efek dari
stunting pada usia muda, khususnya pada perkembangan otak, sulit
untuk memperbaikinya pada usia lanjut walaupun jika anak menerima
gizi yang tepat. Selain itu, anak yang mengalami stunting beresiko
lebih besar menderita penyakit menular dan tidak menular pada usia
dewasa seperti jantung, diabetes, dan penyakit pembuluh darah. Oleh
karena itu, indikator ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
memberikan gizi yang cukup untuk anak-anak.

2) Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Penurunan berat bayi lahir rendah (BBLR) untuk
mengurangi kematian anak merupakan kontribusi penting
dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Kejadian
BBLR tidak dapat dibiarkan begitu saja karena berkaitan
dengan kematian perinatal dan neonatal. Menurut Depkes
(2004) bahwa sekitar 57 persen kematian bayi tersebut terjadi
pada bayi umur di bawah 1 bulan dan utamanya disebabkan
oleh gangguan selama perinatal dan BBLR (Pramono &
Paramita, 2015).
Menurut WHO (1992), berat lahir rendah sangat erat
kaitannya dengan kematian neonatal dan morbiditas,
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan
penyakit kronis di kemudian hari. Banyak faktor yang
mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin, dan
dengan demikian, berat lahir tersebut. Mereka berhubungan
dengan bayi, ibu, atau lingkungan fisik dan memainkan peran
penting dalam menentukan berat lahir dan masa depan
kesehatan bayi. WHO dan Unicef (2004) mengestimasi lebih
dari 20 juta bayi di seluruh dunia, yang mewakili 15,5% dari
semua kelahiran, lahir dengan berat badan lahir rendah, 95.6%
dari mereka di banyak negara berkembang. Tingkat berat lahir
rendah di negara berkembang (16,5%) lebih dari dua kali lipat
tingkat di daerah maju (7%)(Pramono & Paramita, 2015)
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah
dan normal. Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika
berat lahirnya < 250 gram (Kementrian Kesehatan, 2010).
Dampak BLR akan berlangsung antar generasi. Seorang anak
yang mengalami BBLR kelak jugaakan mengalami deficit
pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang) di masa
dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya
bahwa kelak ia juga akan menjadi Ibu yang stunted sehinga
berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirnya pula. Bayi
yang dilahirkan BBLR tersebut akan
kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan
begitu seterusnya
Persentase jumlah bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2,5 kg. 2,5 kg merupakan berat minimal untuk
dikatakan bayi sehat dan mempunyai peluang untuk terus
hidup. Semakin besar persentase bayi lahir dengan berat kurang
dari 2,5 kg, semakin rendah status kesehatan dan gizi
masyarakat.
Secara individual, BBLR merupakan predictor penting
dalam kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir
dan berhubungan dengan risiko tingi pada anak. Berat lahir
pada umumnya sangat terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan
jangka panjang. Sehinga, dampak lanjutan dari BBLR dapat
berupa gagal tumbuh (grouth faltering). Seseorang bayi yang
lahir dengan BBLR akan sulit dalam mengejar ketertingalan
pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang tertingal dari yang
normal akan menyebabkan anak tersebut menjadi stunting.
Berdasarkan berbagai akibat yang ditimbulkan BBLR,
maka perlu upaya untuk menurunkan angka BBLR dan
mengantisipasi angka BBLR yang turun untuk tidak meningkat
kembali. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna
mencegah terjadinya BBLR adalah memprediksi secara dini
berat janin yang ada dalam kandungan. Seorang ibu yang
terdeteksi secara dini berat janin dalam kandungannya kurang
dari normal dapat segera dicari penyebabnya dan segera
diupayakan untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga pada
akhirnya dapat melahirkan bayi dengan berat badan normal.
Pemberian konsumsi gizi untuk ibu hamil dianggap sesuai
apabila dengan mengonsumsi berbagai zat gizi tersebut ibu
dapat melahirkan bayi dengan berat normal dan mampu
mempertahankan status gizinya yang berarti telah tercukupi
kebutuhannya. Meskipun berat badan berpengaruh terhadap
kebutuhan gizi ibu hamil, data ini sulit untuk didapatkan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap BBLR adalah beban
kerjanya, usia kehamilan, LILA, paritas dan berat janin dalam
kandungan.
Sementara itu penelitian dengan menggunakan data
Riskesdas 2007 menyimpulkan bahwa kejadian BBLR
dipengaruhi oleh jenis kelamin bayi, paritas dan riwayat ANC
(Pramono, dkk. 2008). Berdasarkan penelitian tersebut, bayi
yang berjenis kelamin perempuan mempunyai risiko untuk
terjadinya BBLR sebesar 1,32 kali dibandingkan bayi laki-laki.
Ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 1,55
dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Sementara itu
jumlah anak mempunyai risiko protektif dan ibu yang tidak
melakukan ANC mempunyai risiko 2,03 kali untuk terjadi
BBLR dibandingkan ibu yang melakukan ANC (Pramono &
Paramita, 2015).
3) Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita

Menurut Laporan Global Nutrition pada tahun 2017 menunjukkan


masalah status gizi di dunia diantaranya prevalensi wasting (kurus) 52
juta balita (8%), stunting (pendek) 115 juta balita (23%), dan
overweight 4 juta balita (6%) (UNICEF dan WHO, 2017). Prevalensi
underweight di dunia tahun 2016 berdasarkan lingkup kawasan World
Health Organization (WHO) yaitu Afrika 17,3% ( 11,3 juta), Amerika
1,7% ( 1,3 juta), Asia Tenggara 26,9% (48 juta),Eropa 1,2% (0,7 juta),
Mediterania Timur 13% (10,5 juta), Pasifik Barat 2,9% (3,4 juta),
sedangkan secara global didunia prevalensi anak usia dibawah lima
tahun yang mengalami underweight ialah 14% (94,5 juta) (Arina,
2017).
Sebanyak 45% kematian anak balita sebagian besar disebabkan
karena masalah gizi. Status gizi yang baik adalah modal dasar dalam
pencapaian sasaran pembangunan. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sasaran pokok
upaya peningkatan status gizi masyarakat yang termasuk dalam target
Sustainable Development Goals (SDGs) “Mengentaskan Kelaparan /
Zero Hunger” adalah: (1) Menurunnya prevalensi gizi kurang
(underweight) pada anak balita dari 19,6% menjadi 17,0%; (2)
Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (di
bawah 2 tahun) menurun dari 32,9% menjadi 28,0%; (3) Prevalensi
wasting (kurus) anak balita menurun dari 12% menjadi 9,5% (Arina,
2017)
Gambaran prevalensi status gizi Balita diperoleh dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menjadi salah satu dasar untuk
menetapkan kebijakan berbasis bukti hanya dilakukan 3-5 tahun sekali.
Hasil yang berhasil dipotret adalah prevalensi gizi kurang/kekurangan
gizi (underweight) pada anak usia di bawah lima tahun (Balita) serta
prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak usia di
bawah dua tahun (Baduta).
Ketidak cukupan gizi atau sering dikenal sebagai kurang gizi
mempunyai dampak yang sangat luas tidak hanya mempunyai peranan
yang besar terhadap bertambahnya angka kesakitan dan kematian,
tetapi mempunyai peranan terhadap terganggunya aspek psikososial
dan perkembangan intelektual. Kekurangan gizi dapat menimpa siapa
saja di masyarakat, namun bayi dan balita merupakan kelompok yang
paling rawan mengalami kekurangan gizi karena kelompok ini
memerlukan zat gizi yang tinggi untuk tumbuh kembang
anak(Hastoety et al., 2018).
Bertambahnya usia bayi mengakibatkan bertambah pula kebutuhan
gizinya, ketika bayi memasuki usia 6 bulan ke atas maka kebutuhan
beberapa elemen seperti karbohidrat, vitamin dan protein tidak dapat
terpenuhi oleh ASI saja oleh sebab itu bayi 6 bulan memerlukan
makanan pendamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Perilaku ibu dalam pemberian MP ASI baik dari segi ketepatan
waktu,jenis makanan maupun jumlah makanan ditentukan oleh
pengetahuan ibu terhadap MP ASI.
Untuk mengawalI upaya perbaikan gizi masyarakat sejak tahun
2014 telah dilaksanakan surveilans gizi berupa Pemantauan Status Gizi
(PSG) pada 34 provinsi, sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi
kegiatan dan dasar penentuan kebijakan dan perencanaan kegiatan
berbasis bukti yang spesifik wilayah. PSG sebagai upaya monitoring
dan evaluasi keberhasilan progam perbaikan gizi guna memberikan
petunjuk apakah program yang dijalankan sudah berdampak pada
penurunan masalah gizi seperti yang diharapkan yaitu menurunkan
prevalensi stunting , underweight dan wasting. Oleh karena itu, PSG
perlu dijalankan setiap tahun.
Pada 2014, PSG diselenggarakan di 134 kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia, sementara PSG 2015 dilaksanakan di 496
Kabupaten dan Kota di 34 Provinsi. Pada 2016, PSG berhasil
ditingkatkan lagi cakupannya, berhasil dilaksanakan di 514 kabupaten
dan kota di 34 Provinsi.

PSG 2016 menyediakan data dan informasi status gizi Balita,


remaja, dewasa, WUS, ibu hamil dan nifas serta konsumsi Ibu hamil
secara cepat, akurat, teratur, dan berkelanjutan untuk penyusunan
perencanaan dan perumusan kebijakan program gizi.  Secara singkat,
berikut adalah beberapa data yang terdapat di dalam Hasil PSG 2016
tersebut, antara lain:

 Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U
normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada
38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah
gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan
(pendek – normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan
mengalami kegemukan.

 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat


3,4% Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah
gizi buruk-kurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang
(Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar
17,8%).

 Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat


8,5% Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah
Balita pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan
masyarakat masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan
WHO masalah Balita pendek sebesar 27,5%).

 Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1%


balita yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah
Balita kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan
WHO diketahui masalah Balita kurus sebesar 11,1%

Informasi Capaian Indikator Pembinaan Gizi dan


Konsumsi Zat Gzi
1. Hasil pemeriksaan garam berdasarkan kandungan Iodium di
rumah tangga menunjukkan hasil yang baik, dimana 90,8%
garam yang digunakan di rumah tangga mengandung iodium.

2. Persentase Balita yang datang dan ditimbang di posyandu


minimal 4 kali dalam 6 bulan terakhir cukup baik yaitu 72,4%.
Balita yang memiliki KMS atau buku KIA sebesar 69,5%.
3. Persentase Ibu yang sama sekali tidak melakukan IMD masih
cukup besar yaitu 48,2%.

4. Persentase konsumsi hanya ASI saja pada bayi 0-5 bulan


hanya 29,5%. Dan terdapat 71,5% bayi 0-5 bulan yang telah
diberi makanan lain selain ASI.

5. Persentase Balita umur 6 – 59 bulan yang mendapatkan


Vitamin A sebesar 90,1%. Dari angka tersebut, Balita yang
mengkonsumsi kapsul Vitamin A warna biru pada bayi 6-11
bulan dalam 6 bulan terakhir adalah 69,1%. Sedangkan
persentase konsumsi kapsul Vitamin A warna merah pada bayi
12-59 bulan dalam 6 bulan terakhir adalah 93,2%.

6. Persentase ibu nifas yang menerima/minum kapsul vitamin A


cukup besar yaitu 71,8%.

7. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang didapatkan oleh


balita kurus persentasenya 63%.

8. Persentase remaja puteri yang mendapatkan tablet tambah


darah masih sangat rendah yaitu hanya 10,3%. Menunjukan
masih banyak remaja puteri yang mengalami anemia dan akan
menghasilkan generasi penerus yang mengalami masalah gizi
apabila tidak dicegah sejak masa remaja.

9. Dari seluruh ibu hamil yang ada, Ibu hamil yang mendapatkan
TTD lebih dari 90 tablet yaitu hanya 40,2% yang mendapatkan
TTD.

10. Ibu hamil yang memiliki risiko kurang energy kronis ( KEK)
sebesar 16,2%. Persentase Ibu hamil KEK yang mendapatkan
makanan tambahan sebesar 79,3%.

11. Ibu hamil yang mengalami defisit energi sebesar 53,9%,


sedangkan yang defisit protein sebanyak 51,9%.
12. Persentase konsumsi energi dan zat gizi (Protein, karbohidrat,
dan lemak) secara nasional: energi (73,6%), protein (86,4%),
karbohidrat (76,8%) dan 70% lemak.

4) Prevalensi wasting (kurus) anak balita


Gizi kurus merupakan masalah gizi yang sifatnya akut, sebagai akibat
dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama seperti
kekurangan asupan makanan. Dampak gizi kurus pada balita dapat
menurunkan kecerdasan, produktifitas, kreatifitas, dan sangat
berpengaruh pada kualitas SDM. Tingginya prevalensi gizi kurang dan
buruk pada balita dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu buruknya
kualitas dari kuantitas konsumsi pangan sebagai akibat masih
rendahnya ketahanan pangan keluarga, buruknya pola asuh dan
rendahnya akses pada fasilitas kesehatan .
Salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan derajat
kesehatan itu adalah status gizi baik. Status gizi merupakan salah satu
faktor yang menentukan kualitas tumbuh kembang seseorang yang
pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia
(SDM). Status gizi masyarakat sering digambarkan dengan besaran
masalah gizi pada kelompok anak balita yang merupakan kelompok
yang rawan gizi
Penilaian status gizi yg bisa dilakukan keliru satunya menggunakan
memakai berat badan berdasarkan panjang badan (BB/PB) atau berat
badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) yangmenggambarkan
perolehan gizi kurus
Gizi kurang pada anak dapat membuat anak menjadi kurus dan
pertumbuhan menjadi terhambat.Penyebab kurang gizi secara langsung
adalah konsumsi makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi
(Manullang, Mona Sylvia J. dkk. 2012). Penyebab tidak langsung
masalah gizi kurang, dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan,
faktor sosial ekonomi, budaya dan politik (Mustapa, Yusna. dkk.
2013).
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius apabila
prevalensi gizi kurus antara 10,0% Persentase bayi usia kurang dari 6
bulan yang mendapat ASI eksklusif Prevalensi anemia pada ibu hamil
dan remaja putri Prevalensi kecacingan pada anak balita Prevalensi
diare pada anak baduta dan balita

5. presentase bayi usia kurang dari 6 bulang yang mendapat ASI eksklusif
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting
terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan
kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan, maka
berikut ini mencoba untuk membahas dari sisi pola asuh dan ketahanan
pangan tingkat keluarga. Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi
implementasi program yang harus dilaksanakan. Pola asuh (caring),
termasuk di dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan dengan
makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun merupakan
proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128,
Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.Amanat pada UU Nomor
36 Tahun 2009 adalah:
a). Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
b). Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Amanat UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013


tentang ASI yang menyebutkan:
a). Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif.
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:
a. menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI
Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan
dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI
Eksklusif kepada bayinya; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat,
pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI
Eksklusif.
b). Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru
lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi
menyusu dini sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara
meletakkan bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga
kulit bayi melekat pada kulit ibu.
Bayi memerlukan makanan pendamping agar pemenuhan
gizi untuk tumbuh dapat terpenuhi. WHO/UNICEF dalam
ketentuannya mengharuskan bayi usia 6-23 bulan dapat MPASI
yang adekuat dengan ketentuan dapat menerima minimal 4 atau
lebih dari 7 jenis makanan (serealia/umbi-umbian, kacang-
kacangan, produk olahan susu, telur, sumber protein lainnya, sayur
dan buah kaya vitamin A, sayur dan buah lainnya-Minimum ietary
Diversity/MMD). Di samping itu, yang diperhatikan juga adalah
untuk bayi harus memenuhi ketentuan Minimum Meal Frequency
(MMF), yaitu bayi 6-23 bulan yang diberi atau tidak diberi ASI,
dan sudah mendapat MP-ASI (makanan lunak/makanan padat,
termasuk pemberian susu yang tidak mendapat ASI) harus
diberikan dengan frekuesi sebagai berikut:
a. Untuk bayi yang diberi ASI:
• Umur 6-8 bulan: 2 x/hari atau lebih;
• Umur 9-23 bulan: 3 x/hari atau lebih.
b. Untuk bayi 6-23 bulan yang tidak diberi ASI: 4 x/hari atau lebih.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang
mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di
Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan
persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%)
dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12
provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua
Barat belum mengumpulkan data. Secara nasional, cakupan bayi mendapat
ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi
cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat
(87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%).
Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu,
sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu
ditingkatkan. Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung
pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi
gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada
tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5%
mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita
mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.
Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program
pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus
berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika
berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi
badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan
makanan keluarga gizi seimbang.

6) Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri


Anemia yaitu jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut
oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologi
tubuh. Anemia pada wanita usia subur merupakan tantangan di bidang gizi
kesehatan reproduksi.(Simanungkalit & Simarmata, 2019)
Angka prevalensi anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data
World Health Organization (WHO) tahun 2010, yaitu prevalensi anemia
pada ibu hamil di seluruh dunia adalah sebesar 41,8% (Ariyani, 2016).
Tiga ratus tujuh puluh juta wanita menderita anemia karena defisiensi zat
besi di negara berkembang. Prevalensi anemia rata-rata lebih tinggi pada
ibu hamil (51%) dibandingkan pada wanita yang tidak hamil (41%)
(JELLINEK, 2018).
Menurut WHO tahun 1999, anemia pada masa kehamilan
menyumbang 20% kematian ibu di seluruh dunia. Hampir separuh ibu
hamil di Indonesia mengalami anemia atau kekurangan darah. Menurut
Kemenkes RI (2018), sebanyak 48,9% ibu hamil di Indonesia mengalami
anemia. Persentase ibu hamil yang mengalami anemia di Indonesia
meningkat dibandingkan dengan data Riskesdas 2013 yaitu 37,1%. Hasil
penelitian Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia adalah 50-63% (Dinkes DIY,
2017). Kondisi ini mengatakan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia
dan menunjukkan angka mendekati masalah kesehatan masyarakat berat
(severe public health problem) dengan batas prevalensi anemia lebih dari
40% . (JELLINEK, 2018).
Anemia bukan hanya berdampak pada ibu, melainkan juga pada
bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan kemungkinan besar
mempunyai cadangan zat besi yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak
mempunyai persediaan sama sekali sehingga akan mengakibatkan anemia
pada bayi yang dilahirkan. Bayi yang kurang besi dapat berdampak pada
gangguan pertumbuhan sel-sel otak yang kemudian hari dapat mengurangi
IQ anak (Irianto, 2014). Dampak anemia pada ibu hamil dapat diamati dari
besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka
kesakitan dan kematian janin, serta peningkatan risiko terjadinya berat
badan lahir rendah. Penyebab utama kematian maternal antara lain
pendarahan pascapartum (disamping eklampsia, dan penyakit infeksi) dan
plasenta previa yang semuanya bersumber pada anemia defisiensi.
Sedangkan Anemia pada remaja adalah masalah kesehatan yang
parah dikalangan remaja putri sebesar 47,9%. Di Indonesia prevalensi
anemia pada remaja putri sebesar 27.2% pada kelompok umur 15-24
tahun. Sedangkan prevalensi anemia pada remaja putra yaitu sebesar
20.3%. Hal ini menyebabkan anemia merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di kalangan remaja khususnya remaja putri di Indonesia.
(Cia et al., 2021)
Prevalensi anemia disebabkan beberapa faktor seperti kehilangan
darah secara kronis, kurangnya asupan zat besi, penyerapan zat besi yang
tidak adekuat, serta meningkatan kebutuhan akan zat besi. Pada remaja
putri, anemia yang disebabkan karena kurangnya asupan zat gizi dari
makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Sebagian remaja putri membatasi
mengkonsumsi terhadap makanan tertentu atau mengurangi jumlah
makanan yang dikonsumsi dengan alasan ingin memiliki berat badan
ideal(Cia et al., 2021)

7) Prevalensi kecacingan pada anak balita


Dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita) sebagai penerus
bangsa, harus menjadi perhatian serius. Sesuai konsep paradigma sehat
yang berorientasi pada kesehatan masyarakat maka harus diupayakan
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. Di Indonesia, masih
banyak penyakit yang menjadi permasalahan di dunia kesehatan, di
antaranya adalah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Kecacingan
lebih banyak menyerang anak-anak karena aktivitas mereka yang lebih
banyak berhubungan dengan tanah. Kecacingan memang tidak
membahayakan nyawa, namun mampu membuat kualitas hidup
penderitanya turun drastis karena dapat menurunkan kondisi kesehatan,
gizi, kecerdasan, dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi
dapat menyebabkan kerugian. Selain itu, dapat menyebabkan kehilangan
karbohidrat, protein serta darah sehingga menurunkan kualitas SDM.
Kecacingan di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena prevalensinya masih sangat tinggi antara 45% _ 65%.
Bahkan di area tertentu yang sanitasinya buruk, prevalensi kecacingan
dapat mencapai 80%. Cacing-cacing yang menginfestasi anak dengan
prevalensi tinggi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing ini
tersebar luas di dunia, terutama daerah tropis dan subtropis yang
kelembaban udaranya tinggi, berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat,
berukuran 10 _ 31 cm, telur berbentuk lonjong berukuran 45 _ 70 mikron
x 35 _ 50 mikron. Selain itu, terdapat cacing cambuk (Trichuris trichiura),
cacing ini tersebar luas di daerah tropis dan berhawa panas berbentuk
mirip cambuk; Ancylostoma duodenale; cacing tambang (Necator
americanus), dan cacing kremi (Enterobius vermicularis).
Infestasi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku,
lingkungan, tempat tinggal, dan manipulasinya terhadap lingkungan.
Kecacingan banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban yang tinggi.
Selain itu, faktor kelompok masyarakat dengan higine perorangan dan
sanitasi dasar perumahan yang kurang baik juga dapat menyebabkan
terjadinya kecacingan. Penularan kecacingan dapat terjadi melalui
beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk ke mulut bersama makanan dan
minuman yang tercemar melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada
anak(Yudhastuti & Lusno, 2010)

3. Uraian materi (peran perawat adalah, peran perawat untuk stunting, ……..
 Peran
Peran pada dasarnya adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai
kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
sosial baik dari dalam maupun dari luar yang besifat stabil
 Peran perawat
Peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh
perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kompetensi
yang dimilikinya. Perawat adalah tenaga profesional yang
mempunyai pendidikan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Kedudukannya dalam sistem ini adalah anggota tim kesehatan
yang mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan
keperawatan
 Setiap peran memiliki 3 elemen, yaitu :
a). Peran ideal Peran ideal mengacu pada hak dan tanggung
jawab terkait peran yang secara sosial dianjurkan atau
disepakati.
b). Peran yang dipersepsikan Peran yang mengacu pada
bagaimana penerimaan peran (orang yang menerima peran)
percaya dirinya harus berperilaku dalam peran tersebut.
c). Peran yang ditampilkan Peran yang mengacu pada apa yang
sebenarnya dilakukan oleh penerima peran.
 Peran perawat untuk mencegah stunting
1. Peran perawat sebagai asuhan keperawatan dalam
pencegahan gizi buruk pada balita meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, tindakan
keperawatan dan evaluasi melalui penimbangan, pengukuran
tinggi badan anak dan pemantauan secara rutin atau kontinue
tiap bulan di posyandu.
2. Peran perawat sebagai pendidik dalam pencegahan gizi buruk
pada balita melalui pendidikan kesehatan dalam bentuk
konseling maupun penyuluhan.
3. Peran perawat sebagai kolaborasi dalam pencegahan gizi
buruk pada balita dimana perawat bekerjasama dengan ahli
gizi dan tim kesehatan lain
4. Peran perawat sebagai koordinator dalam pencegahan gizi
buruk pada balita dimana perawat mengkoordinasikan dan
menjadwalkan terlebih dahulu kegiatan yang akan
dilaksanakan.
5. Peran perawat sebagai konsultan dalam pencegahan gizi
buruk pada balita yaitu dengan memecahkan masalah secara
bersama.
6. Peran perawat sebagai advokat klien dalam pencegahan gizi
buruk pada balita yaitu melakukan pendekatan dan
memberikan pengertian mengenai pentingnya perbaikan gizi
atau peningkatan gizi.

4. Latihan soal 5
1). Apakah yang menjadi faktor resiko/penyebab stunting sebagai
indikasi masalah gizi kronis?
Jawaban :
Ada dua kelompok faktor resiko/penyebab stunting sebagai indikasi
masalah gizi kronis:
 Penyebab langsung: yaitu kurangnya asupan makanan bergizi dan
infeksi berulang dalam jangka waktu tertentu (kronis).
 Penyebab tidak langsung: terdiri dari berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyebab langsung dari stunting akibat
masalah gizi kronis. Faktor-faktor tersebut antara lain terkait
masalah akses terhadap makanan bergizi, pola asuh yang kurang
optimal, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, praktik
hygiene, atau masalah kesehatan lingkungan yang mempengaruhi
akses ke air bersih dan sanitasi (lingkungan). Penyebab tidak
langsung ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang mendasar
seperti faktor ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem
pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian,
dan/atau pemberdayaan perempuan
2). Apa dampak dari masalah gizi kronis selain stunting?
Jawaban :
Selain gangguan pertumbuhan yang diindikasikan oleh stunting, biasanya
anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan akibat masalah gizi
kronis, baik gangguan pada perkembangan kognitif, motorik, ataupun
sistem kekebalan tubuh. Gangguan perkembangan inilah yang kemudian
dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar atau mudah
terserang penyakit. Kondisi kurang gizi kronis yang tidak dicegah atau
terlambat dikoreksi dapat meningkatkan resiko terkena penyakit tidak
menular (PTM) di usia lebih lanjut (seperti diabetes, penyakit jantung,
kanker, stroke, dan lain-lain) pada level individu dan menurunkan angka
produktivitas sumber daya manusia pada level populasi.
3). Apakah stunting dapat dicegah atau dikoreksi?
Jawaban :
Stunting dapat dicegah atau dikoreksi jika dilakukan sebelum atau selama
periode emas. Karenanya berbagai intervensi penting dilakukan sejak dini,
mulai dari mempersiapkan kondisi gizi dan kesehatan calon ibu hingga
memastikan kesehatan yang baik dan gizi yang cukup terutama pada 1000
Hari Pertama Kehidupan, yaitu sejak anak berada dalam kandungan
hingga usia 2 tahun.
4). apa saja langkah-langkah dalam penanganan stunting ?
Jawaban :

1. Rutin memantau pertumbuhan perkembangan balita.


2. Memberikan makanan tambahan (PMT) untuk balita.
3. Melakukan stimulasi dini perkembangan anak.
4. Memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan yang
optimal untuk anak.

5. meliputi apa saja peran perawat sebagai asuhan keperawatan dalam


pencegahan gizi buruk pada balita ?
Jawaban
- pengkajian
- diagnosa keperawatan
- rencana keperawatan
- tindakan keperawatan
- evaluasi

5. Rangkuman
Stunting juga merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai
dengan tinggi badan anak yang lebih pendek dari anak dengan usia yang
sama (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Balita/Baduta
(Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki
tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan
terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya
tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat
dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak
langsung serta bisa ke individu, kelompok, keluarga, maupun masyarakat
luas dengan pendekatan asuhan keperawatan.
Pemerintah kabupaten/kota memiliki peluang untuk berinovasi
menambah intervensi efektif lainnya berdasarkan best practice dan
pengalaman yang telah diterapkan di masing-masing kabupaten/kota
dengan fokus meminimalkan keterlambatan. Indikator sasaran utama
intervensi terpadu untuk mengurangi stunting adalah: .
1) Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
2) Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
3) Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita
4) Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5). presentase bayi usia kurang dari 6 bulang yang mendapat ASI
eksklusif
6) Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7) Prevalensi kecacingan pada anak balita
peran pada dasarnya adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem.
1). Peran perawat sebagai asuhan keperawatan dalam pencegahan gizi buruk
pada balita meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi melalui penimbangan,
pengukuran tinggi badan anak dan pemantauan secara rutin atau kontinue
tiap bulan di posyandu.
2). Peran perawat sebagai pendidik dalam pencegahan gizi buruk pada balita
melalui pendidikan kesehatan dalam bentuk konseling maupun
penyuluhan.
3). Peran perawat sebagai kolaborasi dalam pencegahan gizi buruk pada balita
dimana perawat bekerjasama dengan ahli gizi dan tim kesehatan lain
4). Peran perawat sebagai koordinator dalam pencegahan gizi buruk pada
balita dimana perawat mengkoordinasikan dan menjadwalkan terlebih
dahulu kegiatan yang akan dilaksanakan.
5). Peran perawat sebagai konsultan dalam pencegahan gizi buruk pada balita
yaitu dengan memecahkan masalah secara bersama. 6. Peran perawat
sebagai advokat klien dalam pencegahan gizi buruk pada balita yaitu
melakukan pendekatan dan memberikan pengertian mengenai pentingnya
perbaikan gizi atau peningkatan gizi.
Almatsier, S. d. (2011). Gizi Seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.

Arina, S. (2017). Hubungan antara pengetahuan ibu tentang pemberian makanan


pendamping ASI dengan status gizi balita usia 12- 24 bulan di Kelurahan
Parak Laweh. Prodi S1 Kebidanan FK Universitas Andalas, 1–6.

Cia, A., Nur Annisa, S., & F. Lion, H. (2021). Asupan Zat Besi dan Prevalensi
Anemia pada Remaja Usia 16-18 Tahun. Jurnal Kesehatan, 04(02), 144–
150.

Hastoety, S. P., Wardhani, N. K., Sihadi, S., Sari, K., Kumala Putri, D. S.,
Rachmalina, R., Utami, N. H., Susilawati, M. D., Chitijani, R., & Febriani, F.
(2018). Disparitas Balita Kurang Gizi di Indonesia. Media Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan, 28(3), 201–210.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i3.219

JELLINEK, E. M. (2018). Bagaimana status anemia ibu hamil berdasarkan


asupan zat besi dan sumber tanin di Desa Karangsari, Kecamatan Pengasih,
Kabupaten Kulon Progo. Journal of the American Medical Women’s
Association, 9(6), 192.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). situasi balita pendek


(stunting) di Inddonesia. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Margawati, A., & Astri, M. (2018). Pengetahuan ibu, pola makan dan status gizi
pada anak stunting usia 1-5 tahun di kelurahan bangetayu, kecamatan genuk,
semarang. Jurnal Gizi Indonesia, 6(2).

Pramono, M. S., & Paramita, A. (2015). POLA KEJADIAN DAN


DETERMINANBAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH
(BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2013 (Pattern of Occurrence and
Determinants of Baby with Low Birth Weight in Indonesia 2013). Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1), 1–10.
https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4263.1-10
Simanungkalit, S. F., & Simarmata, O. S. (2019). Pengetahuan dan Perilaku
Konsumsi Remaja Putri yang Berhubungan dengan Status Anemia. Buletin
Penelitian Kesehatan, 47(3), 175–182.
https://doi.org/10.22435/bpk.v47i3.1269

TNP2K. (2017). 1000 kabupaten / kota prioritas untuk penanganan anak kerdil
(stunting). Journal of Materials Processing Technology, 1, 1–8.

Yudhastuti, R., & Lusno, M. F. D. (2010). Kebersihan Diri dan Sanitasi Rumah
pada Anak Balita dengan Kecacingan Personal Hygiene and House
Sanitation among Children Under Five Years Old with Helminthiasis. 173–
178.

Anda mungkin juga menyukai