1. Pengantar
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi. Pada masa
ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan
perkembangan psikomotorik, mental dan sosial (Almatsier,2011).
Pemberian nutrisi yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab
gangguan gizi pada balita, dimana balita yang nutrisinya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan akan berdampak pada
gangguan gizi seperti kependekan atau stunting.
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah
kondisi dimana nilai Z-score tinggi badan menurut umur (TB/U)
berdasarkan standar pertumbuhan mencapai kurang dari -2 standar deviasi
(SD) (Margawati & Astri, 2018). Stunting juga merupakan masalah gizi
kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih
pendek dari anak dengan usia yang sama (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami
stunting (Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia,
Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar.
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting
akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak
menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko
pada menurunnya tingkat produktivitas.
Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar
ketimpangan. Kemudian stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi
dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu
hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat
mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita (TNP2K, 2017).
Penanggulangan kasus stunting berkaitan erat dengan peran
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (Care Giver ). Sebagai
pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan secara langsung dan tidak langsung serta bisa ke individu,
kelompok, keluarga, maupun masyarakat luas dengan pendekatan asuhan
keperawatan.
2. Indicator
Pemerintah kabupaten/kota diberikan kesempatan untuk berinovasi untuk
menambahkan kegiatan intervensi efektif lainnya berdasarkan pengalaman
dan praktik baik yang telah dilaksanakan di masing-masing
kabupaten/kota dengan fokus pada penurunan stunting. Target indikator
utama dalam intervensi penurunan stunting terintegrasi adalah:
1) Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
Stunting (pendek/sangat pendek) adalah kondisi kurang gizi kronis
yang diukur berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
dibandingkan dengan menggunakan standar WHO tahun 2005. Data
tinggi badan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menjadi analisis
untuk status gizi dan tinggi badan setiap anak baduta dikonversikan ke
dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri anak
balita WHO 2005. Klasifikasi berdasarkan indikator TB/U adalah
sebagai berikut: 1. Sangat pendek : Zscore <-3,0 2. Pendek : Zscore ≥-
3,0 s/d Zscore < -2,0.
Indikator ini mengukur persentase anak baduta yang tingginya
dibawah ketinggian rata-rata penduduk acuan. Stunting pada anak-
anak mencerminkan efek yang luas dari kekurangan gizi yang kronis
dan menderita penyakit berulang yang disebabkan oleh latar belakang
sosial dan ekonomi yang buruk. Stunting pada anak-anak dapat
memiliki dampak serius pada perkembangan fisik, mental, dan
emosional anak-anak, dan bukti menunjukkan bahwa efek dari
stunting pada usia muda, khususnya pada perkembangan otak, sulit
untuk memperbaikinya pada usia lanjut walaupun jika anak menerima
gizi yang tepat. Selain itu, anak yang mengalami stunting beresiko
lebih besar menderita penyakit menular dan tidak menular pada usia
dewasa seperti jantung, diabetes, dan penyakit pembuluh darah. Oleh
karena itu, indikator ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
memberikan gizi yang cukup untuk anak-anak.
Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U
normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada
38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah
gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan
(pendek – normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan
mengalami kegemukan.
9. Dari seluruh ibu hamil yang ada, Ibu hamil yang mendapatkan
TTD lebih dari 90 tablet yaitu hanya 40,2% yang mendapatkan
TTD.
10. Ibu hamil yang memiliki risiko kurang energy kronis ( KEK)
sebesar 16,2%. Persentase Ibu hamil KEK yang mendapatkan
makanan tambahan sebesar 79,3%.
5. presentase bayi usia kurang dari 6 bulang yang mendapat ASI eksklusif
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting
terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan
kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan, maka
berikut ini mencoba untuk membahas dari sisi pola asuh dan ketahanan
pangan tingkat keluarga. Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi
implementasi program yang harus dilaksanakan. Pola asuh (caring),
termasuk di dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan dengan
makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun merupakan
proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128,
Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.Amanat pada UU Nomor
36 Tahun 2009 adalah:
a). Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
b). Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang
mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di
Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan
persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%)
dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12
provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua
Barat belum mengumpulkan data. Secara nasional, cakupan bayi mendapat
ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi
cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat
(87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%).
Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu,
sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu
ditingkatkan. Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung
pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi
gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada
tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5%
mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita
mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.
Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program
pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus
berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika
berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi
badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan
makanan keluarga gizi seimbang.
3. Uraian materi (peran perawat adalah, peran perawat untuk stunting, ……..
Peran
Peran pada dasarnya adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai
kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
sosial baik dari dalam maupun dari luar yang besifat stabil
Peran perawat
Peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh
perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kompetensi
yang dimilikinya. Perawat adalah tenaga profesional yang
mempunyai pendidikan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Kedudukannya dalam sistem ini adalah anggota tim kesehatan
yang mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan
keperawatan
Setiap peran memiliki 3 elemen, yaitu :
a). Peran ideal Peran ideal mengacu pada hak dan tanggung
jawab terkait peran yang secara sosial dianjurkan atau
disepakati.
b). Peran yang dipersepsikan Peran yang mengacu pada
bagaimana penerimaan peran (orang yang menerima peran)
percaya dirinya harus berperilaku dalam peran tersebut.
c). Peran yang ditampilkan Peran yang mengacu pada apa yang
sebenarnya dilakukan oleh penerima peran.
Peran perawat untuk mencegah stunting
1. Peran perawat sebagai asuhan keperawatan dalam
pencegahan gizi buruk pada balita meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, tindakan
keperawatan dan evaluasi melalui penimbangan, pengukuran
tinggi badan anak dan pemantauan secara rutin atau kontinue
tiap bulan di posyandu.
2. Peran perawat sebagai pendidik dalam pencegahan gizi buruk
pada balita melalui pendidikan kesehatan dalam bentuk
konseling maupun penyuluhan.
3. Peran perawat sebagai kolaborasi dalam pencegahan gizi
buruk pada balita dimana perawat bekerjasama dengan ahli
gizi dan tim kesehatan lain
4. Peran perawat sebagai koordinator dalam pencegahan gizi
buruk pada balita dimana perawat mengkoordinasikan dan
menjadwalkan terlebih dahulu kegiatan yang akan
dilaksanakan.
5. Peran perawat sebagai konsultan dalam pencegahan gizi
buruk pada balita yaitu dengan memecahkan masalah secara
bersama.
6. Peran perawat sebagai advokat klien dalam pencegahan gizi
buruk pada balita yaitu melakukan pendekatan dan
memberikan pengertian mengenai pentingnya perbaikan gizi
atau peningkatan gizi.
4. Latihan soal 5
1). Apakah yang menjadi faktor resiko/penyebab stunting sebagai
indikasi masalah gizi kronis?
Jawaban :
Ada dua kelompok faktor resiko/penyebab stunting sebagai indikasi
masalah gizi kronis:
Penyebab langsung: yaitu kurangnya asupan makanan bergizi dan
infeksi berulang dalam jangka waktu tertentu (kronis).
Penyebab tidak langsung: terdiri dari berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyebab langsung dari stunting akibat
masalah gizi kronis. Faktor-faktor tersebut antara lain terkait
masalah akses terhadap makanan bergizi, pola asuh yang kurang
optimal, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, praktik
hygiene, atau masalah kesehatan lingkungan yang mempengaruhi
akses ke air bersih dan sanitasi (lingkungan). Penyebab tidak
langsung ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang mendasar
seperti faktor ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem
pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian,
dan/atau pemberdayaan perempuan
2). Apa dampak dari masalah gizi kronis selain stunting?
Jawaban :
Selain gangguan pertumbuhan yang diindikasikan oleh stunting, biasanya
anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan akibat masalah gizi
kronis, baik gangguan pada perkembangan kognitif, motorik, ataupun
sistem kekebalan tubuh. Gangguan perkembangan inilah yang kemudian
dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar atau mudah
terserang penyakit. Kondisi kurang gizi kronis yang tidak dicegah atau
terlambat dikoreksi dapat meningkatkan resiko terkena penyakit tidak
menular (PTM) di usia lebih lanjut (seperti diabetes, penyakit jantung,
kanker, stroke, dan lain-lain) pada level individu dan menurunkan angka
produktivitas sumber daya manusia pada level populasi.
3). Apakah stunting dapat dicegah atau dikoreksi?
Jawaban :
Stunting dapat dicegah atau dikoreksi jika dilakukan sebelum atau selama
periode emas. Karenanya berbagai intervensi penting dilakukan sejak dini,
mulai dari mempersiapkan kondisi gizi dan kesehatan calon ibu hingga
memastikan kesehatan yang baik dan gizi yang cukup terutama pada 1000
Hari Pertama Kehidupan, yaitu sejak anak berada dalam kandungan
hingga usia 2 tahun.
4). apa saja langkah-langkah dalam penanganan stunting ?
Jawaban :
5. Rangkuman
Stunting juga merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai
dengan tinggi badan anak yang lebih pendek dari anak dengan usia yang
sama (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Balita/Baduta
(Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki
tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan
terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya
tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat
dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak
langsung serta bisa ke individu, kelompok, keluarga, maupun masyarakat
luas dengan pendekatan asuhan keperawatan.
Pemerintah kabupaten/kota memiliki peluang untuk berinovasi
menambah intervensi efektif lainnya berdasarkan best practice dan
pengalaman yang telah diterapkan di masing-masing kabupaten/kota
dengan fokus meminimalkan keterlambatan. Indikator sasaran utama
intervensi terpadu untuk mengurangi stunting adalah: .
1) Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
2) Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
3) Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita
4) Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5). presentase bayi usia kurang dari 6 bulang yang mendapat ASI
eksklusif
6) Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7) Prevalensi kecacingan pada anak balita
peran pada dasarnya adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem.
1). Peran perawat sebagai asuhan keperawatan dalam pencegahan gizi buruk
pada balita meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi melalui penimbangan,
pengukuran tinggi badan anak dan pemantauan secara rutin atau kontinue
tiap bulan di posyandu.
2). Peran perawat sebagai pendidik dalam pencegahan gizi buruk pada balita
melalui pendidikan kesehatan dalam bentuk konseling maupun
penyuluhan.
3). Peran perawat sebagai kolaborasi dalam pencegahan gizi buruk pada balita
dimana perawat bekerjasama dengan ahli gizi dan tim kesehatan lain
4). Peran perawat sebagai koordinator dalam pencegahan gizi buruk pada
balita dimana perawat mengkoordinasikan dan menjadwalkan terlebih
dahulu kegiatan yang akan dilaksanakan.
5). Peran perawat sebagai konsultan dalam pencegahan gizi buruk pada balita
yaitu dengan memecahkan masalah secara bersama. 6. Peran perawat
sebagai advokat klien dalam pencegahan gizi buruk pada balita yaitu
melakukan pendekatan dan memberikan pengertian mengenai pentingnya
perbaikan gizi atau peningkatan gizi.
Almatsier, S. d. (2011). Gizi Seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Cia, A., Nur Annisa, S., & F. Lion, H. (2021). Asupan Zat Besi dan Prevalensi
Anemia pada Remaja Usia 16-18 Tahun. Jurnal Kesehatan, 04(02), 144–
150.
Hastoety, S. P., Wardhani, N. K., Sihadi, S., Sari, K., Kumala Putri, D. S.,
Rachmalina, R., Utami, N. H., Susilawati, M. D., Chitijani, R., & Febriani, F.
(2018). Disparitas Balita Kurang Gizi di Indonesia. Media Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan, 28(3), 201–210.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i3.219
Margawati, A., & Astri, M. (2018). Pengetahuan ibu, pola makan dan status gizi
pada anak stunting usia 1-5 tahun di kelurahan bangetayu, kecamatan genuk,
semarang. Jurnal Gizi Indonesia, 6(2).
TNP2K. (2017). 1000 kabupaten / kota prioritas untuk penanganan anak kerdil
(stunting). Journal of Materials Processing Technology, 1, 1–8.
Yudhastuti, R., & Lusno, M. F. D. (2010). Kebersihan Diri dan Sanitasi Rumah
pada Anak Balita dengan Kecacingan Personal Hygiene and House
Sanitation among Children Under Five Years Old with Helminthiasis. 173–
178.